"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.
Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seindah yang direncanakan. Andai Rakana tidak mencurangiku, mungkin semua masih baik-baik saja sekarang. Mungkin kami akan tetap menikah dan bersama. Tapi ... akh. Rakana yang sudah menghancurkan semuanya. "Kamu pantas mendapatkannya. Sangat pantas. Itu semua tidak sebanding, dengan rasa sakit dan malu yang harus kami tanggung. Kalau kamu merasa kehilangan, lalu bagaimana dengan aku? Hatiku hancur, Raka. Ragaku seperti dihempas dari langit ke tujuh hingga ke dasar bumi. Hatiku bahkan rasanya remuk berkeping-keping. Gak usah kamu merasa paling menderita. Dari sisi manapun, aku lah yang paling tersakiti di sini. Aku, Raka! Aku!" teriakku tapi suaraku tak cukup nyaring. Perasaan ini berbenturan. Marah, benci, kesal, tapi membuang perasaanku begitu saja pun tidak bisa. Sudut hati masih menyimpan namanya. Relung jiwa masih terendap kenangan bersamanya. Seluruh memori dipenuhi saat-saat indah kami berpacaran. Terlalu sulit melupakan tapi juga begitu sakit kenyataan. Aku harus bagaimana? "Aku minta maaf, Chi. Maaf." Suara Rakana begitu luruh. Wajahnya terasa membenam di pundakku. "Aku sama sekali tidak berniat mengkhianati kamu. Aku tidak serius dengan Faula. Aku hanya mencintai kamu. Pada Faula, hanya karena aku butuh pelarian. Itu saja. Seandainya kamu bisa aku sentuh, aku jamin, ini tidak akan pernah terjadi. Seandainya kamu memberikan apa yang pernah aku minta, hari ini pernikahan kita pasti akan tetap berlangsung. Sekali pun saat menikahi kamu, aku sudah mencuri start dan kamu tidak lagi suci. Aku tidak akan mempermasalahkan itu, karena aku sendiri yang sudah mengambilnya. Seandainya kamu mau memenuhinya sekali saja, aku tidak akan pernah mendatangi Faula, Chi. Aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu," bisik Rakana tepat di daun telinga. "Cukup, Raka. Cukup. Aku muak mendengar semuanya. Terserah kamu mau tetap menyalahkan aku atau apa. Tapi camkan baik-baik dalam otakmu, jangan pernah samakan aku dengan Faula yang bisa seenaknya kamu tiduri. Aku menjaga apa yang memang harus dijaga. Sekarang jalani hidup kita masing-masing. Dan satu lagi, berhenti mengatakan cinta. Karena itu cuma bullshit! Lepaskan, aku mau keluar sekarang!" tegasku tak ingin lagi berlama-lama terjebak dengan Rakana. Atau dia akan terus merayu dan membual. "Chiโ" "Shut up! Lepaskan aku sekarang!" Tidak ada sahutan lagi, hanya terasa gerakan kepala darinya. Pelukan Rakana masih terasa erat membelit di pinggang ini. "Lepas, Raka ...." Suaraku melemah kali ini. Jujur aku memang lelah. Tidak lagi bertenaga untuk berdebat. Perlaha pelukan yang melingkar di pinggangku mulai mengendur lalu terlepas. Tanpa ingin menoleh, aku melangkahkan kaki menuju pintu. Memutar kuncinya dengan mudah hingga pintu dapat dibuka. Buru-buru aku keluar dan berjalan cepat sampai kembali ke dalam kamar utama. Setelah menutup pintu, aku tersentak kaget. Punggungku mentok membentur daun pintu di belakang, dan baru menyadari jika lampu kamar sudah terang benderang. "Dari mana kamu?" tanya Bang Fahad mengagetkanku. Ia sudah terduduk di kasur sana sambil menatap lurus padaku. "Daโri dapur, haus," jawabku cepat. Meredakan segala kekagetan dan juga gugup yang melanda, aku lekas melangkah menuju tempat tidur. Rasanya kayak maling kepergok. Huh! Aku berusaha bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan Rakana tadi. Karena memang tidak ada apa-apa 'kan? Pelan-pelan aku naik ke kasur dan membenahi selimut menutupi kaki. Berperang melawan kegugupanku sendiri. Akhirnya aku kembali terbaring di tempat tidur. "Astaga!" pekikku kaget luar biasa. Mataku membola karena Bang Fahad tiba-tiba berada di atasku saat aku memutar tubuh hingga terlentang. Kedua tangan kekar itu mengungkung tubuhku berada di bawahnya. Refleks kedua tanganku menyilang di depan dada. Manik hitam pekat Bang Fahad menatapku cukup tajam. Tatapannya begitu mengunci dan aku terpaku dibuatnya. "Haus? Haus belaian dari mantan pacar yang sekarang menumpang di rumah saya maksudnya?" tanyanya terdengar sangat kurang ajar. Mataku kian membeliak lebar. "Jaga mulut anhโโ" Sanggahanku terpotong karena jari telunjuk Bang Fahad menempel tepat di bibirku begitu cepat. Sorot matanya makin tajam menatap. Seolah menelisik tiap inchi dari wajahku ini. "Dengar! Sejak saya bercerai sepuluh tahun yang lalu dan menyandang status duda sekian lamanya, saya tidak pernah lagi tertarik dengan sebuah pernikahan. Saya menikmati kesendirian dengan penuh rasa bahagia. Tapi hari ini, malam ini, semua harus berubah. Gara-gara kamu dan Rakana, saya harus mengambil keputusan ini. Saya harus menikahi kamu dan menggantikan Rakana menjadi suami kamu. Gara-gara kalian, saya harus terikat lagi pada satu hubungan sakral. Kalau bukan demi nama baik keluarga kami, saya tidak akan mau menikahi kamu. Lebih baik saya menduda seumur hidup daripada harus menikah dengan bekas perempuan dari adik sendiri!" ujar Bang Fahad yang lagi-lagi menyudutkanku. Rahangku mengeras mendengarnya berkata demikian, seiring dengan jarinya yang telah menjauh dari bibirku. Adik dan kakak ternyata sama. Sama-sama brengseknya. "Aku bukan barang. Aku dan Rakana memang lama berpacaran tapi aku berani bersumpah, kalau aku tidak semurahan yang Anda katakan! Aku tidak pernah dipakai Rakana!" sahutku. Rasanya lelah juga membela diri tapi tetap disudutkan. Satu sudut bibir Bang Fahad tertarik ke atas. "Oh ya? Kalau begitu, layani saya malam ini. Buktikan kalau kamu memang bukan bekas pakai Rakana. Buktikan, kalau saya memang tidak mendapat ampas! Kalau ucapan kamu benar, baru saya akan percaya dan mencoba menerima pernikahan ini!" ."Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Raka ...." Aku menyeru namanya dengan suara terdengar lemah.Tangan Rakana masih mencekal lenganku begitu erat. Dia juga melayangkan tatapan tajam yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan memelas."Pasti kamu 'kan yang udah bicara sama Bang Fahad, supaya dia mengusir aku dan Faula dari sini?" tuduhnya tanpa tedeng aling-aling.Keningku sontak melipat, menatap lelaki itu dengan mata memicing. "Maksud kamu apa?!" Suaraku terdengar meninggi. Tidak terima dengan tuduhannya.Rakana mendecak. "Semalam, pasti kamu mendengar pembicaraan aku sama Faula 'kan? Entah kamu juga melihat atau enggak saat aku menenangkan Faula dengan memeluknya. Aku yakin, kamu pasti cemburu. Aku yakin sekali, kamu gak terima karena aku menenangkan dia seperti itu. Terus, kamu laporan sama Bang Fahad. Kamu bicara sama dia supaya dia mengusir aku pagi ini dari sini. Iya kan? Kenapa, Chi? Kenapa kamu tega? Papa dan Mamaku sudah mengusir aku dari rumah. Ter
Branggg!"Astaga ... malah pecah," gumamku saat tidak sengaja menjatuhkan piring. Aku bermaksud menaruhnya pada rak pengering di sebelah kiri, tapi entah kenapa malah licin dan akhirnya jatuh dari tanganku. Buru-buru aku mencuci tangan yang penuh buih sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Kemudian berjongkok untuk mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai dapur ini. "Stop!"Sebuah suara mengejutkan dan menahan gerakan tanganku yang sudah bersiap menyentuh pecahan-pecahan piring itu. Aku menoleh dan tampak Bang Fahad berjalan ke arahku."Tadi keiris pisau sekarang kamu pecahkan piring? Ya Tuhan ... kamu benar-benar tidak pernah ke dapur?" tanyanya yang langsung membuatku menggelengkan kepala.Terdengar Bang Fahad menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu mau membereskan pecahan piring ini dengan tangan kosong?" tanyanya lagi dan aku mengangguk kali ini.Bang Fahad mengembus napas kasar. "En
(14)Aku lari terbirit-birit sampai keluar dari kamar."Ada apa?" Bang Fahad datang dari arah dapur.Aku menunjuk ke arah kamar yang pintunya terbuka lebar. "Iโitu ... ada nomer gak dikenal yang kirim video ke nomerku," jawabku terbata. Aku masih sangat kaget."Video apa?" tanya Bang Fahad dengan suara datarnya.Aku menggeleng lemah. "Video menjijikkan. Aku gak mau lihat lagi. Abang bantu aku hapus videonya. Aku mau ke dapur!" tukasku kemudian berlari cepat menuju dapur.Duduk di kursi makan lalu menuangkan air. Meneguknya hingga membasahi tenggorokan. Aku mengatur napas yang terengah-engah dengan tatapan lurus pada meja makan ini."Kamu ingin saya menghapus video ini?" tanya Bang Fahad sambil memperlihatkan layar ponselku. Sialnya dia malah menunjukkan tangkapan awal dari video tadi. Membuatku refleks menutup wajah dengan kedua tangan."Ngapain diliatin lagi sih, Bang? Jijik tahu!
Aku menggigit bibir, menahan kepanikan yang menggelegak dalam dada. Tanganku terus menekan sisi perut Bang Fahad, berusaha mengurangi pendarahan."Pa, cepat! Kita harus segera sampai!"Mobil melaju kencang membelah jalanan sepi dini hari. Mama menangis tertahan di sampingku, menggenggam tangan Bang Fahad yang kini dingin."Fahad, bertahanlah. Tolong bertahan!" isak Mama, seolah ketakutan akan kehilangan seseorang lagi setelah Mas Althaf pergi untuk selamanya.Aku menatap wajah Bang Fahad yang semakin pucat. Perasaan aneh berkecamuk dalam dadaku. Harusnya aku tidak peduli. Harusnya aku membiarkan dia mati karena kehabisan darah.Tapi saat ini, melihatnya dalam keadaan seperti ini, jujur saja aku merasa sesak. Aku kasihan padanya. Tidak tega. Apa kebencianku hanya setengah hati? Apa aku tidak benar-benar membencinya?Mobil akhirnya berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Papa tampak buru-buru keluar untuk meminta bantuan. Dalam hitungan detik, beberapa petugas medis datang me
"Apa, Chi? Tinggal di luar negeri? Kenapa tiba-tiba kamu bicara begini?" tanya Mama dengan ekspresi terkejut."Iya, Chi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba sekali kamu ingin tinggal di luar negeri. Ada apa?" Papa menimpali dengan reaksi tak kalah terkejutnya.Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya sekaligus. Kedua tangan terangkat meraup wajah, meremas kepala kemudian barulah menatap Mama dan Papa lagi."Mama dan Papa sudah tahu, kalau Bang Fahad ada di kota ini juga. Dia ... masih terus menemuiku, Ma, Pa. Dia masih terus saja muncul di hadapanku. Dia bersikap seolah-olah ingin menebus kesalahannya di masa lalu terhadap kita. Dan tentu saja aku marah terus-terusan bertemu dia. Mama dan Papa tahu, bagaimana aku membenci dia setengah mati. Makanya, aku ingin tinggal di luar negeri. Di tempat yang jauh dan gak akan pernah bertemu lagi dengan dia," jelasku akhirnya."Kita lebih dulu tinggal di kota ini, Chi. Kalaupun harus ada yang pergi, itu bukan kamu atau kita. Tapi, ya dia.
Pagi ini udara terasa lebih segar dari biasanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja setelah semalam aku bisa sedikit melupakan kesedihan karena kematian Mas Althaf. Meski caranya tidak dibenarkan, tapi aku rasa itu tidak merugikan siapapun.Dengan pakaian olahraga dan earphone terpasang di telinga, aku siap keluar dari rumah untuk melakukan jogging pagi ini. Tapi belum sempat melewati pagar, Mama lebih dulu datang dan menahan kepergianku."Chi, sebentar," ucapnya dengan lembut.Aku melepas satu sisi earphone. "Ada apa, Ma?"Mama menatapku lama, seakan mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkan. "Kamu pulang larut tadi malam?"Aku menghembus napas kasar. "Iya, Ma. Maaf, aku keasyikan keliling mall terus nonton di bioskopnya, enggak sadar udah larut."Mama menghela napas. "Iya, Papa juga bilang kamu pulang kemalaman karena nonton bioskop, tapi mama rasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku melangkah cepat menuju mobil, telapak tanganku masih terasa panas setelah dua kali menampar wajah Bang Fahad. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari laki-laki itu, tak ingin mendengar suaranya, apalagi melihat wajahnya.Namun, baru saja meraih gagang pintu mobil, seseorang menarik pergelangan tanganku dari belakang. Seketika aku menoleh dan menemukan Bang Fahad yang melakukannya. Dia mencengkram pergelangan tanganku sambil menyudutkan pada badan mobil."Kamu berpikir saya merencanakan semua ini?" tanyanya dengan suara masih tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tidak terima.Aku mendengkus, menepis tangannya dengan kasar. "Pergi dari sini! Pergi dari hadapanku!"Bang Fahad menghela napas panjang. "Chi, kamu enggak tahu betapa khawatirnya saya ketika melihat kamu tadi. Kenapa kamu berpikir kalau saya mengenal orang-orang itu?"Aku tertawa sinis. "Khawatir? Jangan pura-pura peduli, Bang! Jangan berlaku seolah-olah Abang adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan aku malam ini. Aku tahu
Aku kembali meronta di dalam gendongan Bang Fahad, tapi dia tetap berjalan tegap hingga keluar dari area taman tanpa mengindahkan protesku. Napasku tersengal, dada terasa sesak karena emosi yang memuncak."Turunin aku, Bang! Aku bisa pulang sendiri!" seruku sambil mencari-cari pegangan berharap bisa bertumpu pada sesuatu dan menghentikan langkahnya.Bang Fahad hanya menghela napas, lalu sedikit mengeratkan lengannya agar aku tidak banyak bergerak. "Jangan banyak gerak, Chi. Nanti kaki kamu makin sakit.""Aku gak peduli! Aku lebih baik ngesot pulang daripada harus digendong Abang!" Aku menggertakkan gigi, tapi laki-laki itu tetap tak menggubrisku.Dia terus berjalan menyusuri trotoar jalanan kian menjauh dari taman. Sementara aku terus meronta meski tenagaku tak seberapa besar dan kalah telak dengan tenaga Bang Fahad."Turunin aku, Bang! Apa Abang udah gak bisa denger?!" teriakku kembali. Namun Bang Fahad tidak jug
Namun sepertinya Bang Fahad terus saja mengikuti, hingga ia berhasil menyamai langkahku lagi dan berlari tepat di lintasan di sebelahku. Akhirnya aku berhenti berlari lalu beralih menatapnya dengan pandangan penuh kebencian."Mau apalagi, sih? Gak ada tempat lain yang bisa Anda datangi selain taman ini?!" tegasku dengan memasang wajah muak yang semoga bisa ia pahami.Terdengar laki-laki itu berdehem seraya memutar tubuh hingga tak lagi berhadapan denganku. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh ke sini, termasuk saya.""Memang, tapi aku muak bertemu Abang lagi, Abang lagi. Ngapain sih, ngikutin aku terus? Mau apa? Kita sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Apalagi yang membuat Abang selalu muncul di hadapanku?" cecarku kemudian.Tampak laki-laki itu menggeleng dengan pandangan yang masih lurus ke depan, sebelum detik berikutnya berubah hingga menghadapku. "Saya mau memastikan kamu baik-baik saja, Chi."Aku mendecih kesal. "Abang buta? Abang gak lihat? Aku sekarang di hadapan Abang seh
"Aakhhh!" Aku memukul setir kemudi berulang, meluapkan kekesalan yang memenuhi hati. Entah bagaimana, Bang Fahad bisa datang dan mengacaukan niatku.Aku tahu apa yang akan kulakukan memang tidak dibenarkan, tapi sekali lagi aku tekankan, aku hanya sedang membutuhkan pelarian agar tidak tertekan atas kematian Mas Althaf. Mungkin saja, satu atau dua gelas minuman di klub malam tadi bisa menenangkan pikiranku. Tapi sialnya, Bang Fahad datang dan berlagak seperti orang suci."Memuakkan. Kenapa dia masih di kota ini? Dia juga tahu kematian Mas Althaf. Apa dia benar mengawasiku? Kalau iya, buat apa? Buat apalagi dia datang dalam kehidupanku? Aarghhh! Menyebalkan!" Aku merutuk sambil mengemudi, teringat pertemuan di klub malam tadi dengan Bang Fahad.Laki-laki yang kubenci setengah mati, sekarang justru hadir kembali dalam kehidupanku. Aku benar-benar muak.Setelah tiga tahun sebelumnya dia menghempasku seperti seonggok sampah, sekara
"Chi ... kamu mau minum? Sadar, Chiara. Itu gak baik. Minuman yang ada di sini itu beralkohol dan kamu pasti tahu kalau itu haram."Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan muak. Amarah seketika memenuhi dada melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul dan menghalangi apa yang hendak aku lakukan."Apa peduli kamu? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan rahang mengeras. Aku memang sudah memaafkan Bang Fahad atas kesalahannya, tapi bukan berarti aku bisa menerima kehadirannya kembali."Tentu saya peduli, Chi. Saya sangat peduli. Saya tahu kamu sedih atas kematian dokter Althaf, tapi tidak seperti ini caranya, Chi," ucapnya membuat telingaku rasanya panas.Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. "Pergi," pintaku dengan jari telunjuk mengarah ke pintu masuk.Bang Fahad tampak menggeleng. "Saya tahu kamu sedang bersedih, Chi. Saya tahu keadaan kamu sekarang tidak baik-baik saja, tapi tidak seperti ini kamu mencari pelarian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, ada saya." Dia
POV CHIARA #Waktu tujuh hari berjalan dengan begitu lambat. Di mana setiap malamnya aku harus menghadapi kenyataan dengan adanya acara tahlilan di rumahku. Rumah yang selama satu tahun ini aku tempati bersama Mas Althaf.Tempat yang setiap sudutnya menguarkan aroma tubuh dari laki-laki itu, membuat dadaku sesak dan rasanya aku ingin menyusulnya saja.Aku tidak sanggup lebih lama menempati rumah itu seorang diri, karena setiap jengkalnya membangkitkan kenangan bersama Mas Althaf.Laki-laki yang menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang telah membawa pelangi serta semangat dalam hidupku yang semula gelap dan hancur usai kematian bayi yang sedang aku kandung karena kecelakaan.Setelah aku memutuskan untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Fahad, setelah aku mengikhlaskan hubungan kami yang baru seumur jagung itu, aku masih baik-baik saja.Aku juga mampu menjaga kandunganku yang semula d