"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.
Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seindah yang direncanakan. Andai Rakana tidak mencurangiku, mungkin semua masih baik-baik saja sekarang. Mungkin kami akan tetap menikah dan bersama. Tapi ... akh. Rakana yang sudah menghancurkan semuanya. "Kamu pantas mendapatkannya. Sangat pantas. Itu semua tidak sebanding, dengan rasa sakit dan malu yang harus kami tanggung. Kalau kamu merasa kehilangan, lalu bagaimana dengan aku? Hatiku hancur, Raka. Ragaku seperti dihempas dari langit ke tujuh hingga ke dasar bumi. Hatiku bahkan rasanya remuk berkeping-keping. Gak usah kamu merasa paling menderita. Dari sisi manapun, aku lah yang paling tersakiti di sini. Aku, Raka! Aku!" teriakku tapi suaraku tak cukup nyaring. Perasaan ini berbenturan. Marah, benci, kesal, tapi membuang perasaanku begitu saja pun tidak bisa. Sudut hati masih menyimpan namanya. Relung jiwa masih terendap kenangan bersamanya. Seluruh memori dipenuhi saat-saat indah kami berpacaran. Terlalu sulit melupakan tapi juga begitu sakit kenyataan. Aku harus bagaimana? "Aku minta maaf, Chi. Maaf." Suara Rakana begitu luruh. Wajahnya terasa membenam di pundakku. "Aku sama sekali tidak berniat mengkhianati kamu. Aku tidak serius dengan Faula. Aku hanya mencintai kamu. Pada Faula, hanya karena aku butuh pelarian. Itu saja. Seandainya kamu bisa aku sentuh, aku jamin, ini tidak akan pernah terjadi. Seandainya kamu memberikan apa yang pernah aku minta, hari ini pernikahan kita pasti akan tetap berlangsung. Sekali pun saat menikahi kamu, aku sudah mencuri start dan kamu tidak lagi suci. Aku tidak akan mempermasalahkan itu, karena aku sendiri yang sudah mengambilnya. Seandainya kamu mau memenuhinya sekali saja, aku tidak akan pernah mendatangi Faula, Chi. Aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu," bisik Rakana tepat di daun telinga. "Cukup, Raka. Cukup. Aku muak mendengar semuanya. Terserah kamu mau tetap menyalahkan aku atau apa. Tapi camkan baik-baik dalam otakmu, jangan pernah samakan aku dengan Faula yang bisa seenaknya kamu tiduri. Aku menjaga apa yang memang harus dijaga. Sekarang jalani hidup kita masing-masing. Dan satu lagi, berhenti mengatakan cinta. Karena itu cuma bullshit! Lepaskan, aku mau keluar sekarang!" tegasku tak ingin lagi berlama-lama terjebak dengan Rakana. Atau dia akan terus merayu dan membual. "Chi—" "Shut up! Lepaskan aku sekarang!" Tidak ada sahutan lagi, hanya terasa gerakan kepala darinya. Pelukan Rakana masih terasa erat membelit di pinggang ini. "Lepas, Raka ...." Suaraku melemah kali ini. Jujur aku memang lelah. Tidak lagi bertenaga untuk berdebat. Perlaha pelukan yang melingkar di pinggangku mulai mengendur lalu terlepas. Tanpa ingin menoleh, aku melangkahkan kaki menuju pintu. Memutar kuncinya dengan mudah hingga pintu dapat dibuka. Buru-buru aku keluar dan berjalan cepat sampai kembali ke dalam kamar utama. Setelah menutup pintu, aku tersentak kaget. Punggungku mentok membentur daun pintu di belakang, dan baru menyadari jika lampu kamar sudah terang benderang. "Dari mana kamu?" tanya Bang Fahad mengagetkanku. Ia sudah terduduk di kasur sana sambil menatap lurus padaku. "Da—ri dapur, haus," jawabku cepat. Meredakan segala kekagetan dan juga gugup yang melanda, aku lekas melangkah menuju tempat tidur. Rasanya kayak maling kepergok. Huh! Aku berusaha bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan Rakana tadi. Karena memang tidak ada apa-apa 'kan? Pelan-pelan aku naik ke kasur dan membenahi selimut menutupi kaki. Berperang melawan kegugupanku sendiri. Akhirnya aku kembali terbaring di tempat tidur. "Astaga!" pekikku kaget luar biasa. Mataku membola karena Bang Fahad tiba-tiba berada di atasku saat aku memutar tubuh hingga terlentang. Kedua tangan kekar itu mengungkung tubuhku berada di bawahnya. Refleks kedua tanganku menyilang di depan dada. Manik hitam pekat Bang Fahad menatapku cukup tajam. Tatapannya begitu mengunci dan aku terpaku dibuatnya. "Haus? Haus belaian dari mantan pacar yang sekarang menumpang di rumah saya maksudnya?" tanyanya terdengar sangat kurang ajar. Mataku kian membeliak lebar. "Jaga mulut anh——" Sanggahanku terpotong karena jari telunjuk Bang Fahad menempel tepat di bibirku begitu cepat. Sorot matanya makin tajam menatap. Seolah menelisik tiap inchi dari wajahku ini. "Dengar! Sejak saya bercerai sepuluh tahun yang lalu dan menyandang status duda sekian lamanya, saya tidak pernah lagi tertarik dengan sebuah pernikahan. Saya menikmati kesendirian dengan penuh rasa bahagia. Tapi hari ini, malam ini, semua harus berubah. Gara-gara kamu dan Rakana, saya harus mengambil keputusan ini. Saya harus menikahi kamu dan menggantikan Rakana menjadi suami kamu. Gara-gara kalian, saya harus terikat lagi pada satu hubungan sakral. Kalau bukan demi nama baik keluarga kami, saya tidak akan mau menikahi kamu. Lebih baik saya menduda seumur hidup daripada harus menikah dengan bekas perempuan dari adik sendiri!" ujar Bang Fahad yang lagi-lagi menyudutkanku. Rahangku mengeras mendengarnya berkata demikian, seiring dengan jarinya yang telah menjauh dari bibirku. Adik dan kakak ternyata sama. Sama-sama brengseknya. "Aku bukan barang. Aku dan Rakana memang lama berpacaran tapi aku berani bersumpah, kalau aku tidak semurahan yang Anda katakan! Aku tidak pernah dipakai Rakana!" sahutku. Rasanya lelah juga membela diri tapi tetap disudutkan. Satu sudut bibir Bang Fahad tertarik ke atas. "Oh ya? Kalau begitu, layani saya malam ini. Buktikan kalau kamu memang bukan bekas pakai Rakana. Buktikan, kalau saya memang tidak mendapat ampas! Kalau ucapan kamu benar, baru saya akan percaya dan mencoba menerima pernikahan ini!" ."Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Raka ...." Aku menyeru namanya dengan suara terdengar lemah.Tangan Rakana masih mencekal lenganku begitu erat. Dia juga melayangkan tatapan tajam yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan memelas."Pasti kamu 'kan yang udah bicara sama Bang Fahad, supaya dia mengusir aku dan Faula dari sini?" tuduhnya tanpa tedeng aling-aling.Keningku sontak melipat, menatap lelaki itu dengan mata memicing. "Maksud kamu apa?!" Suaraku terdengar meninggi. Tidak terima dengan tuduhannya.Rakana mendecak. "Semalam, pasti kamu mendengar pembicaraan aku sama Faula 'kan? Entah kamu juga melihat atau enggak saat aku menenangkan Faula dengan memeluknya. Aku yakin, kamu pasti cemburu. Aku yakin sekali, kamu gak terima karena aku menenangkan dia seperti itu. Terus, kamu laporan sama Bang Fahad. Kamu bicara sama dia supaya dia mengusir aku pagi ini dari sini. Iya kan? Kenapa, Chi? Kenapa kamu tega? Papa dan Mamaku sudah mengusir aku dari rumah. Ter
Branggg!"Astaga ... malah pecah," gumamku saat tidak sengaja menjatuhkan piring. Aku bermaksud menaruhnya pada rak pengering di sebelah kiri, tapi entah kenapa malah licin dan akhirnya jatuh dari tanganku. Buru-buru aku mencuci tangan yang penuh buih sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Kemudian berjongkok untuk mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai dapur ini. "Stop!"Sebuah suara mengejutkan dan menahan gerakan tanganku yang sudah bersiap menyentuh pecahan-pecahan piring itu. Aku menoleh dan tampak Bang Fahad berjalan ke arahku."Tadi keiris pisau sekarang kamu pecahkan piring? Ya Tuhan ... kamu benar-benar tidak pernah ke dapur?" tanyanya yang langsung membuatku menggelengkan kepala.Terdengar Bang Fahad menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu mau membereskan pecahan piring ini dengan tangan kosong?" tanyanya lagi dan aku mengangguk kali ini.Bang Fahad mengembus napas kasar. "En
(14)Aku lari terbirit-birit sampai keluar dari kamar."Ada apa?" Bang Fahad datang dari arah dapur.Aku menunjuk ke arah kamar yang pintunya terbuka lebar. "I—itu ... ada nomer gak dikenal yang kirim video ke nomerku," jawabku terbata. Aku masih sangat kaget."Video apa?" tanya Bang Fahad dengan suara datarnya.Aku menggeleng lemah. "Video menjijikkan. Aku gak mau lihat lagi. Abang bantu aku hapus videonya. Aku mau ke dapur!" tukasku kemudian berlari cepat menuju dapur.Duduk di kursi makan lalu menuangkan air. Meneguknya hingga membasahi tenggorokan. Aku mengatur napas yang terengah-engah dengan tatapan lurus pada meja makan ini."Kamu ingin saya menghapus video ini?" tanya Bang Fahad sambil memperlihatkan layar ponselku. Sialnya dia malah menunjukkan tangkapan awal dari video tadi. Membuatku refleks menutup wajah dengan kedua tangan."Ngapain diliatin lagi sih, Bang? Jijik tahu!
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d