Kehidupan Emi yang gemilang harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Mike, suaminya, memiliki wanita lain pada malam pertama pernikahannya. Di bawah perjodohan antar perusahaan. Dilema melanda, memaksa Emi untuk bertahan atau menyerah pada cinta dan karirnya. Apa yang akan dilakukan sosok Emi, seorang perencana kompleks yang narsistik, dalam menghadapi perselingkuhan yang telah menghancurkan harga dirinya?
Lihat lebih banyakDi pagi buta, Emi terhenyak dari mimpinya saat mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah. Matanya wanita itu sembap akibat menangis semalaman, begitu terasa sangat lengket dan berat. Emi bahkan tidak tidur dengan layak semalam. Meringkuk di atas sofa di ruang tengah, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja, bekas ia memantau Mike melalui spyware semalam. Tentu saja, Emi tahu di mana Mike bermalam dan itulah mengapa wanita itu terbangun dengan sangat murka bak singa yang siap untuk mengaum. Pintu terbuka. Udara dingin dari luar ikut menyeruak ke dalam permukaan rumah. Pria berperawakan tinggi besar masuk dengan jas menjumpai di bahunya yang lebar. Dengan reflek Emi menutup laptopnya seraya berdiri dengan wajah berang, menyambut kembalinya sang suami yang bermalam bersama wanita simpanan yang lebih muda. Mike tersentak melihat sosok Emi yang berdiri di ruang tengah, dengan rambut berantakan serta wajahnya yang merah dan sembap. Tentu saja, itu adalah sosok yang ber
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera
Bau ceri menyeruak dalam ruangan. Sekali lagi, wanita itu menyemprotkan parfum di tengkuknya. Lipstik merah hati begitu cocok di bibirnya yang lebar menunjukkan deretan gigi putih mempesona. "Ini pernikahan sempurna, dengan malam sempurna, dengan pasangan sempurna." Kalimat itu sudah disiapkan Emily untuk memulai malam pertamanya bersama Mike, pria yang baru saja resmi menjadi suaminya. Setelah memastikan semuanya sempurna, Emi menyalakan lilin aroma mawar dan mematikan daya ponselnya, saat bersamaan, dari seberang ranjang, ponsel suaminya berbunyi untuk ketiga kalinya. "Astaga! yang benar saja!" gerutu Emi kesal sambil melangkah besar menuju kamar mandi. "Mike!" Emi menggedor di balik pintu. "Mike!!" teriak Emi lebih keras. Semuanya seperti dejavu. Jawaban yang didapat hanya suara gemercik air yang bercampur dengan senandung lirik The Beatles yang sumbang. "Idiot!" decak Emi. Emi mengecek ponsel yang masih bergetar di atas nakas. Masih pemanggil yang sama. Wanita usia...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen