"Emi?" panggil pria itu.
Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas.
"Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya.
Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya.
"Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih.
"Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Baterainya lemah."
Mike menatap layar ponselnya dan mengangguk pelan. "Yah, aku lupa karena kita tadi sibuk sekali," ujarnya sedikit terkekeh, kemudian kembali terdiam seolah memikirkan sesuatu.
"Jadi...kamu di dalam kamar mandi, tengah malam seperti ini, kedinginan, hanya untuk mencari di mana ponselku dan memastikan agar aku bisa menggunakannya besok, ya?" ucap Mike menyimpulkan kembali perkataan Emi.
Emi mengangguk semangat, "Ya!"
Mike mengangguk pelan seraya menatap Emi. "Istriku, kau sangat perhatian sekali," ujarnya sambil memeluk dan mengusap kepalanya istrinya dengan lembut.
Emi berusaha tersenyum manis, dan mencoba untuk kembali bernapas normal, sementara keringat dingin terasa mengalir di belahan dadanya dengan lega.
Emi dan Mike berjalan keluar dari kamar mandi dengan kaki yang sama-sama membeku.
"Hmm... karena sekarang masih larut malam, kita kembali tidur saja, oke," ucap pria itu usai melihat jam dinding yang jarumnya berada di antara angka 11 dan 12.
Mike memboyong istrinya kembali keranjang, dan mencium keningnya penuh kasih sayang sebelum tidur kembali.
Bibir Emi tersinggung dengan senyum liciknya, dalam diam, di balik pelukan Mike yang hangat. Wanita itu tak sabar menunggu drama yang akan terjadi di esok pagi.
.
.
.
"Sial-sial-sial-" Mike terperanjat dari ranjangnya saat menyadari hari sudah siang.
"Emi? Emi?!" serunya sambil beringsut dan memukul-mukul alarm elektronik yang berada di atas nakasnya, mati dan tak berfungsi.
"Oh, Tuhan..." kesal pria itu tergesa-gesa beranjak turun dari ranjangnya.
Emi terbangun dari tidurnya, membuka matanya silau. "Ada apa, Mike? jam berapa sekarang?" ucapnya lirih sambil setengah terbangun dari posisi tidurnya.
"Entahlah, Emi, mengapa alarmnya tidak berbunyi?!" jawab Mike kesal sembari mondar-mandir di depan almari, sibuk menyiapkan pakaian kerjanya.
Emi melongok ke arah alarm yang tergeletak di atas nakas, sebuah benda yang jadi kambing hitam, mati dan tak berdaya, batin Emi tersenyum puas.
"Aku akan panaskan air mandi," ucap Emi tenang sambil beranjak turun dari ranjangnya yang hangat, berjalan menuju kamar mandi.
"Tidak! tidak usah, aku tidak punya waktu banyak, Emi," jelas Mike dengan nada menggurui. "Dengar, harusnya aku tidak boleh telat hari ini—hari ini penting—Papah dan ayahmu akan datang ke perusahaan..." cerocos pria itu diselingi helaan napas berat.
Emi yang tak mengindahkan perkataan suaminya, kakinya tetap melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja, ada niat lain. Emi mengambil ponselnya yang semalam dibiarkan tengelam di tumpukan pakaian kotor.
Mike menerobos masuk.
"Kamu mau mandi air dingin?"
"Aku kesiangan, Emi! behenti bertanya, oke?" jelas Mike singkat, dengan alis tebalnya yang terangkat dan ekspresi yang dongkol. Pria itu melepaskan pajama yang tengah dipakainya dengan kasar.
Emi berjalan keluar kamar mandi dengan wajah cemberut sambil mengucap, "Oke, aku akan buatkan toast."
Emi mengambil sweater untuk menghangatkan tubuhnya yang hanya terbalut gaun tidur yang minim. Wanita itu kemudian turun ke lantai utama menuju dapur dengan langkah gontai, mengambil dua roti gandum dan memasukkannya ke mesin pemanggang roti.
Emi bersenandung pelan di tengah aktivitasnya, suasana hatinya sedang bagus hari itu. Dia juga tidak terlalu terkejut dengan reaksi Mike yang akan semarah tadi, karena Emi sudah menerka semuanya, Emi sangat mengenal suaminya.
Mike adalah tipe pria yang sangat ambisius dan benci dengan hal-hal yang tidak kompeten. Bisnis di atas segalanya dalam daftar milik Mike. Uang sama dengan kenyamanan—itulah mengapa pria itu bersedia dijodohkan dengan Emi—karena Mike selalu ingin lebih, karena Mike tidak pernah puas, dan Mike tidak mengenal kata terbatas dalam kamusnya.
Bau perpaduan ragi dan susu menyeruak di udara. Dua roti panggang muncul dari mesin berbentuk kotak itu dengan sempurna. Emi meletakkan roti berwana cokelat keemasan di atas piring, mengoleskan selai kacang dan cokelat di setiap roti yang berbeda, menumpuknya menjadi satu.
Emi melongok saat mendengar langkah kaki tergopoh-gopoh menuruni tangga. Mike berjalan tergesa-gesa menghampiri Emi dengan wajah datar yang gelisah—tentu pikirannya sudah berada jauh di kantornya—menangkup kedua pipi Emi dengan tangannya yang sedingin es.
"Baiklah, Sayang..." lirihnya bersuara berat dengan posisi merunduk, menyetarakan wajah mereka dan menatap Emi dalam dan tenang. "Maaf hari ini aku sudah membentakmu, ya..." ucapnya diikuti dengan anggukan kecil tanda pria itu sedang bicara serius, sementara telapak tangannya terus mengusap wajah Emi yang tampak mungil dalam tangkupan tangan Mike yang berukuran besar.
Emi membalas tatapan mata Mike dengan lembut dan tersenyum kecil mengekspresikan bahwa wanita itu baik-baik saja.
Mike kemudian melirik ke arah toast yang tergeletak di atas piring dan dengan sigap langsung meraihnya dengan tangan telanjang.
"Aku makan ini di jalan saja," ucapnya dengan kecupan kilat di kening istrinya dan segera melangkah ke luar rumah dengan cepat.
Tak lama hingga suara mesin mobil milik Mike menyala dan menderu, menjauh dan memudar di tengah angin.
Emi masih berdiri di sana, dalam dapur mewahnya yang bernuansa putih. Menampilkan deretan gigi putihnya seraya meraih ponsel yang ada di saku sweater-nya.
Ponsel Mike ada dalam genggamannya. Ternyata semudah itu untuk menukar ponselnya dengan milik Mike—tentu saja, itu karena Mike sedang terburu-buru dan mengira ponsel di nakasnya adalah miliknya.
Tanpa ragu, Emi langsung membuka sandi pada layar ponsel Mike dan menjelajahi riwayat pesan suaminya dengan selingkuhannya, yang diberi nama Laura.
Sekuat apa pun seorang Emi, tetap saja ada sedikit air mata tertampung di bola matanya yang berkaca-kaca. Hatinya terasa getir membaca semua pesan mesra suaminya dengan wanita lain.
Makin jauh ia membaca makin tangannya menjadi bergetar. Napasnya tercekat dan bulir asin di sudut matanya tak mampu bertahan, air matanya terjun dengan sempurna. Emi terisak.
Lalu entah mengapa, hal itu tiba-tiba jadi terasa lucu bagi wanita itu—Emi terkekeh di tengah tangisnya—Emi baru sadar betapa dia sudah sangat dibodohi selama ini.
Panggilan masuk dari 'Istriku Emi'.
Tentu saja, pasti Mike sudah menyadari ponselnya tertukar dan ia mencoba menghubungi Emi dengan ponsel milik wanita itu.
Emi tak menghiraukan panggilan itu. Misinya adalah ia akan menemui selingkuhan suaminya secara langsung. Dan tak ada cara lain, selain dari memanipulasi pesan dengan cara berpura-pura sebagai Mike. Dan Emi telah mempelajari semuanya: Di mana tempat biasanya Mike dan selingkuhannya bertemu, bagaimana cara Mike mengetik pesan pada wanita simpanannya.
Emi kemudian mengetik di layar ponsel itu, "Sayang...ayo kita bertemu hari ini di taman Arcadia, jam 3 sore, aku punya kejutan untukmu..."
Pesan terkirim pada Laura dan langsung terbaca.
Sesekali Emi melongok ke arah jendela, memastikan apabila Mike datang kembali.
"Serius, Mike?" Laura membalas dalam pesannya.
"Ya, Sayang..." Tangan Emi terus mengetik sambil tersenyum kecut.
Pesan terkirim. Riwayat pesan dihapus.
Suara mobil Mike terdengar dari kejauhan, rupanya pria itu memilih untuk kembali, suaranya mesinnya semakin mendekat, sementara Emi memastikan kembali bahwa ia tidak meninggalkan jejak apa pun di ponsel suaminya.
Dari jendela Emi melihat Mike turun dari mobilnya dan melangkah cepat menuju rumah.
Klek. Pintu terbuka. Menampilkan Emi yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Baru saja aku mau telepon balik," ucap Emi dengan wajah bersalah seraya mengangkat ponsel yang ada di genggamannya. "Maafkan aku, Mike...aku sedang bersiap untuk—"
Mike menghela napas mencoba sabar. "Tak apa, aku pergi dulu," ucapnya sambil meraih ponsel dari tangan Emi, dan pergi lagi dengan wajah serius.
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Di pagi buta, Emi terhenyak dari mimpinya saat mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah. Matanya wanita itu sembap akibat menangis semalaman, begitu terasa sangat lengket dan berat. Emi bahkan tidak tidur dengan layak semalam. Meringkuk di atas sofa di ruang tengah, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja, bekas ia memantau Mike melalui spyware semalam. Tentu saja, Emi tahu di mana Mike bermalam dan itulah mengapa wanita itu terbangun dengan sangat murka bak singa yang siap untuk mengaum. Pintu terbuka. Udara dingin dari luar ikut menyeruak ke dalam permukaan rumah. Pria berperawakan tinggi besar masuk dengan jas menjumpai di bahunya yang lebar. Dengan reflek Emi menutup laptopnya seraya berdiri dengan wajah berang, menyambut kembalinya sang suami yang bermalam bersama wanita simpanan yang lebih muda. Mike tersentak melihat sosok Emi yang berdiri di ruang tengah, dengan rambut berantakan serta wajahnya yang merah dan sembap. Tentu saja, itu adalah sosok yang ber
Di pagi buta, Emi terhenyak dari mimpinya saat mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah. Matanya wanita itu sembap akibat menangis semalaman, begitu terasa sangat lengket dan berat. Emi bahkan tidak tidur dengan layak semalam. Meringkuk di atas sofa di ruang tengah, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja, bekas ia memantau Mike melalui spyware semalam. Tentu saja, Emi tahu di mana Mike bermalam dan itulah mengapa wanita itu terbangun dengan sangat murka bak singa yang siap untuk mengaum. Pintu terbuka. Udara dingin dari luar ikut menyeruak ke dalam permukaan rumah. Pria berperawakan tinggi besar masuk dengan jas menjumpai di bahunya yang lebar. Dengan reflek Emi menutup laptopnya seraya berdiri dengan wajah berang, menyambut kembalinya sang suami yang bermalam bersama wanita simpanan yang lebih muda. Mike tersentak melihat sosok Emi yang berdiri di ruang tengah, dengan rambut berantakan serta wajahnya yang merah dan sembap. Tentu saja, itu adalah sosok yang ber
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera