Bau ceri menyeruak dalam ruangan. Sekali lagi, wanita itu menyemprotkan parfum di tengkuknya. Lipstik merah hati begitu cocok di bibirnya yang lebar menunjukkan deretan gigi putih mempesona. "Ini pernikahan sempurna, dengan malam sempurna, dengan pasangan sempurna." Kalimat itu sudah disiapkan Emily untuk memulai malam pertamanya bersama Mike, pria yang baru saja resmi menjadi suaminya. Setelah memastikan semuanya sempurna, Emi menyalakan lilin aroma mawar dan mematikan daya ponselnya, saat bersamaan, dari seberang ranjang, ponsel suaminya berbunyi untuk ketiga kalinya. "Astaga! yang benar saja!" gerutu Emi kesal sambil melangkah besar menuju kamar mandi. "Mike!" Emi menggedor di balik pintu. "Mike!!" teriak Emi lebih keras. Semuanya seperti dejavu. Jawaban yang didapat hanya suara gemercik air yang bercampur dengan senandung lirik The Beatles yang sumbang. "Idiot!" decak Emi. Emi mengecek ponsel yang masih bergetar di atas nakas. Masih pemanggil yang sama. Wanita usia
Emi dan suaminya berdiri di bawah kanopi depan rumahnya, tubuh wanita itu menggigil dengan syal menyelimuti pundak runcingnya saat mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja pagi itu. "Maafkan aku, Emi." Telapak tangan Mike yang lebar menangkup kedua pipi istrinya, "Seharusnya aku mengambil cuti—ya, aku juga ingin cuti," katanya pada diri sendiri."Tapi aku banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku harap kamu mengerti.""Alasan! bilang saja, hari ini aku akan pulang larut malam karena selingkuhanku akan membutuhkanku sepanjang hari!" batin Emi menimpali. "Tenang saja, aku juga ada jadwal temu hari ini," jawab Emi santai. Dengan senyum ciri khas Mike yang kaku, "Ah, aku selalu merasa keren sekaligus takut memiliki istri seorang terapis," imbuhnya. "Mengapa harus takut?" tanya Emi heran. "Karena bisa membaca pikiran?" jawab Mike dengan gelagat sok misterius."Itu namanya cenayang!" Emi terkekeh dan mendaratkan tinju kecilnya di dada Mike yang bidang."Sudah cepat pergi, nanti
Udara dingin menusuk ke sela paru-paru, lampu taman masih menyala dan bulan yang pucat masih tersisa di bentangan langit yang gelap. Kesunyian pagi buta itu dipecahkan dengan suara dentingan perkakas dapur. Emi berdiri di sana, di depan kompor elektriknya, dengan tangan yang begitu sibuk mengoyak wajan yang mendesis, sementara hatinya terus cemas mempertanyakan "Apakah masker matanya berguna?" Setiap kali air matanya jatuh, Emi akan langsung mengusapnya dengan cepat, melatih kembali bibirnya untuk mendapatkan senyum lebar yang sempurna. "Istri sempurna tidak pernah marah, istri sempurna tidak cerewet, istri sempurna pengertian, istri sempurna tidak merajuk..." Kalimat demi kalimat itu terus berjatuhan dalam lubuknya, seolah kata-kata itu adalah plester yang mampu menutupi seribu kebohongan di hati Emi. "Emi!" sayup-sayup suara suaminya terdengar dari lantai atas. "Emi!" Pria itu terus memanggil hingga suara itu makin terdengar jelas saat langkah kaki menggema menuruni tangga
"Aku menyiapkan makan malam istimewa hari ini," ucap Emi antusias saat menyambut kepulangan suaminya di ambang pintu."Makan malam istimewa?" tanya Mike penasaran.Emi mengangguk seraya meraih tas kantor dan jas suaminya saat mereka berdua melangkah masuk ke ruang tengah. Mike menatap jam dinding, "Aku pulang tepat waktu, kan hari ini?" ujarnya dengan tersenyum bangga seperti anak SD yang meminta pujian ibunya. Emi tersenyum gemas, "Terima kasih sudah pulang tepat waktu, Suamiku," ucapnya mengusap bahu Mike dengan suara keibuan. Mike menghentikan langkahnya saat melewati ruang makan."Wah...!" Pria itu terperangah menatap meja makan yang dipenuhi dengan berbagai masakan favoritnya. "Serius, Emi?" seru Mike seraya berjalan menghampiri meja berukuran besar itu. "Kapan kamu masak semua ini?" tanya Mike tampak semangat membuat Emi tak bisa berhenti tersenyum. "Sepertinya ini berbeda dengan menu yang kamu masak pagi tadi, kan?" tanya pria itu seketika menganalisis setiap menu yang tert
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel