Emi dan suaminya berdiri di bawah kanopi depan rumahnya, tubuh wanita itu menggigil dengan syal menyelimuti pundak runcingnya saat mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja pagi itu.
"Maafkan aku, Emi." Telapak tangan Mike yang lebar menangkup kedua pipi istrinya, "Seharusnya aku mengambil cuti—ya, aku juga ingin cuti," katanya pada diri sendiri.
"Tapi aku banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku harap kamu mengerti."
"Alasan! bilang saja, hari ini aku akan pulang larut malam karena selingkuhanku akan membutuhkanku sepanjang hari!" batin Emi menimpali.
"Tenang saja, aku juga ada jadwal temu hari ini," jawab Emi santai.
Dengan senyum ciri khas Mike yang kaku, "Ah, aku selalu merasa keren sekaligus takut memiliki istri seorang terapis," imbuhnya.
"Mengapa harus takut?" tanya Emi heran.
"Karena bisa membaca pikiran?" jawab Mike dengan gelagat sok misterius.
"Itu namanya cenayang!" Emi terkekeh dan mendaratkan tinju kecilnya di dada Mike yang bidang.
"Sudah cepat pergi, nanti kamu kesiangan! Senin-macet!" peringat Emi membalikkan tubuh suaminya yang besar.
"Dan jangan lupa kotak makan siangnya dimakan, oke."
Mike mengangguk dan berjalan gontai menuju mobilnya, sesekali berbalik melambaikan tangan, sementara Emi bertengger di ambang pintu membalas dengan lambaian tangan ala ratu Victoria.
Memantau mobil suaminya sudah melaju cukup jauh, Emi segera berlari ke kamarnya, mengambil kunci mobil dan mantel, bergegas ke garasi dan tancap gas.
"Oke. Misi hari ini adalah mendapatkan informasi tentang wanita bernama Laura itu," tegas Emi penuh ambisi.
Wanita itu yakin, suaminya pasti akan pergi ke rumah sakit untuk menemui simpanan dan bayi haramnya yang baru lahir.
Matanya fokus pada mobil hitam milik Mike yang melaju sepuluh meter di hadapannya, tangan kakinya dengan lihai mengontrol. Dalam jarak yang pas. Tidak terlalu dekat untuk disadari, tidak terlalu jauh untuk kehilangan jejak.
Emi membolak-balikan setir, mencoba menyalip ke sana kemari dalam kemacetan jalan raya pagi itu. Tentu saja, hari senin tidak pernah lancar. Semua orang sibuk.
Senyum sinis tersungging saat melihat mobil Mike melewatkan jalan yang seharusnya pria itu lewati jika pergi bekerja. "Dugaanku tak pernah salah!" batin Emi puas.
Namun. "Ughh!!" geram Emi memukul setir.
Di perempatan sana, mobil Mike melaju dengan cepatnya, hilang, seolah tenggelam dalam lautan kendaraan, sementara Emi masih terjebak dalam jalur macet.
"Siallll!!" Emi berteriak kesal sembari membunyikan klakson menyuruh mobil lelet di hadapannya menyingkir.
Tiga menit berlalu, akhirnya wanita itu dapat terbebas dari padatnya kendaraan.
Tapi apa sekarang? Dia telah kehilangan jejak suaminya. Emi menepikan mobilnya di dekat deretan pohon palem.
"Berpikir-berpikir-berpikir-" Emi memeras otaknya yang mendadak beku.
"Aku tak tahu harus apa!" Emi membungkuk lemas di atas setirnya. Air matanya tak terbendung lagi, bulir-bulir asin berjatuhan dengan sempurna, mengalir ke dagunya yang lancip.
"Momen pagi tadi seharusnya menjadi kenangan indah," sesal Emi. "Seharusnya semua ini sempurna!"
"Mengapa harus sampai punya anak, sih? Aku takut!"
"Karena tak pernah ada mantan anak! Darah daging terlalu kental untuk dilepas!" Emi terus meraung tanpa suara.
Setelah merasa puas dengan tangisnya. Emi mendongkak ke kaca spion mobil, menghapus jejak air matanya yang lengket.
"Sosok seperti Mike tidak akan membawa wanitanya ke rumah sakit murahan," pikirnya seolah mendapat jawaban.
Tangannya kembali ke setir, tubuhnya berusaha tegak. Emi dengan mantap melajukan mobilnya ke tempat yang ia yakin sekali ada sosok suaminya di sana.
Wanita itu turun dari mobil setelah menempuh seperempat jam perjalanan. Berjalan mengitari parkiran besar di bawah gedung rumah sakit. Dan, seolah baru bisa bernafas lagi, Emi mendapati mobil Mike terparkir di pojok basement dengan rapihnya.
Dengan mengoleskan lipstik dan kacamata yang didapat dari laci dashboard, sudah cukup untuk menyamarkan matanya yang sembap akibat menangis.
Emi segera berlari ke lantai rumah sakit kelas A, yang terakreditasi internasional itu.
"Permisi, saya mencari pasien bernama Laura," tanya Emi pada resepsionis tepat di dekat pintu masuk.
"Mohon maaf, Bu," ucap si resepsionis, "Di sini ada beberapa pasien atas nama Laura. Bisa Ibu beritahu saya, siapa nama lengkapnya?"
Bibir Emi mengatup bingung.
"Emi?" Suara familier muncul di balik telinganya.
Sedetik Emi merasa jantungnya hampir copot mendapati kepala Mike menyembul di samping wajahnya, seperti kertas pop up, muncul begitu saja dari dataran.
Emi balik badan sepenuhnya, menghadap Mike dan ibunya? yang tengah tersenyum dengan mata keriput.
"Emi, sayangku! " seru Maria, ibunya Mike yang langsung memeluk Emi dengan kaki berjinjit. Bau aspirin menyengat dari tubuh wanita tua itu.
"Apa kabar, Sayang?" ucap Maria ceria.
Emi tersenyum manis—walau sesungguhnya masih bingung—dan mengatakan banyak hal untuk sekadar basa-basi.
"Sedang apa kamu di sini, Sayang?" tanya Mike seolah baru sadar.
"Hmmm... Aku ada pasien di sini—tapi dibatalkan," jawab Emi singkat, ingin segera mengganti topik.
"Mau apalagi setelah ini?" Emi mendelik mendengar pertanyaan Mike yang terus mendesak.
"Tinggal pulang saja ke rumah!" jawab istrinya tertawa garing.
Mike berdiri menatap Emi dengan mata bulat, bergerak-gerak melirik Emi dan ibunya.
"Tidak! Jangan! Jangan suruh aku menjaga ibumu!" batin Emi memohon.
Emi memandang suaminya dengan tatapan polos, "Ada apa?"
Mike mendekatkan mulutnya ke telinga Emi, "Bisa kamu antar ibuku pulang?" bisik Mike, "Aku benar-benar banyak kerjaan hari ini."
Glek. Emi menelan salivanya kasar.
"Tentu saja!" seru Emi ramah, "Hari ini aku yang akan mengantarkanmu, Ibu," Emi mengelus bahu Maria canggung.
Mike pergi dengan senyum lebar. Meninggalkan ibu yang penyakitan bersama istrinya yang penurut.
"Persetan kau, Mike!" batin Emi mengutuk.
Maria tampak begitu senang di sepanjang jalan pulangnya. Mulutnya terus berbicara ini dan itu dan tentang kebanggannya memiliki menantu sempurna seperti Emi.
Jawaban Emi hanya tiga: Tersenyum, mengangguk, dan, "Oh, ya?"
Maria dulunya wanita gemuk. Sekarang lebih seperti balon gas yang menyusut. Kanker dan kemoterapi telah menggerogoti tubuhnya. "Sungguh malang," pikir Emi.
..
Emi pamit pulang setelah menolak tawaran mertuanya untuk mampir.
"Masih banyak yang harus dikerjakan di rumah," tolaknya, dan sekali lagi harus membaui aspirin saat Maria mencium kedua pipinya dengan gemas.
Emi langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang sesampainya di dalam rumah, pikirannya melayang entah ke mana. Lelah. Kemudian tertidur.
Dan waktu terus berputar tanpa wanita itu sadari.
Pukul 16.00. Emi terhenyak dari mimpinya. Tidur siang yang panjang membuat kepalanya menjadi pening.
"Dua jam lagi Mike pulang," pikir Emi sembari terbangun dari posisi malasnya. Emi membersihkan diri dan menyentuh semua pekerjaan yang tersisa. Mengisi kekosongan dan melupakan sejenak kegagalannya hari ini.Tapi Mike tak kunjung pulang. Bahkan hingga Emi menata ulang ratusan sepatu yang ada di almari raksasa-nya, Mike benar-benar tidak pulang.
Dan hari semakin larut. Lampu taman menyala otomatis di tengah kegelapan.
"Bodoh sekali aku, berharap dia akan pulang tepat waktu," gerutu Emi pasrah sementara telinganya memekak menangkap suara mobil Mike dari kejauhan.
Emi mengintip di jendela kamarnya, memastikan. Lalu berlari ke depan cermin untuk menata rambut dan menyemprotkan banyak parfum.
Diambilnya laptop dan berlari, melompat ke atas sofa di ruang tamu dengan gelas kosong di atas meja—yang entah dapat dari mana.
Klek. Kepala Mike tersembul dari balik pintu."Baru pulang?" tanya Emi tersenyum dengan laptop di pangkuannya.
"Hmm," Mike mengiyakan.
"Maaf aku pulang terlambat, Emi," ucap Mike.Emi bergeming. Tangannya sibuk pada layar di hadapannya.
Mike berdiri di sisi Emi seolah penasaran, "Kamu sedang mengerjakan apa?""Menyiapkan teks pidato untuk acara 'Peduli Anak Telantar', kau ingat?"
Mike mengangguk pura-pura ingat.
"Mau mandi?" tanya Emi.
Mike menjawab "Hmm" lagi seolah tak punya kosakata lain."Aku nyalakan pemanas air, oke." Emi bergegas ke kamar mandi.
"Terima kasih," ucap Mike.
Mike pendiam dan murung malam itu. Seperti orang yang baru dipecat. Tatapan matanya sangat—melankolis.
"Harinya pasti sangat dramatis!" batin Emi meledek.
Kedua pasangan suami istri itu berbaring bersandingan tanpa sepatah kata pun.
"Tentu saja bukan waktunya kuis," pikir Emi bosan."Tapi mungkin... " batin Emi mendorong jari lentiknya yang perlahan merayap ke belahan dada suaminya, mengusapnya dengan lembut dan berirama.
"Ya, benar, bagaimanapun akulah yang memiliki dia seutuhnya, secara sah," pikir Emi, seolah kalimat itu cukup untuk menenangkan hatinya.
Lambat laun Emi menelusupkan bibirnya ke sela leher Mike yang tengah berbaring telentang.
"Emi," ucap Mike, menangkap tangan Emi di dadanya, membuat wanita itu terhenti.
"Maaf, tapi aku—"Emi menarik tangannya dan berbalik membelakangi tanpa membiarkan Mike menyelesaikan ucapannya.
Wajah Emi merah padam menahan malu, air matanya mengalir membasahi pelipis kirinya.
"Kamu akan membayar semua ini, Mike! Lihat saja nanti!"
Udara dingin menusuk ke sela paru-paru, lampu taman masih menyala dan bulan yang pucat masih tersisa di bentangan langit yang gelap. Kesunyian pagi buta itu dipecahkan dengan suara dentingan perkakas dapur. Emi berdiri di sana, di depan kompor elektriknya, dengan tangan yang begitu sibuk mengoyak wajan yang mendesis, sementara hatinya terus cemas mempertanyakan "Apakah masker matanya berguna?" Setiap kali air matanya jatuh, Emi akan langsung mengusapnya dengan cepat, melatih kembali bibirnya untuk mendapatkan senyum lebar yang sempurna. "Istri sempurna tidak pernah marah, istri sempurna tidak cerewet, istri sempurna pengertian, istri sempurna tidak merajuk..." Kalimat demi kalimat itu terus berjatuhan dalam lubuknya, seolah kata-kata itu adalah plester yang mampu menutupi seribu kebohongan di hati Emi. "Emi!" sayup-sayup suara suaminya terdengar dari lantai atas. "Emi!" Pria itu terus memanggil hingga suara itu makin terdengar jelas saat langkah kaki menggema menuruni tangga
"Aku menyiapkan makan malam istimewa hari ini," ucap Emi antusias saat menyambut kepulangan suaminya di ambang pintu."Makan malam istimewa?" tanya Mike penasaran.Emi mengangguk seraya meraih tas kantor dan jas suaminya saat mereka berdua melangkah masuk ke ruang tengah. Mike menatap jam dinding, "Aku pulang tepat waktu, kan hari ini?" ujarnya dengan tersenyum bangga seperti anak SD yang meminta pujian ibunya. Emi tersenyum gemas, "Terima kasih sudah pulang tepat waktu, Suamiku," ucapnya mengusap bahu Mike dengan suara keibuan. Mike menghentikan langkahnya saat melewati ruang makan."Wah...!" Pria itu terperangah menatap meja makan yang dipenuhi dengan berbagai masakan favoritnya. "Serius, Emi?" seru Mike seraya berjalan menghampiri meja berukuran besar itu. "Kapan kamu masak semua ini?" tanya Mike tampak semangat membuat Emi tak bisa berhenti tersenyum. "Sepertinya ini berbeda dengan menu yang kamu masak pagi tadi, kan?" tanya pria itu seketika menganalisis setiap menu yang tert
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
Di pagi buta, Emi terhenyak dari mimpinya saat mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah. Matanya wanita itu sembap akibat menangis semalaman, begitu terasa sangat lengket dan berat. Emi bahkan tidak tidur dengan layak semalam. Meringkuk di atas sofa di ruang tengah, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja, bekas ia memantau Mike melalui spyware semalam. Tentu saja, Emi tahu di mana Mike bermalam dan itulah mengapa wanita itu terbangun dengan sangat murka bak singa yang siap untuk mengaum. Pintu terbuka. Udara dingin dari luar ikut menyeruak ke dalam permukaan rumah. Pria berperawakan tinggi besar masuk dengan jas menjumpai di bahunya yang lebar. Dengan reflek Emi menutup laptopnya seraya berdiri dengan wajah berang, menyambut kembalinya sang suami yang bermalam bersama wanita simpanan yang lebih muda. Mike tersentak melihat sosok Emi yang berdiri di ruang tengah, dengan rambut berantakan serta wajahnya yang merah dan sembap. Tentu saja, itu adalah sosok yang ber
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera