"Aku menyiapkan makan malam istimewa hari ini," ucap Emi antusias saat menyambut kepulangan suaminya di ambang pintu.
"Makan malam istimewa?" tanya Mike penasaran.
Emi mengangguk seraya meraih tas kantor dan jas suaminya saat mereka berdua melangkah masuk ke ruang tengah.
Mike menatap jam dinding, "Aku pulang tepat waktu, kan hari ini?" ujarnya dengan tersenyum bangga seperti anak SD yang meminta pujian ibunya.
Emi tersenyum gemas, "Terima kasih sudah pulang tepat waktu, Suamiku," ucapnya mengusap bahu Mike dengan suara keibuan.
Mike menghentikan langkahnya saat melewati ruang makan.
"Wah...!" Pria itu terperangah menatap meja makan yang dipenuhi dengan berbagai masakan favoritnya. "Serius, Emi?" seru Mike seraya berjalan menghampiri meja berukuran besar itu.
"Kapan kamu masak semua ini?" tanya Mike tampak semangat membuat Emi tak bisa berhenti tersenyum. "Sepertinya ini berbeda dengan menu yang kamu masak pagi tadi, kan?" tanya pria itu seketika menganalisis setiap menu yang tertata di meja.
"Ya... aku membagikan masakan pagi tadi ke bapak tukang penyapu jalan di perumahan ini, kau sering lihat, kan?" jelas Emi saat tangannya dengan lihai melepaskan dasi biru tua dari kerah kemeja suaminya yang berkeringat.
"Semua?" tanya Mike menatap rendah pada Emi yang masih berkutat dengan dasi di dadanya.
"Yup!" jawab Emi singkat.
Mike hanya bergeming dengan ekspresi berpikir yang tidak puas. Hal itu membuat Emi merasa tersinggung dan berkata, "Aku tidak bermaksud boros, Mike. Tapi aku hanya merasa tidak sopan memberikanmu—"
"Aku tahu-aku tahu itu, Emi. Tak ada yang menyalahkanmu," potong pria itu yang langsung menangkup kedua bahu Emi dengan lembut. "Itu tindakan yang baik untuk berbagi, bukan itu yang aku khawatirkan, aku hanya—kau tidak seharusnya bekerja begitu keras, Sayang... pasti melelahkan sekali seharian ini untukmu."
Kekhawatiran suaminya membuat hati Emi tersanjung puas dan lega.
Wanita itu dengan halus melangkah, mendekatkan tubuhnya pada pria tampan yang telah menjadi suaminya itu. Tangan lentiknya mengusap dada Mike, menyentuh gumpalan otot dan daging yang begitu kekar membuat kancing kemeja bagian atasnya tampak tegang."Jadi...kamu mau mandi sekarang atau...kita mandi bersama setelah makan malam?" bisik Emi lirih dan menggoda.
Tawaran dari istrinya itu seketika langsung membuat bibir Mike tersenyum menyeringai.
"Tapi kamu sudah cantik, aku pikir kamu sudah mandi," ucap Mike dengan suara rendahnya, membelai pipi dan bibir istrinya dengan manis.
"Ya... aku sudah mandi," jawab Emi, "Tapi aku tidak keberatan mandi dua kali untukmu."
Mike menatap bibir tebal Emi layaknya serigala yang lapar.
"Ayo, kita makan dulu!" serunya sambil mendorong dada Mike usil. Emi melangkah mengitari meja makan dan duduk bersebrangan dengan Mike.
Mike berdecak dengan senyum ketirnya seraya menarik kursi dan duduk diatasnya. Pria itu tahu Emi sedang bermain-main dengan hasratnya.
. . ."Ah... Emi! Kau memang menakjubkan!" Mike mengerang kenikmatan menindih tubuh Emi, membenamkan wajahnya di telinga wanita itu dengan napas tersenggal.
Seperkian detik membiarkan tubuhnya terkulai di atas tubuh istrinya, pria itu akhirnya bergerak, menopang setengah bobot tubuhnya dengan lengan mengapit di antara bahu Emi, memandangi wajah istrinya yang berada di bawah naungannya—lemas dan terengah-engah.Cup—kecupan mendarat di pipi kiri Emi. Mike kemudian beringsut dari posisinya, mengenyakkan tubuhnya ke ranjang, di tepi kanan Emi.
Napas pria itu masih menderu keras, merebut oksigen dalam ruangan itu. Dia berbaring telentang dengan kedua tangan ke atas menampilkan bulu ketiaknya yang tampak jantan.
Di sana terdapat perbedaan besar antara pria dan wanita.
Wanita akan begitu senang menikmati kedekatan setelah selesai bercinta—saling memeluk, mengobrol tentang masa depan—sangat romantis.
Pria justru sebaliknya. Jangan tertipu saat mereka dengan senang hati membiarkanmu menangkup di atas tubuhnya. Mereka hanya menutupi kegeliannya saat si wanita akan langsung menempel tepat setelah mereka berdua mencapai klimaks, begitu lengket di atas dadanya seperti lintah darat, ngos-ngosan dan berkeringat.
Dan di sinilah Emi. Menekan egonya sebagai wanita. Menarik selimutnya dan membiarkan suaminya untuk melepaskan lelah dan rasa gerah.
"Tidurlah yang nyenyak, Mike... aku begitu bekerja keras hari ini agar kau tidur pulas dan rencanaku dapat berhasil," batin Emi saat menengok suaminya tengah memejamkan mata.
Manusia dewasa tidur melewati empat tahap. Berapa lama hingga Mike mencapai fase tidur pulas? Emi menunggu dua jam untuk itu dan Emi menyimpulkan ia memiliki sekitar 25 menit untuk melaksanakan rencananya.
Pukul 11 malam Emi masih terjaga. Wanita itu menengok jam yang menyuruhnya untuk segera beraksi. Emi memastikan Mike sudah tertidur pulas.Emi langsung beringsut dari ranjangnya, berjalan jinjit tanpa suara di tengah remang-remang lampu tidur. Menggenggam ponselnya sambil berjalan mengitari ranjang untuk mencapai nakas milik Mike.
"Hah?" batin Emi bingung, saat memeriksa ponsel Mike tak ada di atas nakasnya.
Emi berjongkok untuk memperjelas penglihatannya. Tangannya dengan hati-hati menarik laci-laci kecil dan segera berhenti—sesekali menengok ke arah suaminya—setiap kali laci itu menderit.Nihil. Di sana hanya ada surat-surat, kunci mobil dan pistol? yang tersembunyi dibalut saputangan. Yah, Emi tidak terlalu terkejut tentang hal itu—Mike memang agak paranoid dan selalu merasa akan ada orang jahat yang ingin membunuhnya karena persaingan bisnis.
Emi menelan salivanya kasar, mencoba memutar otak.
Matanya terkunci pada pojok ruangan, menatap tas kantor suaminya yang menggantung di atas stand hanger.
Dengan perlahan Emi berjalan menghampiri tas itu, dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, mengambilnya dan meletakkannya di lantai. Dalam kegelapan Emi berjongkok di sudut ruangan, membuka resleting yang deritan-nya memecah suasana malam sunyi itu.Lagi-lagi situasi ini membuat Emi ingin menjerit. Emi tak menemukan ponsel Mike di dalam sana.
"Sialan kau, Mike! menyusahkanku sementara kamu begitu nyaman dalam mimpimu," geram Emi dalam batinnya sambil melotot kesal ke arah suaminya yang tertidur, sementara tangannya kembali menutup resleting itu perlahan.
Emi hampir saja pasrah, sebelum akhirnya ingatannya terlempar pada pakaian kotor saat mereka mandi bersama tadi.
"Tentu saja, pasti ponsel itu ada di sana! bodoh sekali aku, harus bergumul dengan ketegangan ini," batin Emi mencemooh dirinya sendiri.
Emi dengan cepat melangkah mantap ke arah kamar mandi, membuka kenop pintu dengan hati-hati dan terpaksa menyalahkan sakelar lampu kamar mandi karena ia tak bisa melihat apa pun dalam kegelapan di ruangan itu.
Emi segera berlari ke arah keranjang tempat mereka menyimpan pakaian kotor. Tak butuh waktu lama menemukan pakaian yang baru saja dilemparnya tiga jam yang lalu.
Emi meraba benda keras persegi panjang di dalam saku celana suaminya. Dan senyum tersungging lebar di wajahnya.
Emi mengambil benda itu dengan cepat dan mengetuk layar ponsel tersebut. Senyumnya seketika menghilang.
"Sejak kapan Mike mengunci ponselnya? Haruskah kau membuatnya sesulit ini, Mike?!" batin Emi tak bisa berhenti menyalahkan suaminya.
Emi menarik napas panjang setelah mencoba berkali-kali berkutat di ruangan dingin itu, untuk membuka sandi pada ponsel Mike dan terus-menerus gagal.
"Berpikir-berpikir-berpikir-" pikirnya mencoba menguras otaknya sendiri. Emi terus mengingat apa pun yang berhubungan dengan Mike, apa yang dia suka dan apa hal penting yang sekiranya akan pria itu pakai untuk mengunci ponselnya.
12.24.23
Emi terperangah bangga seolah mendapat lotre, saat memasukkan tanggal pernikahan mereka pada sandi tersebut. Berhasil?! ponselnya terbuka.
Sempat merasa bangga dan tersanjung atas hal itu, sebelum Emi akhirnya mengingat bahwa hari itu juga merupakan kelahiran anak haramnya. Persetan.
Emi membuka ponsel miliknya, mencoba mengirimkan aplikasi pelacak untuk menyadap ponsel Mike—yang baru saja ia beli melalui situs penjual spyware pagi tadi.
Emi menunggu dengan gelisah dan tak sabar saat ponsel Mike mulai menginstal aplikasi tersebut. Nafasnya menderu dan jari kakinya tak bisa berhenti bergerak-gerak.
.
.
"Emi?" Suara Mike muncul dibalik punggung Emi.
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Di pagi buta, Emi terhenyak dari mimpinya saat mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah. Matanya wanita itu sembap akibat menangis semalaman, begitu terasa sangat lengket dan berat. Emi bahkan tidak tidur dengan layak semalam. Meringkuk di atas sofa di ruang tengah, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja, bekas ia memantau Mike melalui spyware semalam. Tentu saja, Emi tahu di mana Mike bermalam dan itulah mengapa wanita itu terbangun dengan sangat murka bak singa yang siap untuk mengaum. Pintu terbuka. Udara dingin dari luar ikut menyeruak ke dalam permukaan rumah. Pria berperawakan tinggi besar masuk dengan jas menjumpai di bahunya yang lebar. Dengan reflek Emi menutup laptopnya seraya berdiri dengan wajah berang, menyambut kembalinya sang suami yang bermalam bersama wanita simpanan yang lebih muda. Mike tersentak melihat sosok Emi yang berdiri di ruang tengah, dengan rambut berantakan serta wajahnya yang merah dan sembap. Tentu saja, itu adalah sosok yang ber
Mike pergi dengan hati yang kesal. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran dan perasaannya campur aduk antara marah dan merasa bersalah.Andai saja, yang dinikahinya adalah Laura. Andai Emi adalah Laura, Mike tak akan perlu berdebat hanya karena ibunya ingin punya cucu, pasti semuanya akan mudah. Dan bahagia. Mike menginjak gas, menaikan kecepatan mobilnya yang melaju di tengah kegelapan malam, hujan mulai turun mengguyur kota yang tidak pernah tidur itu. Tangan pria itu mencengkram kemudi dengan kencang, menampakkan otot-otot yang mencuat begitu tegang dan kuat. Menggertakan giginya kesal dengan alis hitamnya yang bertaut dan menukik di atas mata tajamnya yang berusaha fokus ke jalan. Mobilnya melaju kencang di tengah hujan yang makin deras dan kemudian, setelah beberapa menit, menepi di depan apartemen mewah yang berada di sekitaran taman Arcadia.Pria bertubuh gagah itu turun dari mobilnya, dan dengan segera berlari kecil ke arah apartemen. Cipratan hujan membasah
Begitu hening dan canggung, masing-masing tenggelam pada pikirannya sendiri. "Bagaimana? kamu mau mengabulkan keinginan Ibuku?" tanya Mike memecahkan keheningan. "Tidak mau!" jawab Emi ketus, membuat Mike langsung menghentikan mobilnya dengan kasar. Ditengoknya Emi dengan tatapan heran, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, tak puas dengan jawaban istrinya yang langsung menolak tanpa pikir panjang. "Bilang apa kamu tadi?" tanya Mike dengan nada tenang, yang justru menambah kesan betapa geramnya pria itu saat ini. Emi memalingkan pandangannya ke luar kaca mobil, dengan posisi kepala yang setengah menempel bersandar. Ada ekspresi kesal sekaligus sedih dalam raut wajah wanita itu. Mike mendengus kesal melihat istrinya yang diam saja dan tak menanggapinya. "Apa maksudmu bilang 'tidak mau', Emi?!" bentak pria itu seraya mengepalkan tangannya di atas setir, menahan amarahnya. Emi masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa wanita itu sakit hati mengingat sesuatu yang
"Mike, Ibu masuk rumah sakit!" Pria yang tengah memimpin meeting pada sore itu langsung berlari keluar ruangan, saat kakak perempuannya menelponnya, memberitahukan bahwa Maria, ibunya, dilarikan ke rumah sakit. "Aku segera ke sana!" jawab Mike yang langsung memutuskan sambungan tersebut dan bergegas menuju basement untuk mengambil mobilnya. Di perjalanan, Mike menyetir dengan perasaan gelisah tak karuan. Sudah empat tahun lebih ibunya berjuang melawan kanker payudara, yang sayangnya, tak sedikitpun Mike melihat perkembangan yang baik dari hasil kemoterapi yang selama ini disarankan oleh dokter. Diam-diam Mike juga mencari tahu berapa lama kisaran penyintas kanker payudara bisa bertahan. 5 tahun. Dan itu membuat Mike gelisah akhir-akhir ini, mengingat ini sudah tahun ke-empat sejak ibunya di diagnosis kanker. "Ck! ayolah, angkat Emi!" decak Mike kesal saat berusaha menghubungi istrinya, sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi. Emi yang tak kunjung mengangkat panggilanny
"Dan di situlah, sejak saat itu, setiap kali tuan Alan berkunjung, Mike selalu ikut. Lalu... Mike menjadi lebih sering datang ke panti asuhan, bahkan tanpa ayahnya," ucap Laura sembari sibuk menyusui bayinya yang masih merah itu. "Lalu bagaimana kalian bisa jadi saling kenal?" tanya Emi, saat matanya menatap dingin pada bayi yang Emi harap tidak akan ada mirip-miripnya dengan Mike. Laura bahkan tak menyadari betapa murkanya Emi saat ini, dengan wajah merona yang malu-malu. Seolah dia seorang remaja yang tengah pubertas, gadis itu bercerita, "Entahlah... semuanya berjalan begitu saja. Memang, awalnya aku membencinya, mengingat dia tak mau membantuku waktu itu.Tapi aku pikir, karena dia sering membantuku saat dirundung oleh para senior, kami berdua jadi lebih akrab."Melihat Laura bertingkah seperti itu, membuat Emi menyeringai jijik. Pasti gadis itu pikir, Mike adalah pangeran berkuda putih. "Sadarkah kamu, bisa saja Mike melakukan itu karena rasa bersalahnya," ucap Emi yang bahkan
"Ada yang mengunci anak saya di kamar mandi!" ucap seorang wanita dengan histeris.Semua terkesiap, menengok ke arah sumber suara. Lalu Bunda Rin dari barisan depan dengan sigap menghampiri wanita itu dan membawanya keluar dari barisan penonton. Wanita itu diberikan tempat duduk di halaman panggung agar lebih leluasa bergerak. Kemudian Bunda Rin mencoba menenangkannya. Namun dengan segera, wanita itu mendongkak, matanya melebar kala melihat anak perempuannya kembali. Dengan tergopoh-gopoh anak itu berteriak, "Mami! Papi bilang kalung Adek hilang!" Napasnya tersenggal-senggal, tak kuasa untuk segera menyampaikan berita pada ibunya. Suaminya muncul dari ambang pintu disusul oleh kepala sekolah, pak Nichols dan anak-anak lain yang juga merupakan putra-putri para tamu.Pria itu menggendong anaknya. Balita usia kisaran 7 tahun, yang juga merupakan adik dari si anak perempuan itu."Ya Tuhanku!! " si ibu langsung memeluk bocah dari pangkuan suaminya, yang kini tampak mengigil dibalik sel
Delapan tahun yang lalu. "Sstt... Laura! Heh!" bisik Tita, gadis remaja bertubuh gempal yang tengah bersungut-sungut selagi kepalanya terus melongok ke luar jendela."Kamu bisa lebih cepat sedikit tidak, sih? Bunda Rin nanti terburu datang!" Bibir dan kedua alis Tita berkerut tidak sabar, sementara tangannya menujuk-nunjuk bagian lantai yang masih kotor. Laura berusaha mengepel lantai lebih cepat, keringat mengucur di pelipisnya."Sabar... sebentar lagi semua ini akan berakhir," batin Laura saat seniornya berlaku semena-mena padanya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan, Laura yang masih berusia 10 tahun dan tanpa mengenal sanak saudara, ditempatkan di panti asuhan oleh Departemen Sosial. Semulanya semua berjalan baik-baik saja, hingga pada saat Laura menginjak usia dua belas tahun. "Usia ke dua belas tahun adalah kutukan!"Begitulah yang dikatakan anak-anak di panti asuhan Joy's House.Semua anak akan gelisah bahkan menangis menjelang usia 12 tahun, bahwa
Emi terseyum getir, mematung di ambang pintu ketika suaminya kembali pergi tanpa berbalik sekalipun.Perasaan Emi terluka, mengingat sebelumnya ia tak pernah diabaikan seperti ini oleh Mike. Atau mungkin, selama ini Mike hanya berpura-pura untuk menyanjung hati Emi, agar perjodohan mereka dapat berjalan lancar."Lakukan sesukamu, Mike. Karena setelah rencanaku berhasil, kamu bahkan tak akan bisa mengatakan 'tidak' padaku." batin Emi mantap. . . . Menjalankan rencananya untuk menjebak dan menemui selingkuhan Mike secara langsung. Emi memutuskan untuk datang lebih awal.Keberadaannya begitu ganjil di tengah orang-orang yang tengah bersantai di taman Acradia pagi hari itu. Tampilan sederhananya tak mampu menutupi kemewahan status yang dimilikinya.Emi duduk di kursi taman yang menghadap ke tempat bermain anak-anak. Mengamati sekelilingnya di balik kacamata hitam yang bertengger di telinganya dengan elegan. Tawa riang para bocah terdengar ringan di tengah kesibukan hari kerja, seolah
"Emi?" panggil pria itu. Emi mematung saat mendengar suara Mike berada tepat di belakangnya. Napasnya tertahan dan kedua tangannya terasa kebas. "Ya... Mike," jawab Emi berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. Kepalanya menunduk memastikan aplikasi penyadap itu berhasil terinstal. Sementara tangan kanannya menggenggam ponsel Mike di dekapannya, Emi menyembunyikan ponsel miliknya di sela-sela pakaian kotor. Jari jempolnya bergerak cepat menghapus riwayat pengiriman di ponsel Mike yang berada tepat di bawah dadanya. Mendengar derap langkah kaki Mike yang mendekat, Emi langsung berdiri dan berbalik ke arahnya. "Aku menemukan ponselmu," ucap wanita itu sontak membuat kedua alis Mike berkerut bingung. "Aku terbangun dari tidur karena haus, dan aku tidak melihat ponselmu di atas nakas jadi..." jelasnya menggantung, sementara Mike masih menatapnya meminta penjelasan lebih. "Aku langsung berpikir—pasti kamu lupa! lihat!" serunya sambil mengasongkan ponsel itu pada pemiliknya. "Batera