Alea dipandang sebelah mata hanya karena lulusan SMK Tataboga oleh Bu Aminah, ibu dari Farhan, kekasih Alea. Apalagi pertemuan mereka diawali ketika Alea membantu mencuci piring di Restoran Homy Private Dining, yang terlihat sepi. Sematan si pencuci piring ini melekat pada Alea, sampai dia menikah dengan Farhan. Andai saja keluarga Farhan tahu kalau Alea bukanlah orang yang seperti mereka pikirkan, mungkin mereka akan menjilat kaki Alea.
Lihat lebih banyak“Alea!!”
Pintu rumah diketuk, membuatku cukup kaget karena ketukannya cukup keras. “Hm, ada apa sih, berisik banget!” geliat mas Farhan yang masih tertidur. “Ibumu datang!” Kulihat jam baru saja pukul enam pagi, tapi ibu Aminah, mertuaku, sudah ada di depan pintu rumah. “Alea! Buka pintunya!” teriaknya lagi. Gegas aku bangun, setengah berlari untuk membuka pintu rumah. “Lama banget sih? Ngapain saja? Baru bangun? Jam segini kok masih aja tidur? Lihat nih ibu baru pulang dari pasar, bawain lontong kari buat Farhan! Ambil mangkuknya!” perintah ibu mertuaku itu sambil menyodorkan kantong kresek berwarna hitam. Aku membawanya ke ruang makan dan membuka bungkusan kresek itu. Hanya ada satu. Ibu mertuaku hanya membeli satu dan itu khusus untuk mas Farhan. Kutuang lontong kari itu dan kutaruh diatas meja untuk sarapan mas Farhan sebelum ke kantor. Mas Farhan setelah tahu ibunya datang, dia langsung ke kamar mandi. “Alea, tolong siapin baju kerja dan bekalku ya,” ucap mas Farhan tersenyum sambil mengedipkan salah satu matanya. Dia mengerti, kalau ibunya datang, pasti akan selalu ngomong panjang lebar dan bisa-bisa dia terlambat masuk kerja. Urusan ibu, biasanya di alihkan kepadaku. “Mana Farhan?” “Sedang mandi, Bu. Ibu mau dibuatkan apa? Teh? Kopi?” tawarku. “Kamu belum masak?” balik bertanya. “Mau Bu, aku mau siapin bekal untuk ma Farhan.” “Bekal? Kok kaya anak sekolahan saja pake bekal. Kenapa? Ingin hemat? Tapi ya gak kampungan kaya gitu juga. Farhan itu kerja kantoran. Masa bawa bekal rantangan?” “Gak pake rantang Bu, ini pake tempat bekal seperti ini. Emang sih seperti anak sekolah, tapi dengan bekal bisa lebih irit.” “Malu-maluin aja!” Aku hanya terdiam, aku keluarkan beberapa container kecil yang memang aku siapkan dari dalam kulkas. Aku goreng ayam yang sudah diungkep, dan tumis brokoli yang sudah aku siapkan sebelum dimasukkan ke dalam kulkas. Istilahnya adalah food preparation. Benar-benar memangkas waktu lebih cepat, bahkan sebelum mas Farhan selesai mandi, aku sudah siap dengan bekalnya, tinggal menyiapkan baju kerjanya. “Apa Farhan sudah gajian?” bisiknya padaku yang mengikuti hingga ke kamar. “Sudah.” Ibu mertua tersenyum senang mendengar mas Farhan sudah mendapat gaji, itu artinya, uang bulanan untuknya akan segera diberikan. “Han? Ibu sudah belikan lontong kari kesukaanmu, loh,” ucap ibu ketika mas Farhan baru saja keluar dari kamar mandi. “Ya, Bu. Farhan pakai baju dulu.” Aku keluar kamar dan ibu mengikutiku sambil matanya memindai setiap sudut rumah. Setiap kali ibu mertuaku datang, selalu saja ada hal-hal yang selalu menjadi bahan kritikan. “Alea, kamu kan tidak kerja, mbok ya baju kotor itu langsung segera dicuci! Jangan ditumpuk begitu saja! Lihat itu sampah, kalau malam langsung diikat kantong kreseknya, biar gak didatangi tikus!” “Ya, Bu! Alea ini kerja loh Bu,” ralatku. “Kerja? Kerja kok nyuci piring! Malu-maluin aja Alea. Lebih baik kamu tinggal di rumah saja. Gaji Farhan masih bisa buat nanggung kamu makan kok,” sahut ibu mertuaku. Aku hanya terdiam mendengar ucapan ibu mertuaku itu. Sebenarnya, pekerjaanku bukanlah mencuci piring. Aku adalah konsultan menu pada restoran dengan layanan privat dining yang ada di Jakarta ini. Ayahku yang mendirikan restoran ini dan memberikannya kepadaku untuk aku kelola karena aku baru saja menyelesaikan studiku sebagai cuisine and pastry di Paris, Prancis. Bersama dengan tim, Restoran dengan nama Homy Private Dining itu, hanya menyajikan masakan dengan tamu undangan yang terbatas, dan tidak terbuka untuk umum. Mungkin istilah ini jarang diketahui oleh orang awam yang hanya tahu jika namanya restoran itu seperti membuka toko, ada yang membeli dan ada yang masak. Ibu menemuiku di restoran Homy Private Dining, ketika acara sudah selesai. Waktu itu baru saja jam 3 sore, karena tim kami baru melayani sebuah pesta keluarga yang menggelar makan siang bersama acara pernikahan salah satu orang kaya di kota ini. Mereka menyebutnya dengan intimate wedding. Setelah selesai, tim kami selalu membereskan kembali tempat karena sore sudah ada yang booking tempat restoran kami, dan kebetulan aku membantu mencuci piring. “Restoran apa ini, kok sepi banget,” ucapnya kala itu. Calon Ibu mertuaku dibawa mas Farhan untuk menemuiku karena mas Farhan ingin memperkenalkan aku dengan ibunya. “Iya Bu, tempatnya baru dipake agak sorean,” jawabku kala itu. “Kalau nanti kamu menikah dengan Farhan, gak usah kerja lagi! Jadi ibu rumah tangga saja! Masa istri dari Farhan, sarjana ekonomi, manager perusahaan distributor punya istri kerjaannya cuci piring di restoran.” Ingin kubantah ucapan calon ibu mertuaku itu, tapi entah kenapa aku hanya diam mendengarkan saja, aku ingin tahu apa yang ada di isi kepalanya itu. “Lagi pula, restoran sepi begini kok ya, tetap jalan sih? Mana konsepnya gak jelas, ini rumah atau restoran,” bebernya lagi sambil memindai restoran Homy Private Dining ini. Tadinya, aku ingin memperkenalkan tempat ini kepada calon ibu mertuaku. Pada saat mas Farhan bercerita ingin membawa ibunya untuk melihatku, aku menganjurkan untuk datang sekitar jam 3 sore sampai jam 5 sore hari ini karena jam segitu aku agak senggang. Namun, melihat reaksinya terhadap tempat ini seperti merendahkan, jadi aku putuskan untuk tidak memberitahukan kalau aku pemilik restoran ini. “Sudah berapa lama kamu kenal dengan Farhan?” “Enam bulan, Bu.” “Heran deh sama Farhan. Apa sih yang dilihat dari kamu, Alea? Ibu dengar kamu hanya lulusan SMK saja? Tidak melanjutkan kuliah?” “Ya, Bu. Aku lulusan SMK jurusan–.” “Cuma lulusan SMK saja,” ulang ibu Aminah manggut-manggut. “Tapi tidak mengapa, toh memang setelah menikah, pekerjaan istri memang lebih banyak di dapur,” ujarnya lagi. Entah mengapa, aku merasa ilfeel mendengar ucapan calon mertuaku pada saat itu. Sedangkan mas Farhan, hanya diam dan senyum-senyum saja padaku. “Tapi Alea cantik ‘kan, Bu?” Aku hanya menunduk mendengar pertanyaan dari mas Farhan. “Cantik sih, gak malu-maluin buat digandeng kalau ada mantenan,” celetuk ibunya mas Farhan. “Ya sudah! Karena keinginan Farhan, ibu akan menemui orang tuamu. Kapan mereka ada waktu?” “Ibu mau menemui orang tuaku?” “Iya, sekalian mau melamarmu untuk Farhan.” Aku kaget, dan menatap mas Farhan. Aku tidak menyangka jika ibunya mas Farhan kala itu langsung memintaku untuk menjadi istrinya. “Akan aku hubungi orang tuaku. Kapan mereka ada waktu. Apakah ibu dan mas Farhan akan ke rumah orang tuaku? Orang tuaku tidak tinggal di Jakarta–.” “Oh, bukan orang Jakarta? Agak repot juga kalau kita harus keluar kota. Apa bisa mereka yang datang ke Jakarta? Farhan kan kerja, kalau harus keluar kota, mesti harus cuti terlebih dahulu.” “Apa orang tuanya kita undang ke Jakarta saja, Bu? Sambil kita ajak jalan-jalan ke Monas?” tanya Farhan. “Apa bisa orang tuamu datang ke Jakarta?” tanya Bu Aminah sambil menatapku. “Sepertinya, bisa jika mereka tidak sibuk.” “Nanti ongkosnya dibayari oleh Farhan. Tenang saja. Kalau bisa Minggu depan undang mereka datang ke Jakarta. Ibu akan buat acara lamaran di rumah saja,” putus Bu Aminah.Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti
Aku duduk merenung di dalam ruanganku sendiri. Bagaimana bisa Erika bersama dengan si Joko? Apa yang terjadi dengan mas Farhan? Kenapa sampai Erika mengancam untuk tidak memberitahukan kepada mas Farhan? Apakah itu artinya Erika ada main dengan si Joko? Lalu bagaimana nasib dengan Ratih? Ah… semakin dipikir membuatku semakin penasaran, tapi aku tidak ingin terlibat langsung dalam urusan rumah tangga mereka. Bukankah aku harus fokus dengan kehamilanku? Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Rasanya menyakitkan jika aku harus mengalami keguguran lagi karena terlibat urusan dengan keluarga mas Farhan. “Ya! Masa bodoh dengan keluarga orang lain! Masih banyak hal yang aku harus pikirkan!” Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan orang lain. *** Beberapa hari berlalu, dan pikiranku tentang Erika serta si Joko perlahan mulai terkubur oleh kesibukan sehari-hari. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku di re
Aku berdiri kaku, menatap Erika yang jelas sama terkejutnya denganku. Namun, tatapan Erika tetap dingin seperti biasanya. Wanita itu berdiri dengan perut besarnya, tetap angkuh seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. Tapi yang membuatku jauh lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sampingnya. Joko Supriono. Pria yang selama ini ingin aku hindari... mimpi buruk di masa laluku. Mas Calvin melangkah setengah langkah ke depan, berdiri di depanku seolah menjadi pelindung. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, apalagi saat si Joko menyunggingkan senyum licik yang sangat aku kenal. "Alea... lama tidak bertemu." Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku menguatkan diri, menatap tajam tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?" suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Joko melirik Erika dengan senyum samar. "Aku
"Mas, Evan minta kita bantu buat nyiapin lamarannya, kamu ada ide?" tanyaku sambil melirik mas Calvin yang fokus menyetir.Suamiku menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis."Evan minta bantuan kamu... atau kita?" godanya.Aku mendengus pelan, melipat tangan di dada pura-pura kesal."Ya jelas kita lah, Mas! Masa aku sendiri? Kamu kan jago soal beginian."Mas Calvin terkekeh, tapi aku tahu dia memang senang jika dilibatkan."Hmm..." gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir, seolah berpikir."Kita bisa buat acara kecil di restoran kamu. Gak usah mewah, yang penting intimate dan berkesan."Mataku langsung berbinar, ide itu terdengar sempurna."Kayaknya Nadine tipe yang gak suka hal-hal berlebihan, ya?"Mas Calvin mengangguk kecil."Iya... dan Evan pasti pengen suasana yang sederhana tapi bermakna."Aku tersenyum, membayangkan wajah Evan yang pasti akan gugup di hari lamarannya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen