Share

Bab 5. Usulan Promil

Penulis: Jielmom
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 13:51:52

Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar.

Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.

“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.

“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.

“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.

“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat I*******m, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengannya dan membahas mengenai teman-teman, guru, sekolah. Ternyata seru juga,” jelas mas Farhan tanpa kuminta.

“Oh, jadinya reuni?”

“Iya, Sayang.”

“Apakah pantas reuni di jam 10 malam menjelang jam 11 disaat ada istrinya?” tanyaku pada layar ponsel yang mendadak raut muka Erika berubah.

“Sayang … jaga ucapanmu.”

“Apa dia tidak mempunyai suami, sehingga tanpa sadar berbicara dengan lelaki lain?” tanyaku lagi.

“Dia sudah bercerai, Dek. Jadi tidak ada yang akan ditegur.”

“Oh, karena Mas Farhan mempunyai istri, makanya bisa aku tegur sekarang. Mbak Erika, tolong untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membahas pekerjaan ataupun reuni sekolah Mbak. Ini sudah terlalu malam, dan tidak baik juga seorang wanita menelepon suami orang,” cercaku.

“Sayang! Jaga ucapanmu! Erika, tolong maafkan istriku yah, lain kali kita bahas pekerjaan. Maaf aku yang mengganggu karena ini sudah larut malam. Selamat malam,” tutup mas Farhan menutup video callnya.

“Kamu kenapa sih, Dek? Lagi pms yah? Bawaannya cemburu terus. Marah-marah terus. Gak enak loh, Dek. Erika ‘kan akan mengadakan kerjasama dengan perusahaan mas. Kalau ternyata Erika adalah teman jaman SD, maka lebih mudah untuk bekerjasama dengan perusahaan milik Erika. Tentu saja, kalau jadi, toh Mas bakal dapat bonus. Bonus untuk menutupi tabungan yang sering boncos karena diminta sama ibu atau Ratih,” ucapnya.

“Ngerti Mas, tapi gak malem-malem juga kali, kan bisa siang–.”

“Sudahlah! Mas terus yang disalahkan! Bukannya tadi Mas sudah bilang, Mas ada disini karena kamu marah. Mas sampai buka-buka I*******m sampe ketemu Erika yang sedang upload sekolah Mas dulu. Dari situ Mas chat Erika dan berlanjut video call.”

Sekali lagi mas Farhan menjelaskan siapa Erika itu. Apakah aku yang terlalu cemburu buta? Ataukah ada yang ditutupi dari mas Farhan?

“Aku mau minum dan tidur lagi.” Aku ke dapur dan mengambil air minum dan meneguknya. Kulihat mas Farhan sudah kembali ke kamar, tidur dengan memunggungiku.

Sepertinya aku terlalu cemburu, semua rasanya salah mas Farhan. “Mas, maafkan aku ya?” bisikku pada daun telinganya. Mas Farhan membalikkan badannya dan tersenyum. “Nah gitu dong seorang istri gak boleh cemburuan. Lagian mas gak ngelakuin apa-apa kan? Malah Mas kenalin dengan Erika.”

“Hm, bener juga sih, kalau selingkuh, bukannya diam-diam?” pikirku kembali.

“Dah, yuk kita tidur.” Mas Farhan memelukku, tapi tidak hanya memelukku, bahkan tangannya mulai menyelusup kebalik baju tidurku. “Mas pengen, Dek ….”

Mau tidak mau, aku pun melayani mas Farhan. Setiap masalah yang terjadi di antara kita, pasti ujungnya ditutup dengan hubungan suami istri.

***

“Dek, nanti kita ke dokter yuk?” tanya mas Farhan sambil memakai dasi yang sudah aku siapkan.

“Ke dokter? Ngapain?”

“Kita cek kandungan. Kita program hamil. Kita nikah udah 2 tahun, seharusnya kita sudah punya anak. Kamu pengen punya anak gak?”

“Ya pengen sih Mas, kapan?”

“Kamu mau? Gimana kalau nanti sore pulang Mas kerja?” tanya mas Farhan antusias.

“Baiklah, sore pulang Mas kerja kita ke dokter kandungan.”

Hari ini berjalan seperti biasanya. Selagi mas Farhan pergi, aku berkutat dengan pekerjaanku di rumah mengenai laporan-laporan restoran. Alhamdulillah, kalau weekend ini ada private wedding, yang pendapatannya setelah dikurangi biaya operasional termasuk gaji tim, aku bisa mengantongi dana dua kali jatah pemberian mas Farhan, yaitu empat juta. Ya, sekali event. Kebayang kalau dalam satu bulan booking restoran hampir penuh, baik hari biasa maupun hari weekend. Aku hanya bisa tersenyum membayangkannya. Walau demikian, restoran tidak bisa aku lepas begitu saja. Adakalanya customer meminta aku untuk membuat menu andalanku, maka aku akan meminta izin mas Farhan membantu di restoran. Walau terkadang pekerjaanku direndahkan karena mas Farhan hanya tahu aku membantu cuci piring. Lagi-lagi karena ketidaksengajaannya, setiap kali mas Farhan jemput aku setelah acara, terutama di malam hari, aku sedang membantu mencuci piring atau mengelap meja. Sudah berulang kali mas Farhan memintaku untuk tidak membantu restoran, tapi aku bisa meyakinkan mas Farhan, karena tidak setiap hari aku bekerja, hanya customer-customer yang benar-benar menginginkan aku masak saja, baru aku turun tangan.

Lamunanku dikejutkan oleh bunyi notifikasi dari ponselku. Kuraih ponsel dan membaca pesan dari kakakku, Leo.

“Alea, aku berencana membeli rumah. Rumahnya sih kecil, mau aku renovasi dan aku kontrakan, tapi pakai namamu yah?” tanya Leo.

“Apa Sarah tidak keberatan?” Aku bertanya mengenai istri kakakku itu. Aku tidak mau di kemudian hari kakak iparku mempermasalahkan apa yang sudah kakakku lakukan.

“Justru ini ide dari Sarah, Alea. Selama ini kamu belum mempunyai rumah dan masih kontrak rumah. Setidak-tidaknya, hasil kontrakan nanti, akan aku bagi dua denganmu. Hitung-hitung tabungan buatmu membeli rumah,” jawab Leo.

“Aku masih ada dana dari restoran kak.”

“Tidak apa, tapi ingat, jangan beritahu Farhan.”

Entah kenapa, hanya kakakku yang terang-terangan tidak menyukai mas Farhan. Berbeda dengan ayah dan ibuku yang masih menerima baik mas Farhan. Jika aku bertanya langsung dengannya, dia tidak pernah menjawab. Kakakku hanya menjawab, “Aku tidak suka dengan wajahnya.”

Aku tidak mengerti maksud perkataan kakakku, mas Farhan memiliki wajah yang menurutku cukup tampan, bisa dibandingkan dengan artis-artis Indonesia yang berwajah blesteran. Ibu mas Farhan memang orang Jawa, tapi ayahnya, ada campuran Belanda, berkulit putih, mancung dengan mata bulat dan rahang yang tegas, berbeda denganku yang kulitku mengarah kepada sawo matang.

“Ya, aku gak akan bilang-bilang sama mas Farhan.”

Tidak lama, kakakku mengirimkan foto-foto rumah yang akan dibelinya itu. Rumah tipe minimalis yang akan direnovasi pada bagian dapur dan kanopi pada bagian depan rumah.

Baru saja aku beres-beres dengan pekerjaanku, dan selesai masak untuk makan siangku, tiba-tiba ibu mertua kembali datang ke rumah. “Alea!” teriaknya memanggil namaku.

Bab terkait

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 12. Kamar Yang Berbeda

    “Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 13. Diskusi Dengan Evan

    Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05

Bab terbaru

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 13. Diskusi Dengan Evan

    Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 12. Kamar Yang Berbeda

    “Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

DMCA.com Protection Status