“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal
“Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa
“Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai
Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.
Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.
“Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan
Aku perhatikan kembali Ratih yang duduk dengan pria berumur itu, hingga tidak sadar aku dipanggil Evan berkali-kali.“Mbak! Mbak lihat apa sih?”“Eh! Aku lihat adiknya mas Farhan.”“Mana?” Evan mengikuti arah aku memandang Ratih. Ratih duduk dengan rok jeans pendek dan blouse putih, memakai high heels dan tas tangan yang cukup besar dengan merek bukan kaleng-kaleng. Dengan wajahnya yang di make up, membuat tampilan Ratih lebih dewasa daripada umurnya. Jika duduk dengan pria berumur di sampingnya, orang-orang akan menyangka kalau Ratih adalah istrinya. “Itu?” tanya Evan menunjuk dengan lirikan matanya. Aku hanya mengangguk. Aku foto dan aku buat videonya. Siapa tahu suatu saat nanti berguna.“Aku kan waktu nikahan kalian masih di Paris, jadi gak ngerti kalau mas Farhan punya adik. Yakin itu adiknya mbak? Kok mbak Alea yang kelihatan lebih muda dari adiknya itu,” sindir Evan.“Hush. Iya, itu adiknya m
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva