“Apa? Hanya karena itu?”
“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?”“Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. SebaiReflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.
Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.
“Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan
“Alea!!” Pintu rumah diketuk, membuatku cukup kaget karena ketukannya cukup keras.“Hm, ada apa sih, berisik banget!” geliat mas Farhan yang masih tertidur.“Ibumu datang!”Kulihat jam baru saja pukul enam pagi, tapi ibu Aminah, mertuaku, sudah ada di depan pintu rumah.“Alea! Buka pintunya!” teriaknya lagi.Gegas aku bangun, setengah berlari untuk membuka pintu rumah.“Lama banget sih? Ngapain saja? Baru bangun? Jam segini kok masih aja tidur? Lihat nih ibu baru pulang dari pasar, bawain lontong kari buat Farhan! Ambil mangkuknya!” perintah ibu mertuaku itu sambil menyodorkan kantong kresek berwarna hitam.Aku membawanya ke ruang makan dan membuka bungkusan kresek itu. Hanya ada satu. Ibu mertuaku hanya membeli satu dan itu khusus untuk mas Farhan. Kutuang lontong kari itu dan kutaruh diatas meja untuk sarapan mas Farhan sebelum ke kantor.Mas Farhan setelah tahu ibunya datang, dia langsung ke kamar mandi. “Alea, tolong siapin baju kerja dan bekalku ya,” ucap mas Farhan tersenyum sa
Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku.“Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan.“Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.”“Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang punya restoran. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita.“Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku.“Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.”“Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah, ayah restui, tapi jika suamimu
“Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang.“Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk.“Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.”“Satu juta?” tanyaku heran.Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur.“Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.”“Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya.“Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku.
Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.Tak terasa, aku berada di restoran sudah
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan
“Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan
Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.
Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.
“Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai
“Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa
“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal
Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a
Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann