Ratih yang terburu-buru, mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik melihat mas Farhan.“Hehehe, pacar juga belum resmi Mas, baru pdkt. Nanti kalau sudah mulai serius, Ratih bakal kenalin ke Mas dan ke ibu,” ucapnya sambil melambaikan tangan berlari keluar.Mas Farhan tidak bisa menanyakan lanjut kepada Ratih, karena dia sudah berlari ke mobil yang menunggunya.Kucuci tangan dan membuang dus sisa makananku dan menghampiri mas Farhan. “Mas kemana saja? Dari siang baru bisa makan jam 4 sore begini?”“Mas kan sudah bilang sama kamu. Agak lama, karena mas datang pas jam makan siang. Ditambah mas makan duluan ditempat saking lapernya. Eh pulang-pulang terkena macet karena ada razia polisi. Lagian kenapa sih, gak makan dulu gitu yang ada di rumah?” tanya balik mas Farhan dengan sewot.“Loh, loh, mas kan yang ngomong mau beli makan siang. Jadi ya aku tunggu dong, kok jadi aku yang disuruh buat?” “Masih mending mas beliin makan ya, D
“Ratih? Baru pulang?” Sengaja aku tegur sebelum Ratih masuk ke dalam rumah. Aku ingin tahu apakah dia pergi semalam dengan orang yang sama.“Eh, mbak Alea, kok ada di luar?” tanya balik Ratih kaget seperti yang kepergok telah melakukan yang salah.“Semalam gak pulang?” Aku menegaskan kembali apa yang aku tanyakan. Sebagai kakak iparnya, aku berkewajiban untuk menegurnya, karena biar bagaimanapun juga dia adik dari suamiku, berarti adikku juga.“Iya, mbak,” ucapnya, kemudian masuk ke dalam rumah, seperti sudah biasa melakukan hal seperti itu.“Apa kamu tahu, kalau perempuan pulang pagi itu gak baik?” tanyaku mengikuti Ratih masuk ke dalam rumah.“Mbak Alea, aku ini udah izin loh sama ibu, kenapa mbak Alea yang marah sama aku? Ibuku aja gak marah-marah. Emang mbak Alea siapanya aku? Cuma kakak ipar, kan? Lagian namanya kakak ipar ya cuma orang lain,” dengus Ratih.“Astaghfirullah, Ratih, aku ini memang hanya kakak ipar, tapi mbak i
“Bu, bukannya tiap awal bulan ibu ke bank?” tanyaku mengingatkan.“Ya, nanti sebentar lagi ibu mau ke bank, ambil pensiunan bapak,” ucapnya dengan tersenyum. Disaat awal bulan, adalah hari-hari dimana senyum ibu mertuaku merekah.“Oh ya Bu, Alea mau mengingatkan, ibu bilang, kalau ibu tambah uang arisan 500 ribu untuk tambah-tambah uang semester. Sekarang Ratih nagih uang semesterannya. Jadi bisa gak ya uang arisannya dipake buat bayar semesteran Ratih?”Mendengar permintaanku, langsung saja raut muka ibu mertuaku menjadi kecut.“Waktu kemaren ibu tolong kamu buatkan nasi rendang, ibu kedapatan arisan, dan karena ibu gak tahu kapan bayaran semester Alea, uangnya sudah ibu belanjakan. Jadi ibu gak ada uang lagi.”“Loh? Kan ibu sendiri yang minta tambahan uang buat arisan. Katanya kalau dapat buat kuliahnya Ratih.”“Iya, niatnya ibu begitu, tapi Allah udah kasih rezeki ke ibu sebelum waktunya Ratih semesteran, jadi gimana? Masa dit
“Astaghfirullah, Ratih!” “Jangan sok suci, mbak! Mbak itu siapa? Cuma Iparku dari kampung! Entah apa yang ada dipikiran mas Farhan buat nikahin mbak! Hanya pencuci piring! Aku sendiri malu punya ipar seperti mbak Alea!” “Walaupun mbak cuma pencuci piring, mbak lebih bermartabat daripada menjadi pelakor, Ratih! Asal kamu tahu, pihak kampus memberitahu mbak kalau kamu sering bolos. Bisa-bisa kamu di DO!” “Hei mbak! Gak usah sok nasehati deh! Ini hidup, hidup aku! Lagian mbak tahu apa soal kuliah aku? Hanya lulusan SMK saja bisa-bisanya ngajari aku! Dah sana pulang! Jangan lupa beres-beres rumah!” ucap Ratih sambil berlalu dariku dengan sedikit berlari menjauhiku. Ada rasa tidak terima Ratih menghina diriku. Ingin aku melawan ucapannya, tapi aku berusaha untuk menahan emosi, “Belum, belum waktunya, sabar, sabar Alea.” Aku mengurutkan dada supaya aku tidak terbawa emosi. Aku bergegas ke restoran sejenak untuk mel
Aku yakin, kalau suara Ratih meminta motor, itu artinya, dia hanya ingin tambahan uang dari mas Farhan. Walaupun aku tahu tingkah laku Ratih seperti apa diluar sana, tetap saja ibu mertua dan mas Farhan tidak akan mempercayaiku. “Baiklah, Ratih. Aku tidak akan ikut campur masalahmu, toh aku bukan bagian dari keluarga ini, hanya kakak ipar kampungan,” gumamku dalam hati. “Mulai sekarang, urus saja apa yang membuat hidupku bahagia!”Aku mencuci piring kotor, karena rasanya tidak enak dipandang mata. Setelah selesai, aku masuk kamar dan mulai melihat laporan yang dibuat oleh Evan. Laporannya dikirimkan melalui email, dan aku membacanya dari ponsel, sambil menunggu mas Farhan pulang.“Alea?” panggil ibu mertua di balik pintu kamarku.Aku segera membuka pintu sebelum ketukannya bertambah keras. “Ya, Bu?”“Kamu gak masak?” tanya ibu mertua.“Bukannya tadi siang aku sudah masak, Bu?”“Loh, siang ya siang. Lagian udah tinggal sisa-sisa.
Kenapa perasaanku selalu mengatakan kalau mas Farhan sudah berselingkuh? Bagaimana caranya supaya aku bisa menemukan bukti perselingkuhan mas Farhan? Aku berjalan mondar mandir di dalam kamar. Kulihat ponselnya mas Farhan sedang di charge dalam keadaan mati. Kucoba menghidupkan kembali tetapi tidak bisa karena di password. Lalu aku matikan kembali agar tidak ketahuan. “Apakah aku harus mengikuti mas Farhan kemana pun aku pergi?”Tiba-tiba, mas Farhan selesai dari mandinya, aku segera pura-pura tidur dengan memunggunginya.Mas Farhan masuk kamar dan mengambil ponsel yang sedang di charge dan menyalakannya. Namun tidak lama, ponselnya ditaruh dan mas Farhan tidur dengan segera, seperti tidak terjadi apa-apa. “Apakah aku terlalu cemburu?” Aku membalikkan tubuhku untuk menatap wajahnya. Wajah mas Farhan yang menurutku tampan, wajahnya putih, hidungnya mancung, sebab itu aku jatuh cinta dengannya. Aku mengelus pipinya secara perlahan agar tidak membangunkannya
“Apa yang harus aku persiapkan jika Erika datang ke rumah ini? Masakan? Penampilan? Pakaian?” Hatiku benar-benar tidak menentu, tapi biar bagaimanapun aku juga ingin melihat Erika itu seperti apa.Aku keluar dari kamar dan mempersiapkan bekal mas Farhan.“Alea, nanti sore kita kedatangan tamu?” Bisik ibu mertuaku.“Iya, Bu. Mas Farhan mengundang teman kerjanya.”“Oh, kalau begitu, kamu harus masak yang enak yah?” “Ya, Bu.”Aku menghela napas panjang. Hatiku sungguh berkecamuk, bahkan ketika mas Farhan berangkat kerja pun, hati ini tidak tenang.Aku mencoba mengalihkan kecemburuanku dengan melihat isi kulkas apa yang bisa aku buatkan untuk kedatangan Erika. “Apakah aku buatkan sesuatu yang berbeda? Masakan Prancis? Indonesia?”“Kamu akan masak apa, Alea?” tanya ibu yang melihatku lama memandangi isi kulkas.“Aku belum tahu, Bu.”“Kamu kan kerja di restoran? Apa gak bisa contoh masakan yang ada
“Makan malam?”“Huum!”“Dengan mertuamu yah? Sorry, aku masih harus beresin kerjaan dulu disini, sebelum besok pulang. Gak apa-apa kan?”Sebenarnya, aku berharap jika kak Leo datang ke rumah untuk makan malam bersama, pasti mas Farhan tidak akan berbuat macam-macam karena ada kak Leo, tapi sepertinya kak Leo segan kalau ke rumah ibu mertuaku, karena dasarnya dia memang tidak suka dengan mas Farhan.“Gak apa-apa sih, cuma berharap aja bisa ketemu lebih lama.”“Mungkin nanti kalau kamu pindah ke rumah baru. Aku ada rencana mau pindah ke Jakarta, tapi aku kasihan kalau ayah dan ibu masih tetap di Solo. Tar yang jaga mereka siapa.”Ayah dan ibuku tinggal di Solo, yang selalu disebut oleh mertuaku dari kampung, hingga selalu menjadi guyonan aku dan kak Leo ketika membahas rumah.Untuk seumuran ayah dan ibu, kota Solo adalah tempat yang ternyaman dibandingkan dengan kota Jakarta yang sibuk dan penuh dengan polusi. Sekarang, pe
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva