“Astaghfirullah, Ratih!”
“Jangan sok suci, mbak! Mbak itu siapa? Cuma Iparku dari kampung! Entah apa yang ada dipikiran mas Farhan buat nikahin mbak! Hanya pencuci piring! Aku sendiri malu punya ipar seperti mbak Alea!” “Walaupun mbak cuma pencuci piring, mbak lebih bermartabat daripada menjadi pelakor, Ratih! Asal kamu tahu, pihak kampus memberitahu mbak kalau kamu sering bolos. Bisa-bisa kamu di DO!” “Hei mbak! Gak usah sok nasehati deh! Ini hidup, hidup aku! Lagian mbak tahu apa soal kuliah aku? Hanya lulusan SMK saja bisa-bisanya ngajari aku! Dah sana pulang! Jangan lupa beres-beres rumah!” ucap Ratih sambil berlalu dariku dengan sedikit berlari menjauhiku. Ada rasa tidak terima Ratih menghina diriku. Ingin aku melawan ucapannya, tapi aku berusaha untuk menahan emosi, “Belum, belum waktunya, sabar, sabar Alea.” Aku mengurutkan dada supaya aku tidak terbawa emosi. Aku bergegas ke restoran sejenak untuk melAku yakin, kalau suara Ratih meminta motor, itu artinya, dia hanya ingin tambahan uang dari mas Farhan. Walaupun aku tahu tingkah laku Ratih seperti apa diluar sana, tetap saja ibu mertua dan mas Farhan tidak akan mempercayaiku. “Baiklah, Ratih. Aku tidak akan ikut campur masalahmu, toh aku bukan bagian dari keluarga ini, hanya kakak ipar kampungan,” gumamku dalam hati. “Mulai sekarang, urus saja apa yang membuat hidupku bahagia!”Aku mencuci piring kotor, karena rasanya tidak enak dipandang mata. Setelah selesai, aku masuk kamar dan mulai melihat laporan yang dibuat oleh Evan. Laporannya dikirimkan melalui email, dan aku membacanya dari ponsel, sambil menunggu mas Farhan pulang.“Alea?” panggil ibu mertua di balik pintu kamarku.Aku segera membuka pintu sebelum ketukannya bertambah keras. “Ya, Bu?”“Kamu gak masak?” tanya ibu mertua.“Bukannya tadi siang aku sudah masak, Bu?”“Loh, siang ya siang. Lagian udah tinggal sisa-sisa.
“Alea!!” Pintu rumah diketuk, membuatku cukup kaget karena ketukannya cukup keras.“Hm, ada apa sih, berisik banget!” geliat mas Farhan yang masih tertidur.“Ibumu datang!”Kulihat jam baru saja pukul enam pagi, tapi ibu Aminah, mertuaku, sudah ada di depan pintu rumah.“Alea! Buka pintunya!” teriaknya lagi.Gegas aku bangun, setengah berlari untuk membuka pintu rumah.“Lama banget sih? Ngapain saja? Baru bangun? Jam segini kok masih aja tidur? Lihat nih ibu baru pulang dari pasar, bawain lontong kari buat Farhan! Ambil mangkuknya!” perintah ibu mertuaku itu sambil menyodorkan kantong kresek berwarna hitam.Aku membawanya ke ruang makan dan membuka bungkusan kresek itu. Hanya ada satu. Ibu mertuaku hanya membeli satu dan itu khusus untuk mas Farhan. Kutuang lontong kari itu dan kutaruh diatas meja untuk sarapan mas Farhan sebelum ke kantor.Mas Farhan setelah tahu ibunya datang, dia langsung ke kamar mandi. “Alea, tolong siapin baju kerja dan bekalku ya,” ucap mas Farhan tersenyum sa
Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku. “Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan. “Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.” “Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang bangun restoran Homy Private Dining. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita. “Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku. “Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.” “Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah
“Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang.“Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk.“Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.”“Satu juta?” tanyaku heran.Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur.“Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.”“Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya.“Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku.
Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.Tak terasa, aku berada di restoran sudah
Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann
Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a
“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal
Aku yakin, kalau suara Ratih meminta motor, itu artinya, dia hanya ingin tambahan uang dari mas Farhan. Walaupun aku tahu tingkah laku Ratih seperti apa diluar sana, tetap saja ibu mertua dan mas Farhan tidak akan mempercayaiku. “Baiklah, Ratih. Aku tidak akan ikut campur masalahmu, toh aku bukan bagian dari keluarga ini, hanya kakak ipar kampungan,” gumamku dalam hati. “Mulai sekarang, urus saja apa yang membuat hidupku bahagia!”Aku mencuci piring kotor, karena rasanya tidak enak dipandang mata. Setelah selesai, aku masuk kamar dan mulai melihat laporan yang dibuat oleh Evan. Laporannya dikirimkan melalui email, dan aku membacanya dari ponsel, sambil menunggu mas Farhan pulang.“Alea?” panggil ibu mertua di balik pintu kamarku.Aku segera membuka pintu sebelum ketukannya bertambah keras. “Ya, Bu?”“Kamu gak masak?” tanya ibu mertua.“Bukannya tadi siang aku sudah masak, Bu?”“Loh, siang ya siang. Lagian udah tinggal sisa-sisa.
“Astaghfirullah, Ratih!” “Jangan sok suci, mbak! Mbak itu siapa? Cuma Iparku dari kampung! Entah apa yang ada dipikiran mas Farhan buat nikahin mbak! Hanya pencuci piring! Aku sendiri malu punya ipar seperti mbak Alea!” “Walaupun mbak cuma pencuci piring, mbak lebih bermartabat daripada menjadi pelakor, Ratih! Asal kamu tahu, pihak kampus memberitahu mbak kalau kamu sering bolos. Bisa-bisa kamu di DO!” “Hei mbak! Gak usah sok nasehati deh! Ini hidup, hidup aku! Lagian mbak tahu apa soal kuliah aku? Hanya lulusan SMK saja bisa-bisanya ngajari aku! Dah sana pulang! Jangan lupa beres-beres rumah!” ucap Ratih sambil berlalu dariku dengan sedikit berlari menjauhiku. Ada rasa tidak terima Ratih menghina diriku. Ingin aku melawan ucapannya, tapi aku berusaha untuk menahan emosi, “Belum, belum waktunya, sabar, sabar Alea.” Aku mengurutkan dada supaya aku tidak terbawa emosi. Aku bergegas ke restoran sejenak untuk mel
“Bu, bukannya tiap awal bulan ibu ke bank?” tanyaku mengingatkan.“Ya, nanti sebentar lagi ibu mau ke bank, ambil pensiunan bapak,” ucapnya dengan tersenyum. Disaat awal bulan, adalah hari-hari dimana senyum ibu mertuaku merekah.“Oh ya Bu, Alea mau mengingatkan, ibu bilang, kalau ibu tambah uang arisan 500 ribu untuk tambah-tambah uang semester. Sekarang Ratih nagih uang semesterannya. Jadi bisa gak ya uang arisannya dipake buat bayar semesteran Ratih?”Mendengar permintaanku, langsung saja raut muka ibu mertuaku menjadi kecut.“Waktu kemaren ibu tolong kamu buatkan nasi rendang, ibu kedapatan arisan, dan karena ibu gak tahu kapan bayaran semester Alea, uangnya sudah ibu belanjakan. Jadi ibu gak ada uang lagi.”“Loh? Kan ibu sendiri yang minta tambahan uang buat arisan. Katanya kalau dapat buat kuliahnya Ratih.”“Iya, niatnya ibu begitu, tapi Allah udah kasih rezeki ke ibu sebelum waktunya Ratih semesteran, jadi gimana? Masa dit
“Ratih? Baru pulang?” Sengaja aku tegur sebelum Ratih masuk ke dalam rumah. Aku ingin tahu apakah dia pergi semalam dengan orang yang sama.“Eh, mbak Alea, kok ada di luar?” tanya balik Ratih kaget seperti yang kepergok telah melakukan yang salah.“Semalam gak pulang?” Aku menegaskan kembali apa yang aku tanyakan. Sebagai kakak iparnya, aku berkewajiban untuk menegurnya, karena biar bagaimanapun juga dia adik dari suamiku, berarti adikku juga.“Iya, mbak,” ucapnya, kemudian masuk ke dalam rumah, seperti sudah biasa melakukan hal seperti itu.“Apa kamu tahu, kalau perempuan pulang pagi itu gak baik?” tanyaku mengikuti Ratih masuk ke dalam rumah.“Mbak Alea, aku ini udah izin loh sama ibu, kenapa mbak Alea yang marah sama aku? Ibuku aja gak marah-marah. Emang mbak Alea siapanya aku? Cuma kakak ipar, kan? Lagian namanya kakak ipar ya cuma orang lain,” dengus Ratih.“Astaghfirullah, Ratih, aku ini memang hanya kakak ipar, tapi mbak i
Ratih yang terburu-buru, mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik melihat mas Farhan.“Hehehe, pacar juga belum resmi Mas, baru pdkt. Nanti kalau sudah mulai serius, Ratih bakal kenalin ke Mas dan ke ibu,” ucapnya sambil melambaikan tangan berlari keluar.Mas Farhan tidak bisa menanyakan lanjut kepada Ratih, karena dia sudah berlari ke mobil yang menunggunya.Kucuci tangan dan membuang dus sisa makananku dan menghampiri mas Farhan. “Mas kemana saja? Dari siang baru bisa makan jam 4 sore begini?”“Mas kan sudah bilang sama kamu. Agak lama, karena mas datang pas jam makan siang. Ditambah mas makan duluan ditempat saking lapernya. Eh pulang-pulang terkena macet karena ada razia polisi. Lagian kenapa sih, gak makan dulu gitu yang ada di rumah?” tanya balik mas Farhan dengan sewot.“Loh, loh, mas kan yang ngomong mau beli makan siang. Jadi ya aku tunggu dong, kok jadi aku yang disuruh buat?” “Masih mending mas beliin makan ya, D
“Loh. Emang kenapa kalau ibu mau bantu-bantu? Aku sendiri harus kerja, gak bisa bantuin kamu, jadi aku minta tolong ibu buat jualin barang-barang ini. Lagi pula, semua barang-barang yang dibeli kan pake uangku, Dek.”Ada rasa kesal, marah, tapi aku harus akui, semua barang-barang yang dibeli ini, uangnya berasal dari mas Farhan. Aku hanya bantu memilih sesuai dengan fungsinya.“Sudahlah, Dek. Gak usah marah-marah yah, toh, barang-barang ini pun gak bisa kita bawa ke rumah ibu. Jadi biarkan saja ibu yang urus. Oke? Kita hanya ambil apa yang bisa kita bawa ke rumah ibu. Sisanya biarkan saja disini, biar ibu yang atur. Lagi pula sisa kontrakannya kan tinggal beberapa bulan, kalau ada yang mau over kontrak, barang-barang ini sekalian ditawarkan ke penghuni baru.”“Lagian, kenapa sih mas, kita gak tunggu kontrakan ini habis dulu?” sungutku, rasanya kepindahan ini terlalu dipaksakan harus cepat-cepat.“Supaya pengeluaran kita bisa lebih hemat, Dek.
“Kamu dengar sendiri bukan apa yang sudah ibuku ucapkan. Kalau kamu tidak hormat pada ibuku, berarti kamu juga menginjak-injak aku sebagai kepala rumah tangga, Alea!” geram mas Farhan kepadaku. Bahkan dia tidak menyebut aku dengan sebutan Dek, tapi dengan namaku langsung.“Maafkan aku mas,” ucapku lirih. Aku jadi merasa bersalah tapi ibunya sendiri tidak mau tahu pendapat aku sebagai menantu.“Apa sih susahnya menyenangkan orang tua? Hanya soal makanan loh, Alea! Bahkan kita mampu buat memberi lebih kepada ibu. Kalau kamu takut soal uang, kamu bisa atur apa yang harus kamu keluarkan, tapi mas gak rela ibu mas dihina seperti ini!” Mas Farhan bangkit berdiri, makanannya pun tidak dihabiskan, mencuci tangannya lalu masuk ke dalam kamar.“Ya Allah, apakah harus semarah itu mas Farhan membela ibunya?” Permasalahan nasi rendang membuat hubunganku dengan mas Farhan menjadi renggang. Bahkan semalaman mas Farhan memunggungiku, hanya melihat ponselnya
Aku perhatikan kembali Ratih yang duduk dengan pria berumur itu, hingga tidak sadar aku dipanggil Evan berkali-kali.“Mbak! Mbak lihat apa sih?”“Eh! Aku lihat adiknya mas Farhan.”“Mana?” Evan mengikuti arah aku memandang Ratih. Ratih duduk dengan rok jeans pendek dan blouse putih, memakai high heels dan tas tangan yang cukup besar dengan merek bukan kaleng-kaleng. Dengan wajahnya yang di make up, membuat tampilan Ratih lebih dewasa daripada umurnya. Jika duduk dengan pria berumur di sampingnya, orang-orang akan menyangka kalau Ratih adalah istrinya. “Itu?” tanya Evan menunjuk dengan lirikan matanya. Aku hanya mengangguk. Aku foto dan aku buat videonya. Siapa tahu suatu saat nanti berguna.“Aku kan waktu nikahan kalian masih di Paris, jadi gak ngerti kalau mas Farhan punya adik. Yakin itu adiknya mbak? Kok mbak Alea yang kelihatan lebih muda dari adiknya itu,” sindir Evan.“Hush. Iya, itu adiknya m
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan