Skincareku bukanlah skincare mahal, tapi aku pastikan skincareku sudah ber-BPOM dan aman. Oleh sebab itu walaupun kulit aku sedikit eksotis, tapi kulitku glowing karena lembab, yang menandakan kulitku sehat.
Kuoleskan cream malam sebelum tidur, dan body lotion ke tangan dan kaki. Aku ingin mencintai tubuhku sendiri.Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya. “Alea, kamu harus bahagia dengan apa yang kamu miliki,” doaku sebelum aku memejamkan mata.***Entah jam berapa aku tertidur, tapi aku melihat mas Farhan tidur di sampingku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5 subuh. Seperti biasa, setelah sholat subuh, aku membuatkan sarapan untuk sekeluarga dan bekal untuk mas Farhan. Setelah selesai, aku menyisihkan bagianku sendiri agar tidak direbut oleh ibu mertua dan Ratih. Kutaruh bagianku di dalam kamar, itu pasti aman karena mereka tidak akan berani masuk ke kamar.Kubangunkan mas Farhan untuk segera mandi dan menyiapkan baju kerja.<“Shasha Sayang, mama sudah ada disini loh!” ucap pria itu kembali membujuk.“Gak, gak mau! Itu bukan Mama!” ucap Natasha sambil memeluk leherku.“Sha!” Wanita itu ditarik oleh pria itu dan menjauh dariku. Aku hanya memperhatikan mereka berdua, tampaknya mereka bertengkar. Entah, apa yang mereka bicarakan, tapi orang-orang yang melewatinya langsung memperhatikan mereka. Hingga akhirnya, wanita itu pergi dan pria itu berkacak pinggang dan memijat keningnya sebelum kembali menghampiriku.“Maaf, sudah menyusahkan Mbak. Sha, kita pulang, yuk?” bujuk pria itu.Natasha melihat ke arah papanya dan melihat tidak ada wanita itu, lalu tersenyum. “Mama sekalian diajak pulang, kan Pah?”“Sayang, ini bukan mama, tapi Tante Alea, betul?” tanya pria itu. Aku hanya mengangguk saja.“Tapi Shasha mau Tante ini jadi mama Shasha aja pah.” Aku hanya tersenyum kemudian mengembalikan Natasha ke gendongan papanya.“Maafkan Shasha, Mbak
Hatiku ragu untuk melangkah. “Ingat Alea, pembalasanmu, haruslah elegan. Kamu bukan kampungan seperti yang dibicarakan mereka!” gumamku dalam hati.“Sebaiknya aku pulang melalui jalan lain.” Aku membalikkan badanku, tidak mengikuti mereka. Aku melangkah keluar sambil memesan ojek online dan menunggu di lobby mall.Hujan turun rintik-rintik ketika ojek onlineku tiba. “Mbak, mau pake jas hujan? Ini mendadak hujan!” ucap sang driver.“Gak usah, kak. Rumah saya dekat, gak apa-apa hujan-hujanan nanti saya langsung mandi,” tolakku.Sang driver meminta izin untuk memakai jas hujannya yang berbentuk baju. “Ah, cuma gerimis, tidak seperti hatiku yang sudah mendung,” batinku.Aku naik, dan baru melewati mall, hujan langsung turun dengan derasnya. “Ya, Allah. Begini amat hidupku. Disaat aku hujan-hujanan, suamiku malah berduaan di mobil tanpa kehujanan.” Tak terasa sakit hatiku ini disertai air mata sederas hujan yang turun.
“Alea tidak ikut, bu. Aku ada proyek di Bandung. Kebetulan Alea juga mau membantu restoran itu lagi, daripada ibu sendirian disini, lebih baik ibu ikut aku aja. Biar pikiran Alea juga tenang, aku gak macem-macem disana.”“Aku gak pernah mikir mas macem-macem di Bandung loh yah. Selama ini aku selalu izinkan kalau mas Farhan keluar kota bukan? Apalagi soal pekerjaan, atau proyek,” protesku tidak terima jika aku yang merasa mas Farhan akan macem-macem. “Iya, mas tahu kok.” Mas Farhan tersenyum seolah-olah aku memang mempermasalahkan kalau aku keberatan mas Farhan pergi ke Bandung.“Kamu kok gak bisa dibilangin sih? Selalu saja balik lagi ke restoran itu? Gak tahu malu apa? Cuma kerja nyuci piring aja kok dibangga-banggain?” interogasi ibu mertua.“Aku mau bantu, karena mereka akan mengadakan acara, jadi butuh personil lagi dan aku menerimanya.”“Hah! Itu sih alasannya kamu saja. Atau mungkin ada seseorang disana ya
“Sudah ketemu, barang yang hilang?” tanya mas Farhan dibelakangku.“Gak ketemu mas, padahal sampai aku cek ke bagasi,” keluhku.“Kan sudah mas bilang, gak ada apa-apa. Kalau ada, pasti mas sudah kasih tau kemarin-kemarin. Dah sana masuk, udah mau hujan lagi. Nanti kamu tambah sakit.”“Iya, mas.”Aku menutup pintu mobil dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh mas Farhan. Ternyata benar prediksi mas Farhan, baru masuk kamar, hujan pun kembali turun.“Sudah minum obat?” tanya mas Farhan sambil memegang keningku yang panas. Aku hanya menggeleng. Aku jarang sakit, jadi aku tidak pernah stock obat-obatan. “Sepertinya, ibu punya Paracetamol, aku tanyakan dulu.”Mas Farhan keluar kamar dan aku menaruh lipstik merah di laci nakas samping kasur. Jantungku berdetak kencang karena takut ketahuan. Mudah-mudahan alat yang aku tempel tidak diketahui mas Farhan. Sekarang yang aku pikirkan, dimana mas Farhan menyimpan barang belanjaannya?
Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mobilnya mas Farhan berhenti cukup lama disana, selama jam makan siang. Tempat itu rumah kontrakan kami yang lama. “Ada apa mas Farhan kesana? Bukankah dah pasti rumah itu disewakan orang lain? Atau cuma kebetulan saja?”Alat yang kupasang, bisa juga merekam percakapan. Selama perjalanan, aku tidak mendengar suara apapun dari dalam mobil. Sepertinya Erika tidak menumpang pada mobil mas Farhan. Aku cukup tenang.Kutaruh ponselku, dan aku membuka catatan Evan mengenai royal cake yang diinginkan customer. Aku mengecek buku resep cake, internet, untuk mencari inspirasi royal cake yang akan aku buat, lalu aku menggambarnya seperti apa yang aku inginkan, lalu aku mencatat berapa banyak cake yang harus aku buat agar sesuai dengan gambaran yang sudah aku buat.“Oke! Sip!” Aku simpan hasil desainku ke dalam tas agar nanti aku mudah mengaplikasikannya ketika aku membuat kue, lalu lanjut aku tidur siang.***S
Baru saja aku melihat GPS mas Farhan sedang berada di rumah kontrakanku yang lama. Kenapa mereka ada disana? Ingin rasanya mampir ke kontrakanku yang lama, tapi aku sudah tidak mempunyai waktu lagi. Aku harus mendekor detail-detail wedding cake, dan aku tidak ingin moodku berubah jadi terjadi sesuatu jika bertemu dengan mereka. Terutama dengan ibu mertuaku. Aku putuskan untuk ke restoran dan menyelesaikan pekerjaanku.“Halo!” sapaku kepada anak-anak SMK yang membantuku bekerja.“Pagi, Bu!” serentak mereka menjawab sapaanku.“Yuk. Kita selesaikan pekerjaan kita. Nanti kita juga harus bawa ke tempat resepsi.”“Bu, kalau dibawa setelah di dekorasi. Apakah mobilnya cukup?” tanya salah satu anak SMK.“Kamu benar! Kita gak bisa bawa pakai mobil kalau sudah didekorasi semuanya. Sebagian harus di dekorasi disana. Ibu akan hubungi pak Evan untuk menyewa mobil box,” ujarku. Bagaimana bisa hal-hal seperti ini terlewat olehku? Andai saja aku tadi men
“Owh ternyata kakak Iparku tersayang ada disini?” sindir Ratih sambil melipat tangannya di depan dada. Aku sendiri hanya bisa tersenyum, aku harus menjaga diriku agar tidak menimbulkan keributan.“Oh. Ini kakak iparmu? Om boleh kenalan?” tanya pria yang ada di samping Ratih sambil mengulurkan tangannya.Mau tidak mau aku menyambut tangannya. “Saya Joko Supriono,” ucapnya sambil tersenyum.“Alea,” jawabku, tapi aku risih karena si Joko ini tidak juga melepaskan tangannya dariku. Dia hanya tersenyum dan menatapku seolah-olah aku adalah mangsanya.“Cih!” Kutarik tanganku dan ingin rasanya aku mencuci tangan yang sudah dipegangnya.“Namanya bagus, secantik orangnya.”“Om suka?” tanya Ratih.“Suka,” jawabnya sambil tetap menatap wajahku.“Baiklah, om disini saja. Aku mau ambil makanan,” ucap Ratih kemudian meninggalkan aku berdua dengan pria tidak jelas ini.“Alea … Alea, kerja disini?” tanya Joko. Sepertiny
Lelaki tua bangka itu masih saja mendekatiku sambil tersenyum sinis. Dia membuka jas hitamnya dan menaruhnya di pinggiran wastafel yang kering. Aku mundur berusaha untuk menjaga jarak dengannya.“Apa yang Bapak inginkan?” tanyaku dengan sedikit emosi.“Tentu saja kita bersenang-senang sebentar, Cantik,” ujarnya sambil membuka ikat pinggang yang melingkar di perutnya dan menurunkan celana kainnya.“Ini namanya pelecehan! Aku bisa saja memanggil satpam untuk membawamu keluar!” Aku keluarkan ponsel untuk menelepon Evan. Baru saja aku pegang ponsel. Si tua bangka itu merebutnya dan membanting ponselku. Seketika aku melihat wajahnya yang seakan-akan ingin memangsaku. Tanganku dicengkramnya dan tangan lainnya membuka kancing kemejanya.“Jangan kurang ajar yah!” ancamku.Bukannya berhenti, lelaki itu malah tertawa. “Sudah kuduga, semakin marah, kamu semakin cantik, Sayang. Layani aku, selagi tidak ada suamimu. Ingat ini hanya rahasia kita berdua
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva