“Sudah ketemu, barang yang hilang?” tanya mas Farhan dibelakangku.
“Gak ketemu mas, padahal sampai aku cek ke bagasi,” keluhku.“Kan sudah mas bilang, gak ada apa-apa. Kalau ada, pasti mas sudah kasih tau kemarin-kemarin. Dah sana masuk, udah mau hujan lagi. Nanti kamu tambah sakit.”“Iya, mas.”Aku menutup pintu mobil dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh mas Farhan. Ternyata benar prediksi mas Farhan, baru masuk kamar, hujan pun kembali turun.“Sudah minum obat?” tanya mas Farhan sambil memegang keningku yang panas. Aku hanya menggeleng. Aku jarang sakit, jadi aku tidak pernah stock obat-obatan.“Sepertinya, ibu punya Paracetamol, aku tanyakan dulu.”Mas Farhan keluar kamar dan aku menaruh lipstik merah di laci nakas samping kasur. Jantungku berdetak kencang karena takut ketahuan. Mudah-mudahan alat yang aku tempel tidak diketahui mas Farhan. Sekarang yang aku pikirkan, dimana mas Farhan menyimpan barang belanjaannya?Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mobilnya mas Farhan berhenti cukup lama disana, selama jam makan siang. Tempat itu rumah kontrakan kami yang lama. “Ada apa mas Farhan kesana? Bukankah dah pasti rumah itu disewakan orang lain? Atau cuma kebetulan saja?”Alat yang kupasang, bisa juga merekam percakapan. Selama perjalanan, aku tidak mendengar suara apapun dari dalam mobil. Sepertinya Erika tidak menumpang pada mobil mas Farhan. Aku cukup tenang.Kutaruh ponselku, dan aku membuka catatan Evan mengenai royal cake yang diinginkan customer. Aku mengecek buku resep cake, internet, untuk mencari inspirasi royal cake yang akan aku buat, lalu aku menggambarnya seperti apa yang aku inginkan, lalu aku mencatat berapa banyak cake yang harus aku buat agar sesuai dengan gambaran yang sudah aku buat.“Oke! Sip!” Aku simpan hasil desainku ke dalam tas agar nanti aku mudah mengaplikasikannya ketika aku membuat kue, lalu lanjut aku tidur siang.***S
Baru saja aku melihat GPS mas Farhan sedang berada di rumah kontrakanku yang lama. Kenapa mereka ada disana? Ingin rasanya mampir ke kontrakanku yang lama, tapi aku sudah tidak mempunyai waktu lagi. Aku harus mendekor detail-detail wedding cake, dan aku tidak ingin moodku berubah jadi terjadi sesuatu jika bertemu dengan mereka. Terutama dengan ibu mertuaku. Aku putuskan untuk ke restoran dan menyelesaikan pekerjaanku.“Halo!” sapaku kepada anak-anak SMK yang membantuku bekerja.“Pagi, Bu!” serentak mereka menjawab sapaanku.“Yuk. Kita selesaikan pekerjaan kita. Nanti kita juga harus bawa ke tempat resepsi.”“Bu, kalau dibawa setelah di dekorasi. Apakah mobilnya cukup?” tanya salah satu anak SMK.“Kamu benar! Kita gak bisa bawa pakai mobil kalau sudah didekorasi semuanya. Sebagian harus di dekorasi disana. Ibu akan hubungi pak Evan untuk menyewa mobil box,” ujarku. Bagaimana bisa hal-hal seperti ini terlewat olehku? Andai saja aku tadi men
“Owh ternyata kakak Iparku tersayang ada disini?” sindir Ratih sambil melipat tangannya di depan dada. Aku sendiri hanya bisa tersenyum, aku harus menjaga diriku agar tidak menimbulkan keributan.“Oh. Ini kakak iparmu? Om boleh kenalan?” tanya pria yang ada di samping Ratih sambil mengulurkan tangannya.Mau tidak mau aku menyambut tangannya. “Saya Joko Supriono,” ucapnya sambil tersenyum.“Alea,” jawabku, tapi aku risih karena si Joko ini tidak juga melepaskan tangannya dariku. Dia hanya tersenyum dan menatapku seolah-olah aku adalah mangsanya.“Cih!” Kutarik tanganku dan ingin rasanya aku mencuci tangan yang sudah dipegangnya.“Namanya bagus, secantik orangnya.”“Om suka?” tanya Ratih.“Suka,” jawabnya sambil tetap menatap wajahku.“Baiklah, om disini saja. Aku mau ambil makanan,” ucap Ratih kemudian meninggalkan aku berdua dengan pria tidak jelas ini.“Alea … Alea, kerja disini?” tanya Joko. Sepertiny
Lelaki tua bangka itu masih saja mendekatiku sambil tersenyum sinis. Dia membuka jas hitamnya dan menaruhnya di pinggiran wastafel yang kering. Aku mundur berusaha untuk menjaga jarak dengannya.“Apa yang Bapak inginkan?” tanyaku dengan sedikit emosi.“Tentu saja kita bersenang-senang sebentar, Cantik,” ujarnya sambil membuka ikat pinggang yang melingkar di perutnya dan menurunkan celana kainnya.“Ini namanya pelecehan! Aku bisa saja memanggil satpam untuk membawamu keluar!” Aku keluarkan ponsel untuk menelepon Evan. Baru saja aku pegang ponsel. Si tua bangka itu merebutnya dan membanting ponselku. Seketika aku melihat wajahnya yang seakan-akan ingin memangsaku. Tanganku dicengkramnya dan tangan lainnya membuka kancing kemejanya.“Jangan kurang ajar yah!” ancamku.Bukannya berhenti, lelaki itu malah tertawa. “Sudah kuduga, semakin marah, kamu semakin cantik, Sayang. Layani aku, selagi tidak ada suamimu. Ingat ini hanya rahasia kita berdua
Aku melihat, si preman itu hanya dengan kaos dalam, celana dalam dengan luka lebam di mukanya terlempar keluar dari toilet. Kemudian muncul Calvin sambil membawa pakaian si Joko itu dan melemparkan ke mukanya.“Menyingkir dari sini sebelum satpam yang mengusirmu!” ucap Calvin dengan lantang.Preman itu jatuh tengkurap tak berdaya, dan dari pintu gedung resepsi, Ratih berlari menghampiri preman itu. “Om! Om! Om gak apa-apa?” teriaknya dengan panik.“Papa!” panggil Natasha kepada Calvin, dan segera Calvin menggendong Natasha menggantikan aku.“Terimakasih,” ucapku dengan canggung.“Sama-sama, kamu gak apa-apa, kan?” tanya Calvin. Aku menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Nyaris saja, terima kasih, pak Calvin!” ucapku dengan tulus.“Awas kamu yah, Mbak! Sudah buat om aku menjadi seperti ini! Apa kamu tidak tahu siapa om aku ini?” gertak Ratih sambil memapah si Joko yang sudah tidak berdaya karena babak belur berjalan mengitari g
“Kamu bisa jaga rahasia?” tanyaku pada Evan.Evan memperlambat laju motornya dan berhenti dipinggir jalan, di depan minimarket yang buka 24 jam.“Rahasia apa mbak?”“Aku rasa mas Farhan membohongiku. Dia mengatakan pergi ke Bandung, tapi aku memasang GPS di mobilnya dan mbak cek posisi mobilnya berada di rumah kontrakan mbak yang lama. Mbak mau cek apakah benar mas Farhan ke Bandung, ataukah ke rumah kontrakan yang lama.”“Oh. Oke! Kita mampir kesana biar gak penasaran.” Evan kembali melajukan motornya menuju kontrakanku yang lama. Ketika hampir mendekati kompleks perumahan kontrakanku, jantung ini berdetak lebih kencang. Entah apa hasilnya jika aku melihat mobil mas Farhan di rumah itu. Apakah aku akan menangis? Marah? Dan apakah aku berani untuk menghadapi mas Farhan dan ibunya? Ketakutan-ketakutan akan pikiran-pikiran negatif itu terus bermunculan, hingga Evan berhenti tepat di depan rumah kontrakan aku dan benar, mobil mas Farhan ada
“Minggir!” Kudorong Erika agar aku bisa masuk ke dalam rumah. Kulihat furniture di dalam rumah tidak ada yang berubah. Ruang tamu, masih memakai sofa yang aku beli. Bahkan dekorasinya pun tidak diganti. Ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan menjadi satu hingga membuat rumah minimalis ini terlihat lapang. Yang berbeda adalah foto keluarga yang ada di tengah-tengah dinding. Foto mas Farhan dengan Erika yang saling berpelukan. Ada rasa marah di dalam dada ini. Walau bukan memakai baju pengantin, tapi bukankah bisa dikatakan foto prewedding? Kulihat buket bunga yang ditaruh di meja kecil samping sofa ruang tamu yang masih tercium harumnya. Dan tidak lupa, dekorasi bunga di atas pintu kamar tidur utama, ditambah tirai kain berwarna kuning emas. Aku mengerti sekarang, itu adalah kamar pengantin.“Bangunkan mas Farhan sekarang juga!!” gertakku pada Erika. Erika yang salah tingkah pun masuk ke dalam kamarnya untuk membangunkan mas Farhan, sedangkan ibu mertua yang su
“Tidak usah menolongku,” ucapku sambil berdiri.“Aku tidak ingin menceraikanmu, Alea. Mas masih cinta. Mas hanya membantu Erika untuk menemani disaat-saat sulit ini,” ucapnya.“Oh, ini namanya cinta, mas? Cinta tapi menyakitiku? Cinta apa yang kamu berikan kepadaku?” tantangku.“Alea, bukankah agama kita mengijinkan untuk berpoligami? Mas janji, kalau mas akan berlaku adil kepada kalian,” ucap mas Farhan sebagai bentuk solusi dia menawarkan poligami. Enak sekali, setelah berselingkuh, tiba-tiba saja solusinya dengan berpoligami.“Jika prinsip mas seperti itu, aku tidak melarang–.”“Benar, Dek?” tanyanya lagi dengan menyematkan panggilan Dek kepadaku dan menggenggam tanganku dan tersenyum tidak percaya.“Tapi maaf, itu bukan prinsipku. Kita akan bertemu di pengadilan, mas!’ ujarku sambil melangkahkan kakiku keluar.“Dek!!” panggil mas Farhan.“Mas!” Aku mendengar suara Erika mencegah Farhan untuk keluar rumah.
Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti
Aku duduk merenung di dalam ruanganku sendiri. Bagaimana bisa Erika bersama dengan si Joko? Apa yang terjadi dengan mas Farhan? Kenapa sampai Erika mengancam untuk tidak memberitahukan kepada mas Farhan? Apakah itu artinya Erika ada main dengan si Joko? Lalu bagaimana nasib dengan Ratih? Ah… semakin dipikir membuatku semakin penasaran, tapi aku tidak ingin terlibat langsung dalam urusan rumah tangga mereka. Bukankah aku harus fokus dengan kehamilanku? Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Rasanya menyakitkan jika aku harus mengalami keguguran lagi karena terlibat urusan dengan keluarga mas Farhan. “Ya! Masa bodoh dengan keluarga orang lain! Masih banyak hal yang aku harus pikirkan!” Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan orang lain. *** Beberapa hari berlalu, dan pikiranku tentang Erika serta si Joko perlahan mulai terkubur oleh kesibukan sehari-hari. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku di re
Aku berdiri kaku, menatap Erika yang jelas sama terkejutnya denganku. Namun, tatapan Erika tetap dingin seperti biasanya. Wanita itu berdiri dengan perut besarnya, tetap angkuh seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. Tapi yang membuatku jauh lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sampingnya. Joko Supriono. Pria yang selama ini ingin aku hindari... mimpi buruk di masa laluku. Mas Calvin melangkah setengah langkah ke depan, berdiri di depanku seolah menjadi pelindung. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, apalagi saat si Joko menyunggingkan senyum licik yang sangat aku kenal. "Alea... lama tidak bertemu." Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku menguatkan diri, menatap tajam tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?" suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Joko melirik Erika dengan senyum samar. "Aku
"Mas, Evan minta kita bantu buat nyiapin lamarannya, kamu ada ide?" tanyaku sambil melirik mas Calvin yang fokus menyetir.Suamiku menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis."Evan minta bantuan kamu... atau kita?" godanya.Aku mendengus pelan, melipat tangan di dada pura-pura kesal."Ya jelas kita lah, Mas! Masa aku sendiri? Kamu kan jago soal beginian."Mas Calvin terkekeh, tapi aku tahu dia memang senang jika dilibatkan."Hmm..." gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir, seolah berpikir."Kita bisa buat acara kecil di restoran kamu. Gak usah mewah, yang penting intimate dan berkesan."Mataku langsung berbinar, ide itu terdengar sempurna."Kayaknya Nadine tipe yang gak suka hal-hal berlebihan, ya?"Mas Calvin mengangguk kecil."Iya... dan Evan pasti pengen suasana yang sederhana tapi bermakna."Aku tersenyum, membayangkan wajah Evan yang pasti akan gugup di hari lamarannya.