"Hai." Seorang wanita cantik menyapaku ramah dengan melempar senyum manis saat pintu kubuka. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang dipaksa. Wanita itu masih memandangku ramah dengan sesekali mencari celah ke arah belakangku seperti sedang mencari seseorang. "Boleh masuk?" tanyanya kemudian karena aku masih berdiri di depannya. Belum mempersilakannya masuk. Sengaja. Aku juga masih memegang erat sisi tepi daun pintu agar tidak terbuka lebar. Inginku pintu ini segera menutup dan mencegah wanita ini masuk ke dalam rumah. "Bisakah tidak datang hari ini? Kami ada acara keluarga," ujarku tanpa basa-basi melontarkan pertanyaan itu padanya. Berharap wanita di depanku ini mengerti dan memutuskan pergi. Ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menolak kedatangannya. "Oh ya, hm … ada acara keluarga? Surya tidak bilang. Acara apa? Boleh ikut?" Mataku terbelalak kaget tak percaya mendengar wanita yang tidak kuinginkan kehadirannya ini bertanya demikian? Ikut katanya? Mataku awas menengok ke arah belakangku, memastikan seseorang yang berada di dalam sana tidak mengetahui siapa yang bertamu saat ini. Aku baru tahu ada makhluk yang tanpa malu seperti dia hidup di muka bumi ini. bukankah memintanya tidak datang ke rumahku saat ini adalah sebuah pengusiran? kenapa dia tidak peka?
view more"Hai." Seorang wanita cantik menyapaku ramah dengan melempar senyum manis saat pintu kubuka. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang dipaksa.
Wanita itu masih memandangku ramah dengan sesekali mencari celah ke arah belakangku seperti sedang mencari seseorang. "Boleh masuk?" tanyanya kemudian karena aku masih berdiri di depannya. Belum mempersilakannya masuk. Sengaja. Aku juga masih memegang erat sisi tepi daun pintu agar tidak terbuka lebar. Inginku pintu ini segera menutup dan mencegah wanita ini masuk ke dalam rumah. "Bisakah tidak datang hari ini? Kami ada acara keluarga," ujarku tanpa basa-basi melontarkan pertanyaan itu padanya. Berharap wanita di depanku ini mengerti dan memutuskan pergi. Ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menolak kedatangannya. "Oh ya, hm … ada acara keluarga? Surya tidak bilang. Acara apa? Boleh ikut?" Mataku terbelalak kaget tak percaya mendengar wanita yang tidak kuinginkan kehadirannya ini bertanya demikian? Ikut katanya? Mataku awas menengok ke arah belakangku, memastikan seseorang yang berada di dalam sana tidak mengetahui siapa yang bertamu saat ini. "Ti–" "Medina, ada siapa di depan? Aurel ya?" Belum sempat kujawab tidak, terdengar suara bariton Mas Surya dari dalam rumah. Aku berdecak kesal. Suamiku itu bisa menebak dengan tepat siapa yang barusan datang. Aku sangsi, jangan-jangan mereka berdua memang sudah janjian bertemu di rumah ini.Langkah pasti terdengar semakin mendekati kami."Aurel," gumam Mas Surya dengan mengulas senyum semringah. "Hai!" sapa Balik wanita tersebut seraya melambaikan tangannya ke arah suamiku, kesenangan. Ayo masuk!" Terpaksa aku melipir ke samping Mas Surya saat ia mengambil alih dan berdiri di hadapan Aurel. Pintu dibukanya lebar, mempersilakan dengan senang hati wanita yang diakuinya cuma sahabat itu masuk ke dalam rumah kami. "Malik ada, Ya? Aku kangen." Pertanyaan yang basi dan memuakkan. Tentu saja ada karena aku ada di rumah. Sejak kapan anakku itu pergi tanpa ibunya? Mas Surya menganggukkan kepala menjawab ada. Tanpa sungkan wanita itu akhirnya masuk ke dalam rumah kami dan mengabaikanku yang masih berdiri di samping Mas Surya. Dia bahkan tak pernah izin lagi padaku seperti pertama bertamu. Masuk nyelonong saja karena sudah hapal seluk beluk rumah ini. "Mas." Tanganku mencegat Mas Surya yang ingin pergi. Aku ingin bicara dengannya barang sebentar saja membahas Aurel. Netra hitam Mas Surya bertanya menyelidik."Mas, kenapa Aurel datang lagi. Apa Mas sudah bilang padanya kalau–" Suara sudah kukecilkan karena tidak ingin terdengar wanita tersebut. Namun belum jelas kubertanya, Mas Surya sudah memotongnya."Ayolah Medina. Itu cuma Aurel. Dia hanya ingin bertamu. Apa salahnya." Lagi-lagi suamiku itu membela sahabatnya. Iya, memang tidak salah bertamu, tapi tidak setiap weekend dimana itu adalah hari libur suamiku dan hari untuk bersama keluarganya. Bukankah mereka sudah satu kantor? Apa belum puas bertemu setiap hari di sana? Ucapanku diabaikan, dan Mas Surya pergi mengekor langkah Aurel yang sudah masuk lebih dalam, meninggalkanku yang terdiam tak berdaya. Lagi-lagi aku kalah oleh sahabat suamiku itu. "Surya, lihat! Bagus kan? Aku belikan ini buat Malik. Ini mainan edisi terbaru. Aku sengaja beli buat Malik. Keren ya?" Sorot matanya mengarahkanku dan Mas Surya ke arah mainan mahal berjenis mobil-mobilan dengan brand ternama. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi hadiahnya itu. Heran saja padanya yang membelikan mainan semahal itu, sedang anakku sekarang ini masih berumur dua tahun dimana dia belum mengerti bagaimana cara memainkan mainan mahal itu dengan hati-hati. Di mata kecilnya semua mainan itu sama. "Rel, ini terlalu mahal. Malik belum bisa memainkannya, yang ada nanti rusak," ucap Mas Surya seperti tidak enakan gitu saat mainan itu sudah berada di tangan Malik. Anak kami itu tampak tersenyum senang mendapatkan mainan baru. Syukurlah suamiku berpikiran sama denganku. Aku yakin dia paham betul mainan apa yang sedang dibawakan Aurel saat ini. Mainan itu belum cocok untuk usianya."Tidak apa. Gampang, nanti kita beli lagi. Seusianya memang demennya rusak mainan," jawabnya terkekeh sendiri. Aku tak suka mendengarnya. Dengan cepat mainan itu kuambil dari tangan Malik dan kumasukan kembali ke dalam paper bagnya. Lalu kuserahkan ke Aurel. "Suamiku benar. Malik belum bisa memainkannya. Ambillah! Harusnya tak perlu membawakan mainan semahal itu untuk anakku, dia masih kecil. Yang barusan tidak cocok untuknya. Sebentar juga rusak.""Medina," tegur Mas Surya, tapi kuabaikan. Aku tak peduli ia marah atas sikapku barusan pada Aurel. Mungkin sesekali wanita itu memang harus dikasari. Syukur juga Malik tak marah karena mainan di tangannya itu kurebut paksa dan segera kuganti dengan mainan kesukaannya yang sering dimainkannya. "Tidak apa, Ya. Medina benar. Aku minta maaf. Aku yang lupa mainan seperti apa yang seharusnya kubawakan untuk Malik. Harusnya bukan mainan semahal ini. Aku lupa kalau kemampuan ibunya hanya sebatas mainan seperti itu, eh maaf. Maksudnya anu …, ehm Medina maksudku." Aurel tak mampu melanjutkan ucapannya yang baru saja menyinggungku. Sorot matanya mengarah ke keranjang mainan Malik yang isinya memang mainan dengan harga biasa. Ada yang harganya lumayan tapi tidak semahal seperti yang dibelikan Aurel. Bukannya tak mampu beli, tapi aku lebih memilih mainan yang ada nilai edukasinya atau mainan yang diperuntukkan sesuai umurnya Malik. Bukan dilihat dari nilai materinya. "Kamu salah Aurel. Mainan Malik itu–""Cukup Medina. Jangan diteruskan!" Mas Surya sekali lagi menyela ucapanku yang belum selesai. "Rel, maafkan Medina. Mungkin maksud Medina tidak seperti itu. Dia tentu senang Malik dapat mainan yang tidak semua anak mampu beli. Terima kasih. Yang dimaksud Medina itu mainan ini belum bisa dimainkannya karena terbatasnya usia Malik. Dia hanya mampu melempar dan pasti mainan darimu ini bakal rusak." Hah? Mulutku terbuka lebar dengan mata yang hampir ingin copot mendengar Mas Surya menyalahkanku dan lebih membela Aurel. Baginya aku selalu salah dan Aurel lah yang benar."Medina, lebih baik siapkan makan siang. Ini sudah waktunya kita makan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Tak perlu berdebat untuk hal yang seperti tadi." Tanganku mengepal kuat pasti dengan buku tangan yang memutih menahan emosi akibat perkataan suamiku barusan. Kali ini kuanggukkan kepala menuruti permintaannya. Malik kuserahkan ke Mas Surya dan segera beranjak pergi dari ruang tengah. Seperti yang dikatakannya tak perlu berdebat dan kuakui benar karena aku tidak ingin berdebat di depan Malik. Aku tidak ingin mencontohkan hal yang tidak baik padanya. Kucoba mengalah, tapi bukan untuk kalah, melainkan untuk menang. Biar saja wanita itu kesenangan karena dibela suamiku. Namun nanti, ada saatnya kubalas lebih kejam dari yang kudapat sekarang.Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments