"Tentu kamu. Memangnya hantu? Ih, atut," ledek Rudi dengan gaya melambainya mirip wanita. Aku tersenyum melihatnya. "Nah, gimana, suka kan? Jangan bilang itu bukan kamu lagi. Kamu itu cantik, tapi sayangnya malas dandan. Padahal kalau punya laki itu harus diservis maksimal. Oleng dikit aja dia bisa berpindah ke lain loh."Aku mengangguk mengiakan. "Jangan angguk, senyum aja. Dengerin. Dicatat di benakmu ini cara merawat diri dari badan sampai ke wajah. Jangan sampai lupa apalagi malas aplikasikan. Ingat ya, pake tuh paket perawatan yang sudah kukasih, yang lama buang aja. Terus pake juga pakaian yang sudah kupilihkan. Boleh ingin berpenampilan tertutup, tapi jangan juga diaplikasikan di rumah. Kasihan laki lu. Sudah capek kerja disuguhkan yang nggak menarik. Cantik dimanapun itu wajib, apalagi di rumah. Masa di luar dandan, pas di rumah kamu ngegembel. Hello? Kamu bakal ditinggal, percaya deh ma eyke." Aku terpekur memikirkan semua apa yang diucapkan Rudi di dalam mobil taksi yan
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Mas Surya belum terlihat batang hidungnya. Kalau Ibu mertua sudah pergi sejak sejam yang lalu. Sedang aku sedari tadi hanya mondar-mandir di ruang tamu mengecek kedatangan suami. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Bahkan tidak aktif beberapa menit yang lalu. Bisa jadi merasa terganggu karena terus kuteror dengan pesan dan telepon dariku. Aku tak mengerti dengannya. Pesanku dibacanya tapi tak sedikitpun dibalas. Apa sesibuk itukah ia di kantor hingga untuk membalas pesan saja tak bisa? Hm … sesulit itu aku memahami suami sendiri. Selang beberapa menit ada pesan masuk. [Aku lembur lagi, jangan menghubungi kalau tidak penting.] Dari Mas Surya. Bergegas aku menghubunginya ternyata nomornya langsung tak aktif. Ponselnya mati kembali. Aku mendesah berat. Kuputuskan masuk kamar. Merebahkan diri di samping Malik karena kecewa menunggu dirinya tapi ternyata dibalas seperti itu. Ditambah mata sudah tak mampu diajak kompromi. Mungkin karena s
"Medina, kamu?" Mas Surya tercengang seolah tak percaya melihatku ada di hadapannya. Kami saling tatap hingga aku merasa waktu seakan berhenti berputar dan terfokus pada kami bertiga. Aku berusaha tegar berdiri di hadapan dua orang yang mengaku sahabat, tapi tidak terlihat seperti itu. Entah sengaja atau tidak, saat aku menatapnya, Aurel mengeratkan pegangan tangannya di lengan Mas Surya. Kalau dia sadar diri hanya seorang sahabat, harusnya melepaskan tangannya dari sana, bukan malah mempereratnya. "Medina, kamu k–kenapa ada di sini? S–siapa yang sakit?" Mas Surya tampak tak siap melihatku ada di hadapannya. Ia bertanya dengan terbata seraya mengitari sekitar. Pertanyaannya tak kugubris dan aku melangkahkan kaki melewati mereka berdua. Urusan Malik lebih penting daripada menjawab pertanyaan Mas Surya yang masih menggamit mesra tangan Aurel. "Medina!" "Na!" Panggilan Mas Surya kuabaikan. Namun tanganku ditariknya kuat. "Jawab Na, siapa yang sakit? Kamu nggak mungkin ada di
"Bu." "Bu Medina." Kuusap kedua mata sambil menggeliat. Sayup terdengar ada yang memanggil namaku. "Bi Jum? Ada apa?" tanyaku setelah sadar Bi Jum lah yang memanggil namaku barusan. "Maaf, Bu, membangunkan. Sebaiknya Bu Medina tidur di sana. Biar Bi Jum yang duduk di sini jaga Den Malik," ujarnya memberi saran sambil berbisik karena posisi kami saat ini berada sangat dekat dengan Malik. Aku duduk di kursi yang menghadap Malik. Sorot mataku mengarah ke telunjuk Bi Jum yang menunjuk ke ranjang kosong dimana Bi Jum barusan tidur di sana atas permintaanku. Aku menggeleng. "Bibi saja. Kenapa Bi Jum bangun?" tanyaku seraya melirik ke arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul dua subuh. Kalau dihitung dari jam sebelumnya, maka aku sudah ketiduran setengah jam lebih. "Ibu Medina tertidur sambil mengigau. Bi Jum kira itu Den Malik. Pas Bi Jum dekati, ternyata Ibu." Bi Jum menjelaskan perihal suara yang ia dengar. Mungkin itulah penyebab dia terbangun, karena-ku. "Saya ngigau, Bi?
Sebuah sentuhan di bahu tak membuatku mengerjapkan mata. Aku tahu itu Mas Surya. Setelah masuk ke ruang rawat Malik, aku segera duduk dan menelungkupkan kepala diatas kasur Malik. Berpura tidur. Meski ini hanya pura-pura, kurasa Mas Surya tahu. Aku yakin dia tidak akan memaksaku bangun apalagi memarahiku karena di dalam sini selain ada Malik, ada Bi Jum juga. Aku memaksa Bi Jum tidur di kasur sebelah yang kosong, dan aku yang duduk di depan ranjang Malik. "Pak." Sebuah suara yang kukenal memanggil suamiku itu. "Bapak perlu sesuatu? Biar Bi Jum yang lakukan. Sepertinya Ibu sudah tidur. Kasihan Ibu tidak ada tidur sama sekali. Pasti kelelahan. Saya tidak tega membangunkannya untuk pindah ke sini, nanti Ibu nggak bisa tidur lagi." "Biarkan saja. Bibi tidurlah. Biar Saya yang jaga Malik.""Inggih, Pak. Tapi kalau Bapak mau istirahat juga, silakan Pak. Nanti biar Bi Jum yang jaga. Den Malik nggak rewel Pak. Sedari tadi tidur terus. Mungkin efek diberi obat, tapi alhamdulillah sudah m
Kupeluk Malik yang ikut menangis karenaku. Ada rasa penyesalan karena telah membuatnya terbangun. Kami menangis bersama dengan penyebab yang berbeda. "Na, tenang. Kamu harus tenang. Malik jadi ketakutan. Yang barusan itu cuma mimpi. Kamu baik-baik saja. Ada aku di sini," ujar Mas Surya yang menghampiri kami tanpa bisa kucegah. Ia mencoba menenangkanku. Ikut merangkul juga. Padahal tanpa disadari kesedihanku kali ini karena dia. Lalu bagaimana cara dia menjagaku? Setelah bisa menenangkan Malik dan menidurkannya kembali. Aku bergegas masuk ke kamar mandi ingin merapikan penampilanku bekas menangis. Lalu keluar setelahnya dan mengambil duduk di samping ranjang Malik. Kuedarkan pandangan menatap isi ruangan Malik dan tidak kutemukan keberadaan Mas Surya di sana. Hanya ada Bi Jum yang menatapku dengan sorot mata bingung. "Pak Surya keluar, Bu. Katanya sebentar saja." Tanpa kutanya, Bi Jum lebih dulu memberitahukan kemana perginya suamiku tersebut seolah mengerti dengan maksud tatapank
"Hubungan kita? Bukankah jelas kalau selama ini kita adalah …." "Suami-istri. Iya kan? Kenapa dipertanyakan? Ada apa denganmu, Na? Apa kamu masih mencurigai hubunganku dengan Aurel? Begitu? Astaga Medina!" Mas Surya balik menyerangku dengan tudingannya yang merasa tak bersalah. Aku diam dan memalingkan muka. Bukan tak mampu bicara, tapi merasa heran kalau laki-laki di depanku ini mampu bertanya seperti itu. Seolah akulah yang salah karena terlalu mencurigainya. Wanita mana pun akan bersikap sepertiku kalau mendapati suaminya terlalu dekat dengan teman wanitanya. Apalagi wanita yang diakui sahabat itu tidak peka dan tak tahu malu. Belum sempat kujawab terdengar suara deru mobil yang sepertinya berhenti di depan rumah kami. Aku segera menengok ingin tahu siapa yang datang dari jendela depan samping pintu utama karena posisi kami masih berada di ruang tamu. Benar ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah kami dan aku tahu itu mobil siapa. "Ngapain dia datang kemari? Ini buka
Kubuka ponsel Mas Surya untuk menyelidiki sesuatu. Mencari tahu apa saja yang selama ini disembunyikannya dariku. Siapa tahu ada rahasia yang selama ini ditutupinya dan tidak ingin diketahui. Selama berumah tangga, mungkin kami adalah pasangan teraneh karena saling tertutup dan tidak pernah berbagi banyak hal. Terutama untuk benda kepemilikan. Kami memiliki perjanjian dimana tidak boleh menyentuh barang pribadi masing-masing. Entah itu dompet, ponsel, dan lain sebagainya. Termasuk laci meja kerjanya. Aku dilarang mendekatinya. Alasannya karena ada barang kantor yang takutnya malah rusak kalau kusentuh. Masuk akal, tapi adanya perjanjian itu sebenarnya atas permintaan dari Mas Surya, bukan dariku. Ingin menolak tapi aku seperti tak punya kuasa karena saat itu, bisa menikah dengannya saja seperti mendapat durian runtuh. Aku kesenangan hingga lupa bahwa yang bahagia dengan pernikahan ini hanya dari pihakku. Sedang dia terlihat terpaksa menjalani. "Astaga, nomor pinnya berapa? Aku tak
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t