Home / Rumah Tangga / Tamu yang Tak Diundang / Kemarahan Ibu Mertua

Share

Kemarahan Ibu Mertua

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2022-09-21 13:43:40

Aku segera menghampiri ibu mertua yang asyik bermain dengan Malik. Melihat keakraban mereka membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai mertua yang mendukungku di saat suami sendiri terlihat acuh.

"Ya, Surya. Kenapa?"

Aku tertegun saat langkahku tinggal enam langkah menuju ibu mertua. Beliau mendapatkan telepon dari seseorang dan aku tahu itu dari suamiku, Mas Surya.

"Hm … mungkin. Kata siapa?" ujarnya seraya menoleh ke arahku. Aku melempar senyum tipis dengan segera melanjutkan langkah menuju ke arahnya. Kuambil Malik dari gendongannya agar ia lebih leluasa saat bertelponan.

"Kenapa penasaran sekali. Kalau Mama mau ke tempatmu hari ini atau tidak, nggak masalah kan? Bebas kan kalau mau mengunjungi rumah anaknya? Apa tidak boleh, kamu nggak suka, begitu?"

Aku masih setia berada di samping Ibu mertua mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh dua ibu-anak tersebut meski hanya dari satu arah, karena suara Mas Surya tak terdengar olehku.

"Medina?" Setelah menyebut namaku, ibu mertua terkekeh sendiri seolah ada yang lucu. Aku mencuri pandang padanya. Mencari tahu apa itu dengan menatapnya lekat, tapi tak ada jawaban. Beliau masih asyik bicara dengan suamiku.

"Nggak papa. Mungkin dia sedang bercanda. Sesekali orang dingin kayak kamu dibecandain ya biasa aja, Ya. Istri sendiri juga."

Dari cara Mama Lila menjawabnya sudah dipastikan bahwa suamiku itu sedang mengeluhkan diriku pada ibunya. Aku harus menyiapkan diri karena pasti setelah pulang, Mas Surya bakal meluapkan kemarahannya tersebut padaku.

"Surya bilang teleponnya tidak kamu angkat, benar?" Setelah menutup telepon dari Mas Surya, Ibu mertua bertanya.

Oh, jadi ini yang ia keluhkan pada ibunya? Soal telepon itu.

"Yang benar, Ma?" Dengan sok polos aku bertanya. "Oh, mungkin nggak terangkat. Kan Medina tinggal keluar. Sedang ponsel, Medina taruh di kasur. Mungkin pas Medina keluar, ponselnya baru berbunyi jadi Medina nggak dengar." Aku mencari alasan dengan berbohong. Meski ada rasa bersalah, terpaksa kulakukan.

"Memangnya tadi Mas Surya ngomong apa Ma? Dia marah ya?" Raut wajah sengaja kubuat sesendu mungkin agar ibu mertua bersimpati.

"Nggak Na. Awas saja kalau dia marah. Mama malah heran dia kayak takut gitu kalau Mama ke sini."

Aku tersenyum dikulum mendengarnya. Lalu segera memalingkan muka. Tidak ingin terlihat olehnya sedang menertawakan anaknya tersebut.

'Bukan takut Ma, tapi sahabatnya bakal sulit berkunjung dengan leluasa kalau ada Mama di sini'. Aku membatin dalam hati karena malas melontarkan sindiran tersebut pada ibunya Mas Surya.

"Surya nanya apa benar Mama mau ke rumah kalian, katanya dia tahu kabar itu dari kamu. Ya, Mama jawab saja bisa ya, bisa tidak. Eh, dia ngotot suruh Mama jawab pasti apa katanya. Kan lucu."

"Terus Mama jawab apa?" tanyaku penasaran karena seingatku tidak terdengar kata iya ataupun tidak dari mulutnya.

"Nggak Mama jawab. Biar dia penasaran." Lalu Mama terkekeh kembali. Akun ikut tertawa kecil menanggapinya. Ternyata tidak aku saja yang bisa mengerjai Mas Surya. Ibunya pun ikutan juga.

Ibu mertua bercerita kalau dia mungkin hanya sehari ini saja menginap di rumah kami. Ia kira Aurel akan datang hari ini dan disitulah rencananya dia ingin melihat secara langsung bagaimana sahabat suamiku itu bersikap. Jujur katanya sudah lama tidak bertemu. Mas Surya ada cerita ketemu Aurel. Hanya sebatas itu saja. Dia tidak cerita kalau satu kantor juga dengan Aurel. Itu yang membuatnya tidak habis pikir kenapa hal tersebut ditutupi.

***

"Bu," panggilku memberi kode saat terdengar deru suara mobil di depan rumah.

"Surya?" tebaknya bertanya memastikan. Aku mengangguk cepat dengan sangat yakin membenarkan tebakannya. Suara mobil Mas Surya itu sangat khas di telingaku karena sudah terbiasa mendengarnya.

"Dia pulang," kata Mama Lila seraya melirik jam dinding di ruang tengah.

Aku mengangguk lagi. Rasa penasaran pasti memaksa Mas Surya pulang di jam istirahat siangnya. Apa yang kamu takutkan Mas, ibumu cuma datang.

Segera aku melangkahkan kaki ke depan untuk memastikan kembali.

Benar, yang datang itu suamiku. Aku mengintip kedatangannya lewat jendela samping pintu depan.

Mataku memicing melihat Mas Surya berdiri di depan pintu mobilnya seperti sedang berbicara dengan seseorang. Seperti ada orang lain di dalam mobilnya. Apa hanya perasaanku saja? Entah kenapa sekarang jadi parnoan. Selalu saja merasa ada kehadiran Aurel di sekitarku.

Aku segera berdiri di depan pintu dan membukanya lebih dulu sebelum keduluan Mas Surya. Berpura menyambut kedatangannya.

"Mas, kok pulang?" ujarku seolah terkejut. Mas Surya tak menyahut. Ia lebih tertarik melirik ke dalam seolah sedang mencari seseorang.

"Kenapa teleponku tidak diangkat?" ujarnya bertanya ketus seraya melangkahkan kaki ke dalam dengan cepat.

"Nggak kedengaran, Mas." Aku mengekornya di belakang.

"Mama sudah datang? Apa benar Mama mau ke rumah?"

"Hm …."

Belum sempat aku berucap, terdengar suara ibu mertua menyapa Mas Surya lebih dulu.

"Suprise! Kaget tidak, Mama ada di sini?" Mama Lila tersenyum semringah dengan Malik di gendongannya.

"Mama beneran datang?" Mas Surya meraih tangan ibunya untuk dicium takzim.

"Kenapa? Kok kaget gitu. Biasa saja kan kalau Mama datang. Nggak boleh? Harus izin dulu ya, sama kamu?"

"Nggak, Ma. Boleh. Bebas Mama mau ke sini kapanpun. Surya cuma kaget saja."

"Kirain. Dari di telepon tadi juga gitu nanyanya kayak nggak suka kalau Mama ke sini nggak ngomong dulu. Kamu kenapa? Ada yang disembunyikan? Kalian menutupi apa dari Mama?"

Aku yang sedari tadi hanya diam menyimak jadi ikut terkesiap mendengar pertanyaan barusan. Kenapa jadi ikut dicurigai. Seharusnya hanya Mas Surya saja karena dialah biangnya.

"Nggak ada, Ma. Kami baik-baik saja. Iya kan?" Mas Surya merengkuh pinggangku. Sikap mesranya yang mendadak seperti ini tak membuatku bahagia. Aku tahu dia sedang berpura-pura. Sedang bersandiwara saja biar ibunya tidak curiga lagi.

Kuanggukkan kepala mengiakan. Sedari awal aku juga tidak ingin Ibu mertua tahu hubungan kami yang mulai renggang dan sering terlibat percekcokan.

"Pas banget kamu bisa makan siang di rumah. Tumben Ya. Kata Medina kamu tidak pernah makan siang di rumah karena sangat sibuk. Nggak sempat, iya, begitu?" Mama Lila tampak menyelidik. Menatap lekat Mas Surya meminta jawaban. Tangannya menggamit lengan Mas Surya memaksanya mengikuti langkahnya. Aku berada di belakang mereka.

"Iya, Ma. Jarak dari rumah kantor memang tidak terlalu jauh. Namun kalau pulang bolak-balik kantor-rumah terus rasanya capek Ma. Waktunya juga mepet. Jadi Surya milih makan di dekat kantor saja. Surya sudah izin kok sama Medina dan dia tidak keberatan." Tatapan Mas Surya ke arahku minta dukungan. Aku terpaksa menganggukkan kepala.

"Kenapa sekarang bisa?" Kami berada di area dapur dan Mas Surya sudah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Makanan yang dimasak bersama mertua sudah tersaji indah di atas sana.

"Ehm, karena ada Mama. Kata Medina, Mama bakal datang siang ini untuk makan siang bareng, jadi Surya putuskan harus pulang. Surya nggak mau melewatkannya karena jarang kan kita bisa makan bersama. Apalagi kami beberapa minggu ini tidak ada berkunjung ke rumah Mama."

Mama tersenyum mendengar jawaban Mas Surya. Suamiku itu memang paling bisa memberikan jawaban yang menyenangkan. Dia tahu cara bersilat lidah dengan baik. Setelahnya kami asyik makan diselingi obrolan. Kebanyakan hanya antara Mama dan Mas Surya, sedang aku sibuk menjaga Malik sambil memberikannya makan. Namun kulihat Mas Surya tampak gelisah. Sebentar-sebentar selalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku celana. Nyala ponselnya menegaskan ada panggilan masuk meskipun nada deringnya tak terdengar. Ia hanya melihatnya saja lalu memasukkan kembali ke dalam saku. Sepertinya karena diajak Mama ngobrol terus-menerus membuat Mas Surya kesulitan untuk mengangkatnya. Apa Mama Lila sadar akan tingkah polah anaknya? Dan apa panggilan telepon itu dari Aurel?

Tak berapa lama pintu depan rumah berbunyi. Kami serempak menoleh ke asal suara.

"Siapa Na?" Ibu mertua bertanya padaku. Kugelengkan kepala karena tidak ingin asal menebak.

"Biar Medina lihat dulu, Ma."

"Jangan! Duduklah. Biar aku saja," cegat cepat Mas Surya menghentikanku yang ingin beranjak pergi ke arah depan.

"Mas duduk saja. Makan Mas kan belum habis, sayang terjeda. Biar aku saja Mas." Tak ingin kalah karena tidak biasanya Mas Surya menawarkan diri untuk hal seperti ini.

"Nggak, Na. Aku saja. Kasihan Malik belum selesai makannya." Bahuku ditahan Mas Surya. Terpaksa aku duduk kembali.

Mas Surya sudah melangkah pergi meninggalkan kami dengan cepat.

"Ma, coba Mama cek siapa tamunya. Entah kenapa Medina yakin itu Aurel." Dengan berbisik aku mengatakan hal tersebut pada ibu mertua dan memintanya untuk mengikuti Mas Surya ke depan. Aku sudah tidak mungkin lagi bergerak karena Mas Surya menahanku.

"Yakin." Meski bertanya ragu, Mama Lita bergerak perlahan. Aku mengangguk yakin karena batinku mengatakan demikian. Nama itu terus saja mengusikku. Apa aku yang curiga berlebihan?

Ditunggu sekian detik belum tampak juga kedua ibu dan anak itu batang hidungnya. Aku yang masih duduk di meja makan jadi penasaran. Apa benar itu Aurel atau tamu sungguhan. Andai bukan, sungguh memalukan.

Namun terdengar suara berisik dari depan. Seperti ada keributan? Aku bergegas menuju ke sana. Teriakan menggelegar menyuruh pergi terdengar sampai ke tempatku berada.

Tampak Mama Lita sedang memarahi Mas Surya di depan pintu yang masih terbuka. Keningku mengernyit menebak apa yang terjadi. Kenapa Mama begitu marah? Tidak terlihat ada orang lain selain mereka. Lalu apa masalahnya dan tadi itu siapa yang mengetuk pintu?

Aku berjalan pelan ke arah mereka.

"Yah."

Suara panggilan Malik pada Mas Surya menghentikan omelan ibu mertuaku tersebut. Keduanya menatap ke arahku.

"Ma, ada apa?" tanyaku lembut.

"Ini Surya mau main pergi saja ke kantor."

Jawaban Mama Lita sangat ganjal bagiku. Tidak masuk akal. Lalu, maunya Mama apa? Tidak mungkin menahannya kan karena Mas Surya hanya istirahat untuk makan siang, tentu dia harus balik lagi ke kantor.

"Surya pergi dulu ya Ma. Panggilan kantor sudah mendesak."

Mas Surya mengulurkan tangannya tapi belum disambut Mama. Beliau malah bersedekap dan memundurkan badan seolah menjauh.

"Malik sudah selesai makannya, Cu. Pintar." Mama malah mengambil Malik dari gendonganku dan mengabaikan suamiku.

"Makanlah, Nak. Biar Mama yang jaga Malik. Kamu pasti lelah," ujarnya kemudian memintaku makan.

Kutatap wajah keduanya. Sikap mereka aneh. Apalagi Mama mertua yang marah tanpa alasan jelas. Pasti ada yang ditutupi oleh ibu mertua dan suamiku tersebut. Tapi apa?

"Na, aku pergi," ucap suamiku mengulurkan tangannya. Segera kusambut mencium takzim. Tampak Ibu mertua beranjak masuk ke dalam rumah membawa Malik. Sedang aku memperhatikan lekat penuh tanya kepergian suamiku tersebut yang akan menaiki mobilnya.

Suara apa itu?

Aku urung membalik badan ingin masuk rumah saat terdengar suara orang bersin. Terdengar dua kali. Suara itu bukan dari Mas Surya. Aku kenal betul suara bersinnya. Suara itu lebih mirip ke suara wanita. Namun tak terlihat siapapun di sekitar rumah. Aku menatap tajam ke arah mobil Mas Surya. Kecurigaanku mengarah ke sana. Ketika ingin menghampirinya, Mas Surya malah membawa mobilnya melesat lebih cepat keluar dari halaman rumah.

Bukankah sebelumnya aku yakin di dalam mobil itu ada seseorang. Benarkah itu Aurel?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri dungu kayak gini wajar diselingkuhi suami.
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
aaah medina mah lemot. kudunya saat curiga, lsung aja samperin mobilnya. bisa alasan mau ambil tempat makanan bekal tadi pagi. biar lsung ketangkep basah deh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Tamu yang Tak Diundang   Mengubah Penampilan

    "Ma, tadi siapa? Aurel ya?" tanyaku menghampiri Mama yang berada di ruang keluarga bersama Malik. Kuberanikan bertanya karena sangat yakin orang yang kucurigai berada di dalam mobil Mas Surya itu adalah Aurel. Mama hanya menatapku sebentar lalu fokus kembali ke Malik yang sedang asyik bermain. Aku diam menunggu jawabnya. Lalu Mama memperhatikanku lekat. Bahkan nampak sekali beliau menatapku dari bawah ke atas seakan sedang memindai penampilanku saat ini. "Apa seperti ini penampilanmu di rumah, Na?" Celana kulot dengan atasan longgar begini?" Ujung bajuku sampai ditarik Mama hingga badan sedikit tertarik ke arahnya. Pertanyaannya barusan terdengar sangat ketus. Mama nampak kesal. "Iya, Ma. Kenapa?" Aku dengan polosnya bertanya heran dengan mengamati penampilan sendiri. Lalu menggumam dalam hati apa yang salah dengan penampilanku saat ini. Biasanya juga begini dan Mama sudah sering melihatnya. Kenapa baru berkomentar sekarang? Kenapa sikap mertua begitu kesal setelah bertengkar

    Last Updated : 2022-09-22
  • Tamu yang Tak Diundang   Batal Menginap

    "Tentu kamu. Memangnya hantu? Ih, atut," ledek Rudi dengan gaya melambainya mirip wanita. Aku tersenyum melihatnya. "Nah, gimana, suka kan? Jangan bilang itu bukan kamu lagi. Kamu itu cantik, tapi sayangnya malas dandan. Padahal kalau punya laki itu harus diservis maksimal. Oleng dikit aja dia bisa berpindah ke lain loh."Aku mengangguk mengiakan. "Jangan angguk, senyum aja. Dengerin. Dicatat di benakmu ini cara merawat diri dari badan sampai ke wajah. Jangan sampai lupa apalagi malas aplikasikan. Ingat ya, pake tuh paket perawatan yang sudah kukasih, yang lama buang aja. Terus pake juga pakaian yang sudah kupilihkan. Boleh ingin berpenampilan tertutup, tapi jangan juga diaplikasikan di rumah. Kasihan laki lu. Sudah capek kerja disuguhkan yang nggak menarik. Cantik dimanapun itu wajib, apalagi di rumah. Masa di luar dandan, pas di rumah kamu ngegembel. Hello? Kamu bakal ditinggal, percaya deh ma eyke." Aku terpekur memikirkan semua apa yang diucapkan Rudi di dalam mobil taksi yan

    Last Updated : 2022-09-24
  • Tamu yang Tak Diundang   Pertemuan Tak Terduga

    Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Mas Surya belum terlihat batang hidungnya. Kalau Ibu mertua sudah pergi sejak sejam yang lalu. Sedang aku sedari tadi hanya mondar-mandir di ruang tamu mengecek kedatangan suami. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Bahkan tidak aktif beberapa menit yang lalu. Bisa jadi merasa terganggu karena terus kuteror dengan pesan dan telepon dariku. Aku tak mengerti dengannya. Pesanku dibacanya tapi tak sedikitpun dibalas. Apa sesibuk itukah ia di kantor hingga untuk membalas pesan saja tak bisa? Hm … sesulit itu aku memahami suami sendiri. Selang beberapa menit ada pesan masuk. [Aku lembur lagi, jangan menghubungi kalau tidak penting.] Dari Mas Surya. Bergegas aku menghubunginya ternyata nomornya langsung tak aktif. Ponselnya mati kembali. Aku mendesah berat. Kuputuskan masuk kamar. Merebahkan diri di samping Malik karena kecewa menunggu dirinya tapi ternyata dibalas seperti itu. Ditambah mata sudah tak mampu diajak kompromi. Mungkin karena s

    Last Updated : 2022-09-24
  • Tamu yang Tak Diundang   Mati Rasa

    "Medina, kamu?" Mas Surya tercengang seolah tak percaya melihatku ada di hadapannya. Kami saling tatap hingga aku merasa waktu seakan berhenti berputar dan terfokus pada kami bertiga. Aku berusaha tegar berdiri di hadapan dua orang yang mengaku sahabat, tapi tidak terlihat seperti itu. Entah sengaja atau tidak, saat aku menatapnya, Aurel mengeratkan pegangan tangannya di lengan Mas Surya. Kalau dia sadar diri hanya seorang sahabat, harusnya melepaskan tangannya dari sana, bukan malah mempereratnya. "Medina, kamu k–kenapa ada di sini? S–siapa yang sakit?" Mas Surya tampak tak siap melihatku ada di hadapannya. Ia bertanya dengan terbata seraya mengitari sekitar. Pertanyaannya tak kugubris dan aku melangkahkan kaki melewati mereka berdua. Urusan Malik lebih penting daripada menjawab pertanyaan Mas Surya yang masih menggamit mesra tangan Aurel. "Medina!" "Na!" Panggilan Mas Surya kuabaikan. Namun tanganku ditariknya kuat. "Jawab Na, siapa yang sakit? Kamu nggak mungkin ada di

    Last Updated : 2022-09-25
  • Tamu yang Tak Diundang   Bertengkar Lagi

    "Bu." "Bu Medina." Kuusap kedua mata sambil menggeliat. Sayup terdengar ada yang memanggil namaku. "Bi Jum? Ada apa?" tanyaku setelah sadar Bi Jum lah yang memanggil namaku barusan. "Maaf, Bu, membangunkan. Sebaiknya Bu Medina tidur di sana. Biar Bi Jum yang duduk di sini jaga Den Malik," ujarnya memberi saran sambil berbisik karena posisi kami saat ini berada sangat dekat dengan Malik. Aku duduk di kursi yang menghadap Malik. Sorot mataku mengarah ke telunjuk Bi Jum yang menunjuk ke ranjang kosong dimana Bi Jum barusan tidur di sana atas permintaanku. Aku menggeleng. "Bibi saja. Kenapa Bi Jum bangun?" tanyaku seraya melirik ke arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul dua subuh. Kalau dihitung dari jam sebelumnya, maka aku sudah ketiduran setengah jam lebih. "Ibu Medina tertidur sambil mengigau. Bi Jum kira itu Den Malik. Pas Bi Jum dekati, ternyata Ibu." Bi Jum menjelaskan perihal suara yang ia dengar. Mungkin itulah penyebab dia terbangun, karena-ku. "Saya ngigau, Bi?

    Last Updated : 2022-09-27
  • Tamu yang Tak Diundang   Terluka

    Sebuah sentuhan di bahu tak membuatku mengerjapkan mata. Aku tahu itu Mas Surya. Setelah masuk ke ruang rawat Malik, aku segera duduk dan menelungkupkan kepala diatas kasur Malik. Berpura tidur. Meski ini hanya pura-pura, kurasa Mas Surya tahu. Aku yakin dia tidak akan memaksaku bangun apalagi memarahiku karena di dalam sini selain ada Malik, ada Bi Jum juga. Aku memaksa Bi Jum tidur di kasur sebelah yang kosong, dan aku yang duduk di depan ranjang Malik. "Pak." Sebuah suara yang kukenal memanggil suamiku itu. "Bapak perlu sesuatu? Biar Bi Jum yang lakukan. Sepertinya Ibu sudah tidur. Kasihan Ibu tidak ada tidur sama sekali. Pasti kelelahan. Saya tidak tega membangunkannya untuk pindah ke sini, nanti Ibu nggak bisa tidur lagi." "Biarkan saja. Bibi tidurlah. Biar Saya yang jaga Malik.""Inggih, Pak. Tapi kalau Bapak mau istirahat juga, silakan Pak. Nanti biar Bi Jum yang jaga. Den Malik nggak rewel Pak. Sedari tadi tidur terus. Mungkin efek diberi obat, tapi alhamdulillah sudah m

    Last Updated : 2022-09-28
  • Tamu yang Tak Diundang   Meminta penjelasan

    Kupeluk Malik yang ikut menangis karenaku. Ada rasa penyesalan karena telah membuatnya terbangun. Kami menangis bersama dengan penyebab yang berbeda. "Na, tenang. Kamu harus tenang. Malik jadi ketakutan. Yang barusan itu cuma mimpi. Kamu baik-baik saja. Ada aku di sini," ujar Mas Surya yang menghampiri kami tanpa bisa kucegah. Ia mencoba menenangkanku. Ikut merangkul juga. Padahal tanpa disadari kesedihanku kali ini karena dia. Lalu bagaimana cara dia menjagaku? Setelah bisa menenangkan Malik dan menidurkannya kembali. Aku bergegas masuk ke kamar mandi ingin merapikan penampilanku bekas menangis. Lalu keluar setelahnya dan mengambil duduk di samping ranjang Malik. Kuedarkan pandangan menatap isi ruangan Malik dan tidak kutemukan keberadaan Mas Surya di sana. Hanya ada Bi Jum yang menatapku dengan sorot mata bingung. "Pak Surya keluar, Bu. Katanya sebentar saja." Tanpa kutanya, Bi Jum lebih dulu memberitahukan kemana perginya suamiku tersebut seolah mengerti dengan maksud tatapank

    Last Updated : 2022-09-29
  • Tamu yang Tak Diundang   Status Mereka Apa?

    "Hubungan kita? Bukankah jelas kalau selama ini kita adalah …." "Suami-istri. Iya kan? Kenapa dipertanyakan? Ada apa denganmu, Na? Apa kamu masih mencurigai hubunganku dengan Aurel? Begitu? Astaga Medina!" Mas Surya balik menyerangku dengan tudingannya yang merasa tak bersalah. Aku diam dan memalingkan muka. Bukan tak mampu bicara, tapi merasa heran kalau laki-laki di depanku ini mampu bertanya seperti itu. Seolah akulah yang salah karena terlalu mencurigainya. Wanita mana pun akan bersikap sepertiku kalau mendapati suaminya terlalu dekat dengan teman wanitanya. Apalagi wanita yang diakui sahabat itu tidak peka dan tak tahu malu. Belum sempat kujawab terdengar suara deru mobil yang sepertinya berhenti di depan rumah kami. Aku segera menengok ingin tahu siapa yang datang dari jendela depan samping pintu utama karena posisi kami masih berada di ruang tamu. Benar ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah kami dan aku tahu itu mobil siapa. "Ngapain dia datang kemari? Ini buka

    Last Updated : 2022-10-01

Latest chapter

  • Tamu yang Tak Diundang   Akhir Kisahku

    Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be

  • Tamu yang Tak Diundang   Usai Pesta Pernikahan

    "Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala

  • Tamu yang Tak Diundang   Ini Nyata Atau Mimpi?

    Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela

  • Tamu yang Tak Diundang   Mencari Solusi

    Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa

  • Tamu yang Tak Diundang   Akhirnya Sah

    Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k

  • Tamu yang Tak Diundang   Harusnya Tak Datang

    Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi

  • Tamu yang Tak Diundang   Terpaksa Datang

    "Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne

  • Tamu yang Tak Diundang   Terpaksa Datang

    "Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne

  • Tamu yang Tak Diundang   Permata yang Tak Tampak

    Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status