Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Hai." Seorang wanita cantik menyapaku ramah dengan melempar senyum manis saat pintu kubuka. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang dipaksa. Wanita itu masih memandangku ramah dengan sesekali mencari celah ke arah belakangku seperti sedang mencari seseorang. "Boleh masuk?" tanyanya kemudian karena aku masih berdiri di depannya. Belum mempersilakannya masuk. Sengaja. Aku juga masih memegang erat sisi tepi daun pintu agar tidak terbuka lebar. Inginku pintu ini segera menutup dan mencegah wanita ini masuk ke dalam rumah. "Bisakah tidak datang hari ini? Kami ada acara keluarga," ujarku tanpa basa-basi melontarkan pertanyaan itu padanya. Berharap wanita di depanku ini mengerti dan memutuskan pergi. Ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menolak kedatangannya. "Oh ya, hm … ada acara keluarga? Surya tidak bilang. Acara apa? Boleh ikut?" Mataku terbelalak kaget tak percaya mendengar wanita yang tidak kuinginkan kehadirannya ini bertanya demikian? Ikut katanya? Ma
"Medina, kamu apa-apa sih seperti itu pada Aurel?" Setelah kepergian Aurel, Mas Surya baru meluapkan amarahnya padaku. Mungkin sudah ia pendam lama semenjak aku bersikap kurang ajar pada sahabatnya itu. "Apanya yang gimana ya Mas? Aku biasa saja." Kujawab pertanyaan Mas Surya dengan begitu santainya. Padahal dalam hati penuh emosi karena lagi-lagi aku disalahkan. "Ya itu tadi bersikap tidak sopan padanya. Berkata kasar padanya bahkan menyindirnya." Aku segera menoleh ke arahnya. "Apa Mas? Memangnya sikapku yang bagaimana? Aku merasa biasa saja. Aurel mengadu apa sama Mas? Di bagian mana aku menyindirnya?" Pertanyaannya barusan kubalikkan padanya. Biar Mas Surya memperjelas sikapku yang bagaimana yang melukai sahabatnya itu. Apa dia tidak merasa kalau istrinya ini jauh lebih terluka akibat sikap mereka berdua. "Kamu ini selalu merasa tak salah. Egois! Aurel itu tamu kita, hargailah dia. Jamu dia dengan baik karena tamu itu adalah raja. Bukannya bersikap seperti tadi. Memalukan! K
Tangan wanita yang duduk di depanku ini sedikit gemetar saat meletakkan cangkir minumnya ke atas meja. Kemudian ia mengelap ujung sudut bibirnya yang basah karena air teh yang baru saja diminumnya. Gesturnya yang terlihat gugup tersebut membuatku mengernyitkan kening. Ibu mertuaku ini pasti kenal dengan nama yang telah kusebutkan barusan. Namun kenapa reaksinya seperti itu? Rasa terkejutnya tidak biasa. Itu makin membuatku curiga. Aku masih diam menunggu jawabnya. Tidak ingin terlihat terlalu memaksa seolah ingin sekali tahu tentang wanita tersebut. "Kenapa kamu menanyakan wanita itu?" Setelah sekian detik menunggu, bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah pertanyaan. "Jadi Mama kenal Aurel?" Aku tak mau kalah, balik bertanya pula tidak menjawab pertanyaannya. Mama Lila mengangguk lemah. "Ada apa dengan wanita itu? Kamu kenal dia, Na?" tanyanya lagi seperti memastikan. Mau tidak mau kepalaku mengangguk. "Sebulan yang lalu Mas Surya mengenalkan wanita bernama Aurel
Kuusap muka dengan cepat. Lalu memperhatikan wajah penuh amarah di depan mata. Mas Surya?! Jadi ini bukan mimpi. Ini nyata. Namun kenapa dia marah-marah? "Apa Mas? Ngadu apa?" ujarku bertanya dengan polosnya. Setelah mengumpulkan tenaga dan mencoba mencerna, barulah paham maksud dari pertanyaan suamiku ini. Pasti ini tentang Aurel. Tapi kenapa Mas Surya tahu kalau aku mengadu pada ibunya? Apa ibunya yang cerita? Netranya melirik ke arah Malik yang tertidur pulas di sampingku. Syukurlah ia tidak terbangun oleh suara ayahnya. Padahal itu cukup keras dan mengejutkanku. "Kita bicara di luar." Mas Surya pergi lebih dulu. Aku beranjak turun dari tempat tidur dengan pelan takut pergerakanku membangunkan Malik. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan dan tak didapati Mas Surya di luar kamar. Aku memutuskan berjalan terus menuju dapur meyakini dia ada di sana. Benar. Lelaki yang sudah membersamaiku hampir tiga tahun ini ada di sana, dan sedang duduk seorang diri di depan meja makan de
"Mama, kok nggak bilang mau datang ke sini?" tanyaku yang meraih tangannya segera untuk dicium takzim. Netraku lalu terfokus pada koper yang baru saja diturunkan Pak Roni dari bagasi mobil. Apa Mama akan menginap? "Ya balas dendam sama kamu." Jawabannya membuatku terhenyak. Memaksa mata ini menatapnya lekat. Apa maksudnya balas dendam? Apakah Mama marah padaku? Ibu mertua terkekeh sambil menepuk pundakku pelan. "Wajahnya serius banget. Maksud Mama balas dendam sama kamu yang kemarin datang mendadak juga ke rumah Mama. Gimana, kaget kan?" ujarnya menjelaskan seraya menggamit tanganku memaksa berjalan masuk ke rumah. Aku tersenyum lega. Syukurlah. Kukira balas dendam apa. Hampir saja su'udzon sama ibu mertua sendiri. "Mas Surya baru saja berangkat ke kantor, Ma. Cuma hitungan menit Mas Surya pergi, Mama datang," kataku memberitahukan padanya sebelum ia menanyakan anaknya itu. Mama Lila hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku barusan. Beliau malah menanyakan keberadaan
Aku segera menghampiri ibu mertua yang asyik bermain dengan Malik. Melihat keakraban mereka membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai mertua yang mendukungku di saat suami sendiri terlihat acuh. "Ya, Surya. Kenapa?" Aku tertegun saat langkahku tinggal enam langkah menuju ibu mertua. Beliau mendapatkan telepon dari seseorang dan aku tahu itu dari suamiku, Mas Surya. "Hm … mungkin. Kata siapa?" ujarnya seraya menoleh ke arahku. Aku melempar senyum tipis dengan segera melanjutkan langkah menuju ke arahnya. Kuambil Malik dari gendongannya agar ia lebih leluasa saat bertelponan. "Kenapa penasaran sekali. Kalau Mama mau ke tempatmu hari ini atau tidak, nggak masalah kan? Bebas kan kalau mau mengunjungi rumah anaknya? Apa tidak boleh, kamu nggak suka, begitu?" Aku masih setia berada di samping Ibu mertua mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh dua ibu-anak tersebut meski hanya dari satu arah, karena suara Mas Surya tak terdengar olehku. "Medina?" Setelah menyebut namaku, ib
"Ma, tadi siapa? Aurel ya?" tanyaku menghampiri Mama yang berada di ruang keluarga bersama Malik. Kuberanikan bertanya karena sangat yakin orang yang kucurigai berada di dalam mobil Mas Surya itu adalah Aurel. Mama hanya menatapku sebentar lalu fokus kembali ke Malik yang sedang asyik bermain. Aku diam menunggu jawabnya. Lalu Mama memperhatikanku lekat. Bahkan nampak sekali beliau menatapku dari bawah ke atas seakan sedang memindai penampilanku saat ini. "Apa seperti ini penampilanmu di rumah, Na?" Celana kulot dengan atasan longgar begini?" Ujung bajuku sampai ditarik Mama hingga badan sedikit tertarik ke arahnya. Pertanyaannya barusan terdengar sangat ketus. Mama nampak kesal. "Iya, Ma. Kenapa?" Aku dengan polosnya bertanya heran dengan mengamati penampilan sendiri. Lalu menggumam dalam hati apa yang salah dengan penampilanku saat ini. Biasanya juga begini dan Mama sudah sering melihatnya. Kenapa baru berkomentar sekarang? Kenapa sikap mertua begitu kesal setelah bertengkar
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t