Tangan wanita yang duduk di depanku ini sedikit gemetar saat meletakkan cangkir minumnya ke atas meja. Kemudian ia mengelap ujung sudut bibirnya yang basah karena air teh yang baru saja diminumnya.
Gesturnya yang terlihat gugup tersebut membuatku mengernyitkan kening. Ibu mertuaku ini pasti kenal dengan nama yang telah kusebutkan barusan. Namun kenapa reaksinya seperti itu? Rasa terkejutnya tidak biasa. Itu makin membuatku curiga. Aku masih diam menunggu jawabnya. Tidak ingin terlihat terlalu memaksa seolah ingin sekali tahu tentang wanita tersebut. "Kenapa kamu menanyakan wanita itu?" Setelah sekian detik menunggu, bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah pertanyaan. "Jadi Mama kenal Aurel?" Aku tak mau kalah, balik bertanya pula tidak menjawab pertanyaannya. Mama Lila mengangguk lemah. "Ada apa dengan wanita itu? Kamu kenal dia, Na?" tanyanya lagi seperti memastikan. Mau tidak mau kepalaku mengangguk. "Sebulan yang lalu Mas Surya mengenalkan wanita bernama Aurel ke Medina, Ma. Orangnya cantik." Bibirku tersenyum getir saat mengatakannya. Harus kuakui wanita itu memang sangat cantik. Dibandingkan denganku, mungkin jauh. Paras kami bagaikan langit dan bumi. Dia jauh terlihat sempurna di mata para pria manapun. Tidak sepertiku yang terlihat sangat biasa. Mas Surya bisa menikahiku karena campur tangan ibunya. Kalau tidak, mungkin aku tetap jadi pegawai biasa di toko kue milik ibunya. "Mas Surya bilang wanita itu sahabatnya dan orang itu sekarang sering sekali mampir ke rumah kami. Jadi maksud Medina tanya barusan itu mau tahu saja apa benar Mama mengenalnya dan seperti apa Aurel di mata Mama," lanjutku menyudahi cerita pendek tentang wanita tersebut. "Apa maksudnya sering ke rumah? Aurel? Sesering apa dia ke rumah kalian?" Beruntun Mama Lila bertanya terlihat sangat penasaran. "Hampir tiap akhir pekan dia datang, Ma. Medina tidak keberatan kok kalau ada teman Mas Surya main ke rumah. Namun …." Aku menggantung ucapanku mencari kalimat yang pas untuk diucapkan. Aku belum tahu mertuaku ini berpihak pada siapa. Apa beliau menganggap aku berlebihan seperti anaknya atau malah sependapat nantinya dengan apa yang akan kukatakan. "Namun jangan terlalu sering dan jangan di akhir pekan kami juga, Ma. Apalagi dia wanita." Lirih aku mengucapkan kata wanita di akhir kalimat seakan tenggorokan ini tercekat karenanya. "Mereka itu sudah satu kantor, Ma, apa tidak cukup bertemu disana? Lalu untuk apa lagi berlanjut bertemu di rumah sampai membuat Medina tidak nyaman berada di rumah sendiri. Medina malah berasa Medina lah yang tamunya sedang dia pemilik rumah tersebut," lanjutku mengungkapkan. Tak tahan juga malah kalimat itu yang terucap dari bibirku. Dari ucapan dan nada bicaraku sudah jelas terpancar ketidaksukaan di sana terhadap Aurel. "Yang benar Na? Jadi mereka satu kantor? Kok Surya nggak pernah cerita sama Mama ya?" Aku yang tadi tertunduk sendu, mendongak ketika mendengar pertanyaan ini.Apa maksud perkataan mertuaku barusan? Apa Mas Surya sering cerita soal Aurel pada mamanya dan hanya di bagian ini saja dia tidak cerita?"Iya." Aku hanya menjawab singkat. Tidak tahu harus menjawab apa lagi. Setelahnya Mama terlihat sedang berpikir karena netranya fokus ke depan tapi tidak ke arahku. Ia tampak menerawang. Lalu kemudian terlihat menghela napas kasar."Surya dan Aurel memang sahabatan dari dulu sejak mereka duduk di bangku SMP. Dulu rumah kami tetanggaan, Na. Medina lihat deretan rumah ini yang nomor tiga sebelah kanan?" Aku mengangguk sembari mengingatnya. "Nah, itu dulunya rumah Aurel." Mama Lila menjelaskan seraya menunjuk sebelah kanannya."Lalu mereka pindah karena ikut dinas ayahnya ke kota lain." Aku manggut-manggut seolah tahu. Padahal masih mencoba menerawang dalam benak karena tidak pernah memperhatikan rumah yang berada di sekitar rumah ibu mertua. "Dia kalau datang ngapain saja? Ehm, sama siapa?" "Maksud Mama, Aurel kalau mampir ke rumah kalian ngapain? Apa yang dikerjakannya? Kamu selalu ada di rumah kan mendampingi Surya?" imbuhnya memperjelas pertanyaan sebelumnya. Aku mengangguk pasti. Mana mungkin kubiarkan Mereka berduaan saja di rumah. "Kamu tenang saja, Na. Biar Mama yang urus mereka. Mereka memang sahabat dekat, tapi bukan berarti bisa berhubungan seperti dulu lagi. Ada hal yang membatasi dan seharusnya mereka menyadari itu." Perkataan Mama Lila membawa angin segar untukku. Kata 'biar Mama yang urus' seakan menegaskan kalau Mama mertua di pihakku. Jadi kedatanganku ke rumahnya ini tidak sia-sia. Keluhanku dianggap. Tidak seperti Mas Surya yang mengabaikanku, seolah aku terlalu lebay menyikapi kedekatan mereka. Setelah merasa lega mendengar respon dari Mama Lila, aku memutuskan balik ke rumah. Aku juga sempat meminta beliau untuk tidak menceritakan kedatanganku ke rumahnya hari ini pada Mas Surya. Tidak ingin menjelaskan apapun pada suamiku itu karena pasti akan sangat mencurigakan baginya kalau aku pergi ke sana tanpa izin dan ini untuk pertama kalinya. Selama perjalanan pulang, pikiranku tidak fokus. Aku kepikiran ibu mertua. Aku berpikir keras dengan apa yang akan dilakukan ibu mertuaku tersebut untuk mengatasi permasalahan rumah tanggaku saat ini terutama mengenai Aurel. Apa yang akan dilakukan beliau pada wanita tersebut? Ting! Terdengar nada pesan masuk di ponselku.Aku segera meraih ponsel dan membukanya. [Medina, malam ini aku lembur lagi. Tidak usah menungguku pulang. Aku bawa kunci.] Aku hanya dapat menghela napas berat setelah membaca pesan darinya. Sudah lebih dari tiga hari belakangan ini suamiku itu lembur kerja. Katanya pimpinan di kantornya sekarang suka sekali membuatnya kerja dua kali. Banyak kerjaannya yang tidak diterima atasannya tersebut dan minta direvisi. Itulah alasan dia lembur. Aku tidak tahu harus percaya atau tidak, karena nyatanya kulihat ia memang terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini. Bahkan sampai membawa kerjaan kantor ke rumah. Pesannya hanya kubaca saja tidak berniat untuk membalasnya. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas yang berada di sampingku duduk. Biarlah sesekali aku bersikap sepertinya. Cuek. "Terima kasih, Pak," ucapku pada Pak Sopir taksi online yang barusan mengantarkan sampai rumah. Pintu mobilnya berhasil kututup kembali. "Iya, Mbak. Sama-sama," balasnya seraya melempar senyum semringah. Lalu mobil itu pun berlalu pergi. Aku segera masuk ke dalam rumah sambil menggendong Malik. Baru saja merebahkan Malik ke atas tempat tidur, terdengar suara telepon dari dalam tas yang masih tersampir di bahu. Aku cepat-cepat mengambilnya takut suara dering tersebut membangunkan Malik yang tengah terlelap tidur. Belum hitungan jam anakku itu tertidur, makanya aku tak mau dia terbangun gara-gara suara dari ponselku tersebut. Mas Surya? Tumben menghubungi lebih dulu dan ada keperluan apa? Pasti penting."Assalamu'alaikum, Mas. Ada apa?" sapaku lebih dulu bertanya. "Waalaikumsalam. Ehm, nggak papa. Aku cuma mau bilang malam ini lembur lagi." Ponsel kujauhkan dari daun telinga dengan raut wajah heran. Untuk apa suamiku ini mengulanginya lagi? Bukankah dia sudah memberitahukannya lewat pesan barusan? "Ya," jawabku singkat. Tak ada kalimat tambahan karena memang tidak ada yang ingin dikatakan. Aku tidak tahu juga harus bicara apa karena dia duluan yang menghubungiku. Biasanya akulah yang mengirim pesan atau menelponnya lebih oh dulu. Hanya ingin mencari tahu kabarnya atau sekedar memberitahukan sesuatu berhubungan dengan rumah ataupun Malik. Hening beberapa saat karena baik aku dan Mas Surya tidak ada yang bicara lagi. Kami seperti canggung satu sama lain. Seolah baru pertama kali berkomunikasi. "Ya sudah aku tutup ya," katanya bicara lebih dulu dan kujawab hanya dengan dehaman. ***"Na." "Medina." Sayup terdengar ada yang memanggil namaku. Aku yang tertidur segera mengucek mata dan mengerjapkannya perlahan. Mas Surya? Ini mimpi apa nyata? Mas Surya berada di depanku. Ia masih mengenakan pakaian kerja. Netraku ke arah jam digital yang terletak di atas nakas. Waktu menunjukkan jam 11.35 malam. Sadar dengan angka jam tersebut membuatku terperanjat dan duduk secara mendadak."Mas? Baru pulang? Mas mau apa?" Seraya mengusap muka aku bertanya. Sikap Mas Surya yang tiba-tiba membangunkan tidurku pasti karena ada yang penting. Bisa jadi ada yang dibutuhkannya."Kamu apa-apa, Na?! Kenapa ngadu ke Mama?"Kuusap muka dengan cepat. Lalu memperhatikan wajah penuh amarah di depan mata. Mas Surya?! Jadi ini bukan mimpi. Ini nyata. Namun kenapa dia marah-marah? "Apa Mas? Ngadu apa?" ujarku bertanya dengan polosnya. Setelah mengumpulkan tenaga dan mencoba mencerna, barulah paham maksud dari pertanyaan suamiku ini. Pasti ini tentang Aurel. Tapi kenapa Mas Surya tahu kalau aku mengadu pada ibunya? Apa ibunya yang cerita? Netranya melirik ke arah Malik yang tertidur pulas di sampingku. Syukurlah ia tidak terbangun oleh suara ayahnya. Padahal itu cukup keras dan mengejutkanku. "Kita bicara di luar." Mas Surya pergi lebih dulu. Aku beranjak turun dari tempat tidur dengan pelan takut pergerakanku membangunkan Malik. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan dan tak didapati Mas Surya di luar kamar. Aku memutuskan berjalan terus menuju dapur meyakini dia ada di sana. Benar. Lelaki yang sudah membersamaiku hampir tiga tahun ini ada di sana, dan sedang duduk seorang diri di depan meja makan de
"Mama, kok nggak bilang mau datang ke sini?" tanyaku yang meraih tangannya segera untuk dicium takzim. Netraku lalu terfokus pada koper yang baru saja diturunkan Pak Roni dari bagasi mobil. Apa Mama akan menginap? "Ya balas dendam sama kamu." Jawabannya membuatku terhenyak. Memaksa mata ini menatapnya lekat. Apa maksudnya balas dendam? Apakah Mama marah padaku? Ibu mertua terkekeh sambil menepuk pundakku pelan. "Wajahnya serius banget. Maksud Mama balas dendam sama kamu yang kemarin datang mendadak juga ke rumah Mama. Gimana, kaget kan?" ujarnya menjelaskan seraya menggamit tanganku memaksa berjalan masuk ke rumah. Aku tersenyum lega. Syukurlah. Kukira balas dendam apa. Hampir saja su'udzon sama ibu mertua sendiri. "Mas Surya baru saja berangkat ke kantor, Ma. Cuma hitungan menit Mas Surya pergi, Mama datang," kataku memberitahukan padanya sebelum ia menanyakan anaknya itu. Mama Lila hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku barusan. Beliau malah menanyakan keberadaan
Aku segera menghampiri ibu mertua yang asyik bermain dengan Malik. Melihat keakraban mereka membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai mertua yang mendukungku di saat suami sendiri terlihat acuh. "Ya, Surya. Kenapa?" Aku tertegun saat langkahku tinggal enam langkah menuju ibu mertua. Beliau mendapatkan telepon dari seseorang dan aku tahu itu dari suamiku, Mas Surya. "Hm … mungkin. Kata siapa?" ujarnya seraya menoleh ke arahku. Aku melempar senyum tipis dengan segera melanjutkan langkah menuju ke arahnya. Kuambil Malik dari gendongannya agar ia lebih leluasa saat bertelponan. "Kenapa penasaran sekali. Kalau Mama mau ke tempatmu hari ini atau tidak, nggak masalah kan? Bebas kan kalau mau mengunjungi rumah anaknya? Apa tidak boleh, kamu nggak suka, begitu?" Aku masih setia berada di samping Ibu mertua mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh dua ibu-anak tersebut meski hanya dari satu arah, karena suara Mas Surya tak terdengar olehku. "Medina?" Setelah menyebut namaku, ib
"Ma, tadi siapa? Aurel ya?" tanyaku menghampiri Mama yang berada di ruang keluarga bersama Malik. Kuberanikan bertanya karena sangat yakin orang yang kucurigai berada di dalam mobil Mas Surya itu adalah Aurel. Mama hanya menatapku sebentar lalu fokus kembali ke Malik yang sedang asyik bermain. Aku diam menunggu jawabnya. Lalu Mama memperhatikanku lekat. Bahkan nampak sekali beliau menatapku dari bawah ke atas seakan sedang memindai penampilanku saat ini. "Apa seperti ini penampilanmu di rumah, Na?" Celana kulot dengan atasan longgar begini?" Ujung bajuku sampai ditarik Mama hingga badan sedikit tertarik ke arahnya. Pertanyaannya barusan terdengar sangat ketus. Mama nampak kesal. "Iya, Ma. Kenapa?" Aku dengan polosnya bertanya heran dengan mengamati penampilan sendiri. Lalu menggumam dalam hati apa yang salah dengan penampilanku saat ini. Biasanya juga begini dan Mama sudah sering melihatnya. Kenapa baru berkomentar sekarang? Kenapa sikap mertua begitu kesal setelah bertengkar
"Tentu kamu. Memangnya hantu? Ih, atut," ledek Rudi dengan gaya melambainya mirip wanita. Aku tersenyum melihatnya. "Nah, gimana, suka kan? Jangan bilang itu bukan kamu lagi. Kamu itu cantik, tapi sayangnya malas dandan. Padahal kalau punya laki itu harus diservis maksimal. Oleng dikit aja dia bisa berpindah ke lain loh."Aku mengangguk mengiakan. "Jangan angguk, senyum aja. Dengerin. Dicatat di benakmu ini cara merawat diri dari badan sampai ke wajah. Jangan sampai lupa apalagi malas aplikasikan. Ingat ya, pake tuh paket perawatan yang sudah kukasih, yang lama buang aja. Terus pake juga pakaian yang sudah kupilihkan. Boleh ingin berpenampilan tertutup, tapi jangan juga diaplikasikan di rumah. Kasihan laki lu. Sudah capek kerja disuguhkan yang nggak menarik. Cantik dimanapun itu wajib, apalagi di rumah. Masa di luar dandan, pas di rumah kamu ngegembel. Hello? Kamu bakal ditinggal, percaya deh ma eyke." Aku terpekur memikirkan semua apa yang diucapkan Rudi di dalam mobil taksi yan
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Mas Surya belum terlihat batang hidungnya. Kalau Ibu mertua sudah pergi sejak sejam yang lalu. Sedang aku sedari tadi hanya mondar-mandir di ruang tamu mengecek kedatangan suami. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Bahkan tidak aktif beberapa menit yang lalu. Bisa jadi merasa terganggu karena terus kuteror dengan pesan dan telepon dariku. Aku tak mengerti dengannya. Pesanku dibacanya tapi tak sedikitpun dibalas. Apa sesibuk itukah ia di kantor hingga untuk membalas pesan saja tak bisa? Hm … sesulit itu aku memahami suami sendiri. Selang beberapa menit ada pesan masuk. [Aku lembur lagi, jangan menghubungi kalau tidak penting.] Dari Mas Surya. Bergegas aku menghubunginya ternyata nomornya langsung tak aktif. Ponselnya mati kembali. Aku mendesah berat. Kuputuskan masuk kamar. Merebahkan diri di samping Malik karena kecewa menunggu dirinya tapi ternyata dibalas seperti itu. Ditambah mata sudah tak mampu diajak kompromi. Mungkin karena s
"Medina, kamu?" Mas Surya tercengang seolah tak percaya melihatku ada di hadapannya. Kami saling tatap hingga aku merasa waktu seakan berhenti berputar dan terfokus pada kami bertiga. Aku berusaha tegar berdiri di hadapan dua orang yang mengaku sahabat, tapi tidak terlihat seperti itu. Entah sengaja atau tidak, saat aku menatapnya, Aurel mengeratkan pegangan tangannya di lengan Mas Surya. Kalau dia sadar diri hanya seorang sahabat, harusnya melepaskan tangannya dari sana, bukan malah mempereratnya. "Medina, kamu k–kenapa ada di sini? S–siapa yang sakit?" Mas Surya tampak tak siap melihatku ada di hadapannya. Ia bertanya dengan terbata seraya mengitari sekitar. Pertanyaannya tak kugubris dan aku melangkahkan kaki melewati mereka berdua. Urusan Malik lebih penting daripada menjawab pertanyaan Mas Surya yang masih menggamit mesra tangan Aurel. "Medina!" "Na!" Panggilan Mas Surya kuabaikan. Namun tanganku ditariknya kuat. "Jawab Na, siapa yang sakit? Kamu nggak mungkin ada di
"Bu." "Bu Medina." Kuusap kedua mata sambil menggeliat. Sayup terdengar ada yang memanggil namaku. "Bi Jum? Ada apa?" tanyaku setelah sadar Bi Jum lah yang memanggil namaku barusan. "Maaf, Bu, membangunkan. Sebaiknya Bu Medina tidur di sana. Biar Bi Jum yang duduk di sini jaga Den Malik," ujarnya memberi saran sambil berbisik karena posisi kami saat ini berada sangat dekat dengan Malik. Aku duduk di kursi yang menghadap Malik. Sorot mataku mengarah ke telunjuk Bi Jum yang menunjuk ke ranjang kosong dimana Bi Jum barusan tidur di sana atas permintaanku. Aku menggeleng. "Bibi saja. Kenapa Bi Jum bangun?" tanyaku seraya melirik ke arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul dua subuh. Kalau dihitung dari jam sebelumnya, maka aku sudah ketiduran setengah jam lebih. "Ibu Medina tertidur sambil mengigau. Bi Jum kira itu Den Malik. Pas Bi Jum dekati, ternyata Ibu." Bi Jum menjelaskan perihal suara yang ia dengar. Mungkin itulah penyebab dia terbangun, karena-ku. "Saya ngigau, Bi?
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t