"Mama, kok nggak bilang mau datang ke sini?" tanyaku yang meraih tangannya segera untuk dicium takzim. Netraku lalu terfokus pada koper yang baru saja diturunkan Pak Roni dari bagasi mobil. Apa Mama akan menginap?
"Ya balas dendam sama kamu." Jawabannya membuatku terhenyak. Memaksa mata ini menatapnya lekat. Apa maksudnya balas dendam? Apakah Mama marah padaku? Ibu mertua terkekeh sambil menepuk pundakku pelan. "Wajahnya serius banget. Maksud Mama balas dendam sama kamu yang kemarin datang mendadak juga ke rumah Mama. Gimana, kaget kan?" ujarnya menjelaskan seraya menggamit tanganku memaksa berjalan masuk ke rumah. Aku tersenyum lega. Syukurlah. Kukira balas dendam apa. Hampir saja su'udzon sama ibu mertua sendiri. "Mas Surya baru saja berangkat ke kantor, Ma. Cuma hitungan menit Mas Surya pergi, Mama datang," kataku memberitahukan padanya sebelum ia menanyakan anaknya itu. Mama Lila hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku barusan. Beliau malah menanyakan keberadaan Malik, cucu tersayangnya. "Masih tidur, Ma. Syukurlah anak itu anteng banget, enak diasuhnya. Nggak ribet. Tahu kapan mamanya sibuk dan nggak. Oh ya, sebentar lagi pasti bangun." Mama Lila hanya mengelus lenganku lembut seraya manggut-manggut dengan melempar senyum hangatnya. Lalu matanya mengitari setiap sudut rumah, memperhatikan sisi dalam rumahku, seolah sedang menyidaknya. Akupun ikut memperhatikan apa yang dilihatnya. "Sudah Mama duga kalau kamu bisa mengurus rumah dengan baik. Sepagi ini rumahmu tetap bersih dan terawat, padahal tidak ada pembantu dan kamu juga disibukkan mengurus anak sendiri. Mama yakin tidak salah pilih menantu," ujarnya kemudian membuat kedua pipiku memerah karena senang dipuji olehnya.Menantu pilihan katanya. Itulah aku. Pernikahan kami terjadi karena dijodohkan dan Mama Lila adalah dalangnya. Ia memintaku untuk jadi istri anaknya dan aku yang hanya karyawan biasa di toko kuenya merasa tersanjung. Aku langsung saja mengiakan penawarannya tanpa berpikir panjang lagi setelah diyakinkan olehnya kalau Mas Surya juga menyukaiku. Pikirku kapan lagi mempunyai suami tampan dan mapan, serta ibu mertua seperti Bu Lila yang begitu baik. Semua seperti mimpi di siang bolong."Terima kasih, Ma. Maaf tidak bisa menyambut Mama dengan baik karena Medina tidak mengira Mama akan datang ke rumah secara mendadak begini. Mama sudah sarapan? Kalau belum biar Medina siapkan sarapan pagi Mama." Mama Lila menggelengkan kepala. Lalu fokus memperhatikan Pak Roni–supir Mama Lila yang masuk ke rumah membawakan kopernya."Terima kasih Ron, kopernya tolong kamu masukkan ke dalam kamar sana!" Telunjuknya mengarah ke kamar sebelah kamar kami yang biasa ibu mertua tempati kalau menginap di sini."Mama menginap?" tanyaku hati-hati. Aku tak mau Mama Lila salah paham dengan pertanyaanku barusan.Mama Lila menganggukkan kepala. "Boleh kan?" Aku segera membalas dengan anggukkan pasti. "Tentu saja boleh, Ma." Senyum lebarku terkembang sempurna. Senang kalau ibu mertuaku tersebut memang menginap di sini. Setidaknya aku tak akan kesepian lagi kalau ditinggal Mas Surya pergi ke kantor. Sebelum dimasuki Mama Lila, aku membereskan dulu kamarnya karena kemarin kamar itu bekas digunakan Mas Surya. Tidak ingin beliau tahu kalau hubunganku dengan Mas Surya sedang tak baik. Baru setelahnya aku mempersiapkan makan pagi kami. "Oh, jadi tiap weekend saja wanita itu datang ke rumah ini? Mama kira tiap hari. Bukankah kemarin kamu cerita kalau mereka sering berangkat kantor bareng?" Kami mulai membahas tentang Aurel. Sepertinya Ibu mertuaku salah perkiraan. Harusnya dia menginap di akhir pekan nanti, bukan sekarang. Mama berniat ingin memergoki Aurel datang ke rumah ini. "Iya, tapi nggak mampir Ma. Beda kalau hari libur dia sengaja datang ke rumah ini. Bahkan bisa menghabiskan berjam-jam di sini dengan alasan mau ketemu Malik atau ingin menyelesaikan pekerjaan kantor bersama Mas Surya. Kalau sudah begini Medina nggak bisa larang karena dibenarkan Mas Surya." Mama Lila geleng-geleng kepala. Lalu berdecak kesal. "Surya memang keterlaluan. Tidak bisa menempatkan mana yang benar dan salah, padahal sudah dewasa. Aurel sama saja. Mereka itu sudah punya kehidupan masing-masing. Harusnya tahu batasan." Mama Lila mengomel. "Dulu sedekat apa mereka, Ma? Medina lihat mereka sangat cocok satu sama lain. Apapun yang mereka obrolan seperti tidak ada habisnya. Kalau ngomong itu mereka nyambung terus, Ma," tanyaku menyelidik. Kemarin Mama Lila tidak menjawab spesifik seperti apa kedekatan kedua orang yang mengaku bersahabat tersebut. "Ya, hm … normal saja layaknya berteman. Gitu aja, Na. Cuma mungkin karena lama nggak ketemu jadi kebablasan, nggak mandang sudah punya pasangan yang harusnya bisa menjaga hati dan jarak. Mereka nggak bisa lagi seperti dulu." Di sini aku masih bisa melihat kalau Mama belum begitu jujur mengungkapkan seperti apa kedekatan hubungan Mas Surya dengan Aurel. Seperti ada yang masih ditutup-tutupi. Apa iya cuma bersahabat saja?Aku manggut-manggut setuju dengan apa yang barusan Ibu mertua katakan. Harusnya seperti itu, tapi mereka seperti mengabaikan. Hal tersebut yang membuatku curiga sedekat apa mereka dulu."Hm kemarin Mama ada ngomong apa sama Mas Surya? Soalnya dia menuduh Medina ngadu ke Mama. Iya sih, Medina akui memang ngadu gitu jatuhnya," ujarku sedikit terkekeh menertawakan kebodohan sendiri. "Oh itu, biasa aja, nggak usah dipikirkan. Sudah selesai juga. Surya marah? Dia semarah apa? Nggak kasar kan? Hubungan kalian baik-baik saja kan?" Aku menjawab dengan anggukkan. Sekarang bukan waktu yang tepat menceritakan tentang hubunganku yang tidak baik pada ibu mertua. Yang ada Mas Surya makin marah dan ia akan menuduhku mengadu lagi. "Baguslah. Mama sedikit khawatir. Syukurlah kalau tidak apa-apa. Kita tidak usah bahas mereka dulu. Mama mau makan nih, dari tadi ngomong terus, makannya kapan, nggak habis-habis loh." Mama seperti tidak suka kutanyakan hal tentang Aurel dan Mas Surya. Dia seperti ingin mengalihkan pembicaraan. Padahal beliaulah yang lebih dulu memulai obrolan ini. "Maaf, Ma. Iya, kita makan saja. Mau nambah lagi Ma?" tawarku berbasa-basi melihat piringnya sudah mulai kosong. Dengan cepat Mama Lila menggelengkan kepala. "Cukup, ini saja sudah kenyang. Makananmu selalu enak, Na." Pujiannya langsung kubalas dengan ucapan terima kasih. Senang dipuji mertua, tapi lebih senang lagi kalau Mas Surya yang mengatakan hal itu. Setelah selesai makan, kubiarkan Mama masuk ke kamarku yang katanya ingin melihat Malik, dan aku tetap memilih berada di dapur untuk membereskan bekas makan kami. "Lah, Mama mandikan ya, Maliknya?" tanyaku yang terkejut saat masuk kamar mendapati Malik sudah rapi dan wangi mengenakan pakaian baru. Memang lebih dari tiga puluh menit aku berada di dapur. Selain membereskan meja makan dan area dapur, aku pun membersihkan ruangan lainnya karena tidak terdengar suara Malik menangis. Kukira anak itu masih tertidur pulas."Iya, maaf Na. Mama bangunkan. Mama gemas lihat tidurnya. Lucu. Lagian Malik ini memang anak pintar, Na. Nggak rewel. Nggak nangis juga pas Mama mandikan tadi. Hebat cucu Nenek," ujarnya seraya menciumi Malik. Terlihat sekali ibu mertuaku ini memang menyayangi cucunya. Lalu Mama memintaku untuk mandi dan membersihkan diri karena terlihat kucel. Aku pun menurut, apalagi melihat Malik nyaman bersama neneknya.*** "Na, kirim pesan ke Surya dan minta dia untuk makan siang di rumah. Biar nanti Surya kaget lihat Mama ada di sini."Aku yang baru selesai berpakaian terkejut mendengar titahnya barusan."Hah?! Tapi …." Aku ragu menuruti permintaan Mama Lila karena yakin Mas Surya tidak akan mau. Dia tidak pernah makan siang di rumah. "Nggak ada tapi-tapi. Coba kamu chat dia. Mama mau lihat tanggapannya." "Anu Ma. Sepertinya tidak mungkin. Mas Surya nggak pernah makan siang di rumah. Dia sangat sibuk jadi tidak sempat untuk pulang ke rumah," ujarku menjelaskan. Memang seperti itu kenyataannya. "Oh, gitu ya. Dia bawa bekal apa makan di kantor?" "Mungkin makan di kantin kantor atau.""Mungkin? Maksudnya selama ini kamu tidak tahu-menahu kalau suamimu itu makan siang atau tidak? Begitu?" Tatapan tajam Mama Lila membuatku takut. Sepertinya dia marah mendengar jawabanku barusan. "Maaf Ma, Medina tidak tahu pastinya. Tapi Medina pernah tanya dan Mas Surya bilang dia sudah makan siang di kantor." Aku mencoba membela diri. Selama ini seperti itulah kebiasaan Mas Surya dan memang mertuaku tersebut tidak mengetahuinya. "Harusnya kamu siapkan bekalnya Na. Anakku itu tidak terbiasa makan di luar. Kalau dia tidak sempat makan di rumah, kan kamu bisa berinisiatif menyiapkan bekalnya. Kasihan kalau dia tidak cocok makanan luar bisa-bisa anakku itu memilih tidak makan.""Mama kira Surya selalu makan siang di rumah karena jarak kantor ke rumah tidak begitu jauh. Eh ternyata tidak. Ini salah Mama juga yang nggak pernah tanya kebiasaan kalian karena Mama kan seringnya menginap pas hari weekend, tidak di hari kerja seperti ini," lanjutnya lagi panjang lebar mengeluhkan kekecewaannya. Aku diam mencari aman. Kalau aku menjawab atau membela diri, yang ada akan terlihat salah di depannya. "Kok malah diam? Cepat kirim pesan karena Mama mau lihat tanggapan Surya seperti apa. Dia mau atau tidak. Misal dia menolak, coba tanya mau dibawakan bekal makan siang atau tidak. Kamu harus sedikit agresif Na untuk meluluhkan hatinya. Anak itu memang terbiasa diperhatikan bukan memperhatikan. Harap maklum. Mungkin Mama yang terlalu memanjakannya." Oh, pantas sikap Mas Surya seperti itu. Aku yang membersamainya selama hampir tiga tahun baru mengetahui alasan sikapnya tersebut. Ternyata karena dimanja. Wajar karena suamiku itu anak tunggal. "Iya Ma. Medina coba." Sesekali mataku melirik ke arah jam dinding untuk memastikan apa ini waktu yang tepat untuk menghubunginya. Aku terbiasa diabaikannya. Mau dihubungi waktu kapanpun, jarang ditanggapi.[Mas, nanti siang bisa makan di rumah? Aku bikin masakan spesial untuk Mas.] Done. Pesan telah terkirim. "Sudah, Ma," ujarku memberitahu. Mama tersenyum tipis lalu membawa Malik ke luar kamar, mau memberikan anakku itu sarapan pagi dulu. Katanya hari ini dia ingin lebih sering bersama Malik mumpung ada di rumah kami. Sudah beberapa kali mengecek aplikasi chat hanya ingin tahu pesanku sudah dibaca dan dibalas Mas Surya atau tidak. Sayangnya ternyata sudah dibaca tapi tak dibalasnya. Sudah kuduga akan jadi seperti ini. Tak menyerah, aku mengirim pesan lainnya. [Mas, kalau bisa makan siang di rumah. Sesekali kita makan bersama. Mau ya?] mencoba mengalah. Ditunggu lagi dan belum dibalas. Setelah memastikan hanya dibaca saja, aku mengirim pesan lagi. [Mas, apa mau kubuatkan bekal? Nanti biar kuantar sendiri ke kantor, Mas.] Dan terjadi lagi. Ditunggu beberapa menit tidak ada balasan apapun meskipun sudah dibacanya. Aku mulai kesal. kucoba menghubunginya, tapi ditolaknya. Netraku beberapa kali ke arah pintu hanya ingin memastikan kalau ibu mertuaku itu tidak masuk ke dalam kamar ini. Emosiku lagi tak baik. Aku takut malah bersikap kasar padanya. Oke, Mas. Pesan terakhir ini akan membuatmu membalas pesanku. [Balas Mas, sebelum ibumu datang ke rumah kita. Kudengar dia mau datang hari ini untuk makan siang dengan kita. Aku harus bilang apa kalau tak melihatmu di rumah ini? Haruskah kukatakan kamu menolaknya?] Tidak menunggu lama setelah pesan ancaman itu dikirim, ponselku berdering. Aku tahu itu dari siapa tapi aku sudah malas mengangkatnya. Kubiarkan saja seolah tak dengar. Kuletakkan ponselku ke bawah bantal dan meninggalkannya pergi keluar kamar.Aku segera menghampiri ibu mertua yang asyik bermain dengan Malik. Melihat keakraban mereka membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai mertua yang mendukungku di saat suami sendiri terlihat acuh. "Ya, Surya. Kenapa?" Aku tertegun saat langkahku tinggal enam langkah menuju ibu mertua. Beliau mendapatkan telepon dari seseorang dan aku tahu itu dari suamiku, Mas Surya. "Hm … mungkin. Kata siapa?" ujarnya seraya menoleh ke arahku. Aku melempar senyum tipis dengan segera melanjutkan langkah menuju ke arahnya. Kuambil Malik dari gendongannya agar ia lebih leluasa saat bertelponan. "Kenapa penasaran sekali. Kalau Mama mau ke tempatmu hari ini atau tidak, nggak masalah kan? Bebas kan kalau mau mengunjungi rumah anaknya? Apa tidak boleh, kamu nggak suka, begitu?" Aku masih setia berada di samping Ibu mertua mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh dua ibu-anak tersebut meski hanya dari satu arah, karena suara Mas Surya tak terdengar olehku. "Medina?" Setelah menyebut namaku, ib
"Ma, tadi siapa? Aurel ya?" tanyaku menghampiri Mama yang berada di ruang keluarga bersama Malik. Kuberanikan bertanya karena sangat yakin orang yang kucurigai berada di dalam mobil Mas Surya itu adalah Aurel. Mama hanya menatapku sebentar lalu fokus kembali ke Malik yang sedang asyik bermain. Aku diam menunggu jawabnya. Lalu Mama memperhatikanku lekat. Bahkan nampak sekali beliau menatapku dari bawah ke atas seakan sedang memindai penampilanku saat ini. "Apa seperti ini penampilanmu di rumah, Na?" Celana kulot dengan atasan longgar begini?" Ujung bajuku sampai ditarik Mama hingga badan sedikit tertarik ke arahnya. Pertanyaannya barusan terdengar sangat ketus. Mama nampak kesal. "Iya, Ma. Kenapa?" Aku dengan polosnya bertanya heran dengan mengamati penampilan sendiri. Lalu menggumam dalam hati apa yang salah dengan penampilanku saat ini. Biasanya juga begini dan Mama sudah sering melihatnya. Kenapa baru berkomentar sekarang? Kenapa sikap mertua begitu kesal setelah bertengkar
"Tentu kamu. Memangnya hantu? Ih, atut," ledek Rudi dengan gaya melambainya mirip wanita. Aku tersenyum melihatnya. "Nah, gimana, suka kan? Jangan bilang itu bukan kamu lagi. Kamu itu cantik, tapi sayangnya malas dandan. Padahal kalau punya laki itu harus diservis maksimal. Oleng dikit aja dia bisa berpindah ke lain loh."Aku mengangguk mengiakan. "Jangan angguk, senyum aja. Dengerin. Dicatat di benakmu ini cara merawat diri dari badan sampai ke wajah. Jangan sampai lupa apalagi malas aplikasikan. Ingat ya, pake tuh paket perawatan yang sudah kukasih, yang lama buang aja. Terus pake juga pakaian yang sudah kupilihkan. Boleh ingin berpenampilan tertutup, tapi jangan juga diaplikasikan di rumah. Kasihan laki lu. Sudah capek kerja disuguhkan yang nggak menarik. Cantik dimanapun itu wajib, apalagi di rumah. Masa di luar dandan, pas di rumah kamu ngegembel. Hello? Kamu bakal ditinggal, percaya deh ma eyke." Aku terpekur memikirkan semua apa yang diucapkan Rudi di dalam mobil taksi yan
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Mas Surya belum terlihat batang hidungnya. Kalau Ibu mertua sudah pergi sejak sejam yang lalu. Sedang aku sedari tadi hanya mondar-mandir di ruang tamu mengecek kedatangan suami. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Bahkan tidak aktif beberapa menit yang lalu. Bisa jadi merasa terganggu karena terus kuteror dengan pesan dan telepon dariku. Aku tak mengerti dengannya. Pesanku dibacanya tapi tak sedikitpun dibalas. Apa sesibuk itukah ia di kantor hingga untuk membalas pesan saja tak bisa? Hm … sesulit itu aku memahami suami sendiri. Selang beberapa menit ada pesan masuk. [Aku lembur lagi, jangan menghubungi kalau tidak penting.] Dari Mas Surya. Bergegas aku menghubunginya ternyata nomornya langsung tak aktif. Ponselnya mati kembali. Aku mendesah berat. Kuputuskan masuk kamar. Merebahkan diri di samping Malik karena kecewa menunggu dirinya tapi ternyata dibalas seperti itu. Ditambah mata sudah tak mampu diajak kompromi. Mungkin karena s
"Medina, kamu?" Mas Surya tercengang seolah tak percaya melihatku ada di hadapannya. Kami saling tatap hingga aku merasa waktu seakan berhenti berputar dan terfokus pada kami bertiga. Aku berusaha tegar berdiri di hadapan dua orang yang mengaku sahabat, tapi tidak terlihat seperti itu. Entah sengaja atau tidak, saat aku menatapnya, Aurel mengeratkan pegangan tangannya di lengan Mas Surya. Kalau dia sadar diri hanya seorang sahabat, harusnya melepaskan tangannya dari sana, bukan malah mempereratnya. "Medina, kamu k–kenapa ada di sini? S–siapa yang sakit?" Mas Surya tampak tak siap melihatku ada di hadapannya. Ia bertanya dengan terbata seraya mengitari sekitar. Pertanyaannya tak kugubris dan aku melangkahkan kaki melewati mereka berdua. Urusan Malik lebih penting daripada menjawab pertanyaan Mas Surya yang masih menggamit mesra tangan Aurel. "Medina!" "Na!" Panggilan Mas Surya kuabaikan. Namun tanganku ditariknya kuat. "Jawab Na, siapa yang sakit? Kamu nggak mungkin ada di
"Bu." "Bu Medina." Kuusap kedua mata sambil menggeliat. Sayup terdengar ada yang memanggil namaku. "Bi Jum? Ada apa?" tanyaku setelah sadar Bi Jum lah yang memanggil namaku barusan. "Maaf, Bu, membangunkan. Sebaiknya Bu Medina tidur di sana. Biar Bi Jum yang duduk di sini jaga Den Malik," ujarnya memberi saran sambil berbisik karena posisi kami saat ini berada sangat dekat dengan Malik. Aku duduk di kursi yang menghadap Malik. Sorot mataku mengarah ke telunjuk Bi Jum yang menunjuk ke ranjang kosong dimana Bi Jum barusan tidur di sana atas permintaanku. Aku menggeleng. "Bibi saja. Kenapa Bi Jum bangun?" tanyaku seraya melirik ke arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul dua subuh. Kalau dihitung dari jam sebelumnya, maka aku sudah ketiduran setengah jam lebih. "Ibu Medina tertidur sambil mengigau. Bi Jum kira itu Den Malik. Pas Bi Jum dekati, ternyata Ibu." Bi Jum menjelaskan perihal suara yang ia dengar. Mungkin itulah penyebab dia terbangun, karena-ku. "Saya ngigau, Bi?
Sebuah sentuhan di bahu tak membuatku mengerjapkan mata. Aku tahu itu Mas Surya. Setelah masuk ke ruang rawat Malik, aku segera duduk dan menelungkupkan kepala diatas kasur Malik. Berpura tidur. Meski ini hanya pura-pura, kurasa Mas Surya tahu. Aku yakin dia tidak akan memaksaku bangun apalagi memarahiku karena di dalam sini selain ada Malik, ada Bi Jum juga. Aku memaksa Bi Jum tidur di kasur sebelah yang kosong, dan aku yang duduk di depan ranjang Malik. "Pak." Sebuah suara yang kukenal memanggil suamiku itu. "Bapak perlu sesuatu? Biar Bi Jum yang lakukan. Sepertinya Ibu sudah tidur. Kasihan Ibu tidak ada tidur sama sekali. Pasti kelelahan. Saya tidak tega membangunkannya untuk pindah ke sini, nanti Ibu nggak bisa tidur lagi." "Biarkan saja. Bibi tidurlah. Biar Saya yang jaga Malik.""Inggih, Pak. Tapi kalau Bapak mau istirahat juga, silakan Pak. Nanti biar Bi Jum yang jaga. Den Malik nggak rewel Pak. Sedari tadi tidur terus. Mungkin efek diberi obat, tapi alhamdulillah sudah m
Kupeluk Malik yang ikut menangis karenaku. Ada rasa penyesalan karena telah membuatnya terbangun. Kami menangis bersama dengan penyebab yang berbeda. "Na, tenang. Kamu harus tenang. Malik jadi ketakutan. Yang barusan itu cuma mimpi. Kamu baik-baik saja. Ada aku di sini," ujar Mas Surya yang menghampiri kami tanpa bisa kucegah. Ia mencoba menenangkanku. Ikut merangkul juga. Padahal tanpa disadari kesedihanku kali ini karena dia. Lalu bagaimana cara dia menjagaku? Setelah bisa menenangkan Malik dan menidurkannya kembali. Aku bergegas masuk ke kamar mandi ingin merapikan penampilanku bekas menangis. Lalu keluar setelahnya dan mengambil duduk di samping ranjang Malik. Kuedarkan pandangan menatap isi ruangan Malik dan tidak kutemukan keberadaan Mas Surya di sana. Hanya ada Bi Jum yang menatapku dengan sorot mata bingung. "Pak Surya keluar, Bu. Katanya sebentar saja." Tanpa kutanya, Bi Jum lebih dulu memberitahukan kemana perginya suamiku tersebut seolah mengerti dengan maksud tatapank
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t