“Jangan ragu untuk membuka pakaianmu. Aku ingin kamu lebih menggodanya.” Ini permintaan paling konyol di hidup seorang Gadisa Asmarini. Bekerja sebagai personal assistant seorang beauty influencer, Gadisa memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai Gadis Penggoda. Pekerjaan hina itu ia lakukan demi melunasi hutang keluarganya yang disebabkan oleh ayahnya yang penjudi. Tidak sampai disitu, Gadisa harus berjuang menafkahi keluarganya di tengah ibunya yang divonis sakit parah dan butuh banyak biaya pengobatan, juga kakak laki-laki yang mengidap spektrum autisme sehingga yang paling diandalkan adalah dirinya. Bukan ini jalan hidup yang diinginkan Gadisa, namun, takdir selalu tidak berpihak padanya. Apalagi ketika uang yang ia hasilkan sebagai Gadis Penggoda jauh lebih banyak ketimbang gajinya sebagai personal assistant. Hingga suatu saat, Gadisa mendapatkan tawaran pekerjaan yang jauh lebih konyol lagi, yaitu… “Aku mau kamu menggoda suamiku.” Gadisa mendapat tawaran untuk menggoda suami bosnya. Apa yang harus Gadisa lakukan? Apakah dirinya harus menerima tawaran itu? Namun, bagaimana jika tanpa sengaja di hatinya tumbuh rasa suka pada Dikara? Apa dirinya akan menggoda Dikara Erlangga demi uang, atau demi perasaannya? Cover : Leonidas X Puspa Ayu
View More“Kamu belum tidur, Dis?” Ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya yang terlihat masih menyala lampunya. “Sudah jam satu ini, Dis.”Gadisa bengkit dari ranjang kayunya. Duduk di tepi, Gadisa belum bisa tertidur. Pikirannya masih tertuju pada Mikairo. “Ini mau tidur, kok, Bu,” jawab Gadisa tersenyum kecil.“Gimana tadi kejutan ulang tahunnya? Pasti seru, ya?” tanya ibu Rike mengayunkan langkah masuk ke kamar putrinya. Tadi, saat putrinya pulang, ibu Rike sudah terlelap dan baru saja terbangun karena ingin ke kamar mandi.“Mbak Miskha nggak datang, Bu. Kai sudah semangat ngasih kejutan, tapi ternyata mamanya nggak datang.” Pandangan Gadisa mengekor gerak ibunya hingga ibunya duduk di sampingnya.“Nggak datang? Kenapa? Sibuk?” tanya ibu Rike membayangkan sekecewa apa Mikairo. Apalagi ibu Rike tahu Mikairo anak yang selalu excited.“Nggak tau, Bu. Aku hubungi nggak diangkat lagi.”“Harusnya nggak boleh begitu. Apa mereka ada masalah?” tanya ibu Rike.Gadisa diam sejenak. Tanpa berma
Sepasang mata Gadisa tidak berpindah dari keranjang kotak yang terbuat dari bambu dan dihiasi kertas krep berwarna hijau dan diatasnya terdapat kerajinan tangan terbuat dari clay berbentuk bunga, rumah, lalu ada yang berbentuk pria dewasa, wanita dewasa dan juga anak laki-laki.“Ceritanya yang kertas hijau itu rumput, ya, Mbak?” tanya bik Lastri muncul dari belakang Gadisa.Gadisa menoleh. “Iya. Kata Kai, mau warna cokelat juga, tapi nanti mbak Miskha ngiranya tanah lumpur, soalnya mbak Miskha nggak suka becek. Jadi pakai kertas warna hijau aja, biar berasa di tanah berumput, Bik,” terang Gadisa menjelaskan pemikiran jenius Mikairo dalam pembuatan kerajinan tangan untuk dihadiahkan pada Miskha.Bik Lastri duduk di bawah memandangi kerajinan tangan cantik yang diletakkan di atas meja di ruang tengah. “Bagus, ya, Mbak. Kalau Bibik yang dapat hadiah ini, pasti terharu sekali.”Gadisa yang duduk di atas sofa, berpindah duduk di lantai. Gadisa tersenyum memandangi hasil kerajinan tangan bu
Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se
"Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b
"Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel
Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga
"Teman Kai banyak?" "Banyak, Pa. Ada Vano, Raka, Farel. Mereka semua baik sama Kai. Kai dipinjemin mainan sama mereka." Mikairo menyebutkan satu persatu teman barunya. "Terus Kai hari ini mau bawa mainan, ya, Pa? Nanti mau Kai pinjemin mainan ke temen-temen Kai." Mikairo asik bercerita di dalam mobil. "Jadi di tas kecil itu mainannya, Kai?" tanya Dikara melirik tas kecil yang tadi dibawa putranya dan diletakkan di kursi belakang. Mikairo mengangguk. "Iya, Pa. Tadi malam Kai siapin mainannya. Tadi, Kai juga bilang sama bibik buat siapin baju Kai. Di tas itu juga ada baju gantinya Kai, Pa. Pulang nanti, Kai mau langsung ke rumah tante Gadis. Biar tante Gadis nggak bolak-balik ke rumah kita." Dikara sampai kaget mendengar celotehan putranya yang begitu bersemangat. Berbeda dengan dua hari sebelumnya dimana dirinya pulang kerja dan mendapati putranya sudah terlelap, tadi malam putranya menyambut dirinya dengan penuh semangat. "Jadi Kai kasihan sama tante Gadis kalau tante Gad
Mikairo terus memandangi wajah Gadisa. "Kenapa, Kai?" tanya Gadisa yang duduk di ruang tamu rumahnya. "Kai mau nonton apa?" tanya Gadisa memegang remote TV dan menyalakannya. "TV di rumah Tante Gadis nggak besar kayak di rumah Kai. Tapi gambarnya jernih juga, kok." Gadisa terus berbicara sambil mencari chanel yang menyuguhkan tayangan untuk anak-anak. "Kita nonton kartun aja, ya," lanjut Gadisa menemukan tayangan kartun di salah satu chanel. Dan ketika ia menoleh, Mikairo menatap ke arahnya dengan tatapan yang begitu lekat. "Ada apa? Kai nggak suka nonton kartun?" tanya Gadisa kemudian. Mikairo menggeleng. "Suka," jawab Mikairo namun sampai detik anak laki-laki itu bicara, dia terus memandang ke arah Gadisa dan tidak sekalipun menoleh ke arah televisi. Gadisa mengerjap. "Ada apa?" tanya Gadisa mendekatkan dirinya pada Mikairo yang duduk di sebelahnya. "Kai mau makan?" Mikairo menggeleng. "Tante lagi sedih, ya?" tanya Mikairo. "Nggak, kok. Tante nggak lagi s
“Memangnya nggak apa-apa kamu bawa ke sini, Dis?” tanya ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya.“Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah ijin sama orang tuanya,” jawab Gadisa duduk di tepi ranjang kecilnya sambil menoleh ke arah snag ibu sebelum kemudian kembali memandangi Mikairo yang tidur di ranjangnya.Iya, di ranjangnya.Menjemput di sekolah, Gadisa masih melihat Mikairo semurung kemarin. Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seperti, “Kai tadi ngapain aja di sekolah?” atau “Tadi Kai bawa bekal apa?” Dijawab seperti biasa, tapi tidak ada ekspresi. Dan setelah menjawab pun, Mikairo banyak diam.Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan apa yang diucapkan Miskha kemarin di restoran junkfood. Setelah ucapan mamanya itu, Mikairo banyak menunduk. Makanannya tetap dihabiskan. Tidak memberontak apalagi merengek meminta mamanya menemaninya bermain.Dan kemarin, ketika tiba di rumah, Mikairo bermain sendiri seperti biasa. Ya, walaupun Gadisa tahu ada yang tak biasa dari Mikairo. Seperti ora
“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH U...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments