“Enak nggak?” tanya Gadisa menunggu reaksi Mikairo yang menyantap puding cokelat buatannya.“Enaaaak…” Mikairo mengacungkan jempolnya, tersenyum hingga bola matanya tenggelam dalam iris kelopak monolid itu. Kelopak mata Mikairo sangat mirip dengan milik Dikara, sang ayah. “Nanti kalau sudah habis, buatin lagi ya, Tante,” pinta Mikairo masih dengan jempol yang terangkat setinggi wajahnya.Gadisa mengelus puncak kepala anak laki-laki itu dan mengangguk. “Iya. Nanti Tante buatin lagi. Nanti Tante buatin yang rasa lain,” ucap Gadisa berjanji.“Asiiiik!” seru Mikairo lalu kembali melahap puding cokelat dengan siraman fla vanila di atasnya yang menurutnya sangat enak. “Mama nggak pernah buatin Kai puding. Kata Mama, Mama sibuk,” ucap Mikairo dengan polosnya.Gadisa melirik ke arah bik Lastri yang berada di balik meja dapur. Ucapan Mikairo terdengar hingga ke telinga bik Lastri.“Nanti kalau mama sudah nggak sibuk, mama pasti buatin Kai puding,” ucap bik Lastri berusaha menyenangkan hati Mik
Turun dari ojol yang mengantarnya, Gadisa berlari menuju salon milik Miskha. Wajahnya sumringah, secerah cuaca hari ini. Sejak dari rumah tadi saat Miskha menghubunginya karena bosnya itu telah tiba di Jakarta, Gadisa langsung terburu-buru menemui Miskha untuk memberikan surat dari Mikairo. "Mbak Miskha dimana, Ver?" tanya Gadisa pada Vera—karyawan Hera Salon. "Di atas, Dis. Di ruangannya," jawab Vera. Gadisa mengangguk lalu berlari menuju lantai dua. Pukul sepuluh pagi, Hera Salon baru saja dibuka, jadi masih sepi. Biasanya siang sampai malam, salon ini akan ramai karena bisa dibilang, Hera Salon adalah tempat perawatan kecantikan paling terkenal di Jakarta. Bukan hanya karena nama besar Miskha Maharini yang booming semenjak tiga tahun lalu karena video make-upnya yang selalu diikuti para wanita, Hera Salon juga mempekerjakan banyak tenaga profesional bertangan dingin yang selalu membuat klien puas. Menaiki tangga dengan interior mewah, Gadisa tiba di lantai dua dan s
"Tante minta maaf, Kai." Gadisa mengejar langkah lebar Mikairo yang melewatinya begitu saja usai kecewa karena bukan mamanya yang menjemput. Wajah Mikairo tertekuk. "Tante sudah janji kalau mama sudah baca surat dari Kai, mama langsung jemput Kai." Astaga Gadisa! Kenapa harus berjanji seperti itu? "Maaf, Sayang. Mama lagi sibuk. Mama ada tamu di salon, jadi nggak bisa jemput Kai." Gadisa mengayunkan langkah lebih lebar sampai dirinya berhasil melewati Mikairo dan menghadang langkah anak laki-laki yang memasang wajah super cemberut itu. Bahu Gadisa merosot, menyesali ucapannya kemarin yang mengatakan jika Miskha telah membaca surat dari Mikairo, Miskha pasti akan menjemput Mikairo di sekolah. Dan sepertinya pagi ini, Mikairo telah mendapat kabar bila mamanya akan pulang. Makanya saat keluar dari kelas tadi, Gadisa melihat wajah cerah Mikairo sebelum berubah cemberut saat melihat yang menjemput bukan mamanya. "Mama kenapa nggak jemput?" Mikairo masih tidak teri
“Mbak Gadis bawa lauk, ya. Sayang lauknya masih banyak,” ucap bik Lastri memandangi ayam rendang dalam mangkuk yang tidak tersentuh sama sekali.Gadisa menggeleng. “Nggak usah, Bik. Pak Dika belum makan.” Gadisa menolak tawaran bik Lastri.“Pak Dika bilang nggak makan, Mbak. Kalau dipanasin juga pasti nggak kemakan besok.“Bibik aja yang makan sama pak Wito.” Gadisa tetap menolak.“Pak Wito sudah makan tadi pakai ayam rendang juga. Masih ada sisanya kok, Mbak, tiga iris ayam kalau nanti ada yang mau makan. Mbak juga tadi Bibik suruh makan pake ayam rendang lebih milih bikin mie.”“Lagi pengen mie, Bik,” ucap Gadisa yang lebih memilih ceplok telur atau makan mie bila berada di rumah mbak Miskha. Bukan apa-apa, Gadisa sungkan makan lauk yang disediakan sementara pemilik rumah saja tidak ada. Atau seperti tadi, pak Dikara tampak sibuk dengan banyak berkas di ruang tengah dan tidak mau disuruh makan. Mana bisa Gadisa menikmati makanan yang disediakan bik Lastri sementara pemilik rumah saj
“Rotinya kok masih ada?” tanya Gadisa memeriksa wadah bekal Mikairo saat mereka berada di dalam taksi. “Kai tadi nggak makan?” tanya Gadisa lagi karena tidak mendapat tanggapan dari Mikairo.Anak laki-laki itu masih diam, murung.Gadisa menutup tempat bekal, memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing kecil bergambar mobil-mobilan lalu sedikit membungkuk untuk mendapatkan atensi dari Mikairo. “Nggak laper?” tanya Gadisa.Mikairo masih diam. Tidak menjawab sama sekali.Gadisa menghela napas panjang, kembali meluruskan punggungnya dan menatap sedih ke arah Mikairo.Semalam, membawa Mikairo masuk ke dalam kamar, Gadisa melihat Mikairo langsung menutup matanya, berpura-pura tidur dan menghadap ke arah lain. Gadisa serba salah. Ia memilih diam dan mengusap punggung Mikairo selama satu jam penuh sampai ia yakin Mikairo benar-benar tertidur. Dan dalam satu jam itu, tidak ada satupun dari Miskha atau Dikara yang masuk ke kamar Mikairo. Ketika keluar dari rumah tersebut, Gadisa tidak melihat tan
Gadisa berdiri celingukan di depan sebuah gedung kantor. Hanya mengetahui jika Dikara bekerja di sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman milik Pradana Grup, Gadisa memberanikan diri datang menemui Dikara di kantor pria itu.Turun dari ojek online dan membenahi rambutnya yang berantakan tertiup angin, Gadisa berkata, “terima kasih, Mas.” Pada pengemudi ojek online tersebut sebelum berlari masuk ke dalam gedung bertingkat tinggi itu.Melewati pintu utama, Gadisa menuju ke meja resepsionis dan berkata, “maaf, Mbak, boleh tanya?”Seorang wanita muda, kira-kira seusianya yang berdandan sangat rapi tersenyum lembut. “Ada yang bisa saya bantu?”Gadisa mengangguk. “Apa di kantor ini ada yang bernama pak Dikara Erlangga?”Wanita muda itu langsung mengangguk dan berkata, “Ada, Mbak. Pak Dikara marketing manager di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu lagi setelah memberikan informasi mengenai pak Dikara Erlangga.“Boleh saya bertemu? Ada hal yang mau saya sampaikan,” ucap Ga
Bik Lastri : [Pagi ini pak Dika ajak Kai naik sepeda, Mbak. Habis sarapan tadi mereka pergi ke taman. Kata pak Dika, hari ini sama besok pak Dika ada di rumah, Mbak. Jadi Mbak Gadis nggak perlu ke sini. Pak Dika bilang, istirahat saja di rumah.]Gadisa membaca chat dari bik Lastri sambil senyum-senyum sendiri.“Kenapa anak Ibu senyum-senyum?” tanya ibu Rike yang baru masuk dari pintu samping usai menaruh plastik berisi sampah di luar.“Lagi seneng, Bu,” jawab Gadisa sambil menatap ibunya yang mencuci tangan di wastafel.Melihat putrinya yang senyum-senyum sendiri, ibu Rike menghampiri, menarik kursi meja makan di dekat putrinya dan duduk di sana. “Apa ada yang menyenangkan?” tanya ibu Rike.“Kai lagi seneng, Bu. Aku jadi ikut seneng,” ucap Gadisa masih tersenyum lebar. Lega sekali sejak ia berhasil membawa pulang pak Dikara kemarin. Pak Dikara tidak meninggalkan Mikairo, terus memeluk anak tampan itu, bahkan menyuapi Mikairo dengan sangat telaten.Semalam, Gadisa pulang dalam keadaan
"Jangan terlalu memikirkan ucapan Mona." Gadisa menghentikan gerakannya menaruh beberapa skincare yang harus di review oleh Miskha di atas meja, tepat di hadapan Miskha. "Dia hanya takut orang-orang tau tentang keadaan rumah tangganya. Dia ingin semua orang iri dengan kisah cintanya bersama Aric," lanjut Miskha mengoleskan lotion yang baru saja ia terima dari sebuah brand. Menghidu aroma tangannya, Miskha tersenyum. Sementara Gadisa melihat ekspresi santai Miskha ketika mengomentari rumah tangga Mona Aleandra. "Aku sudah mengatakan pada mbak Mona untuk nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku ingin melupakan hari itu. Aku nggak mau mengingatnya, Mbak." Gadisa tidak ingin mengingat apa yang ia alami di hari itu. Cukup sekali dan tidak ingin lagi. "Tapi aku penasaran apa yang Aric lakukan padamu di hari itu. Mona nggak mau memperlihatkan videomu bersama Aric. Dia hanya bilang Aric masuk perangkapnya. Tapi hari itu juga dia menangis. Apa Aric menggodamu secara brutal?