Gadisa berdiri celingukan di depan sebuah gedung kantor. Hanya mengetahui jika Dikara bekerja di sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman milik Pradana Grup, Gadisa memberanikan diri datang menemui Dikara di kantor pria itu.Turun dari ojek online dan membenahi rambutnya yang berantakan tertiup angin, Gadisa berkata, “terima kasih, Mas.” Pada pengemudi ojek online tersebut sebelum berlari masuk ke dalam gedung bertingkat tinggi itu.Melewati pintu utama, Gadisa menuju ke meja resepsionis dan berkata, “maaf, Mbak, boleh tanya?”Seorang wanita muda, kira-kira seusianya yang berdandan sangat rapi tersenyum lembut. “Ada yang bisa saya bantu?”Gadisa mengangguk. “Apa di kantor ini ada yang bernama pak Dikara Erlangga?”Wanita muda itu langsung mengangguk dan berkata, “Ada, Mbak. Pak Dikara marketing manager di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu lagi setelah memberikan informasi mengenai pak Dikara Erlangga.“Boleh saya bertemu? Ada hal yang mau saya sampaikan,” ucap Ga
Bik Lastri : [Pagi ini pak Dika ajak Kai naik sepeda, Mbak. Habis sarapan tadi mereka pergi ke taman. Kata pak Dika, hari ini sama besok pak Dika ada di rumah, Mbak. Jadi Mbak Gadis nggak perlu ke sini. Pak Dika bilang, istirahat saja di rumah.]Gadisa membaca chat dari bik Lastri sambil senyum-senyum sendiri.“Kenapa anak Ibu senyum-senyum?” tanya ibu Rike yang baru masuk dari pintu samping usai menaruh plastik berisi sampah di luar.“Lagi seneng, Bu,” jawab Gadisa sambil menatap ibunya yang mencuci tangan di wastafel.Melihat putrinya yang senyum-senyum sendiri, ibu Rike menghampiri, menarik kursi meja makan di dekat putrinya dan duduk di sana. “Apa ada yang menyenangkan?” tanya ibu Rike.“Kai lagi seneng, Bu. Aku jadi ikut seneng,” ucap Gadisa masih tersenyum lebar. Lega sekali sejak ia berhasil membawa pulang pak Dikara kemarin. Pak Dikara tidak meninggalkan Mikairo, terus memeluk anak tampan itu, bahkan menyuapi Mikairo dengan sangat telaten.Semalam, Gadisa pulang dalam keadaan
"Jangan terlalu memikirkan ucapan Mona." Gadisa menghentikan gerakannya menaruh beberapa skincare yang harus di review oleh Miskha di atas meja, tepat di hadapan Miskha. "Dia hanya takut orang-orang tau tentang keadaan rumah tangganya. Dia ingin semua orang iri dengan kisah cintanya bersama Aric," lanjut Miskha mengoleskan lotion yang baru saja ia terima dari sebuah brand. Menghidu aroma tangannya, Miskha tersenyum. Sementara Gadisa melihat ekspresi santai Miskha ketika mengomentari rumah tangga Mona Aleandra. "Aku sudah mengatakan pada mbak Mona untuk nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku ingin melupakan hari itu. Aku nggak mau mengingatnya, Mbak." Gadisa tidak ingin mengingat apa yang ia alami di hari itu. Cukup sekali dan tidak ingin lagi. "Tapi aku penasaran apa yang Aric lakukan padamu di hari itu. Mona nggak mau memperlihatkan videomu bersama Aric. Dia hanya bilang Aric masuk perangkapnya. Tapi hari itu juga dia menangis. Apa Aric menggodamu secara brutal?
“Astaga, Dis! Aku kemana-mana nyari kamu.”Seorang wanita berambut sebahu langsung memeluk Gadisa dengan sangat erat persis di depan pintu rumah Gadisa. Dia Karamina Hastari, sahabat Gadisa.“Maaf, ya, aku baru kasih tau alamat aku. Aku juga ganti nomor kemarin.” Gadisa balas memeluk Karamina. Ia sangat merindukan sahabatnya itu.“Ajak masuk, Nak. Ibu bikinkan minum dulu,” ucap ibu Rike yang berada di balik meja jualannya─sedang membersihkan meja karena jualannya telah habis. Sudah dua hari ini ibu Rike kembali berjualan. Karena kebisaannya hanya memasak, jadi ia kembali menjual makanan tepat di depan rumahnya.Tidak memiliki pekarangan dan hanya teras kecil yang penuh dengan meja jualan ibunya, Gadisa membawa masuk Karamina ke dalam rumah. Tapi sebelum itu, Karamina berkata, “Ibu nggak perlu repot-repot. Nanti kalau Kara haus, Kara ambil minum sendiri.”“Ibu nggak repot-repot. Sudah masuk sana. Ibu buatin es teh dulu,” ucap ibu Rike yang tadi juga mendapat pelukan dari Karamina.“Uda
Sejak pagi Gadisa kurang konsentrasi. Ini karena Karamina yang meninggalkan uang senilai satu juta rupiah dan diletakkan di atas kulkas dan baru ketahuan subuh tadi oleh ibunya. Setelah ibunya menanyainya juga menanyai mas Lanang, Gadisa baru teringat bila sebelum pulang, Karamina ada membuka kulkas untuk meminta air dingin.Pagi-pagi sebelum berangkat ke salon milik Miskha, Gadisa telah mengirim chat pada Karamina namun sahabatnya itu belum juga membalas pesannya. Entah karena sibuk atau sengaja tidak membalas.“Bukan yang ini, Dis!” tegur Miskha saat Gadisa salah mengambil pouch brush miliknya.Gadisa terhenyak. “Yang pouch sage ‘kan, Mbak.”“Iya, tapi ini bukan sage, Dis. Ini hijau muda!” Terdengar desisan dari mulut Miskha yang kesal karena kesalahan Gadisa.“Maaf, Mbak,” ucap Gadisa lalu terburu-buru menuju lantai bawah untuk mengambil pouch yang dimaksud Miskha.“Bolak-balik terus, Dis,” ucap Vera yang sedari tadi melihat Gadisa bolak-balik.“Salah ambil pouch,” ucap Gadisa meri
"Belakangan Mikairo sering melamun. Saya tanya kenapa, dia bilang kalau dia rindu mamanya. Apa, Mikairo tidak tinggal dengan mamanya?" Duduk di taman kecil di halaman kompleks taman kanak-kanak, Gadisa memandangi Mikairo yang sedang bermain dengan teman-temannya. Tampak Mikairo tertawa bersama teman-temannya. Tapi di balik tawa itu, ada anak yang menyimpan kesedihan. "Mamanya sibuk, Miss. Banyak sekali deadline pekerjaan," jawab Gadisa jujur tapi juga sedikit berbohong. "Apa boleh, saya bertemu dengan mamanya? Tolong mbak Gadis sampaikan pada mamanya kalau saya ingin bertemu. Ini demi kebaikan Mikairo," ucap Miss Adel, wali kelas Mikairo. Gadisa mengangguk. "Akan saya sampaikan, Miss." "Terima kasih banyak, ya, mbak Gadis." Miss Adel tersenyum manis lalu meninggalkan Gadisa di kursi panjang di halaman taman kanak-kanak itu. Gadisa termenung memandangi Mikairo sampai sepasang mata itu menatap ke arahnya dan berlari menghampirinya. "Sudah mainnya?" tanya Gadi
“Dia atasan aku,” bisik Karamina pada Gadisa.Sedikit canggung, Gadisa mencoba tersenyum. Inginnya kabur saja dan tidak perlu makan bersama dengan pak Dikara, tapi bagaimana caranya sementara pak Dikara berulang kali memaksanya untuk ikut.“Kalau tau pak Dika kenal sama Gadis, kemarin saya tanya nomornya Gadis ke bapak,” celetuk Karamina yang langsung mendapat sikutan dari Gadisa.Kening Dikara berkerut. Sambil menyuir ayam untuk Mikairo, Dikara menjawab, “bukannya tadi kata Gadis kalian berteman? Apa kamu nggak punya nomor Gadis.”“Kemarin saya sempat ganti nomor, tapi saya sudah beritahu Kara,” sela Gadisa sebelum Karamina berbicara.“Kami sudah kenal dari dulu, Pak. Dari jaman TK. Jadi bukan hanya sekedar teman lagi, tapi sudah sahabat kental. Makanya kalau Gadis ilang, saya kerepotan nyariin,” celetuk Karamina sambil menahan senyumnya melirik Gadisa.Gadisa memutar bola matanya. Teringat tadi bagaimana bingungnya Karamina saat dirinya mengatakan menunggu di lobi dan ketika sahabat
“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH U