"Jangan berharap lebih padaku, Arinda!" "Kenapa, Mas? Bukankah Mas berjanji akan meresmikan pernikahan kita ini?" "Dan kamu percaya kata-kata itu, Arinda?" "Tentu. Aku tak memiliki alasan untuk tidak memercayai suamiku sendiri, Mas!" "Kamu salah, Arinda. Kamu tidak perlu mempercayaiku!" "Maksud kamu apa sih, Mas?" "Nanti kamu akan tahu sendiri." Arinda. Perempuan cantik yang menikah di usia muda itu, hanya bisa menatap kepergian laki-laki yang baru meninggalkan kamar dengan tatapan bingungnya. "Maksud Mas Ardi apa?"
View More"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.
"Mas ... Mas Wisnu!"Tiba di rumah mertuanya, Wina langsung mencari keberadaan sang suami yang entah ada di mana itu. Dia berkeliling rumah dengan tergesa-gesa, membuat Sri dan ibu mertuanya melongo di tempatnya."Lah, kenapa tuh anak?""Baru ditinggal sebentar aja udah nyariin," cibir Sri saat Wina melewatinya begitu saja.Tapi, Wina mengacuhkannya. Dia terus berjalan menuju belakang rumah, tempat yang belum dia cek tentunya. Berharap menemukan suaminya di sana dan dia bisa langsung mengutarakan apa yang memenuhi otaknya saat ini."Nduk Wina, memangnya kamu tidak tahu kalau suami kamu sedang keluar?" seru sang Ibu mertua yang juga merasa pusing melihat Wina mondar-mandir dengan wajah yang panik.Langkah Wina terhenti, dia langsung menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Mas Wisnu keluar, Bu?" tanyanya, memastikan.Sumi, nama wanita itu. Dia menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang menantu. "Coba lihat pons
"Dik ... Dika! Bangun, Nak! Itu calonnya si Arinda udah datang!" Ningrum masuk ke dalam kamar anaknya dengan tergesa. Dia mengguncang tubuh pemuda itu agar mau membuka matanya. Berharap dia cepat bangun dan melihat ramai-ramai di depan sana. "Ngantuk, Bu ..." lenguh Dika, enggan membuka matanya. Malahan, dia menarik selimutnya untuk menutupi sampai ke wajahnya. "Aduh! Gimana sih ini anak!" keluh Ningrum, kembali melesat keluar dari kamar anak bujangnya dengan dongkol. Jelas saja Dika sangat mengantuk. Dia baru saja pulang menjelang subuh tadi, setelah semalaman mengobrol dengan bapak-bapak di rumah Arinda. "Aduh! Udah masuk lagi orangnya! Masa aku ujug-ujug datang ke rumah Pak RT, sih? Mau ngomong apa coba?" gumam Ningrum dengan wajah bingungnya. "Ah, aku tunggu di sini aja, deh. Nanti kalau orangnya keluar, langsung aku samperin aja!" ~~~ "Sudah siap, Mbak?" Wina
[Mas sudah sampai bandara, Sayang. Besok, sekitar jam sepuluh kita sudah sampai di desa kamu.]Pesan itu masuk saat Arinda tengah sibuk mengobrol dengan teman-teman desanya yang kebetulan mampir malam itu. Dia tidak sempat memegang ponselnya sama sekali. Dan baru setelah jam menginjak pukul sepuluh malam, dia baru bisa membaca pesan tersebut.Jari-jemarinya dengan gesit mengetikkan pesan balasan. Walau dia tahu, pesan itu pasti akan masuk besok pagi tentunya."Duh! Tinggal besok doang. Setelahnya, aku sudah resmi jadi istri orang," gumam Arinda. Dia merebahkan tubuhnya dengan ponsel yang berada di atas dadanya.Senyumnya tak kunjung pudar sejak tadi. Lengkungan indah itu terus terpatri di bibirnya, membayangkan hari pernikahannya yang sebentar lagi akan segera tiba. Mimpinya untuk segera bersuami pun akan segera terwujud.Arinda memutuskan untuk memejamkan matanya. Walau tetap saja rasanya sungguh sulit. Terlebih, di luar sana banyak bapak-bapak yang masih betah mengobrol. Suara gelak
"Neng Arinda!"Arinda—wanita cantik yang kini menginjak usia dua puluh lima tahun itu, menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya di belakang sana. Dia tersenyum tipis, saat tahu siapa yang sudah memanggilnya."Bu Ning!" sapanya, sambil mengulurkan tangannya dengan takzim."Neng Arinda kapan pulangnya?" tanya wanita yang Arinda panggil Bu Ning."Baru kemarin malam, Bu," sahut Arinda sopan. Berbicara dengan nada lembut seperti biasanya."Neng teh ada waktu nggak? Mau ngobrol dulu sebentar," ucap wanita yang kerudung lebarnya tertiup angin itu."Tentu saja, Bu. Mari, kita ngobrol di rumah bibi saja." Arinda menunjuk ke arah rumah Bibinya sendiri yang sudah terlihat di depan matanya."Hayuk, atuh. Kita ke sana!" sahut Bu Ning setuju, berjalan dengan antusias."Ngomong-ngomong, bibi kamu sudah sehat belum?"Arinda kembali mengangguk sopan. "Alhamdulillah. Bibi sudah sehat, Bu. Terima kasih, sudah mau saya repotkan selama saya di kota.”"Aduh, nggak usah ngomong gitu atuh, Neng. Kita i...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments