"Neng Arinda!"
Arinda—wanita cantik yang kini menginjak usia dua puluh lima tahun itu, menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya di belakang sana. Dia tersenyum tipis, saat tahu siapa yang sudah memanggilnya. "Bu Ning!" sapanya, sambil mengulurkan tangannya dengan takzim. "Neng Arinda kapan pulangnya?" tanya wanita yang Arinda panggil Bu Ning. "Baru kemarin malam, Bu," sahut Arinda sopan. Berbicara dengan nada lembut seperti biasanya. "Neng teh ada waktu nggak? Mau ngobrol dulu sebentar," ucap wanita yang kerudung lebarnya tertiup angin itu. "Tentu saja, Bu. Mari, kita ngobrol di rumah bibi saja." Arinda menunjuk ke arah rumah Bibinya sendiri yang sudah terlihat di depan matanya. "Hayuk, atuh. Kita ke sana!" sahut Bu Ning setuju, berjalan dengan antusias. "Ngomong-ngomong, bibi kamu sudah sehat belum?" Arinda kembali mengangguk sopan. "Alhamdulillah. Bibi sudah sehat, Bu. Terima kasih, sudah mau saya repotkan selama saya di kota.” "Aduh, nggak usah ngomong gitu atuh, Neng. Kita ini kan tetangga. Jadi, sudah seharusnya saling tolong menolong." Bu Ning mendudukkan bokongnya di dipan depan rumah. "Oh iya, Neng. Ibu dengar-dengar, Neng beneran mau nikah sama laki-laki Kota, ya?" tanya Bu Ning dengan mimik wajah seriusnya. Arinda menyembunyikan wajahnya. Mengingat kata-kata menikah, membuat wajahnya terasa memanas. Sungguh, dia begitu menanti upacara sakral itu dalam hidupnya. "Betul, Bu. Dua minggu lagi, saya sudah resmi dipersunting oleh Mas Ardi." "Apa kamu yakin sama pilihan kamu itu, Neng?" tanya Bu Ning yang kini terlihat cemas. Entah kenapa, wanita itu sedikit tidak rela jika Arinda menikah dengan laki-laki kota. "Insyaallah. Saya yakin dengan pilihan saya, Bu." Ada keraguan dalam nada bicara Arinda. Entah kenapa, dia juga merasa tidak begitu yakin. Tetapi, Ardi selalu bisa membuatnya menjadi yakin. Untuk menerima pinangan laki-laki yang lebih dewasa darinya itu. "Dia laki-laki baik kan, Neng?" Lagi, Bu Ning menyuarakan tanyanya. "Alhamdulillah. Mas Ardi orangnya baik kok, Bu." Meski ragu, tetapi Bu Ning tetap mengangguk sambil tersenyum juga. Menelan rasa gelisah hatinya seorang diri. "Semoga, hanya perasaanku saja," batinnya berharap. "Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, ibu mau pamit dulu, ya. Sudah siang, mau masak dulu." "Ibu tak mau makan di sini, kah? Kita makan sama-sama. Sudah lama sekali kita tak makan bareng, kan?" tawar Arinda cepat, sebelum Bu Ning berlalu dari hadapannya. "Wah, kalau ditawari, ibu mah nggak akan nolak atuh, Neng!" Bu Ning tersenyum lebar, begitu juga dengan Arinda yang ikut tertawa kecil. "Lho, ada kamu Ning," celetuk Nuriyah, bibi dari Arinda yang baru keluar dari rumah. "Iya, Nur. Mampir dulu, temu kangen sama anak gadis," sahut Bu Ning, masih dengan senyum lebarnya. "Bu Ning ngobrol dulu aja sama bibi. Biar aku masak dulu buat makan siang kita," pungkas Arinda. "Baiklah. Ibu akan menunggu sampai masakanmu matang, Neng." Bu Ning mengacungkan kedua jempolnya. Meletakkan kresek berisi belanjaannya kembali ke meja yang sudah usang. Setelahnya dia mengobrol ringan dengan Nuriyah. Dia ingin mengorek informasi tentang pernikahan Arinda. Lebih tepatnya, tentang calon Arinda. Arinda sendiri langsung menuju dapur, dengan menenteng kresek belanjaannya sendiri. Kebetulan dia masih kebagian ayam dan juga ikan nila. Rencananya, dia hanya akan menggorengnya saja. Dan dia juga akan membuat sayur asem dan juga sambal tentunya. Ah, membayangkan saja sudah membuat perutnya semakin keroncongan. Sudah lama sekali dia tidak memakan masakan rumahan seperti ini. Sekitar dua tahun, lepas dia memutuskan untuk merantau ke Kota lebih tepatnya. "Kira-kira, Mas Ardi jam segini lagi makan sama siapa, ya?" gumam Arinda. Biasanya, laki-laki itu akan menyambangi tempatnya bekerja. Mengajaknya untuk makan siang bersama. Dia dulu bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah hotel besar. Dan sekarang, dia sudah mengundurkan diri, setelah Ardi yang memintanya untuk berhenti bekerja. Dan sekarang ia akan menghabiskan dua minggu di desa. Sembari menunggu hari bahagia itu tiba. Arinda kembali menyibukkan diri dengan masakannya, tak ingin memikirkan Ardi lebih lama lagi. Tangannya dengan cekatan memotong sayuran. Membalikkan ayam yang berada di penggorengan, agar tidak gosong. Hampir satu jam berkutat di dapur sederhana, semua masakan Arinda kini sudah selesai. Gadis itu juga sudah menata makanan dan nasi ke atas meja makan usang. Dia meraba meja dan kursi itu. Meja itu masih tetap sama, tidak berubah sedikitpun. Nuriyah tidak mau mengganti apa pun yang ada di rumah itu. Walau Arinda sendiri sudah memiliki banyak uang dari hasil kerjanya. Bahkan, lantainya pun masih dari tanah, dan dindingnya masih nampak bata merahnya. Wanita itu hanya menerima televisi dengan ukuran sedang, yang kini berada di dalam rumahnya. Menjadi hiburannya sehari-hari. Dia tidak ingin semua kenangan yang ada di rumah itu menghilang saat direnovasi nantinya. Kenangan bersama kakak dan kakak iparnya. Yang tak lain adalah orang tua dari Arinda sendiri. "Neng!" Arinda tersentak kaget, saat pundaknya ditepuk dengan tiba-tiba. Refleks, dia memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Astagfirullah! Maaf, Bi. Arinda malah melamun," ucapnya buru-buru. Mengusap wajahnya dengan kasar. Beruntung dia sudah menyelesaikan masakannya. Hingga tak membuatnya celaka. Nuriyah tersenyum tipis. "Sudah selesai, Neng?" tanyanya. Arinda mengangguk cepat. "Sudah, Bi. Yuk, kita makan!" Ia kembali tersenyum lebar. "Bu Ning?" tanya Arinda, celingukan. "Oh, dia masih ada di depan. Sebentar, biar bibi panggilkan dulu." "Tidak usah, Bi. Biar Arinda aja," cegah gadis itu cepat. "Bibi duduk di sini aja," imbuhnya yang membawa Nuriyah ke kursi. "Baiklah." Wanita itu tak memprotes. Dia mengusap punggung tangan Arinda, sebelum gadis itu melesat keluar. Tak berselang lama, dia kembali dengan Bu Ning. Mereka berjalan dengan saling memeluk pinggang satu sama lain. Masih sama-sama rindu berat setelah sekian lama tak berjumpa. Ketiga wanita itu duduk mengelilingi meja makan. Arinda dengan sigap mengambilkan nasi ke piring masing-masing. Dia membiarkan dua wanita itu mengambil lauk yang mereka mau, mulai makan dengan begitu lahapnya. "Ah, enaknya masakan kamu, Neng," puji Bu Ning tulus. Setiap suapan selalu habis dengan cepat di dalam mulutnya. "Pasti yang jadi suami kamu bakal gendut ini," lanjutnya lagi. "Wah, Bu Ning bisa aja. Jadi malu udah dipuji enak," sahut Arinda, kembali mengisi piringnya dengan kuah sayur. "Ibu beneran lho, Neng. Beruntung banget yang jadi suami kamu nanti. Udah cantik, pinter masak pula!" Pujian demi pujian terus Arinda terima. Bukan hanya dari Bu Ning saja, tetapi dari sang bibi juga. Arinda tertawa lepas. Melepaskan semua rindu yang selama ini hanya bisa dipendam seorang diri. "Terima kasih banyak, ya, Neng. Ibu kenyang banget nih. Sampai nambah tiga kali," celetuk Bu Ning sembari mengelus perutnya yang kini bertambah buncit. "Haha. Iya, sama-sama, Bu." "Ya sudah. Ibu pamit dulu!" Arinda menyalami Bu Ning. Melambaikan tangannya, sampai wanita itu menghilang di belokan menuju rumahnya. Setelahnya, dia kembali masuk ke dalam rumah. Hendak membereskan piring bekas mereka makan tadi. "Lho, Bi? Kok, udah dibereskan, sih?" tanya Arinda saat dia tiba di dapur. "Biar kamu bisa istirahat, Neng. Udah, sana masuk kamar aja. Calon pengantin jangan capek-capek!" titah Nuriyah, mengelap tangannya yang basah. "Aduh, terima kasih banyak, Bi. Aku jadi nggak enak, nih." Arinda memeluk Nuriyah sebentar, sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, dia melihat layar ponselnya yang menyala. Gegas dia mengambilnya, mengusap layarnya hingga menampilkan foto dirinya dan Ardi sebagai wallpaper depan. "Mas Ardi," gumam Arinda saat mendapati pesan masuk dari calon suaminya itu. [Baru sehari tidak bertemu, mas sudah rindu sekali dengan dirimu, Sayang. Bagaimana kabar calon istri aku di desa? Kamu baik kan di sana?] "Ah, Mas Ardi! Kamu sungguh membuatku tergila-gila!”Tok!"Neng, ada temen kamu, Ulfa!" ucap Nuriyah memberitahu, sambil mengetuk pintu kamar Arinda."Tunggu sebentar, Bi. Baru ganti baju!" teriak Arinda dari dalam kamarnya."Ya sudah. Nanti langsung keluar saja, ya?""Iya, Bi!"Arinda mengganti bajunya dengan cepat. Tak ingin membuat kawan lamanya menunggu dirinya terlalu lama.Ceklek.Dia langsung berjalan menuju luar, bibirnya langsung melengkung, saat melihat temannya itu duduk menghadap ke jalanan."Ulfa!"Wanita yang dipanggil Ulfa itu langsung menoleh. Dia sama tersenyum lebar seperti Arinda."Aaa, Rinda!" teriak Ulfa tak kalah hebohnya.Keduanya langsung berpelukan. Melompat-lompat, persis seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru."Kangen banget sama kamu!" seru Ulfa, masih memeluk Arinda yang kini mulai kesulitan bergerak."Haha. Iya tahu kalo kamu kangen. Tapi, kamu bikin aku sesak napas, hey!"Ulfa buru-buru melepaskan pelukannya, menatap ke arah Arinda. Kemudian, keduanya kembali tertawa lepas."Duduk, yuk! Aku p
"Hallo? Apa ada yang penting?""Ha—"Duar!Arinda terlonjak kaget di atas ranjangnya. Gadis itu langsung melompat, saat tiba-tiba suara petir di luar sana terdengar menggelegar.Duar!Bertepatan dengan suara petir yang kedua, kini listrik di rumahnya padam. Hanya gelap yang menemaninya di kamar yang kecil ini."Neng? Sudah tidur belum?" Suara Nuriyah terdengar dari luar sana.Tak lama setelahnya, terdengar bunyi rintihan kecil, disusul suara benda jatuh. Mungkin, Nuriyah menabrak sesuatu di luar sana, karena keadaan yang memang gelap gulita.Arinda meraba-raba ranjangnya, mencoba mencari keberadaan ponselnya yang sempat dia lemparkan tanpa sengaja tadi. "Aduh, mana sih ponselnya," keluhnya sembari terus mencari berharap secepatnya menemukan benda tersebut.Setelah mendapatkan benda tersebut, Arinda langsung menghidupkan senter, mengarahkannya ke luar kamarnya. Berjalan mencari Nuriyah yang kini berada di dapur."Bi?" panggilnya pelan. Wanita itu langsung menoleh, memperlihatkan lilin
"Za!""Mama? Tumben ke kantor pagi-pagi gini?""Kenapa? Tidak boleh kah mama ke sini?" Wanita dengan dandanan menor itu, meletakkan tas mahalnya di atas meja kerja Reza dengan begitu hati-hati. Seolah-olah, tak ingin benda itu lecet sedikitpun."Ada apa?" tanya Reza cepat. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, sebelum dia mengambil cuti selama seminggu nantinya."Persiapan pernikahan kamu sudah beres semua ‘kan?" tanya wanita itu, membenarkan letak kacamatanya agar jelas menatap ke arah sang anak.Mendengar itu, Reza yang sibuk dengan pekerjaannya langsung mendongak dengan cepat. "Pelankan suara Mama," pintanya dengan suara tertahan."Kenapa? Apa kamu masih belum ingin memberitahu Ayu? Istri mandulmu itu?" ucapnya dengan suara sinis.Reza mendesah kesal. Sebelah tangannya mencengkram bolpoin yang dia pegang saat ini, dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pinggiran meja."Jaga ucapan Mama!" ucapnya dengan dada yang bergemuruh hebat. Mencoba menahan gejolak emosi yang sudah sia
"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi."Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat.Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi."Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya."Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu."Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi.Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega.Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!""Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.
"Mas ... Mas Wisnu!"Tiba di rumah mertuanya, Wina langsung mencari keberadaan sang suami yang entah ada di mana itu. Dia berkeliling rumah dengan tergesa-gesa, membuat Sri dan ibu mertuanya melongo di tempatnya."Lah, kenapa tuh anak?""Baru ditinggal sebentar aja udah nyariin," cibir Sri saat Wina melewatinya begitu saja.Tapi, Wina mengacuhkannya. Dia terus berjalan menuju belakang rumah, tempat yang belum dia cek tentunya. Berharap menemukan suaminya di sana dan dia bisa langsung mengutarakan apa yang memenuhi otaknya saat ini."Nduk Wina, memangnya kamu tidak tahu kalau suami kamu sedang keluar?" seru sang Ibu mertua yang juga merasa pusing melihat Wina mondar-mandir dengan wajah yang panik.Langkah Wina terhenti, dia langsung menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Mas Wisnu keluar, Bu?" tanyanya, memastikan.Sumi, nama wanita itu. Dia menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang menantu. "Coba lihat pons
"Dik ... Dika! Bangun, Nak! Itu calonnya si Arinda udah datang!" Ningrum masuk ke dalam kamar anaknya dengan tergesa. Dia mengguncang tubuh pemuda itu agar mau membuka matanya. Berharap dia cepat bangun dan melihat ramai-ramai di depan sana. "Ngantuk, Bu ..." lenguh Dika, enggan membuka matanya. Malahan, dia menarik selimutnya untuk menutupi sampai ke wajahnya. "Aduh! Gimana sih ini anak!" keluh Ningrum, kembali melesat keluar dari kamar anak bujangnya dengan dongkol. Jelas saja Dika sangat mengantuk. Dia baru saja pulang menjelang subuh tadi, setelah semalaman mengobrol dengan bapak-bapak di rumah Arinda. "Aduh! Udah masuk lagi orangnya! Masa aku ujug-ujug datang ke rumah Pak RT, sih? Mau ngomong apa coba?" gumam Ningrum dengan wajah bingungnya. "Ah, aku tunggu di sini aja, deh. Nanti kalau orangnya keluar, langsung aku samperin aja!" ~~~ "Sudah siap, Mbak?" Wina
[Mas sudah sampai bandara, Sayang. Besok, sekitar jam sepuluh kita sudah sampai di desa kamu.]Pesan itu masuk saat Arinda tengah sibuk mengobrol dengan teman-teman desanya yang kebetulan mampir malam itu. Dia tidak sempat memegang ponselnya sama sekali. Dan baru setelah jam menginjak pukul sepuluh malam, dia baru bisa membaca pesan tersebut.Jari-jemarinya dengan gesit mengetikkan pesan balasan. Walau dia tahu, pesan itu pasti akan masuk besok pagi tentunya."Duh! Tinggal besok doang. Setelahnya, aku sudah resmi jadi istri orang," gumam Arinda. Dia merebahkan tubuhnya dengan ponsel yang berada di atas dadanya.Senyumnya tak kunjung pudar sejak tadi. Lengkungan indah itu terus terpatri di bibirnya, membayangkan hari pernikahannya yang sebentar lagi akan segera tiba. Mimpinya untuk segera bersuami pun akan segera terwujud.Arinda memutuskan untuk memejamkan matanya. Walau tetap saja rasanya sungguh sulit. Terlebih, di luar sana banyak bapak-bapak yang masih betah mengobrol. Suara gelak