"Neng Arinda!"
Arinda—wanita cantik yang kini menginjak usia dua puluh lima tahun itu, menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya di belakang sana. Dia tersenyum tipis, saat tahu siapa yang sudah memanggilnya. "Bu Ning!" sapanya, sambil mengulurkan tangannya dengan takzim. "Neng Arinda kapan pulangnya?" tanya wanita yang Arinda panggil Bu Ning. "Baru kemarin malam, Bu," sahut Arinda sopan. Berbicara dengan nada lembut seperti biasanya. "Neng teh ada waktu nggak? Mau ngobrol dulu sebentar," ucap wanita yang kerudung lebarnya tertiup angin itu. "Tentu saja, Bu. Mari, kita ngobrol di rumah bibi saja." Arinda menunjuk ke arah rumah Bibinya sendiri yang sudah terlihat di depan matanya. "Hayuk, atuh. Kita ke sana!" sahut Bu Ning setuju, berjalan dengan antusias. "Ngomong-ngomong, bibi kamu sudah sehat belum?" Arinda kembali mengangguk sopan. "Alhamdulillah. Bibi sudah sehat, Bu. Terima kasih, sudah mau saya repotkan selama saya di kota.” "Aduh, nggak usah ngomong gitu atuh, Neng. Kita ini kan tetangga. Jadi, sudah seharusnya saling tolong menolong." Bu Ning mendudukkan bokongnya di dipan depan rumah. "Oh iya, Neng. Ibu dengar-dengar, Neng beneran mau nikah sama laki-laki Kota, ya?" tanya Bu Ning dengan mimik wajah seriusnya. Arinda menyembunyikan wajahnya. Mengingat kata-kata menikah, membuat wajahnya terasa memanas. Sungguh, dia begitu menanti upacara sakral itu dalam hidupnya. "Betul, Bu. Dua minggu lagi, saya sudah resmi dipersunting oleh Mas Ardi." "Apa kamu yakin sama pilihan kamu itu, Neng?" tanya Bu Ning yang kini terlihat cemas. Entah kenapa, wanita itu sedikit tidak rela jika Arinda menikah dengan laki-laki kota. "Insyaallah. Saya yakin dengan pilihan saya, Bu." Ada keraguan dalam nada bicara Arinda. Entah kenapa, dia juga merasa tidak begitu yakin. Tetapi, Ardi selalu bisa membuatnya menjadi yakin. Untuk menerima pinangan laki-laki yang lebih dewasa darinya itu. "Dia laki-laki baik kan, Neng?" Lagi, Bu Ning menyuarakan tanyanya. "Alhamdulillah. Mas Ardi orangnya baik kok, Bu." Meski ragu, tetapi Bu Ning tetap mengangguk sambil tersenyum juga. Menelan rasa gelisah hatinya seorang diri. "Semoga, hanya perasaanku saja," batinnya berharap. "Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, ibu mau pamit dulu, ya. Sudah siang, mau masak dulu." "Ibu tak mau makan di sini, kah? Kita makan sama-sama. Sudah lama sekali kita tak makan bareng, kan?" tawar Arinda cepat, sebelum Bu Ning berlalu dari hadapannya. "Wah, kalau ditawari, ibu mah nggak akan nolak atuh, Neng!" Bu Ning tersenyum lebar, begitu juga dengan Arinda yang ikut tertawa kecil. "Lho, ada kamu Ning," celetuk Nuriyah, bibi dari Arinda yang baru keluar dari rumah. "Iya, Nur. Mampir dulu, temu kangen sama anak gadis," sahut Bu Ning, masih dengan senyum lebarnya. "Bu Ning ngobrol dulu aja sama bibi. Biar aku masak dulu buat makan siang kita," pungkas Arinda. "Baiklah. Ibu akan menunggu sampai masakanmu matang, Neng." Bu Ning mengacungkan kedua jempolnya. Meletakkan kresek berisi belanjaannya kembali ke meja yang sudah usang. Setelahnya dia mengobrol ringan dengan Nuriyah. Dia ingin mengorek informasi tentang pernikahan Arinda. Lebih tepatnya, tentang calon Arinda. Arinda sendiri langsung menuju dapur, dengan menenteng kresek belanjaannya sendiri. Kebetulan dia masih kebagian ayam dan juga ikan nila. Rencananya, dia hanya akan menggorengnya saja. Dan dia juga akan membuat sayur asem dan juga sambal tentunya. Ah, membayangkan saja sudah membuat perutnya semakin keroncongan. Sudah lama sekali dia tidak memakan masakan rumahan seperti ini. Sekitar dua tahun, lepas dia memutuskan untuk merantau ke Kota lebih tepatnya. "Kira-kira, Mas Ardi jam segini lagi makan sama siapa, ya?" gumam Arinda. Biasanya, laki-laki itu akan menyambangi tempatnya bekerja. Mengajaknya untuk makan siang bersama. Dia dulu bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah hotel besar. Dan sekarang, dia sudah mengundurkan diri, setelah Ardi yang memintanya untuk berhenti bekerja. Dan sekarang ia akan menghabiskan dua minggu di desa. Sembari menunggu hari bahagia itu tiba. Arinda kembali menyibukkan diri dengan masakannya, tak ingin memikirkan Ardi lebih lama lagi. Tangannya dengan cekatan memotong sayuran. Membalikkan ayam yang berada di penggorengan, agar tidak gosong. Hampir satu jam berkutat di dapur sederhana, semua masakan Arinda kini sudah selesai. Gadis itu juga sudah menata makanan dan nasi ke atas meja makan usang. Dia meraba meja dan kursi itu. Meja itu masih tetap sama, tidak berubah sedikitpun. Nuriyah tidak mau mengganti apa pun yang ada di rumah itu. Walau Arinda sendiri sudah memiliki banyak uang dari hasil kerjanya. Bahkan, lantainya pun masih dari tanah, dan dindingnya masih nampak bata merahnya. Wanita itu hanya menerima televisi dengan ukuran sedang, yang kini berada di dalam rumahnya. Menjadi hiburannya sehari-hari. Dia tidak ingin semua kenangan yang ada di rumah itu menghilang saat direnovasi nantinya. Kenangan bersama kakak dan kakak iparnya. Yang tak lain adalah orang tua dari Arinda sendiri. "Neng!" Arinda tersentak kaget, saat pundaknya ditepuk dengan tiba-tiba. Refleks, dia memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Astagfirullah! Maaf, Bi. Arinda malah melamun," ucapnya buru-buru. Mengusap wajahnya dengan kasar. Beruntung dia sudah menyelesaikan masakannya. Hingga tak membuatnya celaka. Nuriyah tersenyum tipis. "Sudah selesai, Neng?" tanyanya. Arinda mengangguk cepat. "Sudah, Bi. Yuk, kita makan!" Ia kembali tersenyum lebar. "Bu Ning?" tanya Arinda, celingukan. "Oh, dia masih ada di depan. Sebentar, biar bibi panggilkan dulu." "Tidak usah, Bi. Biar Arinda aja," cegah gadis itu cepat. "Bibi duduk di sini aja," imbuhnya yang membawa Nuriyah ke kursi. "Baiklah." Wanita itu tak memprotes. Dia mengusap punggung tangan Arinda, sebelum gadis itu melesat keluar. Tak berselang lama, dia kembali dengan Bu Ning. Mereka berjalan dengan saling memeluk pinggang satu sama lain. Masih sama-sama rindu berat setelah sekian lama tak berjumpa. Ketiga wanita itu duduk mengelilingi meja makan. Arinda dengan sigap mengambilkan nasi ke piring masing-masing. Dia membiarkan dua wanita itu mengambil lauk yang mereka mau, mulai makan dengan begitu lahapnya. "Ah, enaknya masakan kamu, Neng," puji Bu Ning tulus. Setiap suapan selalu habis dengan cepat di dalam mulutnya. "Pasti yang jadi suami kamu bakal gendut ini," lanjutnya lagi. "Wah, Bu Ning bisa aja. Jadi malu udah dipuji enak," sahut Arinda, kembali mengisi piringnya dengan kuah sayur. "Ibu beneran lho, Neng. Beruntung banget yang jadi suami kamu nanti. Udah cantik, pinter masak pula!" Pujian demi pujian terus Arinda terima. Bukan hanya dari Bu Ning saja, tetapi dari sang bibi juga. Arinda tertawa lepas. Melepaskan semua rindu yang selama ini hanya bisa dipendam seorang diri. "Terima kasih banyak, ya, Neng. Ibu kenyang banget nih. Sampai nambah tiga kali," celetuk Bu Ning sembari mengelus perutnya yang kini bertambah buncit. "Haha. Iya, sama-sama, Bu." "Ya sudah. Ibu pamit dulu!" Arinda menyalami Bu Ning. Melambaikan tangannya, sampai wanita itu menghilang di belokan menuju rumahnya. Setelahnya, dia kembali masuk ke dalam rumah. Hendak membereskan piring bekas mereka makan tadi. "Lho, Bi? Kok, udah dibereskan, sih?" tanya Arinda saat dia tiba di dapur. "Biar kamu bisa istirahat, Neng. Udah, sana masuk kamar aja. Calon pengantin jangan capek-capek!" titah Nuriyah, mengelap tangannya yang basah. "Aduh, terima kasih banyak, Bi. Aku jadi nggak enak, nih." Arinda memeluk Nuriyah sebentar, sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, dia melihat layar ponselnya yang menyala. Gegas dia mengambilnya, mengusap layarnya hingga menampilkan foto dirinya dan Ardi sebagai wallpaper depan. "Mas Ardi," gumam Arinda saat mendapati pesan masuk dari calon suaminya itu. [Baru sehari tidak bertemu, mas sudah rindu sekali dengan dirimu, Sayang. Bagaimana kabar calon istri aku di desa? Kamu baik kan di sana?] "Ah, Mas Ardi! Kamu sungguh membuatku tergila-gila!”Tok!"Neng, ada temen kamu, Ulfa!" ucap Nuriyah memberitahu, sambil mengetuk pintu kamar Arinda."Tunggu sebentar, Bi. Baru ganti baju!" teriak Arinda dari dalam kamarnya."Ya sudah. Nanti langsung keluar saja, ya?""Iya, Bi!"Arinda mengganti bajunya dengan cepat. Tak ingin membuat kawan lamanya menunggu dirinya terlalu lama.Ceklek.Dia langsung berjalan menuju luar, bibirnya langsung melengkung, saat melihat temannya itu duduk menghadap ke jalanan."Ulfa!"Wanita yang dipanggil Ulfa itu langsung menoleh. Dia sama tersenyum lebar seperti Arinda."Aaa, Rinda!" teriak Ulfa tak kalah hebohnya.Keduanya langsung berpelukan. Melompat-lompat, persis seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru."Kangen banget sama kamu!" seru Ulfa, masih memeluk Arinda yang kini mulai kesulitan bergerak."Haha. Iya tahu kalo kamu kangen. Tapi, kamu bikin aku sesak napas, hey!"Ulfa buru-buru melepaskan pelukannya, menatap ke arah Arinda. Kemudian, keduanya kembali tertawa lepas."Duduk, yuk! Aku p
"Hallo? Apa ada yang penting?""Ha—"Duar!Arinda terlonjak kaget di atas ranjangnya. Gadis itu langsung melompat, saat tiba-tiba suara petir di luar sana terdengar menggelegar.Duar!Bertepatan dengan suara petir yang kedua, kini listrik di rumahnya padam. Hanya gelap yang menemaninya di kamar yang kecil ini."Neng? Sudah tidur belum?" Suara Nuriyah terdengar dari luar sana.Tak lama setelahnya, terdengar bunyi rintihan kecil, disusul suara benda jatuh. Mungkin, Nuriyah menabrak sesuatu di luar sana, karena keadaan yang memang gelap gulita.Arinda meraba-raba ranjangnya, mencoba mencari keberadaan ponselnya yang sempat dia lemparkan tanpa sengaja tadi. "Aduh, mana sih ponselnya," keluhnya sembari terus mencari berharap secepatnya menemukan benda tersebut.Setelah mendapatkan benda tersebut, Arinda langsung menghidupkan senter, mengarahkannya ke luar kamarnya. Berjalan mencari Nuriyah yang kini berada di dapur."Bi?" panggilnya pelan. Wanita itu langsung menoleh, memperlihatkan lilin
"Za!""Mama? Tumben ke kantor pagi-pagi gini?""Kenapa? Tidak boleh kah mama ke sini?" Wanita dengan dandanan menor itu, meletakkan tas mahalnya di atas meja kerja Reza dengan begitu hati-hati. Seolah-olah, tak ingin benda itu lecet sedikitpun."Ada apa?" tanya Reza cepat. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, sebelum dia mengambil cuti selama seminggu nantinya."Persiapan pernikahan kamu sudah beres semua ‘kan?" tanya wanita itu, membenarkan letak kacamatanya agar jelas menatap ke arah sang anak.Mendengar itu, Reza yang sibuk dengan pekerjaannya langsung mendongak dengan cepat. "Pelankan suara Mama," pintanya dengan suara tertahan."Kenapa? Apa kamu masih belum ingin memberitahu Ayu? Istri mandulmu itu?" ucapnya dengan suara sinis.Reza mendesah kesal. Sebelah tangannya mencengkram bolpoin yang dia pegang saat ini, dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pinggiran meja."Jaga ucapan Mama!" ucapnya dengan dada yang bergemuruh hebat. Mencoba menahan gejolak emosi yang sudah sia
"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi."Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat.Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi."Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya."Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu."Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi.Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega.Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!""Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
Puk! "Win?" Sri menepuk pundak Wina yang malah melamun. "Katanya mau nanya?" "Itu, Mbak. Soal fo—" "Sayang, ayo pulang!" Tiba-tiba, Wisnu masuk dan memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Pulang, Mas?" ulang Wina dengan wajah heran. Wisnu mengangguk. "Iya. Ibu minta kita buat pulang dulu. Besok ke sini lagi buat jemput Mbak Sri," jelasnya. "Iya, Nduk. Pulanglah, sudah sore." Wina menatap ke arah ibu mertuanya, lalu ke arah Sri yang menampilkan ekspresi biasa saja. "Ya udah. Ayo, Mas!" putusnya akhirnya. Lagi pula, dia tidak tega melihat wajah lelah suaminya. "Kasihan juga Mas Wisnu. Dia pasti capek bolak-balik dari kantor ke rumah sakit," batin Wina sembari berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Ah, sudahlah. Mending aku lupain aja soal foto itu. Lagian, cuma aku doang yang penasaran!" putus Wina lagi. ~~~ "Mas, apa a
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang