"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.
Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya. "Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban. Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya. "Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja. Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar. Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang bersama Sri, sebelum gadis itu mengalami kecelakaan. "Apa yang sebenarnya terjadi sama Sri? Kenapa dia bisa sampai kehilangan fokus? Apa dia sedang memikirkan perihal calon suami Arinda, ya?" batin Ulfa menebak-nebak. Hal itu yang sejak tadi mengganggu pikirannya, karena memang itu yang terakhir mereka bahas. "Kita berdoa aja buat kesembuhan Sri, ya?" ucap Arinda kemudian, meraih tangan Ulfa dan menggenggamnya erat. Mencoba menampilkan senyum menenangkan walau sorot matanya terlihat sendu. Ulfa mendongak, menganggukkan kepalanya. Keduanya langsung berpelukan setelahnya, saling menguatkan satu sama lainnya. "Rencananya, aku besok mau ikut ke kota jengukin Sri," ucap Arinda, melepaskan pelukan mereka. Nuriyah langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak. Kamu sudah tidak boleh pergi kemana-mana lagi, Neng!" cegahnya cepat. "Ingat! Kamu teh udah mau jadi pengantin," imbuhnya lagi dengan wajah khawatirnya. "Tapi—" Puk! Ulfa menepuk tangan Arinda, membuat gadis itu menghentikan kalimatnya sejenak. "Yang dikatakan bibi kamu benar, Rin. Pernikahan kamu tinggal seminggu lagi. Kamu udah nggak boleh kemana-mana lagi." "Bener, Neng. Kamu itu udah bawa sawan, lho!" timpal Nuriyah membenarkan ucapan Ulfa. Arinda masih tampak gelisah, tidak tenang dan Ulfa memahaminya. Dia langsung menggengam tangan Arinda lagi. "Kamu tenang aja. Biar aku sama Mas Yuda yang ke sana. Mumpung besok hari Minggu, jadi aku bisa titip Nakula ke Ibu dulu," ucapnya menenangkan. "Nah! Begitu saja lebih baik, Neng!" Arinda mengangguk walau dengan hati yang berat. Dia ingin sekali melihat kondisi Sri dengan mata kepalanya sendiri. Tapi, itu semua tidak memungkinkan untuk dia lakukan saat ini. "Baiklah kalau begitu. Kabari aku, ya, Fa!" "Pasti, Rin! Aku pasti kabari kamu besok!" ~~~ "Gimana, Mas? Sudah dapat izin, kan?" tanya Wina, saat melihat suaminya keluar dari gedung megah di depan sana. Wisnu mengangguk sembari menggulung lengan kemejanya. Mengusap peluh yang tiba-tiba membanjiri wajahnya. Padahal, hari ini sedikit mendung. Anehnya dia malah berkeringat. "Mbak Sri nanti malam akan dipindahkan di rumah sakit kota, Mas. Jadi, kita tidak perlu ke desa," ucap Wina memberitahu. Langkah Wisnu terhenti sejenak, menatap ke arah sang istri dengan tatapan bingungnya. Wina tersenyum tipis, merogoh ponselnya dan menunjukkan benda yang layarnya tengah menyala itu kepada sang suami. "Pesan dari Ibu, Mas. Dia tadi kirim pesan ke kamu juga. Tapi, kamu belum ada membalasnya," jelas Wina setelah mendapatkan ponselnya kembali. Wisnu mengangguk pelan. "Aku memang tidak sempat membuka ponsel dari tadi, Win," jelasnya seraya merogoh ponselnya sendiri. Benar yang dikatakan Wina. Ada pesan masuk dari ibunya. Dia kembali menatap ke arah sang istri, setelah menyimpan ponselnya kembali. "Semoga, Mbak Sri baik-baik saja, ya, Win," ucapnya dengan penuh harap. Berharap, kakak perempuannya itu dalam keadaan baik. Wina mengaminkan ucapan tersebut. Keduanya kembali meneruskan langkah mereka, menuju mobil Wisnu berada. Tapi, Wina tiba-tiba berhenti saat mengingat sesuatu. Dia menarik sang suami, menatapnya dengan tatapan serius. "Mas, sebetulnya sebelum kecelakaan itu, Mbak Sri ada kirim pesan ke aku," ucapnya, kembali mengeluarkan ponselnya dengan cepat. "Kirim pesan apa, Sayang?" tanya Wisnu ikut-ikutan memasang wajah seriusnya. Wina tak menyahut. Melainkan menyodorkan ponselnya kembali. Menampilkan isi pesannya dengan Sri beberapa jam yang lalu. "Lho? Kenapa Mbak Sri tanya soal Pak Reza?" tanya Wisnu dengan kening berlipat. Wina hanya bisa menggelengkan kepalanya. Karena dia juga tidak tahu alasan Sri menanyakan hal tersebut. "Dia nggak kenal sama atasan kamu itu 'kan, Mas?" Wina melayangkan pertanyaan balik. Wisnu mengangguk dengan wajah serius, berpikir keras. "Mbak Sri nggak kenal sama Pak Reza, Win," gumamnya. "Jangankan kenal. Temen cowok aja dia hampir tidak punya. Terus, dia dapat foto Pak Reza dari mana, ya?" imbuhnya lagi. Mengingat kakaknya itu sangat tertutup dengan lawan jenisnya. "Entahlah, Mas." Raut wajah Wina tak kalah bingungnya dari Wisnu. "Ah, sudahlah. Ayo kita pulang!" ajak Wisnu setelah tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia tak ingin memikirkan hal itu. Keduanya masuk ke dalam mobil. Wisnu mulai melajukan kendaraan tersebut keluar dari area perkantoran dengan sedikit tergesa. Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengar obrolan mereka sejak tadi. Wanita yang tak lain adalah Ayu itu, berdiri mematung di sebelah mobilnya. Niatnya untuk masuk ke dalam kendaraannya tersebut pun urung dia lakukan. "Apa maksudnya obrolan mereka tadi? Kenapa ada perempuan yang menanyakan Mas Reza?" Keningnya berkerut. "Apa maksudnya ... Mas Reza ada perempuan lain?"Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
Puk! "Win?" Sri menepuk pundak Wina yang malah melamun. "Katanya mau nanya?" "Itu, Mbak. Soal fo—" "Sayang, ayo pulang!" Tiba-tiba, Wisnu masuk dan memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Pulang, Mas?" ulang Wina dengan wajah heran. Wisnu mengangguk. "Iya. Ibu minta kita buat pulang dulu. Besok ke sini lagi buat jemput Mbak Sri," jelasnya. "Iya, Nduk. Pulanglah, sudah sore." Wina menatap ke arah ibu mertuanya, lalu ke arah Sri yang menampilkan ekspresi biasa saja. "Ya udah. Ayo, Mas!" putusnya akhirnya. Lagi pula, dia tidak tega melihat wajah lelah suaminya. "Kasihan juga Mas Wisnu. Dia pasti capek bolak-balik dari kantor ke rumah sakit," batin Wina sembari berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Ah, sudahlah. Mending aku lupain aja soal foto itu. Lagian, cuma aku doang yang penasaran!" putus Wina lagi. ~~~ "Mas, apa a
Puk! "Win?" Sri menepuk pundak Wina yang malah melamun. "Katanya mau nanya?" "Itu, Mbak. Soal fo—" "Sayang, ayo pulang!" Tiba-tiba, Wisnu masuk dan memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Pulang, Mas?" ulang Wina dengan wajah heran. Wisnu mengangguk. "Iya. Ibu minta kita buat pulang dulu. Besok ke sini lagi buat jemput Mbak Sri," jelasnya. "Iya, Nduk. Pulanglah, sudah sore." Wina menatap ke arah ibu mertuanya, lalu ke arah Sri yang menampilkan ekspresi biasa saja. "Ya udah. Ayo, Mas!" putusnya akhirnya. Lagi pula, dia tidak tega melihat wajah lelah suaminya. "Kasihan juga Mas Wisnu. Dia pasti capek bolak-balik dari kantor ke rumah sakit," batin Wina sembari berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Ah, sudahlah. Mending aku lupain aja soal foto itu. Lagian, cuma aku doang yang penasaran!" putus Wina lagi. ~~~ "Mas, apa a
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang