"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.
Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi. "Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat. Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi. "Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya. "Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu. "Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi. Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega. Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!" "Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan gemuruh yang sejak tadi bersarang di dalam sana. "Ayo lah pulang. Aku mau masak juga. Bentar lagi anakku pulang sekolah!" ajak Ulfa menepuk pundak Sri, agar temannya itu kembali menatap ke depan, mengendarai sepeda motor miliknya sampai ke rumahnya. Sri mengangguk. Melajukan motornya setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Tiba di depan rumah Ulfa, wanita itu bergegas turun. "Makasih, ya, Sri. Kamu hati-hati pulangnya!" ucapnya seraya menepuk pundak Sri. Sri tersenyum tipis, kembali melajukan motornya menuju rumahnya sendiri. Sepanjang jalan, dia masih memikirkan pesan dari Wina. "Nggak mungkin bisa semirip itu. Jangan-jangan—" Tin! Tin! "Aaaaa!" Brak! ~~~ Tok! Tok! "Rin! Arinda!" Ulfa mengetuk pintu rumah temannya itu dengan tidak sabar. Tangannya mencoba membuka pintu tersebut, tetapi terkunci dari dalam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah tersebut. Tak putus asa, dia mencoba mengintip dari balik jendela yang gordennya kebetulan terbuka. Tapi, tetap saja tak ada satu orang pun di dalam sana, baik Nuriyah maupun Arinda. "Ck! Pada ke mana, sih?" keluh Ulfa yang mondar-mandir dengan perasaan cemas. Sepuluh menit menunggu, akhirnya dia memutuskan untuk berbalik. Tepat saat itu, dia melihat Arinda yang berjalan dengan Bu Ning. Gadis itu langsung berlari begitu menyadari keberadaan Ulfa di rumahnya. "Ulfa!" serunya menambah kecepatan laju kakinya. Hampir saja dia jatuh tersungkur, saat kakinya tanpa sengaja tersandung akar pohon. "Fa, Sri gimana?" tanyanya dengan nafas tersengal, peluh sudah membasahi seluruh wajahnya. Wajah putih itu kini terlihat memerah. Ulfa menghela napas berat. "Sri ketabrak, Rin," jelas Ulfa dengan suara lemah. "Ya Allah! Jadi, berita tadi itu benar adanya?" timpal Bu Ning yang tidak bisa menutupi wajah terkejutnya. Sementara Arinda, hampir saja terjatuh karena mendadak lemas, andai Bu Ning dan Ulfa tidak segera menangkap tubuh mungil itu. "Ya Allah, Fa. Kok, bisa?" lirih Arinda dengan mata berkaca-kaca. Setetes air matanya tak lagi bisa dibendung, jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya. Ulfa menggelengkan kepalanya lemah. "Aku juga nggak tahu, Rin. Padahal, dia sudah hampir sampai di rumahnya tadi," ucap Ulfa ikut terisak bersama Arinda. "Terus, keadaan Sri sekarang gimana, Nak Ulfa?" sela Bu Ning, pertanyaan yang mewakili Arinda. "Dia sudah dibawa ke rumah sakit, Bu!" jawab Ulfa, menyeka ingus yang keluar dari hidungnya. Arinda memegangi pundak Ulfa dengan erat. "Fa, ayo kita ke sana!" ajaknya sedikit memaksa. Ulfa tersenyum masam. "Aku pengen banget Rin. Tapi, Nakula nanti nggak ada yang jagain," ucapnya lesu. Arinda mengangguk paham. "Kalau begitu, kamu di rumah saja, Fa. Biar aku yang ke sana!" "Ayo. Ibu temani kamu, Neng!" Arinda mengangguk. Dia melangkah, masuk ke dalam rumah. Memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas kecil dengan tergesa. "Mas Ardi," gumamnya saat tanpa sengaja melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari laki-laki itu. Arinda buru-buru menggelengkan kepalanya, saat suara perempuan yang semalam mengangkat teleponnya kembali melintas dalam ingatannya. "Tidak-tidak. Aku tidak ada waktu untuk memikirkan itu dulu!" ~~~ "Mas." Reza menoleh, mematikan layar teleponnya begitu Ayu mendekat ke arahnya. Dia menampilkan senyum tipis, walau hatinya sedang dilanda gelisah yang hebat saat ini. Reza menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta sang istri agar duduk di sana. "Sini, Sayang." Ayu menurut, duduk di sebelah sang suami dengan tatapan mata lurus ke depan. Menatap layar televisi yang sedang menyala. Tetapi, dia tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang disiarkan di televisi itu. Pikirannya sedang berkelana entah ke mana. Cup! Kecupan singkat di rambut itu membuat Ayu langsung menoleh dengan cepat. Dia tersenyum tipis, dengan tangan yang memeluk pinggang sang suami. "Ada yang lagi kamu pikirkan, Sayang?" tanya Reza. Membelai wajah sang istri dengan penuh perhatian. Ayu menggelengkan kepalanya ragu. "Soal di kantor kamu tadi, apa Mama—" Ayu menjeda sebentar kalimatnya, merasa dadanya semakin terasa sesak saat akan mengatakan kalimat selanjutnya. "Mama kenapa, Sayang? Udah, deh. Jangan mikir yang macam-macam, Ay!" "Mas, Mama kamu tadi pasti nanyain tentang keturunan lagi ‘kan?" tanya Ayu dengan suara bergetar menahan tangis. Terdengar hembusan napas kasar dari mulut Reza. Dia melepaskan diri dari pelukan sang istri. Menegakkan duduknya sembari menatap lurus ke depan. "Kenapa kamu selalu mikir seperti itu, sih?" tanya Reza, setelah berhasil menenangkan gejolak di dirinya. Ayu tersenyum tipis, sangat tipis hingga hampir tak terlihat. "Mas, kita sudah sepuluh tahun menikah. Dan selama itu juga, kita belum memiliki keturunan. Aku tahu apa yang Mama inginkan walau dia tidak pernah mengatakannya langsung kepadaku," ucap Ayu, mencoba menguatkan dirinya untuk melanjutkan pembahasan ini. "Ay, aku nggak masalah walaupun kita tidak bisa memiliki anak nantinya," ucap Reza, menatap wajah Ayu dalam-dalam. Ayu menggeleng cepat. "Mas, carilah perempuan lain yang bisa memberikanmu keturunan. Mama pasti ingin segera menimang cucu," ucapnya pelan, tanpa berani menatap mata Reza yang terus menatapnya. "Ayu! Kamu ini ngomong apa?!" seru Reza dengan rahang yang mulai mengeras. Dengan Ayu yang seperti ini, membuatnya semakin merasa bersalah dengan wanita di depannya ini. "Aku serius, Mas. Aku cuma ingin lihat kamu sama Mama bahagia. Aku cuma ingin, ka—" "Ayu! Kamu itu sumber kebahagiaan aku. Sampai kapan pun, aku tidak akan mencari wanita lain!" ucapnya yang sangat bertolak belakang dengan apa yang akan dia lakukan dalam waktu dekat ini. Reza meraih tubuh Ayu, membawanya ke dalam pelukannya. Dia kesal, entah kepada siapa lebih tepatnya. "Maafin aku, Ayu!" batinnya. Ayu melepaskan pelukan mereka, mengelus pipi Reza dengan tatapan sendunya. "Sudahlah. Aku mau siapkan barang-barang kamu buat ke luar kota Minggu depan aja," putusnya yang langsung beranjak. Mengusap sudut matanya sebentar, sebelum berbalik meninggalkan Reza. Reza hanya bisa menatapnya nanar dari sofa tempatnya duduk saat ini. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan tentang kebenarannya. Tapi, kalimat-kalimat itu hanya tertahan di kerongkongannya saja. "Aku benar-benar tidak sanggup untuk jujur sama kamu, Ay! Aku nggak sanggup lihat kamu terluka!" batin Reza memejamkan matanya. "Maafkan aku, Ayu ... maafkan aku," batinnya lagi. "Mas!" panggil Ayu yang kembali menoleh ke arah Reza. Hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya tadi. Reza membuka matanya. "Ya, Sayang?" "Pikirkan lagi tentang kata-kataku tadi, Mas. Aku akan mencoba ikhlas, kalau kamu menikah lagi!""Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
Puk! "Win?" Sri menepuk pundak Wina yang malah melamun. "Katanya mau nanya?" "Itu, Mbak. Soal fo—" "Sayang, ayo pulang!" Tiba-tiba, Wisnu masuk dan memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Pulang, Mas?" ulang Wina dengan wajah heran. Wisnu mengangguk. "Iya. Ibu minta kita buat pulang dulu. Besok ke sini lagi buat jemput Mbak Sri," jelasnya. "Iya, Nduk. Pulanglah, sudah sore." Wina menatap ke arah ibu mertuanya, lalu ke arah Sri yang menampilkan ekspresi biasa saja. "Ya udah. Ayo, Mas!" putusnya akhirnya. Lagi pula, dia tidak tega melihat wajah lelah suaminya. "Kasihan juga Mas Wisnu. Dia pasti capek bolak-balik dari kantor ke rumah sakit," batin Wina sembari berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Ah, sudahlah. Mending aku lupain aja soal foto itu. Lagian, cuma aku doang yang penasaran!" putus Wina lagi. ~~~ "Mas, apa a
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang