"Za!"
"Mama? Tumben ke kantor pagi-pagi gini?" "Kenapa? Tidak boleh kah mama ke sini?" Wanita dengan dandanan menor itu, meletakkan tas mahalnya di atas meja kerja Reza dengan begitu hati-hati. Seolah-olah, tak ingin benda itu lecet sedikitpun. "Ada apa?" tanya Reza cepat. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, sebelum dia mengambil cuti selama seminggu nantinya. "Persiapan pernikahan kamu sudah beres semua ‘kan?" tanya wanita itu, membenarkan letak kacamatanya agar jelas menatap ke arah sang anak. Mendengar itu, Reza yang sibuk dengan pekerjaannya langsung mendongak dengan cepat. "Pelankan suara Mama," pintanya dengan suara tertahan. "Kenapa? Apa kamu masih belum ingin memberitahu Ayu? Istri mandulmu itu?" ucapnya dengan suara sinis. Reza mendesah kesal. Sebelah tangannya mencengkram bolpoin yang dia pegang saat ini, dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pinggiran meja. "Jaga ucapan Mama!" ucapnya dengan dada yang bergemuruh hebat. Mencoba menahan gejolak emosi yang sudah siap meledak. "Ck! Udah nggak bisa kasih keturunan, masih saja dipertahankan!" desisnya. "Ma, udah lah. Jangan menjelek-jelekkan istriku. Aku sudah mengorbankan pernikahanku, dengan menuruti keinginan Mama!" ucapnya yang tak bisa lagi menahan kekesalannya. "Reza, ini semua juga demi kebaikan kamu. Mama yakin, suatu saat nanti, kamu pasti akan berterima kasih sama mama!" Wanita itu meraih tasnya. Keluar dengan langkah lebar, tanpa mengatakan apapun lagi. "Lho, Mas? Mama kenapa?" Suara lembut itu membuat Reza dengan cepat merubah ekspresinya. Buru-buru dia berdiri, menghampiri wanita cantik yang kini masih berdiri di ambang pintu. Sepertinya, dia tadi berpapasan dengan ibu mertuanya. "Ada sedikit masalah, Sayang. Tapi, udah selesai, kok!" "Masalah apa?" "Sudahlah. Ayo, masuk!" "Ta—" "Kamu bawa apa ini?" potong Reza cepat, mengalihkan perhatian sang istri. Ayu tersenyum tipis. "Bawa sarapan. Kamu tadi kan belum sempat sarapan!" "Ayo! Kita sarapan bareng!" ~~~ "Rin!" Seruan itu membuat Arinda langsung menoleh dengan cepat. Dia tersenyum lebar, saat mendapati Ulfa datang dengan Sri, kawan lamanya juga. "Hey! Sini mampir dulu!" Arinda melambaikan tangannya dengan begitu semangat. Dua orang kawan lama Arinda langsung mendekat dengan sepeda motornya. "Selesaikan dulu itu pekerjaan kamu. Pamali, kalau nyapu nggak dilanjut," celetuk Sri, melirik ke arah sapu yang ada digenggaman Arinda. Arinda menepuk jidatnya. "Ah, iya! Sebentar, ya! Kalian duduk aja dulu, aku selesaikan ini dengan cepat!" Baik Sri maupun Ulfa, langsung mengangguk cepat. Duduk di teras rumah sembari memperhatikan Arinda yang menyapu halaman rumah dengan cepat. Hujan angin semalam, merontokkan daun pohon mangga yang ada di depan rumahnya. "Rin, rujakan, yuk?" ajak Ulfa, yang ternyata sudah berada tak jauh dari tempat Arinda berdiri. Dia tengah memamerkan mangga muda yang sedikit penyok di tangan kirinya. Arinda mengangguk cepat, mengingat dia masih memiliki beberapa buah di dalam rumah. "Boleh. Aku ambilkan teman-temannya dulu!" Arinda melesat dengan cepat ke dalam rumah. Tak lama, Sri ikut menyusul Arinda. Dia ikut membantu temannya itu membawa bahan-bahan rujakan ke teras rumah. "Kalian tadi habis dari mana?" tanya Arinda, memulai percakapan sembari tangannya dengan cekatan mengupas mangga muda. "Dari pa—" "Astaga! Kan tadi kita beli gorengan juga, Sri!" pekik Ulfa yang bergegas menuju motornya berada, memotong ucapan Sri yang belum selesai. Gegas mengambil kantong kresek yang rupanya isinya adalah gorengan. "Lupa!" Sri nyengir. "Udah pada sarapan ‘kan?" tanya Arinda, menatap tidak sabar ke arah cobek di depannya. "Sudah, dong!" Ketiganya mulai menyuap ke dalam mulut masing-masing. Pedas memang, terlalu pedas malahan. Tetapi, mulut mereka seolah menolak untuk berhenti mengunyah. "Rin, kamu serius mau nikah, nih?" tanya Sri, mencoba mengorek informasi yang dia dapatkan dari Ulfa. Memang tidak banyak yang tahu. Karena Arinda sendiri memang tidak menyebar undangan. Pikirnya, dia akan mengajari kawan-kawannya menjelang harinya nanti. Arinda mengangguk antusias. "Kurang dari dua minggu ini, Sri!" jawabnya sembari mengusap peluh di wajahnya. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu calon suami kamu, lho. Boleh lihat dulu nggak, sih?" ucap Sri dengan kedipan matanya. Seperti ada maksud terselubung dari tatapan matanya itu. "Besok juga kalian tahu, kok!" sahut Arinda, menyudahi acara makannya karena sudah tidak sanggup. Sri mencebik, kecewa. "Lama atuh, Rin. Kita kan juga penasaran. Masa harus nunggu dia datang ke sini, sih?" "Iya, nih. Padahal, kita kan temen baik, ya, Sri?" imbuh Ulfa dengan muka ditekuk. Arinda menggigit bibirnya, merasa tak enak hati dengan ekspresi kedua temannya. "Bukan gitu …." Berpikir sejenak, sebelum akhirnya Arinda bangkit dari duduknya. "Bentar. Aku ambil ponsel dulu!" ucapnya yang mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Sri dan Ulfa saling tatap. Sebelum akhirnya, keduanya tersenyum lebar. "Kamu yakin nih, adik ipar kamu tahu calon suaminya Arinda?" bisik Ulfa lirih, matanya terus menatap awas ke dalam rumah. Takut tiba-tiba Arinda muncul dari dalam sana. Sri terlihat ragu. "Semoga aja tahu, ya, Fa," ucapnya sembari meremas jari-jemarinya. Mereka berdua kembali terdiam, saat suara langkah kaki Arinda mulai terdengar. Beberapa detik kemudian, gadis itu sudah muncul di ambang pintu dengan ponsel di tangannya. Arinda kembali duduk di tempatnya tadi. Mulai mengutak-atik ponselnya sebentar. Sebelum akhirnya, menunjukkan layar ponselnya yang menyala kepada teman-temannya. "Ini calon suami aku, Guys. Namanya Mas Ardi," jelas Arinda dengan senyum di wajahnya. Ulfa dan Sri saling tatap. Merasa Arinda begitu mencintai laki-laki bernama Ardi itu. "Neng, bisa bantu bibi sebentar?" seru Nuriyah dari dalam rumah. Arinda langsung menoleh. "Iya, Bi!" Dia langsung beranjak, melupakan ponselnya yang masih berada di tangan Sri. Ulfa langsung menepuk tangan Sri. "Buruan, keburu Arinda balik!" ucapnya dengan nada mendesak. Sri mengangguk, mengeluarkan ponselnya sendiri. Dia langsung mengirimkan gambar yang dia ambil dari ponsel Arinda ke nomor adik iparnya. "Jangan lupa hapus riwayat kirimnya!" titah Ulfa mengingatkan, tentunya sembari berbisik pelan. Sri hanya mengangguk, meletakkan ponsel Arinda di sebelahnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak melakukan apa pun sepeninggal Arinda tadi. Arinda kembali keluar. "Rin, ponsel kamu. Kayaknya, kita juga mau balik, nih. Mau masak buat makan siang nanti," ucap Ulfa, merapikan sisa-sisa bahan rujakan mereka. "Aku juga mau belanja dulu, nih," sahut Arinda, merapikan jilbabnya yang sedikit meleyot. "Oke, deh. Besok kita ke sini lagi, ya!" timpal Sri yang juga ikut beranjak. Keduanya langsung naik ke atas motor. Kendaraan roda dua tersebut langsung meluncur pelan. Sementara Arinda, masih menunggu kedua temannya menghilang di belokan depan sana. Setelahnya, dia baru berjalan melangkah ke warung Bu Rahayu. Tiba di belokan depan sana, Sri menghentikan laju motornya. Menepikan kendaraan tersebut di depan rumah tetangganya. "Kenapa, Sri?" tanya Ulfa, melongok ke depan. "Kayaknya ada pesan masuk. Aku cek bentar!" ucapnya sembari merogoh ponsel yang ada di dalam tas kecilnya. Ulfa hanya manggut-manggut saja. Berharap pesan balasan itu adalah dari adik ipar Sri. "Fa, Wina yang kirim pesan!" seru Sri sedikit berteriak. Mata Ulfa melebar. "Apa katanya?" Sri membuka pesan tersebut, dengan Ulfa yang ikut membaca di belakang sana. [Itu Pak Reza, Mbak. Dia bosnya Mas Wisnu. Kenapa Mbak tanya Pak Reza?] Begitu isi pesan yang Wina kirimkan ke nomor Sri. "Kok, Reza, sih? Apa adik ipar kamu salah orang, Sri?" Belum sempat Sri membalas pesan tersebut, satu pesan dari Wina kembali masuk ke ponselnya. Membuat mata keduanya hampir keluar dari tempatnya saat membaca isi pesan kedua tersebut. [Jangan kepo sama Pak Reza, deh, Mbak. Dia udah ada bini soalnya!]"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi."Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat.Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi."Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya."Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu."Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi.Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega.Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!""Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.
"Mas ... Mas Wisnu!"Tiba di rumah mertuanya, Wina langsung mencari keberadaan sang suami yang entah ada di mana itu. Dia berkeliling rumah dengan tergesa-gesa, membuat Sri dan ibu mertuanya melongo di tempatnya."Lah, kenapa tuh anak?""Baru ditinggal sebentar aja udah nyariin," cibir Sri saat Wina melewatinya begitu saja.Tapi, Wina mengacuhkannya. Dia terus berjalan menuju belakang rumah, tempat yang belum dia cek tentunya. Berharap menemukan suaminya di sana dan dia bisa langsung mengutarakan apa yang memenuhi otaknya saat ini."Nduk Wina, memangnya kamu tidak tahu kalau suami kamu sedang keluar?" seru sang Ibu mertua yang juga merasa pusing melihat Wina mondar-mandir dengan wajah yang panik.Langkah Wina terhenti, dia langsung menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Mas Wisnu keluar, Bu?" tanyanya, memastikan.Sumi, nama wanita itu. Dia menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang menantu. "Coba lihat pons
"Dik ... Dika! Bangun, Nak! Itu calonnya si Arinda udah datang!" Ningrum masuk ke dalam kamar anaknya dengan tergesa. Dia mengguncang tubuh pemuda itu agar mau membuka matanya. Berharap dia cepat bangun dan melihat ramai-ramai di depan sana. "Ngantuk, Bu ..." lenguh Dika, enggan membuka matanya. Malahan, dia menarik selimutnya untuk menutupi sampai ke wajahnya. "Aduh! Gimana sih ini anak!" keluh Ningrum, kembali melesat keluar dari kamar anak bujangnya dengan dongkol. Jelas saja Dika sangat mengantuk. Dia baru saja pulang menjelang subuh tadi, setelah semalaman mengobrol dengan bapak-bapak di rumah Arinda. "Aduh! Udah masuk lagi orangnya! Masa aku ujug-ujug datang ke rumah Pak RT, sih? Mau ngomong apa coba?" gumam Ningrum dengan wajah bingungnya. "Ah, aku tunggu di sini aja, deh. Nanti kalau orangnya keluar, langsung aku samperin aja!" ~~~ "Sudah siap, Mbak?" Wina
[Mas sudah sampai bandara, Sayang. Besok, sekitar jam sepuluh kita sudah sampai di desa kamu.]Pesan itu masuk saat Arinda tengah sibuk mengobrol dengan teman-teman desanya yang kebetulan mampir malam itu. Dia tidak sempat memegang ponselnya sama sekali. Dan baru setelah jam menginjak pukul sepuluh malam, dia baru bisa membaca pesan tersebut.Jari-jemarinya dengan gesit mengetikkan pesan balasan. Walau dia tahu, pesan itu pasti akan masuk besok pagi tentunya."Duh! Tinggal besok doang. Setelahnya, aku sudah resmi jadi istri orang," gumam Arinda. Dia merebahkan tubuhnya dengan ponsel yang berada di atas dadanya.Senyumnya tak kunjung pudar sejak tadi. Lengkungan indah itu terus terpatri di bibirnya, membayangkan hari pernikahannya yang sebentar lagi akan segera tiba. Mimpinya untuk segera bersuami pun akan segera terwujud.Arinda memutuskan untuk memejamkan matanya. Walau tetap saja rasanya sungguh sulit. Terlebih, di luar sana banyak bapak-bapak yang masih betah mengobrol. Suara gelak