"Za!"
"Mama? Tumben ke kantor pagi-pagi gini?" "Kenapa? Tidak boleh kah mama ke sini?" Wanita dengan dandanan menor itu, meletakkan tas mahalnya di atas meja kerja Reza dengan begitu hati-hati. Seolah-olah, tak ingin benda itu lecet sedikitpun. "Ada apa?" tanya Reza cepat. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, sebelum dia mengambil cuti selama seminggu nantinya. "Persiapan pernikahan kamu sudah beres semua ‘kan?" tanya wanita itu, membenarkan letak kacamatanya agar jelas menatap ke arah sang anak. Mendengar itu, Reza yang sibuk dengan pekerjaannya langsung mendongak dengan cepat. "Pelankan suara Mama," pintanya dengan suara tertahan. "Kenapa? Apa kamu masih belum ingin memberitahu Ayu? Istri mandulmu itu?" ucapnya dengan suara sinis. Reza mendesah kesal. Sebelah tangannya mencengkram bolpoin yang dia pegang saat ini, dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pinggiran meja. "Jaga ucapan Mama!" ucapnya dengan dada yang bergemuruh hebat. Mencoba menahan gejolak emosi yang sudah siap meledak. "Ck! Udah nggak bisa kasih keturunan, masih saja dipertahankan!" desisnya. "Ma, udah lah. Jangan menjelek-jelekkan istriku. Aku sudah mengorbankan pernikahanku, dengan menuruti keinginan Mama!" ucapnya yang tak bisa lagi menahan kekesalannya. "Reza, ini semua juga demi kebaikan kamu. Mama yakin, suatu saat nanti, kamu pasti akan berterima kasih sama mama!" Wanita itu meraih tasnya. Keluar dengan langkah lebar, tanpa mengatakan apapun lagi. "Lho, Mas? Mama kenapa?" Suara lembut itu membuat Reza dengan cepat merubah ekspresinya. Buru-buru dia berdiri, menghampiri wanita cantik yang kini masih berdiri di ambang pintu. Sepertinya, dia tadi berpapasan dengan ibu mertuanya. "Ada sedikit masalah, Sayang. Tapi, udah selesai, kok!" "Masalah apa?" "Sudahlah. Ayo, masuk!" "Ta—" "Kamu bawa apa ini?" potong Reza cepat, mengalihkan perhatian sang istri. Ayu tersenyum tipis. "Bawa sarapan. Kamu tadi kan belum sempat sarapan!" "Ayo! Kita sarapan bareng!" ~~~ "Rin!" Seruan itu membuat Arinda langsung menoleh dengan cepat. Dia tersenyum lebar, saat mendapati Ulfa datang dengan Sri, kawan lamanya juga. "Hey! Sini mampir dulu!" Arinda melambaikan tangannya dengan begitu semangat. Dua orang kawan lama Arinda langsung mendekat dengan sepeda motornya. "Selesaikan dulu itu pekerjaan kamu. Pamali, kalau nyapu nggak dilanjut," celetuk Sri, melirik ke arah sapu yang ada digenggaman Arinda. Arinda menepuk jidatnya. "Ah, iya! Sebentar, ya! Kalian duduk aja dulu, aku selesaikan ini dengan cepat!" Baik Sri maupun Ulfa, langsung mengangguk cepat. Duduk di teras rumah sembari memperhatikan Arinda yang menyapu halaman rumah dengan cepat. Hujan angin semalam, merontokkan daun pohon mangga yang ada di depan rumahnya. "Rin, rujakan, yuk?" ajak Ulfa, yang ternyata sudah berada tak jauh dari tempat Arinda berdiri. Dia tengah memamerkan mangga muda yang sedikit penyok di tangan kirinya. Arinda mengangguk cepat, mengingat dia masih memiliki beberapa buah di dalam rumah. "Boleh. Aku ambilkan teman-temannya dulu!" Arinda melesat dengan cepat ke dalam rumah. Tak lama, Sri ikut menyusul Arinda. Dia ikut membantu temannya itu membawa bahan-bahan rujakan ke teras rumah. "Kalian tadi habis dari mana?" tanya Arinda, memulai percakapan sembari tangannya dengan cekatan mengupas mangga muda. "Dari pa—" "Astaga! Kan tadi kita beli gorengan juga, Sri!" pekik Ulfa yang bergegas menuju motornya berada, memotong ucapan Sri yang belum selesai. Gegas mengambil kantong kresek yang rupanya isinya adalah gorengan. "Lupa!" Sri nyengir. "Udah pada sarapan ‘kan?" tanya Arinda, menatap tidak sabar ke arah cobek di depannya. "Sudah, dong!" Ketiganya mulai menyuap ke dalam mulut masing-masing. Pedas memang, terlalu pedas malahan. Tetapi, mulut mereka seolah menolak untuk berhenti mengunyah. "Rin, kamu serius mau nikah, nih?" tanya Sri, mencoba mengorek informasi yang dia dapatkan dari Ulfa. Memang tidak banyak yang tahu. Karena Arinda sendiri memang tidak menyebar undangan. Pikirnya, dia akan mengajari kawan-kawannya menjelang harinya nanti. Arinda mengangguk antusias. "Kurang dari dua minggu ini, Sri!" jawabnya sembari mengusap peluh di wajahnya. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu calon suami kamu, lho. Boleh lihat dulu nggak, sih?" ucap Sri dengan kedipan matanya. Seperti ada maksud terselubung dari tatapan matanya itu. "Besok juga kalian tahu, kok!" sahut Arinda, menyudahi acara makannya karena sudah tidak sanggup. Sri mencebik, kecewa. "Lama atuh, Rin. Kita kan juga penasaran. Masa harus nunggu dia datang ke sini, sih?" "Iya, nih. Padahal, kita kan temen baik, ya, Sri?" imbuh Ulfa dengan muka ditekuk. Arinda menggigit bibirnya, merasa tak enak hati dengan ekspresi kedua temannya. "Bukan gitu …." Berpikir sejenak, sebelum akhirnya Arinda bangkit dari duduknya. "Bentar. Aku ambil ponsel dulu!" ucapnya yang mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Sri dan Ulfa saling tatap. Sebelum akhirnya, keduanya tersenyum lebar. "Kamu yakin nih, adik ipar kamu tahu calon suaminya Arinda?" bisik Ulfa lirih, matanya terus menatap awas ke dalam rumah. Takut tiba-tiba Arinda muncul dari dalam sana. Sri terlihat ragu. "Semoga aja tahu, ya, Fa," ucapnya sembari meremas jari-jemarinya. Mereka berdua kembali terdiam, saat suara langkah kaki Arinda mulai terdengar. Beberapa detik kemudian, gadis itu sudah muncul di ambang pintu dengan ponsel di tangannya. Arinda kembali duduk di tempatnya tadi. Mulai mengutak-atik ponselnya sebentar. Sebelum akhirnya, menunjukkan layar ponselnya yang menyala kepada teman-temannya. "Ini calon suami aku, Guys. Namanya Mas Ardi," jelas Arinda dengan senyum di wajahnya. Ulfa dan Sri saling tatap. Merasa Arinda begitu mencintai laki-laki bernama Ardi itu. "Neng, bisa bantu bibi sebentar?" seru Nuriyah dari dalam rumah. Arinda langsung menoleh. "Iya, Bi!" Dia langsung beranjak, melupakan ponselnya yang masih berada di tangan Sri. Ulfa langsung menepuk tangan Sri. "Buruan, keburu Arinda balik!" ucapnya dengan nada mendesak. Sri mengangguk, mengeluarkan ponselnya sendiri. Dia langsung mengirimkan gambar yang dia ambil dari ponsel Arinda ke nomor adik iparnya. "Jangan lupa hapus riwayat kirimnya!" titah Ulfa mengingatkan, tentunya sembari berbisik pelan. Sri hanya mengangguk, meletakkan ponsel Arinda di sebelahnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak melakukan apa pun sepeninggal Arinda tadi. Arinda kembali keluar. "Rin, ponsel kamu. Kayaknya, kita juga mau balik, nih. Mau masak buat makan siang nanti," ucap Ulfa, merapikan sisa-sisa bahan rujakan mereka. "Aku juga mau belanja dulu, nih," sahut Arinda, merapikan jilbabnya yang sedikit meleyot. "Oke, deh. Besok kita ke sini lagi, ya!" timpal Sri yang juga ikut beranjak. Keduanya langsung naik ke atas motor. Kendaraan roda dua tersebut langsung meluncur pelan. Sementara Arinda, masih menunggu kedua temannya menghilang di belokan depan sana. Setelahnya, dia baru berjalan melangkah ke warung Bu Rahayu. Tiba di belokan depan sana, Sri menghentikan laju motornya. Menepikan kendaraan tersebut di depan rumah tetangganya. "Kenapa, Sri?" tanya Ulfa, melongok ke depan. "Kayaknya ada pesan masuk. Aku cek bentar!" ucapnya sembari merogoh ponsel yang ada di dalam tas kecilnya. Ulfa hanya manggut-manggut saja. Berharap pesan balasan itu adalah dari adik ipar Sri. "Fa, Wina yang kirim pesan!" seru Sri sedikit berteriak. Mata Ulfa melebar. "Apa katanya?" Sri membuka pesan tersebut, dengan Ulfa yang ikut membaca di belakang sana. [Itu Pak Reza, Mbak. Dia bosnya Mas Wisnu. Kenapa Mbak tanya Pak Reza?] Begitu isi pesan yang Wina kirimkan ke nomor Sri. "Kok, Reza, sih? Apa adik ipar kamu salah orang, Sri?" Belum sempat Sri membalas pesan tersebut, satu pesan dari Wina kembali masuk ke ponselnya. Membuat mata keduanya hampir keluar dari tempatnya saat membaca isi pesan kedua tersebut. [Jangan kepo sama Pak Reza, deh, Mbak. Dia udah ada bini soalnya!]"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi."Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat.Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi."Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya."Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu."Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi.Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega.Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!""Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
Puk! "Win?" Sri menepuk pundak Wina yang malah melamun. "Katanya mau nanya?" "Itu, Mbak. Soal fo—" "Sayang, ayo pulang!" Tiba-tiba, Wisnu masuk dan memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Pulang, Mas?" ulang Wina dengan wajah heran. Wisnu mengangguk. "Iya. Ibu minta kita buat pulang dulu. Besok ke sini lagi buat jemput Mbak Sri," jelasnya. "Iya, Nduk. Pulanglah, sudah sore." Wina menatap ke arah ibu mertuanya, lalu ke arah Sri yang menampilkan ekspresi biasa saja. "Ya udah. Ayo, Mas!" putusnya akhirnya. Lagi pula, dia tidak tega melihat wajah lelah suaminya. "Kasihan juga Mas Wisnu. Dia pasti capek bolak-balik dari kantor ke rumah sakit," batin Wina sembari berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Ah, sudahlah. Mending aku lupain aja soal foto itu. Lagian, cuma aku doang yang penasaran!" putus Wina lagi. ~~~ "Mas, apa a
"Itu ... ada kecoa, Mas!" seru Arinda. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Dika. Sementara jari telunjuknya, menunjuk ke arah kecoa yang tadi terbang ke arahnya."Astaga! Aku pikir ada apa! Kecoa doang lho!" seru Dika dengan wajah lega, terbahak-bahak setelahnya, merasa sikap Arinda begitu lucu."Ih, Mas! Buruan ambil! Geli tau!" seru Arinda lagi."Ya gimana mau ambil? Kamu aja nempel gini, lho!" sahut Dika dengan santainya."Eh?" Arinda sontak terlonjak. Buru-buru menggeser tubuhnya, kembali pada posisinya semula.Wajahnya terasa panas. Sungguh, dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam Karena malu."Astaga, Arinda! Malu-maluin banget! Bisa-bisanya malah meluk cowok lain!" gerutunya dalam hati. Merutuki ketakutannya yang berakibat fatal itu.Dika kembali ke tempatnya, setelah memastikan kecoa yang Arinda maksud itu sudah tidak ada. Dia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Meneguknya hingga menyisakan ampasnya saja."Rin, aku balik dulu. Kamu langsung masuk aja,"
"Terima kasih, ya, Nak Dika. Sudah mau bibi repotkan!" Nuriyah yang memang sedang menunggu Arinda pulang itu, langsung tersenyum lebar begitu Arinda keluar dari mobil milik Dika.Dika, laki-laki tampan yang usianya hanya terpaut dua tahun di atas Arinda itu mengangguk tipis, melemparkan senyum ramahnya ke arah Nuriyah. "Sama-sama, Bi. Senang bisa membantu Bibi," ucapnya kemudian."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bi," lanjut Dika, merasa tak enak hati jika terus berada di rumah Nuriyah.Tidak-tidak. Dia hanya tidak ingin perasaannya kepada Arinda semakin menjadi-jadi, kerena terlalu lama menatap gadis incarannya itu."Lho? Kok, buru-buru banget lho. Ada kerjaan di rumah, ya?" tanya Nuriyah cepat. Refleks mencekal lengan Dika, seolah-olah tak mengizinkan laki-laki itu pergi dari rumahnya.Dika menggelengkan kepalanya pelan. "Ah, tidak ada, Bi. Takut ganggu, udah malam soalnya!" ujar Dika sopan.Nuriyah beralih menatap ke arah Arinda yang hanya diam saja, mendengarkan percakapan mer
"Rin, nggak apa-apa kan kalau kita balik duluan?" ujar Ulfa melirik ke arah Arinda yang berjalan di sisinya. Mereka baru saja keluar dari ruangan Sri dirawat.Arinda menganggukkan kepalanya dengan santai, tidak merasa keberatan sama sekali. "Tidak masalah. Pulanglah, Fa. Kalian berdua hati-hati di jalan, ya!" ucapnya dengan senyum manisnya. "Kamu juga hati-hati, ya? Kalau Dika macam-macam, langsung tendang keluar aja!" titah Ulfa. Tentu saja dia hanya bercanda saat mengatakan itu. Dia tahu Dika tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepada Arinda. "Bun, nggak boleh ngomong gitu!" protes Yuda dengan gelengan kepala. Ulfa nyengir lebar, "Bercanda, Mas. Ya udah. Yuk, balik!" ajaknya kemudian, merangkul lengan sang suami dengan mesra. Arinda hanya bisa mencebik saat melihatnya. Merasa Ulfa memang sengaja menunjukkan kemesraan nya itu kepadanya. Mereka berpisah di lorong rumah sakit. Arinda berjalan ke arah kanan, hendak ke kamar mandi terlebih dulu. Sementara Ulfa sudah menghilang
"Bu?" Suster itu kembali memanggil Ayu yang masih mengingat. "Wisnu!" ucap Ayu cepat. Hanya nama itu yang dia tahu. "Baik. Biar saya cek lagi, ya, Bu!" Si perawat kembali sibuk dengan komputernya, mencari informasi ruangan yang diminta Ayu. "Kamu nggak usah turun, Fa. Biar aku aja yang naik!" Suara itu membuat kepala Ayu langsung memutar. Dia mendapati seorang wanita berhijab, berjalan dengan menempelkan ponselnya di telinganya. Dia melewati Ayu begitu saja. Sementara Ayu malah terus menatap ke arah wanita itu dengan kening berkerut. "Seperti pernah lihat," gumamnya mencoba mengingat-ingat. "Pasien atas nama Sri yang Ibu cari, ada di ruangan Kamboja nomor 37 lantai empat, Bu!" "Kebetulan, Pak Wisnu baru berkunjung juga," lanjutnya lagi. Perkataan perawat itu membuat Ayu kembali menoleh. Senyumnya langsung mengembang sempurna. "Tidak salah lagi," gumamnya sedikit lega. "Terima kasih, Suster!" ucapnya yang langsung membawa kakinya melangkah ke lantai atas, mencari ruangan yang
"Keluyuran?" ulang Ayu dengan senyum miringnya. Dia sedikit merasa aneh dengan sikap ibu mertuanya yang terlihat sinis dan menampakkan raut tidak sukanya itu dengan jelas. Ratnawati—ibu mertua dari Ayu itu menatap ke arah menantunya dengan tatapan menyelidik. Dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Kamu pasti mau ketemu sama laki-laki lain, 'kan?" tebaknya. Pertanyaan yang membuat mata Ayu seketika mendelik tak terima. "Ibu!" protres Ayu dengan nada tinggi. Dadanya bergerak naik turun, menahan luapan emosi yang ingin dia lepaskan detik itu juga. Sungguh, dia tidak menyangka ibu mertua yang sampai detik ini masih dia hormati, tega mengatakan hal sedemikan rupa kepadanya. Sembilan tahun yang lalu, mereka berdua amat sangat dekat. Sering menghabiskan waktu untuk pergi berdua saja. Namun, hal itu hanya bertahan selama satu tahun saja. Setelahnya, Ratnawati bersikap acuh tak acuh kepadanya. Dia hanya akan bersikap baik, saat Ayu tengah bersama Reza. Tapi, sikapnya
"Semua berkasnya sudah saya siapkan di sini, Pak!" Reza yang hendak mengetikkan pesan ke nomor seseorang itu pun mendongakkan wajahnya. Menatap Bagas sebentar, sebelum menganggukkan kepalanya singkat. Bagas keluar dari ruangan Reza, setelah mendapat izin dari atasannya itu. Sementara laki-laki itu sendiri, meletakkan ponselnya sebentar. Tangannya terulur menyentuh map berwarna hitam itu untuk memastikan isinya sebentar. Setelah merasa semuanya seperti yang dia inginkan, Reza segera menutup kembali map tersebut. Tangannya kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kanannya. Benda itu langsung menampilkan room chat dengan seseorang yang keberadaannya jauh di sana. Pesan yang dia kirimkan sudah masuk, tinggal menunggu pesan balasan dari seberang sana. Ting. Tangannya langsung mengetuk pesan yang baru masuk tersebut. Tapi, bukan dari nomor yang baru dia kirimi pesan. Melainkan nomor sang istri, Ayu. [Mas, aku sudah sampai rumah. Tapi, setelah ini aku mau pergi lagi. Kemungki
Puk! "Aaa!" Ayu sontak menjerit keras, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk lembut dari belakang. Dia langsung memutar tubuhnya, mendapati sang suami yang kini menatap ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. "Hey ... kenapa, Sayang?" tanya Reza dengan kening berkerut. "Mas ngagetin kamu, ya?" imbuhnya lagi, menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan setelah melihat reaksi Ayu barusan. "Mas kok keluar?" Tak menjawab, Ayu malah melemparkan pertanyaan lain dengan tatapan menyelidik. Jujur, dia mulai menaruh curiga dengan sang suami setelah mendengar obrolan dari karyawan suaminya tadi. Reza tersenyum tipis, dia celingukan mencari seseorang. "Mau ketemu klien sama Bagas, Sayang," ucapnya saat melihat siluet tubuh Bagas yang sedang berjalan ke arah mobilnya sendiri. Ayu manggut-manggut saja mendengarnya, sembari bergumam pelan. Pura-pura percaya di depan Reza. Padahal dalam hatinya, dia tengah menebak-nebak. "Mas duluan, ya!" ucapnya saat mobil Bagas sudah berhenti tepat di depan
"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya."Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya."Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang