Sejak pagi Gadisa kurang konsentrasi. Ini karena Karamina yang meninggalkan uang senilai satu juta rupiah dan diletakkan di atas kulkas dan baru ketahuan subuh tadi oleh ibunya. Setelah ibunya menanyainya juga menanyai mas Lanang, Gadisa baru teringat bila sebelum pulang, Karamina ada membuka kulkas untuk meminta air dingin.Pagi-pagi sebelum berangkat ke salon milik Miskha, Gadisa telah mengirim chat pada Karamina namun sahabatnya itu belum juga membalas pesannya. Entah karena sibuk atau sengaja tidak membalas.“Bukan yang ini, Dis!” tegur Miskha saat Gadisa salah mengambil pouch brush miliknya.Gadisa terhenyak. “Yang pouch sage ‘kan, Mbak.”“Iya, tapi ini bukan sage, Dis. Ini hijau muda!” Terdengar desisan dari mulut Miskha yang kesal karena kesalahan Gadisa.“Maaf, Mbak,” ucap Gadisa lalu terburu-buru menuju lantai bawah untuk mengambil pouch yang dimaksud Miskha.“Bolak-balik terus, Dis,” ucap Vera yang sedari tadi melihat Gadisa bolak-balik.“Salah ambil pouch,” ucap Gadisa meri
"Belakangan Mikairo sering melamun. Saya tanya kenapa, dia bilang kalau dia rindu mamanya. Apa, Mikairo tidak tinggal dengan mamanya?" Duduk di taman kecil di halaman kompleks taman kanak-kanak, Gadisa memandangi Mikairo yang sedang bermain dengan teman-temannya. Tampak Mikairo tertawa bersama teman-temannya. Tapi di balik tawa itu, ada anak yang menyimpan kesedihan. "Mamanya sibuk, Miss. Banyak sekali deadline pekerjaan," jawab Gadisa jujur tapi juga sedikit berbohong. "Apa boleh, saya bertemu dengan mamanya? Tolong mbak Gadis sampaikan pada mamanya kalau saya ingin bertemu. Ini demi kebaikan Mikairo," ucap Miss Adel, wali kelas Mikairo. Gadisa mengangguk. "Akan saya sampaikan, Miss." "Terima kasih banyak, ya, mbak Gadis." Miss Adel tersenyum manis lalu meninggalkan Gadisa di kursi panjang di halaman taman kanak-kanak itu. Gadisa termenung memandangi Mikairo sampai sepasang mata itu menatap ke arahnya dan berlari menghampirinya. "Sudah mainnya?" tanya Gadi
“Dia atasan aku,” bisik Karamina pada Gadisa.Sedikit canggung, Gadisa mencoba tersenyum. Inginnya kabur saja dan tidak perlu makan bersama dengan pak Dikara, tapi bagaimana caranya sementara pak Dikara berulang kali memaksanya untuk ikut.“Kalau tau pak Dika kenal sama Gadis, kemarin saya tanya nomornya Gadis ke bapak,” celetuk Karamina yang langsung mendapat sikutan dari Gadisa.Kening Dikara berkerut. Sambil menyuir ayam untuk Mikairo, Dikara menjawab, “bukannya tadi kata Gadis kalian berteman? Apa kamu nggak punya nomor Gadis.”“Kemarin saya sempat ganti nomor, tapi saya sudah beritahu Kara,” sela Gadisa sebelum Karamina berbicara.“Kami sudah kenal dari dulu, Pak. Dari jaman TK. Jadi bukan hanya sekedar teman lagi, tapi sudah sahabat kental. Makanya kalau Gadis ilang, saya kerepotan nyariin,” celetuk Karamina sambil menahan senyumnya melirik Gadisa.Gadisa memutar bola matanya. Teringat tadi bagaimana bingungnya Karamina saat dirinya mengatakan menunggu di lobi dan ketika sahabat
“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH U
“Tolong goda suamiku.”Gadisa melirik ke arah Miskha yang duduk di meja berbeda dengannya. Sontak, ia mengalihkan pandangannya karena terlalu terkejut mendengar permintaan wanita putus asa di hadapannya.“Dis, aku mohon,” lirih Mona, wanita berusia 29 tahun yang merupakan salah satu anggota geng CanDa (Cantik menggoDa)─geng para influencer cantik yang masing-masing memiliki bisnis peribadi─yang sangat terkenal di kalangan masyarakat.Ini pertama kalinya Gadisa melihat tangisan seorang Mona Aleandra yang selama ini ia kagumi karena kecantikan Mona yang menurutnya sangat tidak masuk akal.“Aku nggak tau harus minta tolong siapa lagi, Dis. Aric nggak kenal sama kamu, dia nggak pernah melihatmu dan aku yakin dia akan sangat tergoda karena kecantikanmu.” Satu tangan Mona menyambar tangan Gadisa yang berada di atas meja, meremasnya dengan kuat seolah takut Gadisa hilang.Mulut Gadisa hanya bisa terbuka, kalimat yang berdesakkan di ujung lidahnya tidak dapat ia ucapkan. Permintaan Mona terla
Ia seperti melihat orang lain. Lipstick merah menyala, dress ketat yang mempertontonkan bagian bahunya, juga perhiasan mahal yang menempel di telinga, jari dan yang melingkar di lehernya.Semua skenario diurus oleh Mona dan Miskha. Ia hanya perlu melakukan tugasnya malam ini setelah kemarin ia mendapatkan bayaran dimuka dan langsung ia bayarkan pada dua debt collector itu.“Kamu dapat uang dari mana, Dis?” Pertanyaan tersebut terus menerus ditanyakan ibunya. Namun Gadisa sampai detik ini tidak menjawab. Mana bisa ia mengatakan jika ia menjadi gadis penggoda. Ibunya pasti akan marah. Apalagi menurut ibunya, seorang wanita tidak boleh mengganggu hubungan rumah tangga orang lain.Pandangannya kemudian turun ke arah kemeja putih yang ada di tangannya. Kemeja dengan bekas tumpahan kopi yang sedang coba ia bersihkan.“Aaaaahhh… maaf…” Gadisa menutup mulutnya dengan satu tangannya. Memasang ekspresi kaget saat es americano miliknya tumpah mengenai kemeja seorang pria.Tangan pria itu menahan
“Boleh minta tolong langsung bawa ke dapur, Pak?” “Baik, Mbak.” Dua orang pria mengangkut box berisi kulkas satu pintu yang baru saja dibeli oleh Gadisa. Senyum Gadisa mengembang. Uang bayaran membantu Mona Aleandra baru saja ditransfer sisanya tadi malam setelah Mona memastikan bahwa video dari rekaman kamera yang disebar di apartemen itu berhasil membuat Aric dan pelakor itu putus. Gadisa tidak bertanya panjang lebar tentang bagaimana Mona bisa mengetahui bahwa Aric dan wanita pelakor itu putus. Ia hanya dikabari demikian dan sama sekali tidak tertarik lebih jauh. Sudah lima hari pasca dirinya melakukan pekerjaan yang cukup sekali saja ia lakukan dalam hidupnya dan Gadisa tidak akan pernah mau melakukannya lagi. Kehidupannya sudah kembali normal. Lagi-lagi berpindah rumah ke daerah Jakarta pusat yang sedikit lebih jauh dari kontrakan sebelumnya dan tidak memberitahu siapapun kemana mereka pindah, Gadisa kini bisa bernapas lega. “Makasih banyak, Pak,” ucap Gadisa ketika satu lagi
“Nggak mau minum obat!”Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak an