“Rotinya kok masih ada?” tanya Gadisa memeriksa wadah bekal Mikairo saat mereka berada di dalam taksi. “Kai tadi nggak makan?” tanya Gadisa lagi karena tidak mendapat tanggapan dari Mikairo.Anak laki-laki itu masih diam, murung.Gadisa menutup tempat bekal, memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing kecil bergambar mobil-mobilan lalu sedikit membungkuk untuk mendapatkan atensi dari Mikairo. “Nggak laper?” tanya Gadisa.Mikairo masih diam. Tidak menjawab sama sekali.Gadisa menghela napas panjang, kembali meluruskan punggungnya dan menatap sedih ke arah Mikairo.Semalam, membawa Mikairo masuk ke dalam kamar, Gadisa melihat Mikairo langsung menutup matanya, berpura-pura tidur dan menghadap ke arah lain. Gadisa serba salah. Ia memilih diam dan mengusap punggung Mikairo selama satu jam penuh sampai ia yakin Mikairo benar-benar tertidur. Dan dalam satu jam itu, tidak ada satupun dari Miskha atau Dikara yang masuk ke kamar Mikairo. Ketika keluar dari rumah tersebut, Gadisa tidak melihat tan
Gadisa berdiri celingukan di depan sebuah gedung kantor. Hanya mengetahui jika Dikara bekerja di sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman milik Pradana Grup, Gadisa memberanikan diri datang menemui Dikara di kantor pria itu.Turun dari ojek online dan membenahi rambutnya yang berantakan tertiup angin, Gadisa berkata, “terima kasih, Mas.” Pada pengemudi ojek online tersebut sebelum berlari masuk ke dalam gedung bertingkat tinggi itu.Melewati pintu utama, Gadisa menuju ke meja resepsionis dan berkata, “maaf, Mbak, boleh tanya?”Seorang wanita muda, kira-kira seusianya yang berdandan sangat rapi tersenyum lembut. “Ada yang bisa saya bantu?”Gadisa mengangguk. “Apa di kantor ini ada yang bernama pak Dikara Erlangga?”Wanita muda itu langsung mengangguk dan berkata, “Ada, Mbak. Pak Dikara marketing manager di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu lagi setelah memberikan informasi mengenai pak Dikara Erlangga.“Boleh saya bertemu? Ada hal yang mau saya sampaikan,” ucap Ga
Bik Lastri : [Pagi ini pak Dika ajak Kai naik sepeda, Mbak. Habis sarapan tadi mereka pergi ke taman. Kata pak Dika, hari ini sama besok pak Dika ada di rumah, Mbak. Jadi Mbak Gadis nggak perlu ke sini. Pak Dika bilang, istirahat saja di rumah.]Gadisa membaca chat dari bik Lastri sambil senyum-senyum sendiri.“Kenapa anak Ibu senyum-senyum?” tanya ibu Rike yang baru masuk dari pintu samping usai menaruh plastik berisi sampah di luar.“Lagi seneng, Bu,” jawab Gadisa sambil menatap ibunya yang mencuci tangan di wastafel.Melihat putrinya yang senyum-senyum sendiri, ibu Rike menghampiri, menarik kursi meja makan di dekat putrinya dan duduk di sana. “Apa ada yang menyenangkan?” tanya ibu Rike.“Kai lagi seneng, Bu. Aku jadi ikut seneng,” ucap Gadisa masih tersenyum lebar. Lega sekali sejak ia berhasil membawa pulang pak Dikara kemarin. Pak Dikara tidak meninggalkan Mikairo, terus memeluk anak tampan itu, bahkan menyuapi Mikairo dengan sangat telaten.Semalam, Gadisa pulang dalam keadaan
"Jangan terlalu memikirkan ucapan Mona." Gadisa menghentikan gerakannya menaruh beberapa skincare yang harus di review oleh Miskha di atas meja, tepat di hadapan Miskha. "Dia hanya takut orang-orang tau tentang keadaan rumah tangganya. Dia ingin semua orang iri dengan kisah cintanya bersama Aric," lanjut Miskha mengoleskan lotion yang baru saja ia terima dari sebuah brand. Menghidu aroma tangannya, Miskha tersenyum. Sementara Gadisa melihat ekspresi santai Miskha ketika mengomentari rumah tangga Mona Aleandra. "Aku sudah mengatakan pada mbak Mona untuk nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku ingin melupakan hari itu. Aku nggak mau mengingatnya, Mbak." Gadisa tidak ingin mengingat apa yang ia alami di hari itu. Cukup sekali dan tidak ingin lagi. "Tapi aku penasaran apa yang Aric lakukan padamu di hari itu. Mona nggak mau memperlihatkan videomu bersama Aric. Dia hanya bilang Aric masuk perangkapnya. Tapi hari itu juga dia menangis. Apa Aric menggodamu secara brutal?
“Astaga, Dis! Aku kemana-mana nyari kamu.”Seorang wanita berambut sebahu langsung memeluk Gadisa dengan sangat erat persis di depan pintu rumah Gadisa. Dia Karamina Hastari, sahabat Gadisa.“Maaf, ya, aku baru kasih tau alamat aku. Aku juga ganti nomor kemarin.” Gadisa balas memeluk Karamina. Ia sangat merindukan sahabatnya itu.“Ajak masuk, Nak. Ibu bikinkan minum dulu,” ucap ibu Rike yang berada di balik meja jualannya─sedang membersihkan meja karena jualannya telah habis. Sudah dua hari ini ibu Rike kembali berjualan. Karena kebisaannya hanya memasak, jadi ia kembali menjual makanan tepat di depan rumahnya.Tidak memiliki pekarangan dan hanya teras kecil yang penuh dengan meja jualan ibunya, Gadisa membawa masuk Karamina ke dalam rumah. Tapi sebelum itu, Karamina berkata, “Ibu nggak perlu repot-repot. Nanti kalau Kara haus, Kara ambil minum sendiri.”“Ibu nggak repot-repot. Sudah masuk sana. Ibu buatin es teh dulu,” ucap ibu Rike yang tadi juga mendapat pelukan dari Karamina.“Uda
Sejak pagi Gadisa kurang konsentrasi. Ini karena Karamina yang meninggalkan uang senilai satu juta rupiah dan diletakkan di atas kulkas dan baru ketahuan subuh tadi oleh ibunya. Setelah ibunya menanyainya juga menanyai mas Lanang, Gadisa baru teringat bila sebelum pulang, Karamina ada membuka kulkas untuk meminta air dingin.Pagi-pagi sebelum berangkat ke salon milik Miskha, Gadisa telah mengirim chat pada Karamina namun sahabatnya itu belum juga membalas pesannya. Entah karena sibuk atau sengaja tidak membalas.“Bukan yang ini, Dis!” tegur Miskha saat Gadisa salah mengambil pouch brush miliknya.Gadisa terhenyak. “Yang pouch sage ‘kan, Mbak.”“Iya, tapi ini bukan sage, Dis. Ini hijau muda!” Terdengar desisan dari mulut Miskha yang kesal karena kesalahan Gadisa.“Maaf, Mbak,” ucap Gadisa lalu terburu-buru menuju lantai bawah untuk mengambil pouch yang dimaksud Miskha.“Bolak-balik terus, Dis,” ucap Vera yang sedari tadi melihat Gadisa bolak-balik.“Salah ambil pouch,” ucap Gadisa meri
"Belakangan Mikairo sering melamun. Saya tanya kenapa, dia bilang kalau dia rindu mamanya. Apa, Mikairo tidak tinggal dengan mamanya?" Duduk di taman kecil di halaman kompleks taman kanak-kanak, Gadisa memandangi Mikairo yang sedang bermain dengan teman-temannya. Tampak Mikairo tertawa bersama teman-temannya. Tapi di balik tawa itu, ada anak yang menyimpan kesedihan. "Mamanya sibuk, Miss. Banyak sekali deadline pekerjaan," jawab Gadisa jujur tapi juga sedikit berbohong. "Apa boleh, saya bertemu dengan mamanya? Tolong mbak Gadis sampaikan pada mamanya kalau saya ingin bertemu. Ini demi kebaikan Mikairo," ucap Miss Adel, wali kelas Mikairo. Gadisa mengangguk. "Akan saya sampaikan, Miss." "Terima kasih banyak, ya, mbak Gadis." Miss Adel tersenyum manis lalu meninggalkan Gadisa di kursi panjang di halaman taman kanak-kanak itu. Gadisa termenung memandangi Mikairo sampai sepasang mata itu menatap ke arahnya dan berlari menghampirinya. "Sudah mainnya?" tanya Gadi
“Dia atasan aku,” bisik Karamina pada Gadisa.Sedikit canggung, Gadisa mencoba tersenyum. Inginnya kabur saja dan tidak perlu makan bersama dengan pak Dikara, tapi bagaimana caranya sementara pak Dikara berulang kali memaksanya untuk ikut.“Kalau tau pak Dika kenal sama Gadis, kemarin saya tanya nomornya Gadis ke bapak,” celetuk Karamina yang langsung mendapat sikutan dari Gadisa.Kening Dikara berkerut. Sambil menyuir ayam untuk Mikairo, Dikara menjawab, “bukannya tadi kata Gadis kalian berteman? Apa kamu nggak punya nomor Gadis.”“Kemarin saya sempat ganti nomor, tapi saya sudah beritahu Kara,” sela Gadisa sebelum Karamina berbicara.“Kami sudah kenal dari dulu, Pak. Dari jaman TK. Jadi bukan hanya sekedar teman lagi, tapi sudah sahabat kental. Makanya kalau Gadis ilang, saya kerepotan nyariin,” celetuk Karamina sambil menahan senyumnya melirik Gadisa.Gadisa memutar bola matanya. Teringat tadi bagaimana bingungnya Karamina saat dirinya mengatakan menunggu di lobi dan ketika sahabat
Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se
"Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b
"Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel
Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga
"Teman Kai banyak?" "Banyak, Pa. Ada Vano, Raka, Farel. Mereka semua baik sama Kai. Kai dipinjemin mainan sama mereka." Mikairo menyebutkan satu persatu teman barunya. "Terus Kai hari ini mau bawa mainan, ya, Pa? Nanti mau Kai pinjemin mainan ke temen-temen Kai." Mikairo asik bercerita di dalam mobil. "Jadi di tas kecil itu mainannya, Kai?" tanya Dikara melirik tas kecil yang tadi dibawa putranya dan diletakkan di kursi belakang. Mikairo mengangguk. "Iya, Pa. Tadi malam Kai siapin mainannya. Tadi, Kai juga bilang sama bibik buat siapin baju Kai. Di tas itu juga ada baju gantinya Kai, Pa. Pulang nanti, Kai mau langsung ke rumah tante Gadis. Biar tante Gadis nggak bolak-balik ke rumah kita." Dikara sampai kaget mendengar celotehan putranya yang begitu bersemangat. Berbeda dengan dua hari sebelumnya dimana dirinya pulang kerja dan mendapati putranya sudah terlelap, tadi malam putranya menyambut dirinya dengan penuh semangat. "Jadi Kai kasihan sama tante Gadis kalau tante Gad
Mikairo terus memandangi wajah Gadisa. "Kenapa, Kai?" tanya Gadisa yang duduk di ruang tamu rumahnya. "Kai mau nonton apa?" tanya Gadisa memegang remote TV dan menyalakannya. "TV di rumah Tante Gadis nggak besar kayak di rumah Kai. Tapi gambarnya jernih juga, kok." Gadisa terus berbicara sambil mencari chanel yang menyuguhkan tayangan untuk anak-anak. "Kita nonton kartun aja, ya," lanjut Gadisa menemukan tayangan kartun di salah satu chanel. Dan ketika ia menoleh, Mikairo menatap ke arahnya dengan tatapan yang begitu lekat. "Ada apa? Kai nggak suka nonton kartun?" tanya Gadisa kemudian. Mikairo menggeleng. "Suka," jawab Mikairo namun sampai detik anak laki-laki itu bicara, dia terus memandang ke arah Gadisa dan tidak sekalipun menoleh ke arah televisi. Gadisa mengerjap. "Ada apa?" tanya Gadisa mendekatkan dirinya pada Mikairo yang duduk di sebelahnya. "Kai mau makan?" Mikairo menggeleng. "Tante lagi sedih, ya?" tanya Mikairo. "Nggak, kok. Tante nggak lagi s
“Memangnya nggak apa-apa kamu bawa ke sini, Dis?” tanya ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya.“Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah ijin sama orang tuanya,” jawab Gadisa duduk di tepi ranjang kecilnya sambil menoleh ke arah snag ibu sebelum kemudian kembali memandangi Mikairo yang tidur di ranjangnya.Iya, di ranjangnya.Menjemput di sekolah, Gadisa masih melihat Mikairo semurung kemarin. Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seperti, “Kai tadi ngapain aja di sekolah?” atau “Tadi Kai bawa bekal apa?” Dijawab seperti biasa, tapi tidak ada ekspresi. Dan setelah menjawab pun, Mikairo banyak diam.Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan apa yang diucapkan Miskha kemarin di restoran junkfood. Setelah ucapan mamanya itu, Mikairo banyak menunduk. Makanannya tetap dihabiskan. Tidak memberontak apalagi merengek meminta mamanya menemaninya bermain.Dan kemarin, ketika tiba di rumah, Mikairo bermain sendiri seperti biasa. Ya, walaupun Gadisa tahu ada yang tak biasa dari Mikairo. Seperti ora
“Mama…” Mikairo berlari sumringah ke arah mamanya. “Mama jemput Kai?” Mikairo sampai-sampai tidak percaya bila yang menjemputnya saat ini adalah sang mama. “Kenapa? Nggak senang kalau Mama yang jemput Kai?” tanya Miskha menurunkan kedua kakinya agar tubuhnya sejajar dengan sang putra. Di tempatnya, tepatnya di belakang Miskha, Gadisa tak henti tersenyum melihat Mikairo begitu senang dijemput oleh ibunya. Untuk melihat momen ini, Mikairo menunggu lumayan lama dan Gadisa sendiri harus menahan emosinya agar tidak kelepasan tiap kali memohon pada Miskha untuk menyisihkan waktu demi Mikairo. “Senang,” angguk Mikairo dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya. “Kai senang Mama jemput Kai.” Mikairo maju, memeluk mamanya. Gadisa sampai memegangi dadanya karena tersentuh melihat momen kebersamaan Mikairo dan Miskha. Sederhana sekali keinginan Mikairo, tapi anak laki-laki itu harus menunggu lama sampai keinginannya terwujud. "Kalau gitu, mau makan es krim sama Mama?" t
“Kenapa nggak kamu aja, Dis? Saya harus ketemu dengan orang hari ini.”“Miss Adel minta Mbak yang datang langsung. Ada yang mau dibicarakan tentang Kai.” Gadisa mengejar langkah Miskha yang tampak terburu-buru usai menyiapkan salad sayuran di dalam sebuah wadah makan berwarna biru.Pagi ini, Gadisa datang ke rumah Miskha. Tadinya ia mau datang ke salon, tapi ternyata Miskha mengabarkan jika dalam perjalanan pulang ke rumah untuk berganti pakaian karena ingin bertemu dengan seseorang. Jadi Gadisa langsung buru-buru ke rumah Miskha.Semalam Gadisa sudah mengirim chat pada Miskha, sayangnya chat itu tidak dibaca juga. Bahkan sampai dirinya ada di rumah ini, Miskha baru tahu miss Adel ingin bertemu hari ini.“Ya, kamu aja, lah, sana. Nanti sampaikan aja sama aku. Paling juga minta iuran,” jawab Miskha enteng.Gadisa melangkah lebar mengejar Miskha yang menaiki tangga. “Bukan tentang iuran, Mbak. Tapi tentang Kai.”“Iya, paling tentang iuran untuk Kai ‘kan? Apa? Mau beli mainan edukasi kay