“Boleh minta tolong langsung bawa ke dapur, Pak?”
“Baik, Mbak.” Dua orang pria mengangkut box berisi kulkas satu pintu yang baru saja dibeli oleh Gadisa. Senyum Gadisa mengembang. Uang bayaran membantu Mona Aleandra baru saja ditransfer sisanya tadi malam setelah Mona memastikan bahwa video dari rekaman kamera yang disebar di apartemen itu berhasil membuat Aric dan pelakor itu putus. Gadisa tidak bertanya panjang lebar tentang bagaimana Mona bisa mengetahui bahwa Aric dan wanita pelakor itu putus. Ia hanya dikabari demikian dan sama sekali tidak tertarik lebih jauh. Sudah lima hari pasca dirinya melakukan pekerjaan yang cukup sekali saja ia lakukan dalam hidupnya dan Gadisa tidak akan pernah mau melakukannya lagi. Kehidupannya sudah kembali normal. Lagi-lagi berpindah rumah ke daerah Jakarta pusat yang sedikit lebih jauh dari kontrakan sebelumnya dan tidak memberitahu siapapun kemana mereka pindah, Gadisa kini bisa bernapas lega. “Makasih banyak, Pak,” ucap Gadisa ketika satu lagi box telah diletakkan di ruang tamunya yang kecil. Gadisa mengangsur uang sebesar dua ratus ribu untuk biaya antar dan angkut barang yang baru saja dibelinya. Senyum Gadisa mengembang membuka box televisi ukuran 32inch yang dibelinya sebagai pengganti televisi yang diangkut oleh debt collector tempo hari. Tidak hanya televisi, Gadisa juga membeli kulkas untuk ibunya yang tadi ia minta letakkan di dapur. “Gimana, Bu, bagus?” tanya Gadisa meminta pendapat pada ibunya setelah televisi itu ia letakkan di atas meja dan ia nyalakan. “Gambarnya terang ya, Bu? Jernih banget.” Senyum itu merekah sempurnya. Betapa senangnya Gadisa bisa mengganti dua barang yang dibawa paksa oleh debt collector itu. Namun, sepertinya hanya Gadisa yang sumringah. Ibu Rike masih diam di tempatnya sambil memandangi putrinya. “Kamu nggak mau jujur sama Ibu?” Gadisa berdiri tepat di depan televisi untuk membaiki letaknya yang sedikit miring. Sampai sekarang, ia selalu mencari alasan bila ditanya dapat uang dari mana. “Kerja tambahan, Bu.” “Kerja tambahan apa yang hasilnya begitu besar, Dis?” Nada bicara ibu Rike sedikit meninggi. “Dalam beberapa jam kamu mendapatkan uang sepuluh juta untuk membayar rentenir itu. Lalu besoknya kamu ajak kami pindah rumah dan sekarang kamu beli TV dan kulkas. Ibu nggak tau ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.” Gadisa ingin apa yang ia lakukan hari ini dipuji oleh ibunya. Setelah dua hari ia menangis diam-diam dan mandi hampir dua jam untuk membersihkan bekas kecupan Aric di leher dan lengan bahkan punggungnya, Gadisa tidak mungkin menceritakan betapa menderitanya ia hari itu demi uang tiga puluh juta yang ditawarkan padanya. Jika saja hari itu telpon Aric tidak berdering, Gadisa tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Tapi sekali lagi, mana bisa ia mengatakannya pada sang ibu. “Bantuin mbak Miskha, bos aku, Bu. Kebetulan temannya ada project dan butuh model. Jadi mbak Miskha berbaik hati menawariku untuk membantu temannya. Bayarannya besar untuk satu tugas,” jawab Gadisa membalikkan tubuhnya ke arah sang ibu. Ibu Rike sudah kadung berpikir yang tidak-tidak. Ia sangat takut putrinya terjerumus hal-hal yang buruk. “Bener seperti itu?” tanya ibu Rike memastikan bila putrinya tidak berbohong. “Ibu mau aku telponkan mbak Miskha?” tawar Gadisa. Ibu Rike menggeleng. Ia tidak pernah bertemu dengan Miskha, namun sering mendengar nama itu disebut oleh putrinya. Putrinya sering mengatakan bahwa Miskha adalah wanita yang sangat baik dan sering membelikan mereka makanan enak. “Nggak usah. Ibu percaya padamu.” Ibu Rike mengayunkan langkahnya dan menempati salah satu kursi rotan tua yang masih sangat kokoh yang merupakan harta berharganya puluhan tahun. “Maaf kalau Ibu membentakmu. Ibu khawatir kamu terjerumus pekerjaan yang nggak halal, Dis.” Deg! Gadisa menahan napasnya. Jelas apa yang dilakukannya itu tidak halal. Bahkan tiga hari ini Gadisan harus memakai kaos turtleneck untuk menutupi bekas kemerahan yang ditinggalkan Aric pada lehernya. “Halal, Bu,” ucap Gadisa menempati kursi di sisi ibunya. Tarikan napas ibu Rike terdengar. Ibu Rike merasa lega bila pekerjaan yang dilakoni putrinya adalah pekerjaan halal. “Makasih, ya, Dis. Ibu selalu merepotkanmu. Ibu selalu membuatmu susah. Kamu harus bekerja setelah lulus SMA di saat teman-temanmu melanjutkan kuliahnya.” Ibu Rike mengusap lembut punggung putrinya. “Kuliah itu nggak wajib kok, Bu,” ucap Gadisa yang harus mengubur mimpinya untuk kuliah. Lulus SMA, Gadisa langsung bekerja demi melunasi hutang bapaknya. Gadisa bekerja serabutan bahkan di tiga tempat. Tapi kendati demikian, jangankan untuk membeli barang, membeli makan saja masih susah karena hutang bapaknya yang begitu besar. Padahal dulu nilai kelulusan Gadisa yang tertinggi di sekolahnya dan ia mendapatkan tawaran melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Sayangnya, ia memiliki seorang bapak yang tahunya hanya berjudi dan main perempuan serta berhutang banyak, sehingga Gadisa harus mengubur mimpinya itu demi membantu ibunya melunasi hutang bapaknya. “Sekarang kita hidup tenang ya, Bu. Jangan pernah beritahu keluarga kalau kita pindah. Aku nggak mau rentenir itu menagih hutang kemari lagi.” Harapan Gadisa sangat sederhana, ia ingin hidup tenang tanpa gangguan rentenir lagi. Ibu Rike mangangguk lalu merangkul putrinya masuk ke pelukannya. “Sekarang pikirkan dirimu sendiri, ya, Dis. Tabung hasil kerjamu untuk melanjutkan kuliah. Ibu tau kamu sangat ingin kuliah.” Gadisa tersenyum. “Penerimaan anak baru masih lama, Bu. Aku mau kasih modal ke mas Lanang. Nanti tolong tanyakan dia mau usaha apa?” Ibu Rike mengurai pelukannya lalu menatap putrinya begitu lekat. Ia memiliki dua orang anak dan Gadis adalah anak bungsunya. Sementara anak pertamanya, yaitu Lanang yang kini berusia 28 tahun, berbeda dengan anak lainnya. Lanang menderita spektrum autisme sejak kecil. “Kamu nggak apa-apa ngasih mas Lanang modal?” Walaupun mengidap spektrum autisme, Lanang adalah pria yang gigih bekerja. Namun sayangnya ibu Rike hanya bisa menyekolahkan Lanang sampai SMP saja karena untuk melanjutkannya ke SMA khusus, ibu Rike tidak memiliki biaya lagi. “Nggak masalah, Bu,” ucap Gadisa yang tidak bisa membiarkan kakaknya luntang-lantung mencari pekerjaan baru setelah mereka harus kembali pindah rumah. Dan Gadisa sangat mengerti jika pasti sulit mencari pekerjaan di tengah kondisi kakaknya yang berbeda dengan orang lainnya. “I-ibu, Ibu… ki-kita punya kulkas baru, Bu?” tanya Lanang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ibu Rike bangkit dari kursinya dan menghampiri putranya yang melompat-lompat seperti anak kecil. “Iya, adik kamu yang beli.” Lalu, wajah Lanang sedikit berubah. “Kamu, kamu, dapat uang dari mana, Dis?” Gadisa menatap kakaknya yang pandangannya selalu ke arah lain ketika berbicara. “Gadis ‘kan kerja, Mas,” ucap Gadis menghampiri kakaknya. Setiap melihat Lanang, hati Gadisa sangat perih. “Gadis mau kumpulin uang buat modal Mas usaha. Mas mau usaha apa?” tanya Gadisa menyentuh lengan kakaknya. Lanang menggeleng. Menatap lantai rumah kontrakan mereka yang kini terbuat dari keramik, Lanang berkata, “Mas… Mas ini laki-laki. M-mas bisa cari kerja sendiri. M-mas nggak m-mau nyusahin Gadis. M-mas bisa cari uang sendiri.” Gadisa mencelos. Ia peluk kakaknya dan membenamkan wajahnya di dada itu. Kalau bisa memilih, Gadisa ingin meminta pada Tuhan agar kakaknya bisa seperti orang normal agar tidak ada lagi yang menghina kakaknya, termasuk bapaknya sendiri. Ibu Rike mengelus punggung putrinya. Menjadi putranya berat karena harus terlahir istimewa, namun menjadi putrinya jauh lebih berat karena harus menjadi tulang punggung keluarga. Sementara dirinya, ibu Rike merasa tubuhnya kurang sehat beberapa tahun ini membuat dirinya harus berpangku tangan pada putrinya. Dan sejurus kemudian, ponsel Gadisa berdering. Gadisa mengangkat panggilan dari ART yang bekerja di rumah Miskha. “Ya, Bik?” “Mbak Gadis cepat ke sini, ya. Kai demam tinggi, Mbak.” “Kai demam?” pekik Gadisa. “Saya kesana sekarang, Bik,” ucap Gadisa buru-buru mematikan telponnya. “Ada apa, Dis?” tanya ibu Rike melihat putrinya panik. “Kai, Bu. Kai anaknya mbak Miskha demam. Aku harus kesana.” “Kenapa kamu harus ke sana?” tanya ibu Rike yang heran dengan pekerjaan putrinya. Putrinya mengatakan padanya jika putrinya itu bekerja sebagai asisten pribadi wanita bernama Miskha, tapi nyatanya putrinya lebih sering mengurus anak laki-laki berusia enam tahun bernama Mikairo atau yang biasa dipanggil Kai. Kenapa? Kenapa harus dirinya yang kesana? “Kai nggak mau dengan orang lain selain aku, Bu,” jawab Gadisa buru-buru masuk ke kamarnya untuk bersiap menghampiri Mikairo.“Nggak mau minum obat!”Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak an
“Aku dapat kabar dari Mona kalau Aric putus dari pelakor itu. Dan ini semua berkat dirimu.”Baru tiba di salon milik Miskha, Gadisa mendapatkan berita terkini mengenai rumah tangga Mona. “Aku ‘kan kemana-mana sama Mbak, apa nantinya nggak jadi masalah, ya, Mbak?” Gadisa meringis, memikirkan kalau-kalau Aric atau wanita yang sampai sekarang tidak Gadisa ketahui identitasnya sebagai selingkuhan Aric itu tahu tentang dirinya.“Aman, Dis.” Miskha menepuk bahu Gadisa lalu meletakkan sekaleng cola di atas meja bundar tepat di hadapan Gadisa sebelum dirinya duduk di kursi yang ada di seberang Gadisa. “Aku sudah kasih tau Mona untuk nggak datang ke pertemuan kami dengan membawa Aric. Dia juga main aman. Lagi pula kamu nggak pernah ketemu pelakornya. Pelakornya itu nggak satu circle sama kami. Jadi aman.”Gadisa mengambil kaleng cola itu dan membukanya. Baguslah kalau begitu. Setidaknya dirinya tidak perlu dihantui ketakutan kalau-kalau identitasnya terbongkar.“Kamu nggak penasaran siapa pelak
“Ka-kalau makan duduk!” Lanang mencekal tangan adiknya yang mau kabur setelah mencomot perkedel jagung buatan ibu mereka.“Nggak sempat, Mas. Aku sudah ditelpon disuruh ke rumah bos aku,” ucap Gadisa tak jelas sambil mengunyah perkedel di mulutnya.“Ini masih jam enam lewat, Dis. Kenapa pagi-pagi ke rumah bos kamu?” tanya ibu Rike mematikan kompor dan membawa piring berisi oseng buncis dan jagung menuju meja makan kecil mereka.“Papanya Kai harus ke kantor pagi ini, Bu. Jadi bik Lastri minta aku untuk jagain Kai di rumah mereka.” Gadisa meringis. Bik Lastri menghubunginya dan memintanya segera datang ke rumah karena Kai tidak mau lepas dari papanya.“Kai nggak sekolah?” tanya ibu Rike berdiri di depan Gadisa dan membantu melepas pegangan Lanang di pergelangan tangan putrinya itu. Lanang paling tidak suka ada yang makan sambil berdiri. Ini semua sesuai dengan apa yang ia ajarkan sejak kecil dulu.“Masih demam, Bu. Masih lemes, jadi nggak sekolah,” jawab Gadisa.“Terus ibunya mana? Kena
“Enak nggak?” tanya Gadisa menunggu reaksi Mikairo yang menyantap puding cokelat buatannya.“Enaaaak…” Mikairo mengacungkan jempolnya, tersenyum hingga bola matanya tenggelam dalam iris kelopak monolid itu. Kelopak mata Mikairo sangat mirip dengan milik Dikara, sang ayah. “Nanti kalau sudah habis, buatin lagi ya, Tante,” pinta Mikairo masih dengan jempol yang terangkat setinggi wajahnya.Gadisa mengelus puncak kepala anak laki-laki itu dan mengangguk. “Iya. Nanti Tante buatin lagi. Nanti Tante buatin yang rasa lain,” ucap Gadisa berjanji.“Asiiiik!” seru Mikairo lalu kembali melahap puding cokelat dengan siraman fla vanila di atasnya yang menurutnya sangat enak. “Mama nggak pernah buatin Kai puding. Kata Mama, Mama sibuk,” ucap Mikairo dengan polosnya.Gadisa melirik ke arah bik Lastri yang berada di balik meja dapur. Ucapan Mikairo terdengar hingga ke telinga bik Lastri.“Nanti kalau mama sudah nggak sibuk, mama pasti buatin Kai puding,” ucap bik Lastri berusaha menyenangkan hati Mik
Turun dari ojol yang mengantarnya, Gadisa berlari menuju salon milik Miskha. Wajahnya sumringah, secerah cuaca hari ini. Sejak dari rumah tadi saat Miskha menghubunginya karena bosnya itu telah tiba di Jakarta, Gadisa langsung terburu-buru menemui Miskha untuk memberikan surat dari Mikairo. "Mbak Miskha dimana, Ver?" tanya Gadisa pada Vera—karyawan Hera Salon. "Di atas, Dis. Di ruangannya," jawab Vera. Gadisa mengangguk lalu berlari menuju lantai dua. Pukul sepuluh pagi, Hera Salon baru saja dibuka, jadi masih sepi. Biasanya siang sampai malam, salon ini akan ramai karena bisa dibilang, Hera Salon adalah tempat perawatan kecantikan paling terkenal di Jakarta. Bukan hanya karena nama besar Miskha Maharini yang booming semenjak tiga tahun lalu karena video make-upnya yang selalu diikuti para wanita, Hera Salon juga mempekerjakan banyak tenaga profesional bertangan dingin yang selalu membuat klien puas. Menaiki tangga dengan interior mewah, Gadisa tiba di lantai dua dan s
"Tante minta maaf, Kai." Gadisa mengejar langkah lebar Mikairo yang melewatinya begitu saja usai kecewa karena bukan mamanya yang menjemput. Wajah Mikairo tertekuk. "Tante sudah janji kalau mama sudah baca surat dari Kai, mama langsung jemput Kai." Astaga Gadisa! Kenapa harus berjanji seperti itu? "Maaf, Sayang. Mama lagi sibuk. Mama ada tamu di salon, jadi nggak bisa jemput Kai." Gadisa mengayunkan langkah lebih lebar sampai dirinya berhasil melewati Mikairo dan menghadang langkah anak laki-laki yang memasang wajah super cemberut itu. Bahu Gadisa merosot, menyesali ucapannya kemarin yang mengatakan jika Miskha telah membaca surat dari Mikairo, Miskha pasti akan menjemput Mikairo di sekolah. Dan sepertinya pagi ini, Mikairo telah mendapat kabar bila mamanya akan pulang. Makanya saat keluar dari kelas tadi, Gadisa melihat wajah cerah Mikairo sebelum berubah cemberut saat melihat yang menjemput bukan mamanya. "Mama kenapa nggak jemput?" Mikairo masih tidak teri
“Mbak Gadis bawa lauk, ya. Sayang lauknya masih banyak,” ucap bik Lastri memandangi ayam rendang dalam mangkuk yang tidak tersentuh sama sekali.Gadisa menggeleng. “Nggak usah, Bik. Pak Dika belum makan.” Gadisa menolak tawaran bik Lastri.“Pak Dika bilang nggak makan, Mbak. Kalau dipanasin juga pasti nggak kemakan besok.“Bibik aja yang makan sama pak Wito.” Gadisa tetap menolak.“Pak Wito sudah makan tadi pakai ayam rendang juga. Masih ada sisanya kok, Mbak, tiga iris ayam kalau nanti ada yang mau makan. Mbak juga tadi Bibik suruh makan pake ayam rendang lebih milih bikin mie.”“Lagi pengen mie, Bik,” ucap Gadisa yang lebih memilih ceplok telur atau makan mie bila berada di rumah mbak Miskha. Bukan apa-apa, Gadisa sungkan makan lauk yang disediakan sementara pemilik rumah saja tidak ada. Atau seperti tadi, pak Dikara tampak sibuk dengan banyak berkas di ruang tengah dan tidak mau disuruh makan. Mana bisa Gadisa menikmati makanan yang disediakan bik Lastri sementara pemilik rumah saj
“Rotinya kok masih ada?” tanya Gadisa memeriksa wadah bekal Mikairo saat mereka berada di dalam taksi. “Kai tadi nggak makan?” tanya Gadisa lagi karena tidak mendapat tanggapan dari Mikairo.Anak laki-laki itu masih diam, murung.Gadisa menutup tempat bekal, memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing kecil bergambar mobil-mobilan lalu sedikit membungkuk untuk mendapatkan atensi dari Mikairo. “Nggak laper?” tanya Gadisa.Mikairo masih diam. Tidak menjawab sama sekali.Gadisa menghela napas panjang, kembali meluruskan punggungnya dan menatap sedih ke arah Mikairo.Semalam, membawa Mikairo masuk ke dalam kamar, Gadisa melihat Mikairo langsung menutup matanya, berpura-pura tidur dan menghadap ke arah lain. Gadisa serba salah. Ia memilih diam dan mengusap punggung Mikairo selama satu jam penuh sampai ia yakin Mikairo benar-benar tertidur. Dan dalam satu jam itu, tidak ada satupun dari Miskha atau Dikara yang masuk ke kamar Mikairo. Ketika keluar dari rumah tersebut, Gadisa tidak melihat tan