Share

5. Mikairo Erlangga

Penulis: Puspa Ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Nggak mau minum obat!”

Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.

Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”

Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.

Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak anak laki-laki itu membicarakan soal dinosaurus. Dan dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka menjadi teman.

“Tadi pulang sekolah badannya hangat, Mbak. Sudah empat hari ini lesu setiap pulang sekolah, tapi hari ini tadi makin keliatan lesu. Pas Bibik pegang keningnya, panas.” Seorang wanita paruh baya yang telah lama bekerja di rumah keluarga ini memberi laporan pada Gadisa.

Sambil mengusap punggung Mikairo yang naik ke pangkuannya dan memeluknya dengan sangat erat, pandangan Gadisa tertuju pada banyak obat yang ada di atas nakas. “Tadi dibawa periksa?” tanya Gadisa melihat obat-obat yang sepertinya dari dokter itu.

“Tadi Ibu manggil dokter kemari, Mbak. Jadi diperiksa di sini.”

“Ibu Miskha pulang?” tanya Gadisa menoleh ke arah bik Lastri.

Bik Lastri meringis sambil menggeleng. Gadisa tahu jawabannya.

Gadisa mengalihkan pandangannya pada Mikairo yang malang. Sudah enam bulan Gadisa bekerja dengan Miskha Maharini dan sudah lima bulan ia melakukan pekerjaan di luar job desk yang seharusnya, yaitu ikut mengantar dan menjemput Mikairo sekolah, mengajak Mikairo bermain sampai menemani Mikairo hingga ada salah satu dari dua orang tua anak itu yang pulang ke rumah. Dari situ, Gadisa tahu betapa kesepiannya Mikairo.

“Kai udah makan belum?” tanya Gadisa terus mengusap lembut punggung yang terasa panas itu.

“Kai mau disuapin Tante,” lirih Mikairo.

Gadisa langsung menoleh ke arah bik Lastri dan bik Lastri langsung mengangguk mengerti.

Sambil menunggu makanan datang, Gadisa bertanya, “kangen nggak sama Tante?” Karena sudah empat hari ini mereka tidak bertemu sejak Gadisa disibukkan dengan urusan pindah kontrakan.

“Nggak!” jawab Mikairo namun sangat ketus.

Gadisa tersenyum. “Maaf, ya, Tante pindah rumah, jadi nggak bisa jemput dan nemenin Kai main.”

“Kenapa pindah rumah?” Mikairo mengurai pelukannya dan menatap mata Gadisa. “Kai nggak pernah pindah rumah.”

Gadisa makin dibuat tersenyum oleh pertanyaan itu. “Karena ini rumah Kai. Kalau Tante, Tante ‘kan tinggal di rumah punya orang lain. Jadi Tante bisa pindah rumah.”

Kening anak laki-laki itu berkerut. “Jadi Tante nggak punya rumah?”

Gadisa menggeleng. “Nggak punya. Tante punyanya Mikairo,” ucap Gadisa memajukan wajahnya dan mengusap hidungnya ke ujung hidung mungil mancung milik Mikairo.

Anak laki-laki itu terdiam, menatap Gadisa begitu lekat. “Kai juga punyanya Tante. Kai cuma punya Tante,” ucapnya membuat hati Gadisa mencelos dan senyum yang tadi menghiasi wajah Gadisa meredup seketika.

“Nanti kalau sudah besar, terus kerja, Kai beliin Tante rumah, ya? Nanti Kai beliin yang besar kayak rumah ini biar Tante nggak pindah rumah lagi.” Dengan polosnya, Kai berkata demikian.

Gadisa tersenyum getir. Andai ucapan itu ia dengar dari bapaknya, bukan dari anak usia enam tahun, pasti akan jauh membahagiakan.

“Kita ‘kan sudah janji mau beli rumah, Pak. Kenapa uangnya kamu habiskan? Itu uang warisan orang tuaku!” Bukannya membeli rumah, bapaknya justru menghabiskan uang warisan milik ibunya.

Gadisa menggeleng kecil, menghalau rasa sedih yang tiba-tiba hinggap. Lupakan soal bapaknya! Gadisa tidak mau peduli lagi. “Tante tunggu Kai besar terus beliin Tante rumah,” ucap Gadisa tersenyum lalu menoleh ke arah pintu saat bik Lastri datang membawa sepiring nasi dan lauk. “Tapi kalau mau besar harus makan, ya. Nggak boleh nggak makan.”

Bik Lastri tidak heran lagi bila Mikairo sangat menurut pada perintah Gadisa dibanding semua orang yang ada di rumah ini. Itu sebabnya bik Lastri tadi menghubungi Gadisa untuk membantunya mengurus Mikairo yang sedang sakit.

Walau terlihat tak berselera, Mikairo tetap makan dari suapan yang diberikan Gadisa. Sekitar sepuluh suapan, Mikairo akhirnya menyerah. Dengan cekatan Gadisa mengelap bibir Mikairo lalu mengelap kedua tangan Mikairo yang tadi ikut memegang udang goreng dengan tisu basah.

“Sekarang kita minum obat, ya?” Gadisa mendekatkan wajahnya dan menatap mata bulat sayu itu ketika bicara dengan Mikairo untuk mendapat perhatian. Dan selalu berhasil. Apa yang Gadisa katakan mendapat anggukan, membuat bik Lastri tersenyum dan dengan cepat mengambil obat di atas nakas lalu diberikan pada Gadisa.

Ada tiga obat yang harus diminum Mikairo dan semua teratasi dengan mudah setelah Gadisa datang.

“Tante jangan pergi. Di sini sama Kai,” pinta Mikairo dengan wajah seperti ingin menangis.

“Iya, Tante nggak pergi. Tante di sini nemenin Kai,” ucap Gadisa menenangkan Mikairo.

Ia elus puncak kepala itu dengan lembut, lalu seperti biasa, Gadisa menuntun Mikairo membaca doa sebelum tidur dan bersenandung lagu anak-anak sampai akhirnya anak laki-laki itu tertidur pulas sambil menggenggam tangannya.

“Empat hari ini ngomel karena Mbak Gadis nggak ada. Dia marah-marah terus, Mbak. Bibik sudah bilang kalau Mbak Gadis lagi repot, tapi nggak mau tau. Semua barang dibanting sama dia. Dan kayaknya demamnya ini juga karena kangen sama Mbak Gadis.”

Gadisa memandangi wajah lelap itu. Gadisa memang sangat menyukai anak kecil. Apalagi setelah akrab, Mikairo termasuk anak yang sangat pintar dan penurut. “Maafin Tante Gadis, ya, Kai. Tante janji nggak akan ninggalin Kai lama-lama,” ucapnya lalu mengecup kening Mikairo.

Dan di ambang pintu kamar, seorang pria berperawakan tinggi memakai kemeja berdiri di sana. Sudah sekitar lima menit yang lalu dan tidak ada yang menyadari kehadirannya sampai… Gadisa menoleh ke arah pintu dan mata mereka bertemu.

Gadisa perlahan melepaskan genggaman tangan Mikairo lalu bangkit dari tepi ranjang─membiarkan tubuh Mikairo tidak berselimut karena masih tinggi demamnya. Gadisa memutar tubuhnya dan sedikit membungkukkan lehernya ke arah pria yang terlihat lelah itu.

“Terima kasih sudah merawat anak saya,” ucap pria itu.

Gadisa mendongak. Mulutnya sedikit terbuka, terkejut pria itu akhirnya bicara padanya setelah selama ini mereka hanya mengangguk sopan ketika berpapasan di rumah ini. Ini pertama kalinya Gadisa mendengar suara pria itu.

“Sama-sama, Pak,” balas Gadisa pada… Dikara Erlangga─suami Miskha Maharini sekaligus ayah Mikairo Erlangga.

Dan… ajaibnya, Dikara tersenyum padanya.

Bab terkait

  • Pesona Gadis Penggoda   6. Bantu Urus Suamiku

    “Aku dapat kabar dari Mona kalau Aric putus dari pelakor itu. Dan ini semua berkat dirimu.”Baru tiba di salon milik Miskha, Gadisa mendapatkan berita terkini mengenai rumah tangga Mona. “Aku ‘kan kemana-mana sama Mbak, apa nantinya nggak jadi masalah, ya, Mbak?” Gadisa meringis, memikirkan kalau-kalau Aric atau wanita yang sampai sekarang tidak Gadisa ketahui identitasnya sebagai selingkuhan Aric itu tahu tentang dirinya.“Aman, Dis.” Miskha menepuk bahu Gadisa lalu meletakkan sekaleng cola di atas meja bundar tepat di hadapan Gadisa sebelum dirinya duduk di kursi yang ada di seberang Gadisa. “Aku sudah kasih tau Mona untuk nggak datang ke pertemuan kami dengan membawa Aric. Dia juga main aman. Lagi pula kamu nggak pernah ketemu pelakornya. Pelakornya itu nggak satu circle sama kami. Jadi aman.”Gadisa mengambil kaleng cola itu dan membukanya. Baguslah kalau begitu. Setidaknya dirinya tidak perlu dihantui ketakutan kalau-kalau identitasnya terbongkar.“Kamu nggak penasaran siapa pelak

  • Pesona Gadis Penggoda   7. Pria Pendiam

    “Ka-kalau makan duduk!” Lanang mencekal tangan adiknya yang mau kabur setelah mencomot perkedel jagung buatan ibu mereka.“Nggak sempat, Mas. Aku sudah ditelpon disuruh ke rumah bos aku,” ucap Gadisa tak jelas sambil mengunyah perkedel di mulutnya.“Ini masih jam enam lewat, Dis. Kenapa pagi-pagi ke rumah bos kamu?” tanya ibu Rike mematikan kompor dan membawa piring berisi oseng buncis dan jagung menuju meja makan kecil mereka.“Papanya Kai harus ke kantor pagi ini, Bu. Jadi bik Lastri minta aku untuk jagain Kai di rumah mereka.” Gadisa meringis. Bik Lastri menghubunginya dan memintanya segera datang ke rumah karena Kai tidak mau lepas dari papanya.“Kai nggak sekolah?” tanya ibu Rike berdiri di depan Gadisa dan membantu melepas pegangan Lanang di pergelangan tangan putrinya itu. Lanang paling tidak suka ada yang makan sambil berdiri. Ini semua sesuai dengan apa yang ia ajarkan sejak kecil dulu.“Masih demam, Bu. Masih lemes, jadi nggak sekolah,” jawab Gadisa.“Terus ibunya mana? Kena

  • Pesona Gadis Penggoda   8. Diantar Pulang

    “Enak nggak?” tanya Gadisa menunggu reaksi Mikairo yang menyantap puding cokelat buatannya.“Enaaaak…” Mikairo mengacungkan jempolnya, tersenyum hingga bola matanya tenggelam dalam iris kelopak monolid itu. Kelopak mata Mikairo sangat mirip dengan milik Dikara, sang ayah. “Nanti kalau sudah habis, buatin lagi ya, Tante,” pinta Mikairo masih dengan jempol yang terangkat setinggi wajahnya.Gadisa mengelus puncak kepala anak laki-laki itu dan mengangguk. “Iya. Nanti Tante buatin lagi. Nanti Tante buatin yang rasa lain,” ucap Gadisa berjanji.“Asiiiik!” seru Mikairo lalu kembali melahap puding cokelat dengan siraman fla vanila di atasnya yang menurutnya sangat enak. “Mama nggak pernah buatin Kai puding. Kata Mama, Mama sibuk,” ucap Mikairo dengan polosnya.Gadisa melirik ke arah bik Lastri yang berada di balik meja dapur. Ucapan Mikairo terdengar hingga ke telinga bik Lastri.“Nanti kalau mama sudah nggak sibuk, mama pasti buatin Kai puding,” ucap bik Lastri berusaha menyenangkan hati Mik

  • Pesona Gadis Penggoda   9. Reaksi Yang Tidak Diharapkan

    Turun dari ojol yang mengantarnya, Gadisa berlari menuju salon milik Miskha. Wajahnya sumringah, secerah cuaca hari ini. Sejak dari rumah tadi saat Miskha menghubunginya karena bosnya itu telah tiba di Jakarta, Gadisa langsung terburu-buru menemui Miskha untuk memberikan surat dari Mikairo. "Mbak Miskha dimana, Ver?" tanya Gadisa pada Vera—karyawan Hera Salon. "Di atas, Dis. Di ruangannya," jawab Vera. Gadisa mengangguk lalu berlari menuju lantai dua. Pukul sepuluh pagi, Hera Salon baru saja dibuka, jadi masih sepi. Biasanya siang sampai malam, salon ini akan ramai karena bisa dibilang, Hera Salon adalah tempat perawatan kecantikan paling terkenal di Jakarta. Bukan hanya karena nama besar Miskha Maharini yang booming semenjak tiga tahun lalu karena video make-upnya yang selalu diikuti para wanita, Hera Salon juga mempekerjakan banyak tenaga profesional bertangan dingin yang selalu membuat klien puas. Menaiki tangga dengan interior mewah, Gadisa tiba di lantai dua dan s

  • Pesona Gadis Penggoda   10. Jangan Ubah Yang Tidak Bisa Diubah

    "Tante minta maaf, Kai." Gadisa mengejar langkah lebar Mikairo yang melewatinya begitu saja usai kecewa karena bukan mamanya yang menjemput. Wajah Mikairo tertekuk. "Tante sudah janji kalau mama sudah baca surat dari Kai, mama langsung jemput Kai." Astaga Gadisa! Kenapa harus berjanji seperti itu? "Maaf, Sayang. Mama lagi sibuk. Mama ada tamu di salon, jadi nggak bisa jemput Kai." Gadisa mengayunkan langkah lebih lebar sampai dirinya berhasil melewati Mikairo dan menghadang langkah anak laki-laki yang memasang wajah super cemberut itu. Bahu Gadisa merosot, menyesali ucapannya kemarin yang mengatakan jika Miskha telah membaca surat dari Mikairo, Miskha pasti akan menjemput Mikairo di sekolah. Dan sepertinya pagi ini, Mikairo telah mendapat kabar bila mamanya akan pulang. Makanya saat keluar dari kelas tadi, Gadisa melihat wajah cerah Mikairo sebelum berubah cemberut saat melihat yang menjemput bukan mamanya. "Mama kenapa nggak jemput?" Mikairo masih tidak teri

  • Pesona Gadis Penggoda   11. Bukan Bermaksud Menguping

    “Mbak Gadis bawa lauk, ya. Sayang lauknya masih banyak,” ucap bik Lastri memandangi ayam rendang dalam mangkuk yang tidak tersentuh sama sekali.Gadisa menggeleng. “Nggak usah, Bik. Pak Dika belum makan.” Gadisa menolak tawaran bik Lastri.“Pak Dika bilang nggak makan, Mbak. Kalau dipanasin juga pasti nggak kemakan besok.“Bibik aja yang makan sama pak Wito.” Gadisa tetap menolak.“Pak Wito sudah makan tadi pakai ayam rendang juga. Masih ada sisanya kok, Mbak, tiga iris ayam kalau nanti ada yang mau makan. Mbak juga tadi Bibik suruh makan pake ayam rendang lebih milih bikin mie.”“Lagi pengen mie, Bik,” ucap Gadisa yang lebih memilih ceplok telur atau makan mie bila berada di rumah mbak Miskha. Bukan apa-apa, Gadisa sungkan makan lauk yang disediakan sementara pemilik rumah saja tidak ada. Atau seperti tadi, pak Dikara tampak sibuk dengan banyak berkas di ruang tengah dan tidak mau disuruh makan. Mana bisa Gadisa menikmati makanan yang disediakan bik Lastri sementara pemilik rumah saj

  • Pesona Gadis Penggoda   12. Kai : Kenapa Mama Sama Papa Berantem?

    “Rotinya kok masih ada?” tanya Gadisa memeriksa wadah bekal Mikairo saat mereka berada di dalam taksi. “Kai tadi nggak makan?” tanya Gadisa lagi karena tidak mendapat tanggapan dari Mikairo.Anak laki-laki itu masih diam, murung.Gadisa menutup tempat bekal, memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing kecil bergambar mobil-mobilan lalu sedikit membungkuk untuk mendapatkan atensi dari Mikairo. “Nggak laper?” tanya Gadisa.Mikairo masih diam. Tidak menjawab sama sekali.Gadisa menghela napas panjang, kembali meluruskan punggungnya dan menatap sedih ke arah Mikairo.Semalam, membawa Mikairo masuk ke dalam kamar, Gadisa melihat Mikairo langsung menutup matanya, berpura-pura tidur dan menghadap ke arah lain. Gadisa serba salah. Ia memilih diam dan mengusap punggung Mikairo selama satu jam penuh sampai ia yakin Mikairo benar-benar tertidur. Dan dalam satu jam itu, tidak ada satupun dari Miskha atau Dikara yang masuk ke kamar Mikairo. Ketika keluar dari rumah tersebut, Gadisa tidak melihat tan

  • Pesona Gadis Penggoda   13. Siapa Bilang Laki-laki Tidak Boleh Menangis?

    Gadisa berdiri celingukan di depan sebuah gedung kantor. Hanya mengetahui jika Dikara bekerja di sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman milik Pradana Grup, Gadisa memberanikan diri datang menemui Dikara di kantor pria itu.Turun dari ojek online dan membenahi rambutnya yang berantakan tertiup angin, Gadisa berkata, “terima kasih, Mas.” Pada pengemudi ojek online tersebut sebelum berlari masuk ke dalam gedung bertingkat tinggi itu.Melewati pintu utama, Gadisa menuju ke meja resepsionis dan berkata, “maaf, Mbak, boleh tanya?”Seorang wanita muda, kira-kira seusianya yang berdandan sangat rapi tersenyum lembut. “Ada yang bisa saya bantu?”Gadisa mengangguk. “Apa di kantor ini ada yang bernama pak Dikara Erlangga?”Wanita muda itu langsung mengangguk dan berkata, “Ada, Mbak. Pak Dikara marketing manager di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu lagi setelah memberikan informasi mengenai pak Dikara Erlangga.“Boleh saya bertemu? Ada hal yang mau saya sampaikan,” ucap Ga

Bab terbaru

  • Pesona Gadis Penggoda   28. Yang Meminta Bekal Juga

    Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se

  • Pesona Gadis Penggoda   27. Mikairo dan Lanang

    "Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b

  • Pesona Gadis Penggoda   26. Kamu Bukan Pengasuh Anak

    "Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel

  • Pesona Gadis Penggoda   25. Masalah Untuk Gadisa

    Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga

  • Pesona Gadis Penggoda   24. Kedatangan Dikara ke Salon

    "Teman Kai banyak?" "Banyak, Pa. Ada Vano, Raka, Farel. Mereka semua baik sama Kai. Kai dipinjemin mainan sama mereka." Mikairo menyebutkan satu persatu teman barunya. "Terus Kai hari ini mau bawa mainan, ya, Pa? Nanti mau Kai pinjemin mainan ke temen-temen Kai." Mikairo asik bercerita di dalam mobil. "Jadi di tas kecil itu mainannya, Kai?" tanya Dikara melirik tas kecil yang tadi dibawa putranya dan diletakkan di kursi belakang. Mikairo mengangguk. "Iya, Pa. Tadi malam Kai siapin mainannya. Tadi, Kai juga bilang sama bibik buat siapin baju Kai. Di tas itu juga ada baju gantinya Kai, Pa. Pulang nanti, Kai mau langsung ke rumah tante Gadis. Biar tante Gadis nggak bolak-balik ke rumah kita." Dikara sampai kaget mendengar celotehan putranya yang begitu bersemangat. Berbeda dengan dua hari sebelumnya dimana dirinya pulang kerja dan mendapati putranya sudah terlelap, tadi malam putranya menyambut dirinya dengan penuh semangat. "Jadi Kai kasihan sama tante Gadis kalau tante Gad

  • Pesona Gadis Penggoda   23. Membawa Kai Ke Rumah

    Mikairo terus memandangi wajah Gadisa. "Kenapa, Kai?" tanya Gadisa yang duduk di ruang tamu rumahnya. "Kai mau nonton apa?" tanya Gadisa memegang remote TV dan menyalakannya. "TV di rumah Tante Gadis nggak besar kayak di rumah Kai. Tapi gambarnya jernih juga, kok." Gadisa terus berbicara sambil mencari chanel yang menyuguhkan tayangan untuk anak-anak. "Kita nonton kartun aja, ya," lanjut Gadisa menemukan tayangan kartun di salah satu chanel. Dan ketika ia menoleh, Mikairo menatap ke arahnya dengan tatapan yang begitu lekat. "Ada apa? Kai nggak suka nonton kartun?" tanya Gadisa kemudian. Mikairo menggeleng. "Suka," jawab Mikairo namun sampai detik anak laki-laki itu bicara, dia terus memandang ke arah Gadisa dan tidak sekalipun menoleh ke arah televisi. Gadisa mengerjap. "Ada apa?" tanya Gadisa mendekatkan dirinya pada Mikairo yang duduk di sebelahnya. "Kai mau makan?" Mikairo menggeleng. "Tante lagi sedih, ya?" tanya Mikairo. "Nggak, kok. Tante nggak lagi s

  • Pesona Gadis Penggoda   22. Kenangan Menyedihkan

    “Memangnya nggak apa-apa kamu bawa ke sini, Dis?” tanya ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya.“Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah ijin sama orang tuanya,” jawab Gadisa duduk di tepi ranjang kecilnya sambil menoleh ke arah snag ibu sebelum kemudian kembali memandangi Mikairo yang tidur di ranjangnya.Iya, di ranjangnya.Menjemput di sekolah, Gadisa masih melihat Mikairo semurung kemarin. Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seperti, “Kai tadi ngapain aja di sekolah?” atau “Tadi Kai bawa bekal apa?” Dijawab seperti biasa, tapi tidak ada ekspresi. Dan setelah menjawab pun, Mikairo banyak diam.Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan apa yang diucapkan Miskha kemarin di restoran junkfood. Setelah ucapan mamanya itu, Mikairo banyak menunduk. Makanannya tetap dihabiskan. Tidak memberontak apalagi merengek meminta mamanya menemaninya bermain.Dan kemarin, ketika tiba di rumah, Mikairo bermain sendiri seperti biasa. Ya, walaupun Gadisa tahu ada yang tak biasa dari Mikairo. Seperti ora

  • Pesona Gadis Penggoda   21. Senyum Indah itu Memudar Dengan Cepat

    “Mama…” Mikairo berlari sumringah ke arah mamanya. “Mama jemput Kai?” Mikairo sampai-sampai tidak percaya bila yang menjemputnya saat ini adalah sang mama. “Kenapa? Nggak senang kalau Mama yang jemput Kai?” tanya Miskha menurunkan kedua kakinya agar tubuhnya sejajar dengan sang putra. Di tempatnya, tepatnya di belakang Miskha, Gadisa tak henti tersenyum melihat Mikairo begitu senang dijemput oleh ibunya. Untuk melihat momen ini, Mikairo menunggu lumayan lama dan Gadisa sendiri harus menahan emosinya agar tidak kelepasan tiap kali memohon pada Miskha untuk menyisihkan waktu demi Mikairo. “Senang,” angguk Mikairo dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya. “Kai senang Mama jemput Kai.” Mikairo maju, memeluk mamanya. Gadisa sampai memegangi dadanya karena tersentuh melihat momen kebersamaan Mikairo dan Miskha. Sederhana sekali keinginan Mikairo, tapi anak laki-laki itu harus menunggu lama sampai keinginannya terwujud. "Kalau gitu, mau makan es krim sama Mama?" t

  • Pesona Gadis Penggoda   20. Berusaha Meluluhkan Miskha Demi Mikairo

    “Kenapa nggak kamu aja, Dis? Saya harus ketemu dengan orang hari ini.”“Miss Adel minta Mbak yang datang langsung. Ada yang mau dibicarakan tentang Kai.” Gadisa mengejar langkah Miskha yang tampak terburu-buru usai menyiapkan salad sayuran di dalam sebuah wadah makan berwarna biru.Pagi ini, Gadisa datang ke rumah Miskha. Tadinya ia mau datang ke salon, tapi ternyata Miskha mengabarkan jika dalam perjalanan pulang ke rumah untuk berganti pakaian karena ingin bertemu dengan seseorang. Jadi Gadisa langsung buru-buru ke rumah Miskha.Semalam Gadisa sudah mengirim chat pada Miskha, sayangnya chat itu tidak dibaca juga. Bahkan sampai dirinya ada di rumah ini, Miskha baru tahu miss Adel ingin bertemu hari ini.“Ya, kamu aja, lah, sana. Nanti sampaikan aja sama aku. Paling juga minta iuran,” jawab Miskha enteng.Gadisa melangkah lebar mengejar Miskha yang menaiki tangga. “Bukan tentang iuran, Mbak. Tapi tentang Kai.”“Iya, paling tentang iuran untuk Kai ‘kan? Apa? Mau beli mainan edukasi kay

DMCA.com Protection Status