Share

5. Mikairo Erlangga

“Nggak mau minum obat!”

Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.

Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”

Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.

Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak anak laki-laki itu membicarakan soal dinosaurus. Dan dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka menjadi teman.

“Tadi pulang sekolah badannya hangat, Mbak. Sudah empat hari ini lesu setiap pulang sekolah, tapi hari ini tadi makin keliatan lesu. Pas Bibik pegang keningnya, panas.” Seorang wanita paruh baya yang telah lama bekerja di rumah keluarga ini memberi laporan pada Gadisa.

Sambil mengusap punggung Mikairo yang naik ke pangkuannya dan memeluknya dengan sangat erat, pandangan Gadisa tertuju pada banyak obat yang ada di atas nakas. “Tadi dibawa periksa?” tanya Gadisa melihat obat-obat yang sepertinya dari dokter itu.

“Tadi Ibu manggil dokter kemari, Mbak. Jadi diperiksa di sini.”

“Ibu Miskha pulang?” tanya Gadisa menoleh ke arah bik Lastri.

Bik Lastri meringis sambil menggeleng. Gadisa tahu jawabannya.

Gadisa mengalihkan pandangannya pada Mikairo yang malang. Sudah enam bulan Gadisa bekerja dengan Miskha Maharini dan sudah lima bulan ia melakukan pekerjaan di luar job desk yang seharusnya, yaitu ikut mengantar dan menjemput Mikairo sekolah, mengajak Mikairo bermain sampai menemani Mikairo hingga ada salah satu dari dua orang tua anak itu yang pulang ke rumah. Dari situ, Gadisa tahu betapa kesepiannya Mikairo.

“Kai udah makan belum?” tanya Gadisa terus mengusap lembut punggung yang terasa panas itu.

“Kai mau disuapin Tante,” lirih Mikairo.

Gadisa langsung menoleh ke arah bik Lastri dan bik Lastri langsung mengangguk mengerti.

Sambil menunggu makanan datang, Gadisa bertanya, “kangen nggak sama Tante?” Karena sudah empat hari ini mereka tidak bertemu sejak Gadisa disibukkan dengan urusan pindah kontrakan.

“Nggak!” jawab Mikairo namun sangat ketus.

Gadisa tersenyum. “Maaf, ya, Tante pindah rumah, jadi nggak bisa jemput dan nemenin Kai main.”

“Kenapa pindah rumah?” Mikairo mengurai pelukannya dan menatap mata Gadisa. “Kai nggak pernah pindah rumah.”

Gadisa makin dibuat tersenyum oleh pertanyaan itu. “Karena ini rumah Kai. Kalau Tante, Tante ‘kan tinggal di rumah punya orang lain. Jadi Tante bisa pindah rumah.”

Kening anak laki-laki itu berkerut. “Jadi Tante nggak punya rumah?”

Gadisa menggeleng. “Nggak punya. Tante punyanya Mikairo,” ucap Gadisa memajukan wajahnya dan mengusap hidungnya ke ujung hidung mungil mancung milik Mikairo.

Anak laki-laki itu terdiam, menatap Gadisa begitu lekat. “Kai juga punyanya Tante. Kai cuma punya Tante,” ucapnya membuat hati Gadisa mencelos dan senyum yang tadi menghiasi wajah Gadisa meredup seketika.

“Nanti kalau sudah besar, terus kerja, Kai beliin Tante rumah, ya? Nanti Kai beliin yang besar kayak rumah ini biar Tante nggak pindah rumah lagi.” Dengan polosnya, Kai berkata demikian.

Gadisa tersenyum getir. Andai ucapan itu ia dengar dari bapaknya, bukan dari anak usia enam tahun, pasti akan jauh membahagiakan.

“Kita ‘kan sudah janji mau beli rumah, Pak. Kenapa uangnya kamu habiskan? Itu uang warisan orang tuaku!” Bukannya membeli rumah, bapaknya justru menghabiskan uang warisan milik ibunya.

Gadisa menggeleng kecil, menghalau rasa sedih yang tiba-tiba hinggap. Lupakan soal bapaknya! Gadisa tidak mau peduli lagi. “Tante tunggu Kai besar terus beliin Tante rumah,” ucap Gadisa tersenyum lalu menoleh ke arah pintu saat bik Lastri datang membawa sepiring nasi dan lauk. “Tapi kalau mau besar harus makan, ya. Nggak boleh nggak makan.”

Bik Lastri tidak heran lagi bila Mikairo sangat menurut pada perintah Gadisa dibanding semua orang yang ada di rumah ini. Itu sebabnya bik Lastri tadi menghubungi Gadisa untuk membantunya mengurus Mikairo yang sedang sakit.

Walau terlihat tak berselera, Mikairo tetap makan dari suapan yang diberikan Gadisa. Sekitar sepuluh suapan, Mikairo akhirnya menyerah. Dengan cekatan Gadisa mengelap bibir Mikairo lalu mengelap kedua tangan Mikairo yang tadi ikut memegang udang goreng dengan tisu basah.

“Sekarang kita minum obat, ya?” Gadisa mendekatkan wajahnya dan menatap mata bulat sayu itu ketika bicara dengan Mikairo untuk mendapat perhatian. Dan selalu berhasil. Apa yang Gadisa katakan mendapat anggukan, membuat bik Lastri tersenyum dan dengan cepat mengambil obat di atas nakas lalu diberikan pada Gadisa.

Ada tiga obat yang harus diminum Mikairo dan semua teratasi dengan mudah setelah Gadisa datang.

“Tante jangan pergi. Di sini sama Kai,” pinta Mikairo dengan wajah seperti ingin menangis.

“Iya, Tante nggak pergi. Tante di sini nemenin Kai,” ucap Gadisa menenangkan Mikairo.

Ia elus puncak kepala itu dengan lembut, lalu seperti biasa, Gadisa menuntun Mikairo membaca doa sebelum tidur dan bersenandung lagu anak-anak sampai akhirnya anak laki-laki itu tertidur pulas sambil menggenggam tangannya.

“Empat hari ini ngomel karena Mbak Gadis nggak ada. Dia marah-marah terus, Mbak. Bibik sudah bilang kalau Mbak Gadis lagi repot, tapi nggak mau tau. Semua barang dibanting sama dia. Dan kayaknya demamnya ini juga karena kangen sama Mbak Gadis.”

Gadisa memandangi wajah lelap itu. Gadisa memang sangat menyukai anak kecil. Apalagi setelah akrab, Mikairo termasuk anak yang sangat pintar dan penurut. “Maafin Tante Gadis, ya, Kai. Tante janji nggak akan ninggalin Kai lama-lama,” ucapnya lalu mengecup kening Mikairo.

Dan di ambang pintu kamar, seorang pria berperawakan tinggi memakai kemeja berdiri di sana. Sudah sekitar lima menit yang lalu dan tidak ada yang menyadari kehadirannya sampai… Gadisa menoleh ke arah pintu dan mata mereka bertemu.

Gadisa perlahan melepaskan genggaman tangan Mikairo lalu bangkit dari tepi ranjang─membiarkan tubuh Mikairo tidak berselimut karena masih tinggi demamnya. Gadisa memutar tubuhnya dan sedikit membungkukkan lehernya ke arah pria yang terlihat lelah itu.

“Terima kasih sudah merawat anak saya,” ucap pria itu.

Gadisa mendongak. Mulutnya sedikit terbuka, terkejut pria itu akhirnya bicara padanya setelah selama ini mereka hanya mengangguk sopan ketika berpapasan di rumah ini. Ini pertama kalinya Gadisa mendengar suara pria itu.

“Sama-sama, Pak,” balas Gadisa pada… Dikara Erlangga─suami Miskha Maharini sekaligus ayah Mikairo Erlangga.

Dan… ajaibnya, Dikara tersenyum padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status