“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”
Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.
“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”
Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.
“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.
“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH UANG ITU HARI INI JUGA! ATAU BOS KAMI AKAN MEMBAWA PUTRIMU. PUTRIMU INI MASIH GADIS ‘KAN?” Pria itu tersenyum menyeringai dengan wajah yang sangat menjijikkan.
Ibu Rike bangkit, menyambar tangan pria yang semakin keras menjambak rambut putrinya. “AKU BISA MELAPORKAN KALIAN KE POLISI!” ancam ibu Rike berusaha melepaskan tangan pria itu dari rambut putrinya.
Pria dengan luka codet di dagunya dan rambut gimbal itu menyeringai. “Sebelum kamu melakukannya, bos kami akan membawa putrimu ini dan menjualnya.” Tatapan pria itu nyalang, persis binatang.
Tangisan ibu Rike tidak mampu membuat pria berwajah mengerikan itu memberinya belas kasih. Begitu pun dengan para tetangga yang hanya menonton dari kejauhan. Tidak ada satu pun dari mereka yang tergugah untuk membantu keluarganya.
Dari dalam rumah, suara barang dilempar semakin terdengar nyaring. Seorang pria membawa TV tabung jadul dari dalam rumah dan berkata, “mereka cuma punya TV jadul ini dan kulkas tua. Paling harga dua barang ini nggak sampai sejuta.”
Pria dengan luka codet di dagu itu melepaskan tangannya dan mendorong kepala Gadisa Asmarini, wanita malang yang merupakan putri ibu Rike. “Nggak berguna!”
“Maafin Ibu, Nak. Maaf…” tangis ibu Rike semakin menjadi. Ia menyentuh kedua pipi putrinya dengan tangan gemetar, namun… putrinya hanya diam, tidak berteriak, tidak menangis dan tidak berkata apapun.
Tak lama dua pria itu keluar dari dalam rumahnya sambil mengangkat kulkas tua milik mereka. Lalu pria bertopi berkata, “Ingat! Malam ini kalian harus melunasi hutang kalian atau kami akan membakar rumah kontrakan ini!” ancam pria bertopi sebelum mengajak temannya untuk pergi meninggalkan rumah ibu Rike.
Gadisa hanya diam, mematung di tempatnya. Riuh berbisik terdengar sampai ke telinganya. Apalagi kalau bukan tetangganya yang bergunjing.
Seperti mayat hidup, Gadisa masuk ke dalam rumah kontrakkan mungil mereka usai menatap nanar meja dagangan ibunya yang ludes tak bersisa. Semua yang ada di atas meja itu ditumpah, padahal mereka baru saja mengeluarkan dagangan mereka.
Masuk ke dalam rumah dan menggeser barang-barang berserakan, Gadisa merosot jatuh terduduk di lantai. Matanya masih menatap nanar, bingung ingin mengeluh seperti apa lagi pada Tuhan. Bingung menyusun kalimat keluhan atas apa yang terjadi padanya juga ibunya.
“Ibu minta maaf…” Ibu Rike jatuh terduduk di samping putrinya, memegang lengan kecil putrinya yang menatap kosong ke depan. Rambut putrinya acak-acakan. Di sudut bibir itu luka, sedikit berdarah akibat tamparan pria tadi.
“Ibu nggak bilang kalau mereka datang lagi,” lirih Gadisa tidak bertenaga.
“Ibu nggak mau kamu kepikiran.” Ibu Rike tertunduk, hanya bisa menangis.
“Ini rumah kontrakkan baru kita, Bu. Kita sudah janji mau bahagia. Masa kita harus pindah lagi, Bu?” suara Gadisa semakin lirih, serak.
Baru empat bulan mereka pindah ke rumah ini. Baru empat bulan hidup mereka tenang tanpa dikejar-kejar oleh rentenir dan baru empat bulan mereka lega tidak mendengar suara memaki dan tindakan mengerikan dari dua debt collector itu.
“Mereka datang sebulan lalu. Ibu nggak tau mereka dapat alamat kita dari mana. Ibu juga kaget kenapa mereka datang lagi.” Isakan ibu Rike semakin pilu. “Maafkan Ibu, Nak. Maaf membuatmu selalu susah.”
“Berapa uang yang dipinjam bapak ke rentenir itu?” Siapa lagi yang meminjam kalau bukan bapaknya. Siapa lagi orang yang selalu membuat hidupnya menderita kalau bukan bapak kandungnya sendiri.
“Dua belas juta. Mereka bilang bapakmu baru bisa bayar dua juta. Dan sekarang bapak kamu menghilang. Itu makanya mereka datang kemari.” Ibu Rike sudah muak dengan mantan suaminya itu. Sudah tiga tahun ini mereka pisah dan memutuskan bercerai karena sifat pak Roni yang tidak pernah berubah. Selalu berjudi, mabuk dan suka main perempuan.
Namun anehnya, setelah bercerai hidup ibu Rike tidak pernah tenang. Mantan suaminya itu selalu membebankan hutang-hutangnya pada anak gadisnya.
“Ibu harusnya nggak pernah menikahi pria seperti itu. Harusnya Ibu memilih pria baik untuk Ibu nikahi,” lirih Gadisa. Hatinya sakit, terluka, marah dan kecewa atas apa yang dilakukan bapaknya. Tidak pantas disebut bapak karena pak Roni begitu ringan tangan pada anak-anaknya. “Kenapa Tuhan sebaik itu menahan bapak di dunia ini? Kenapa nggak cepat dijemput aja, Bu. Biar kita bebas.” Gadisa terlalu kecewa. Tidak lagi memikirkan apa itu anak durhaka, ia ingin bapaknya cepat mati agar hidupnya tenang.
“Kamu nggak boleh bilang begitu.” Ibu Rike mengusap air matanya. Satu tangannya lalu terulur, mencoba menyentuh pipi putrinya.
“Ibu terlalu naif. Manusia seperti itu harus kita benci, Bu. Aku nggak durhaka hanya karena melawan manusia yang nggak pantas disebut bapak. Dia nggak pernah tanggung jawab sama kita. Taunya hanya judi, mabuk dan menyusahkan kita.” Bibir Gadisa bergetar. “Kenapa aku nggak punya bapak seperti yang lain, Bu? Yang sayang sama anaknya, yang perhatian, yang bisa dijadikan tumpuan.”
Ibu Rike menyambar tubuh putrinya, memeluk putrinya dengan erat. Gadis berusia 22 tahun itu harus menjalani takdir yang mengerikan. “Jangan pikirkan hutang bapakmu. Ibu akan berusaha mendapatkan uangnya. Ibu akan meminjamnya pada budhe Nur. Budhe mu pasti akan membantu kita.”
Gadisa mendengkus, perlahan menjauhkan tubuhnya dari pelukan ibunya. “Apa Ibu mau dihina lagi sama keluarga budhe? Apa Ibu mau dicaci maki oleh mereka lagi?” Gadisa menggeleng. “Ibu jangan ke sana. Aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aku akan melakukan apapun dan pasti akan mendapatkan uang itu malam ini juga.”
“Gimana caranya, Nak?”
***
Gadisa melamun di depan cermin. Sudut bibirnya yang terluka tertutupi oleh cushion pemberian bosnya. Gadisa menarik napas panjang, merapikan rambutnya lalu dengan cepat menyambar tas yang ia taruh di area wastafel ketika salah satu pintu dari beberapa bilik di toilet itu terbuka.
Gadisa membalikkan tubuhnya, menunggu seorang wanita cantik berwajah kalem mendekat. “Kamu sudah makan?” tanya wanita bernama Miskha Maharini─bos Gadisa.
“Sudah, Mbak,” jawab Gadisa dengan anggukan kecil. Ia berbohong. Dirinya belum makan.
Miskha menyipit. “Yakin?”
Gadisa mengangguk. Ia tidak enak bila harus ditraktir makanan enak oleh bosnya. Miskha terlalu baik padanya. “Sudah kok, Mbak,” jawab Gadisa sedikit gugup.
“Oke… tapi kamu tetap harus temani aku sampai acara selesai. Aku nggak mau di sini sendirian.”
Gadisa mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya dan semakin gugup. Bagaimana caranya mengatakan keinginannya untuk meminjam uang pada Miskha?
Miskha mengerutkan kening melihat Gadisa yang tampak aneh sore ini. “Ada apa, Dis?”
Gadisa menggeleng, ragu mengatakan keinginannya.
“Ada apa, Dis? Bilang aja,” ucap Miskha.
Gadisa membasahi bibirnya. “Mbak, apa aku boleh pinjam uang?” ucap Gadisa gugup dengan kedua tangan meremas tali tas milik Miskha yang dipegangnya.
“Berapa?” tanya Miskha.
“Sepuluh juta, Mbak.” Gadisa meringis.
“Buat apa, Dis? Kamu nggak kelilit pinjol ‘kan?” tanya Miskha khawatir.
Gadisa menggeleng. “Nggak, Mbak. Ada sedikit masalah,” jawab Gadisa tidak dapat memberitahu secara gamblang karena terlalu malu.
Miskha terdiam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu… “Aku bisa kasih kamu. Tapi dari pada nanti kamu bingung ngembaliin atau potong gaji kamu, gimana kalau kamu bantu Mona?”
“Bantu mbak Mona?” tanya Gadisa mengerutkan kening.
Miskha menggangguk. “Mona lagi butuh bantuan. Dia butuh seseorang untuk melakukan sesuatu. Apa kamu mau? Dia bilang, dia akan berikan berapa pun asal berhasil.”
Gadisa diam sejenak.
“Gimana? Mau?” tanya Miskha.
Gadisa mengangguk. “Mau, Mbak. Apapun itu, aku mau.” Pasti hanya pekerjaan mudah.
Namun ternyata…
“Tolong goda suamiku.”Gadisa melirik ke arah Miskha yang duduk di meja berbeda dengannya. Sontak, ia mengalihkan pandangannya karena terlalu terkejut mendengar permintaan wanita putus asa di hadapannya.“Dis, aku mohon,” lirih Mona, wanita berusia 29 tahun yang merupakan salah satu anggota geng CanDa (Cantik menggoDa)─geng para influencer cantik yang masing-masing memiliki bisnis peribadi─yang sangat terkenal di kalangan masyarakat.Ini pertama kalinya Gadisa melihat tangisan seorang Mona Aleandra yang selama ini ia kagumi karena kecantikan Mona yang menurutnya sangat tidak masuk akal.“Aku nggak tau harus minta tolong siapa lagi, Dis. Aric nggak kenal sama kamu, dia nggak pernah melihatmu dan aku yakin dia akan sangat tergoda karena kecantikanmu.” Satu tangan Mona menyambar tangan Gadisa yang berada di atas meja, meremasnya dengan kuat seolah takut Gadisa hilang.Mulut Gadisa hanya bisa terbuka, kalimat yang berdesakkan di ujung lidahnya tidak dapat ia ucapkan. Permintaan Mona terla
Ia seperti melihat orang lain. Lipstick merah menyala, dress ketat yang mempertontonkan bagian bahunya, juga perhiasan mahal yang menempel di telinga, jari dan yang melingkar di lehernya.Semua skenario diurus oleh Mona dan Miskha. Ia hanya perlu melakukan tugasnya malam ini setelah kemarin ia mendapatkan bayaran dimuka dan langsung ia bayarkan pada dua debt collector itu.“Kamu dapat uang dari mana, Dis?” Pertanyaan tersebut terus menerus ditanyakan ibunya. Namun Gadisa sampai detik ini tidak menjawab. Mana bisa ia mengatakan jika ia menjadi gadis penggoda. Ibunya pasti akan marah. Apalagi menurut ibunya, seorang wanita tidak boleh mengganggu hubungan rumah tangga orang lain.Pandangannya kemudian turun ke arah kemeja putih yang ada di tangannya. Kemeja dengan bekas tumpahan kopi yang sedang coba ia bersihkan.“Aaaaahhh… maaf…” Gadisa menutup mulutnya dengan satu tangannya. Memasang ekspresi kaget saat es americano miliknya tumpah mengenai kemeja seorang pria.Tangan pria itu menahan
“Boleh minta tolong langsung bawa ke dapur, Pak?” “Baik, Mbak.” Dua orang pria mengangkut box berisi kulkas satu pintu yang baru saja dibeli oleh Gadisa. Senyum Gadisa mengembang. Uang bayaran membantu Mona Aleandra baru saja ditransfer sisanya tadi malam setelah Mona memastikan bahwa video dari rekaman kamera yang disebar di apartemen itu berhasil membuat Aric dan pelakor itu putus. Gadisa tidak bertanya panjang lebar tentang bagaimana Mona bisa mengetahui bahwa Aric dan wanita pelakor itu putus. Ia hanya dikabari demikian dan sama sekali tidak tertarik lebih jauh. Sudah lima hari pasca dirinya melakukan pekerjaan yang cukup sekali saja ia lakukan dalam hidupnya dan Gadisa tidak akan pernah mau melakukannya lagi. Kehidupannya sudah kembali normal. Lagi-lagi berpindah rumah ke daerah Jakarta pusat yang sedikit lebih jauh dari kontrakan sebelumnya dan tidak memberitahu siapapun kemana mereka pindah, Gadisa kini bisa bernapas lega. “Makasih banyak, Pak,” ucap Gadisa ketika satu lagi
“Nggak mau minum obat!”Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak an
“Aku dapat kabar dari Mona kalau Aric putus dari pelakor itu. Dan ini semua berkat dirimu.”Baru tiba di salon milik Miskha, Gadisa mendapatkan berita terkini mengenai rumah tangga Mona. “Aku ‘kan kemana-mana sama Mbak, apa nantinya nggak jadi masalah, ya, Mbak?” Gadisa meringis, memikirkan kalau-kalau Aric atau wanita yang sampai sekarang tidak Gadisa ketahui identitasnya sebagai selingkuhan Aric itu tahu tentang dirinya.“Aman, Dis.” Miskha menepuk bahu Gadisa lalu meletakkan sekaleng cola di atas meja bundar tepat di hadapan Gadisa sebelum dirinya duduk di kursi yang ada di seberang Gadisa. “Aku sudah kasih tau Mona untuk nggak datang ke pertemuan kami dengan membawa Aric. Dia juga main aman. Lagi pula kamu nggak pernah ketemu pelakornya. Pelakornya itu nggak satu circle sama kami. Jadi aman.”Gadisa mengambil kaleng cola itu dan membukanya. Baguslah kalau begitu. Setidaknya dirinya tidak perlu dihantui ketakutan kalau-kalau identitasnya terbongkar.“Kamu nggak penasaran siapa pelak
“Ka-kalau makan duduk!” Lanang mencekal tangan adiknya yang mau kabur setelah mencomot perkedel jagung buatan ibu mereka.“Nggak sempat, Mas. Aku sudah ditelpon disuruh ke rumah bos aku,” ucap Gadisa tak jelas sambil mengunyah perkedel di mulutnya.“Ini masih jam enam lewat, Dis. Kenapa pagi-pagi ke rumah bos kamu?” tanya ibu Rike mematikan kompor dan membawa piring berisi oseng buncis dan jagung menuju meja makan kecil mereka.“Papanya Kai harus ke kantor pagi ini, Bu. Jadi bik Lastri minta aku untuk jagain Kai di rumah mereka.” Gadisa meringis. Bik Lastri menghubunginya dan memintanya segera datang ke rumah karena Kai tidak mau lepas dari papanya.“Kai nggak sekolah?” tanya ibu Rike berdiri di depan Gadisa dan membantu melepas pegangan Lanang di pergelangan tangan putrinya itu. Lanang paling tidak suka ada yang makan sambil berdiri. Ini semua sesuai dengan apa yang ia ajarkan sejak kecil dulu.“Masih demam, Bu. Masih lemes, jadi nggak sekolah,” jawab Gadisa.“Terus ibunya mana? Kena
“Enak nggak?” tanya Gadisa menunggu reaksi Mikairo yang menyantap puding cokelat buatannya.“Enaaaak…” Mikairo mengacungkan jempolnya, tersenyum hingga bola matanya tenggelam dalam iris kelopak monolid itu. Kelopak mata Mikairo sangat mirip dengan milik Dikara, sang ayah. “Nanti kalau sudah habis, buatin lagi ya, Tante,” pinta Mikairo masih dengan jempol yang terangkat setinggi wajahnya.Gadisa mengelus puncak kepala anak laki-laki itu dan mengangguk. “Iya. Nanti Tante buatin lagi. Nanti Tante buatin yang rasa lain,” ucap Gadisa berjanji.“Asiiiik!” seru Mikairo lalu kembali melahap puding cokelat dengan siraman fla vanila di atasnya yang menurutnya sangat enak. “Mama nggak pernah buatin Kai puding. Kata Mama, Mama sibuk,” ucap Mikairo dengan polosnya.Gadisa melirik ke arah bik Lastri yang berada di balik meja dapur. Ucapan Mikairo terdengar hingga ke telinga bik Lastri.“Nanti kalau mama sudah nggak sibuk, mama pasti buatin Kai puding,” ucap bik Lastri berusaha menyenangkan hati Mik
Turun dari ojol yang mengantarnya, Gadisa berlari menuju salon milik Miskha. Wajahnya sumringah, secerah cuaca hari ini. Sejak dari rumah tadi saat Miskha menghubunginya karena bosnya itu telah tiba di Jakarta, Gadisa langsung terburu-buru menemui Miskha untuk memberikan surat dari Mikairo. "Mbak Miskha dimana, Ver?" tanya Gadisa pada Vera—karyawan Hera Salon. "Di atas, Dis. Di ruangannya," jawab Vera. Gadisa mengangguk lalu berlari menuju lantai dua. Pukul sepuluh pagi, Hera Salon baru saja dibuka, jadi masih sepi. Biasanya siang sampai malam, salon ini akan ramai karena bisa dibilang, Hera Salon adalah tempat perawatan kecantikan paling terkenal di Jakarta. Bukan hanya karena nama besar Miskha Maharini yang booming semenjak tiga tahun lalu karena video make-upnya yang selalu diikuti para wanita, Hera Salon juga mempekerjakan banyak tenaga profesional bertangan dingin yang selalu membuat klien puas. Menaiki tangga dengan interior mewah, Gadisa tiba di lantai dua dan s