Share

Pesona Gadis Penggoda
Pesona Gadis Penggoda
Penulis: Puspa Ayu

1. Penagih Hutang

Penulis: Puspa Ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”

Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.

“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”

Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.

“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.

“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH UANG ITU HARI INI JUGA! ATAU BOS KAMI AKAN MEMBAWA PUTRIMU. PUTRIMU INI MASIH GADIS ‘KAN?” Pria itu tersenyum menyeringai dengan wajah yang sangat menjijikkan.

Ibu Rike bangkit, menyambar tangan pria yang semakin keras menjambak rambut putrinya. “AKU BISA MELAPORKAN KALIAN KE POLISI!” ancam ibu Rike berusaha melepaskan tangan pria itu dari rambut putrinya.

Pria dengan luka codet di dagunya dan rambut gimbal itu menyeringai. “Sebelum kamu melakukannya, bos kami akan membawa putrimu ini dan menjualnya.” Tatapan pria itu nyalang, persis binatang.

Tangisan ibu Rike tidak mampu membuat pria berwajah mengerikan itu memberinya belas kasih. Begitu pun dengan para tetangga yang hanya menonton dari kejauhan. Tidak ada satu pun dari mereka yang tergugah untuk membantu keluarganya.

Dari dalam rumah, suara barang dilempar semakin terdengar nyaring. Seorang pria membawa TV tabung jadul dari dalam rumah dan berkata, “mereka cuma punya TV jadul ini dan kulkas tua. Paling harga dua barang ini nggak sampai sejuta.”

Pria dengan luka codet di dagu itu melepaskan tangannya dan mendorong kepala Gadisa Asmarini, wanita malang yang merupakan putri ibu Rike. “Nggak berguna!”

“Maafin Ibu, Nak. Maaf…” tangis ibu Rike semakin menjadi. Ia menyentuh kedua pipi putrinya dengan tangan gemetar, namun… putrinya hanya diam, tidak berteriak, tidak menangis dan tidak berkata apapun.

Tak lama dua pria itu keluar dari dalam rumahnya sambil mengangkat kulkas tua milik mereka. Lalu pria bertopi berkata, “Ingat! Malam ini kalian harus melunasi hutang kalian atau kami akan membakar rumah kontrakan ini!” ancam pria bertopi sebelum mengajak temannya untuk pergi meninggalkan rumah ibu Rike.

Gadisa hanya diam, mematung di tempatnya. Riuh berbisik terdengar sampai ke telinganya. Apalagi kalau bukan tetangganya yang bergunjing.

Seperti mayat hidup, Gadisa masuk ke dalam rumah kontrakkan mungil mereka usai menatap nanar meja dagangan ibunya yang ludes tak bersisa. Semua yang ada di atas meja itu ditumpah, padahal mereka baru saja mengeluarkan dagangan mereka.

Masuk ke dalam rumah dan menggeser barang-barang berserakan, Gadisa merosot jatuh terduduk di lantai. Matanya masih menatap nanar, bingung ingin mengeluh seperti apa lagi pada Tuhan. Bingung menyusun kalimat keluhan atas apa yang terjadi padanya juga ibunya.

“Ibu minta maaf…” Ibu Rike jatuh terduduk di samping putrinya, memegang lengan kecil putrinya yang menatap kosong ke depan. Rambut putrinya acak-acakan. Di sudut bibir itu luka, sedikit berdarah akibat tamparan pria tadi.

“Ibu nggak bilang kalau mereka datang lagi,” lirih Gadisa tidak bertenaga.

“Ibu nggak mau kamu kepikiran.” Ibu Rike tertunduk, hanya bisa menangis.

“Ini rumah kontrakkan baru kita, Bu. Kita sudah janji mau bahagia. Masa kita harus pindah lagi, Bu?” suara Gadisa semakin lirih, serak.

Baru empat bulan mereka pindah ke rumah ini. Baru empat bulan hidup mereka tenang tanpa dikejar-kejar oleh rentenir dan baru empat bulan mereka lega tidak mendengar suara memaki dan tindakan mengerikan dari dua debt collector itu.

“Mereka datang sebulan lalu. Ibu nggak tau mereka dapat alamat kita dari mana. Ibu juga kaget kenapa mereka datang lagi.” Isakan ibu Rike semakin pilu. “Maafkan Ibu, Nak. Maaf membuatmu selalu susah.”

“Berapa uang yang dipinjam bapak ke rentenir itu?” Siapa lagi yang meminjam kalau bukan bapaknya. Siapa lagi orang yang selalu membuat hidupnya menderita kalau bukan bapak kandungnya sendiri.

“Dua belas juta. Mereka bilang bapakmu baru bisa bayar dua juta. Dan sekarang bapak kamu menghilang. Itu makanya mereka datang kemari.” Ibu Rike sudah muak dengan mantan suaminya itu. Sudah tiga tahun ini mereka pisah dan memutuskan bercerai karena sifat pak Roni yang tidak pernah berubah. Selalu berjudi, mabuk dan suka main perempuan.

Namun anehnya, setelah bercerai hidup ibu Rike tidak pernah tenang. Mantan suaminya itu selalu membebankan hutang-hutangnya pada anak gadisnya.

“Ibu harusnya nggak pernah menikahi pria seperti itu. Harusnya Ibu memilih pria baik untuk Ibu nikahi,” lirih Gadisa. Hatinya sakit, terluka, marah dan kecewa atas apa yang dilakukan bapaknya. Tidak pantas disebut bapak karena pak Roni begitu ringan tangan pada anak-anaknya. “Kenapa Tuhan sebaik itu menahan bapak di dunia ini? Kenapa nggak cepat dijemput aja, Bu. Biar kita bebas.” Gadisa terlalu kecewa. Tidak lagi memikirkan apa itu anak durhaka, ia ingin bapaknya cepat mati agar hidupnya tenang.

“Kamu nggak boleh bilang begitu.” Ibu Rike mengusap air matanya. Satu tangannya lalu terulur, mencoba menyentuh pipi putrinya.

“Ibu terlalu naif. Manusia seperti itu harus kita benci, Bu. Aku nggak durhaka hanya karena melawan manusia yang nggak pantas disebut bapak. Dia nggak pernah tanggung jawab sama kita. Taunya hanya judi, mabuk dan menyusahkan kita.” Bibir Gadisa bergetar. “Kenapa aku nggak punya bapak seperti yang lain, Bu? Yang sayang sama anaknya, yang perhatian, yang bisa dijadikan tumpuan.”

Ibu Rike menyambar tubuh putrinya, memeluk putrinya dengan erat. Gadis berusia 22 tahun itu harus menjalani takdir yang mengerikan. “Jangan pikirkan hutang bapakmu. Ibu akan berusaha mendapatkan uangnya. Ibu akan meminjamnya pada budhe Nur. Budhe mu pasti akan membantu kita.”

Gadisa mendengkus, perlahan menjauhkan tubuhnya dari pelukan ibunya. “Apa Ibu mau dihina lagi sama keluarga budhe? Apa Ibu mau dicaci maki oleh mereka lagi?” Gadisa menggeleng. “Ibu jangan ke sana. Aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aku akan melakukan apapun dan pasti akan mendapatkan uang itu malam ini juga.”

“Gimana caranya, Nak?”

***

Gadisa melamun di depan cermin. Sudut bibirnya yang terluka tertutupi oleh cushion pemberian bosnya. Gadisa menarik napas panjang, merapikan rambutnya lalu dengan cepat menyambar tas yang ia taruh di area wastafel ketika salah satu pintu dari beberapa bilik di toilet itu terbuka.

Gadisa membalikkan tubuhnya, menunggu seorang wanita cantik berwajah kalem mendekat. “Kamu sudah makan?” tanya wanita bernama Miskha Maharini─bos Gadisa.

“Sudah, Mbak,” jawab Gadisa dengan anggukan kecil. Ia berbohong. Dirinya belum makan.

Miskha menyipit. “Yakin?”

Gadisa mengangguk. Ia tidak enak bila harus ditraktir makanan enak oleh bosnya. Miskha terlalu baik padanya. “Sudah kok, Mbak,” jawab Gadisa sedikit gugup.

“Oke… tapi kamu tetap harus temani aku sampai acara selesai. Aku nggak mau di sini sendirian.”

Gadisa mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya dan semakin gugup. Bagaimana caranya mengatakan keinginannya untuk meminjam uang pada Miskha?

Miskha mengerutkan kening melihat Gadisa yang tampak aneh sore ini. “Ada apa, Dis?”

Gadisa menggeleng, ragu mengatakan keinginannya.

“Ada apa, Dis? Bilang aja,” ucap Miskha.

Gadisa membasahi bibirnya. “Mbak, apa aku boleh pinjam uang?” ucap Gadisa gugup dengan kedua tangan meremas tali tas milik Miskha yang dipegangnya.

“Berapa?” tanya Miskha.

“Sepuluh juta, Mbak.” Gadisa meringis.

“Buat apa, Dis? Kamu nggak kelilit pinjol ‘kan?” tanya Miskha khawatir.

Gadisa menggeleng. “Nggak, Mbak. Ada sedikit masalah,” jawab Gadisa tidak dapat memberitahu secara gamblang karena terlalu malu.

Miskha terdiam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu… “Aku bisa kasih kamu. Tapi dari pada nanti kamu bingung ngembaliin atau potong gaji kamu, gimana kalau kamu bantu Mona?”

“Bantu mbak Mona?” tanya Gadisa mengerutkan kening.

Miskha menggangguk. “Mona lagi butuh bantuan. Dia butuh seseorang untuk melakukan sesuatu. Apa kamu mau? Dia bilang, dia akan berikan berapa pun asal berhasil.”

Gadisa diam sejenak.

“Gimana? Mau?” tanya Miskha.

Gadisa mengangguk. “Mau, Mbak. Apapun itu, aku mau.” Pasti hanya pekerjaan mudah.

Namun ternyata…

Komen (2)
goodnovel comment avatar
ragil Oni
halo halo bulur,,baru Nemu nih,,semngat y,,
goodnovel comment avatar
Poernama
aku hadir othor puspa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pesona Gadis Penggoda   2. Tolong Goda Suamiku!

    “Tolong goda suamiku.”Gadisa melirik ke arah Miskha yang duduk di meja berbeda dengannya. Sontak, ia mengalihkan pandangannya karena terlalu terkejut mendengar permintaan wanita putus asa di hadapannya.“Dis, aku mohon,” lirih Mona, wanita berusia 29 tahun yang merupakan salah satu anggota geng CanDa (Cantik menggoDa)─geng para influencer cantik yang masing-masing memiliki bisnis peribadi─yang sangat terkenal di kalangan masyarakat.Ini pertama kalinya Gadisa melihat tangisan seorang Mona Aleandra yang selama ini ia kagumi karena kecantikan Mona yang menurutnya sangat tidak masuk akal.“Aku nggak tau harus minta tolong siapa lagi, Dis. Aric nggak kenal sama kamu, dia nggak pernah melihatmu dan aku yakin dia akan sangat tergoda karena kecantikanmu.” Satu tangan Mona menyambar tangan Gadisa yang berada di atas meja, meremasnya dengan kuat seolah takut Gadisa hilang.Mulut Gadisa hanya bisa terbuka, kalimat yang berdesakkan di ujung lidahnya tidak dapat ia ucapkan. Permintaan Mona terla

  • Pesona Gadis Penggoda   3. Dia Menggoda Suami Orang

    Ia seperti melihat orang lain. Lipstick merah menyala, dress ketat yang mempertontonkan bagian bahunya, juga perhiasan mahal yang menempel di telinga, jari dan yang melingkar di lehernya.Semua skenario diurus oleh Mona dan Miskha. Ia hanya perlu melakukan tugasnya malam ini setelah kemarin ia mendapatkan bayaran dimuka dan langsung ia bayarkan pada dua debt collector itu.“Kamu dapat uang dari mana, Dis?” Pertanyaan tersebut terus menerus ditanyakan ibunya. Namun Gadisa sampai detik ini tidak menjawab. Mana bisa ia mengatakan jika ia menjadi gadis penggoda. Ibunya pasti akan marah. Apalagi menurut ibunya, seorang wanita tidak boleh mengganggu hubungan rumah tangga orang lain.Pandangannya kemudian turun ke arah kemeja putih yang ada di tangannya. Kemeja dengan bekas tumpahan kopi yang sedang coba ia bersihkan.“Aaaaahhh… maaf…” Gadisa menutup mulutnya dengan satu tangannya. Memasang ekspresi kaget saat es americano miliknya tumpah mengenai kemeja seorang pria.Tangan pria itu menahan

  • Pesona Gadis Penggoda   4. Halalkah?

    “Boleh minta tolong langsung bawa ke dapur, Pak?” “Baik, Mbak.” Dua orang pria mengangkut box berisi kulkas satu pintu yang baru saja dibeli oleh Gadisa. Senyum Gadisa mengembang. Uang bayaran membantu Mona Aleandra baru saja ditransfer sisanya tadi malam setelah Mona memastikan bahwa video dari rekaman kamera yang disebar di apartemen itu berhasil membuat Aric dan pelakor itu putus. Gadisa tidak bertanya panjang lebar tentang bagaimana Mona bisa mengetahui bahwa Aric dan wanita pelakor itu putus. Ia hanya dikabari demikian dan sama sekali tidak tertarik lebih jauh. Sudah lima hari pasca dirinya melakukan pekerjaan yang cukup sekali saja ia lakukan dalam hidupnya dan Gadisa tidak akan pernah mau melakukannya lagi. Kehidupannya sudah kembali normal. Lagi-lagi berpindah rumah ke daerah Jakarta pusat yang sedikit lebih jauh dari kontrakan sebelumnya dan tidak memberitahu siapapun kemana mereka pindah, Gadisa kini bisa bernapas lega. “Makasih banyak, Pak,” ucap Gadisa ketika satu lagi

  • Pesona Gadis Penggoda   5. Mikairo Erlangga

    “Nggak mau minum obat!”Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak an

  • Pesona Gadis Penggoda   6. Bantu Urus Suamiku

    “Aku dapat kabar dari Mona kalau Aric putus dari pelakor itu. Dan ini semua berkat dirimu.”Baru tiba di salon milik Miskha, Gadisa mendapatkan berita terkini mengenai rumah tangga Mona. “Aku ‘kan kemana-mana sama Mbak, apa nantinya nggak jadi masalah, ya, Mbak?” Gadisa meringis, memikirkan kalau-kalau Aric atau wanita yang sampai sekarang tidak Gadisa ketahui identitasnya sebagai selingkuhan Aric itu tahu tentang dirinya.“Aman, Dis.” Miskha menepuk bahu Gadisa lalu meletakkan sekaleng cola di atas meja bundar tepat di hadapan Gadisa sebelum dirinya duduk di kursi yang ada di seberang Gadisa. “Aku sudah kasih tau Mona untuk nggak datang ke pertemuan kami dengan membawa Aric. Dia juga main aman. Lagi pula kamu nggak pernah ketemu pelakornya. Pelakornya itu nggak satu circle sama kami. Jadi aman.”Gadisa mengambil kaleng cola itu dan membukanya. Baguslah kalau begitu. Setidaknya dirinya tidak perlu dihantui ketakutan kalau-kalau identitasnya terbongkar.“Kamu nggak penasaran siapa pelak

  • Pesona Gadis Penggoda   7. Pria Pendiam

    “Ka-kalau makan duduk!” Lanang mencekal tangan adiknya yang mau kabur setelah mencomot perkedel jagung buatan ibu mereka.“Nggak sempat, Mas. Aku sudah ditelpon disuruh ke rumah bos aku,” ucap Gadisa tak jelas sambil mengunyah perkedel di mulutnya.“Ini masih jam enam lewat, Dis. Kenapa pagi-pagi ke rumah bos kamu?” tanya ibu Rike mematikan kompor dan membawa piring berisi oseng buncis dan jagung menuju meja makan kecil mereka.“Papanya Kai harus ke kantor pagi ini, Bu. Jadi bik Lastri minta aku untuk jagain Kai di rumah mereka.” Gadisa meringis. Bik Lastri menghubunginya dan memintanya segera datang ke rumah karena Kai tidak mau lepas dari papanya.“Kai nggak sekolah?” tanya ibu Rike berdiri di depan Gadisa dan membantu melepas pegangan Lanang di pergelangan tangan putrinya itu. Lanang paling tidak suka ada yang makan sambil berdiri. Ini semua sesuai dengan apa yang ia ajarkan sejak kecil dulu.“Masih demam, Bu. Masih lemes, jadi nggak sekolah,” jawab Gadisa.“Terus ibunya mana? Kena

  • Pesona Gadis Penggoda   8. Diantar Pulang

    “Enak nggak?” tanya Gadisa menunggu reaksi Mikairo yang menyantap puding cokelat buatannya.“Enaaaak…” Mikairo mengacungkan jempolnya, tersenyum hingga bola matanya tenggelam dalam iris kelopak monolid itu. Kelopak mata Mikairo sangat mirip dengan milik Dikara, sang ayah. “Nanti kalau sudah habis, buatin lagi ya, Tante,” pinta Mikairo masih dengan jempol yang terangkat setinggi wajahnya.Gadisa mengelus puncak kepala anak laki-laki itu dan mengangguk. “Iya. Nanti Tante buatin lagi. Nanti Tante buatin yang rasa lain,” ucap Gadisa berjanji.“Asiiiik!” seru Mikairo lalu kembali melahap puding cokelat dengan siraman fla vanila di atasnya yang menurutnya sangat enak. “Mama nggak pernah buatin Kai puding. Kata Mama, Mama sibuk,” ucap Mikairo dengan polosnya.Gadisa melirik ke arah bik Lastri yang berada di balik meja dapur. Ucapan Mikairo terdengar hingga ke telinga bik Lastri.“Nanti kalau mama sudah nggak sibuk, mama pasti buatin Kai puding,” ucap bik Lastri berusaha menyenangkan hati Mik

  • Pesona Gadis Penggoda   9. Reaksi Yang Tidak Diharapkan

    Turun dari ojol yang mengantarnya, Gadisa berlari menuju salon milik Miskha. Wajahnya sumringah, secerah cuaca hari ini. Sejak dari rumah tadi saat Miskha menghubunginya karena bosnya itu telah tiba di Jakarta, Gadisa langsung terburu-buru menemui Miskha untuk memberikan surat dari Mikairo. "Mbak Miskha dimana, Ver?" tanya Gadisa pada Vera—karyawan Hera Salon. "Di atas, Dis. Di ruangannya," jawab Vera. Gadisa mengangguk lalu berlari menuju lantai dua. Pukul sepuluh pagi, Hera Salon baru saja dibuka, jadi masih sepi. Biasanya siang sampai malam, salon ini akan ramai karena bisa dibilang, Hera Salon adalah tempat perawatan kecantikan paling terkenal di Jakarta. Bukan hanya karena nama besar Miskha Maharini yang booming semenjak tiga tahun lalu karena video make-upnya yang selalu diikuti para wanita, Hera Salon juga mempekerjakan banyak tenaga profesional bertangan dingin yang selalu membuat klien puas. Menaiki tangga dengan interior mewah, Gadisa tiba di lantai dua dan s

Bab terbaru

  • Pesona Gadis Penggoda   28. Yang Meminta Bekal Juga

    Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se

  • Pesona Gadis Penggoda   27. Mikairo dan Lanang

    "Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b

  • Pesona Gadis Penggoda   26. Kamu Bukan Pengasuh Anak

    "Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel

  • Pesona Gadis Penggoda   25. Masalah Untuk Gadisa

    Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga

  • Pesona Gadis Penggoda   24. Kedatangan Dikara ke Salon

    "Teman Kai banyak?" "Banyak, Pa. Ada Vano, Raka, Farel. Mereka semua baik sama Kai. Kai dipinjemin mainan sama mereka." Mikairo menyebutkan satu persatu teman barunya. "Terus Kai hari ini mau bawa mainan, ya, Pa? Nanti mau Kai pinjemin mainan ke temen-temen Kai." Mikairo asik bercerita di dalam mobil. "Jadi di tas kecil itu mainannya, Kai?" tanya Dikara melirik tas kecil yang tadi dibawa putranya dan diletakkan di kursi belakang. Mikairo mengangguk. "Iya, Pa. Tadi malam Kai siapin mainannya. Tadi, Kai juga bilang sama bibik buat siapin baju Kai. Di tas itu juga ada baju gantinya Kai, Pa. Pulang nanti, Kai mau langsung ke rumah tante Gadis. Biar tante Gadis nggak bolak-balik ke rumah kita." Dikara sampai kaget mendengar celotehan putranya yang begitu bersemangat. Berbeda dengan dua hari sebelumnya dimana dirinya pulang kerja dan mendapati putranya sudah terlelap, tadi malam putranya menyambut dirinya dengan penuh semangat. "Jadi Kai kasihan sama tante Gadis kalau tante Gad

  • Pesona Gadis Penggoda   23. Membawa Kai Ke Rumah

    Mikairo terus memandangi wajah Gadisa. "Kenapa, Kai?" tanya Gadisa yang duduk di ruang tamu rumahnya. "Kai mau nonton apa?" tanya Gadisa memegang remote TV dan menyalakannya. "TV di rumah Tante Gadis nggak besar kayak di rumah Kai. Tapi gambarnya jernih juga, kok." Gadisa terus berbicara sambil mencari chanel yang menyuguhkan tayangan untuk anak-anak. "Kita nonton kartun aja, ya," lanjut Gadisa menemukan tayangan kartun di salah satu chanel. Dan ketika ia menoleh, Mikairo menatap ke arahnya dengan tatapan yang begitu lekat. "Ada apa? Kai nggak suka nonton kartun?" tanya Gadisa kemudian. Mikairo menggeleng. "Suka," jawab Mikairo namun sampai detik anak laki-laki itu bicara, dia terus memandang ke arah Gadisa dan tidak sekalipun menoleh ke arah televisi. Gadisa mengerjap. "Ada apa?" tanya Gadisa mendekatkan dirinya pada Mikairo yang duduk di sebelahnya. "Kai mau makan?" Mikairo menggeleng. "Tante lagi sedih, ya?" tanya Mikairo. "Nggak, kok. Tante nggak lagi s

  • Pesona Gadis Penggoda   22. Kenangan Menyedihkan

    “Memangnya nggak apa-apa kamu bawa ke sini, Dis?” tanya ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya.“Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah ijin sama orang tuanya,” jawab Gadisa duduk di tepi ranjang kecilnya sambil menoleh ke arah snag ibu sebelum kemudian kembali memandangi Mikairo yang tidur di ranjangnya.Iya, di ranjangnya.Menjemput di sekolah, Gadisa masih melihat Mikairo semurung kemarin. Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seperti, “Kai tadi ngapain aja di sekolah?” atau “Tadi Kai bawa bekal apa?” Dijawab seperti biasa, tapi tidak ada ekspresi. Dan setelah menjawab pun, Mikairo banyak diam.Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan apa yang diucapkan Miskha kemarin di restoran junkfood. Setelah ucapan mamanya itu, Mikairo banyak menunduk. Makanannya tetap dihabiskan. Tidak memberontak apalagi merengek meminta mamanya menemaninya bermain.Dan kemarin, ketika tiba di rumah, Mikairo bermain sendiri seperti biasa. Ya, walaupun Gadisa tahu ada yang tak biasa dari Mikairo. Seperti ora

  • Pesona Gadis Penggoda   21. Senyum Indah itu Memudar Dengan Cepat

    “Mama…” Mikairo berlari sumringah ke arah mamanya. “Mama jemput Kai?” Mikairo sampai-sampai tidak percaya bila yang menjemputnya saat ini adalah sang mama. “Kenapa? Nggak senang kalau Mama yang jemput Kai?” tanya Miskha menurunkan kedua kakinya agar tubuhnya sejajar dengan sang putra. Di tempatnya, tepatnya di belakang Miskha, Gadisa tak henti tersenyum melihat Mikairo begitu senang dijemput oleh ibunya. Untuk melihat momen ini, Mikairo menunggu lumayan lama dan Gadisa sendiri harus menahan emosinya agar tidak kelepasan tiap kali memohon pada Miskha untuk menyisihkan waktu demi Mikairo. “Senang,” angguk Mikairo dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya. “Kai senang Mama jemput Kai.” Mikairo maju, memeluk mamanya. Gadisa sampai memegangi dadanya karena tersentuh melihat momen kebersamaan Mikairo dan Miskha. Sederhana sekali keinginan Mikairo, tapi anak laki-laki itu harus menunggu lama sampai keinginannya terwujud. "Kalau gitu, mau makan es krim sama Mama?" t

  • Pesona Gadis Penggoda   20. Berusaha Meluluhkan Miskha Demi Mikairo

    “Kenapa nggak kamu aja, Dis? Saya harus ketemu dengan orang hari ini.”“Miss Adel minta Mbak yang datang langsung. Ada yang mau dibicarakan tentang Kai.” Gadisa mengejar langkah Miskha yang tampak terburu-buru usai menyiapkan salad sayuran di dalam sebuah wadah makan berwarna biru.Pagi ini, Gadisa datang ke rumah Miskha. Tadinya ia mau datang ke salon, tapi ternyata Miskha mengabarkan jika dalam perjalanan pulang ke rumah untuk berganti pakaian karena ingin bertemu dengan seseorang. Jadi Gadisa langsung buru-buru ke rumah Miskha.Semalam Gadisa sudah mengirim chat pada Miskha, sayangnya chat itu tidak dibaca juga. Bahkan sampai dirinya ada di rumah ini, Miskha baru tahu miss Adel ingin bertemu hari ini.“Ya, kamu aja, lah, sana. Nanti sampaikan aja sama aku. Paling juga minta iuran,” jawab Miskha enteng.Gadisa melangkah lebar mengejar Miskha yang menaiki tangga. “Bukan tentang iuran, Mbak. Tapi tentang Kai.”“Iya, paling tentang iuran untuk Kai ‘kan? Apa? Mau beli mainan edukasi kay

DMCA.com Protection Status