“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.
“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….” Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.” “Mas sudah makan?” tanyaku. “Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal ban. Sekarang, mas rasanya capek banget ingin tidur. Tidur yuk Sayang!” Mas Farhan naik ke atas kasur dan tidak pakai lama, langsung terlelap tidur. Aku yang terbangun karena kedatangan mas Farhan jadi tidak bisa tidur lagi. Aku bangkit dari tempat tidur lalu mengambil baju kotornya untuk aku cuci. Namun sekilas, aku mencium parfum feminim yang bercampur dengan keringat mas Farhan. “Apakah ada yang mas Farhan sembunyikan dariku?” Aku mulai curiga, tapi bukankah mas Farhan sedang lembur? “Masa sih aku mencurigai suami sendiri?” Aku masukkan baju kotor ke tempat keranjang laundry, yang akan aku cuci besok. Di meja makan, masih terdapat rendang yang tidak aku sentuh karena mas Farhan sudah makan. Sedangkan aku sendiri, sudah tidak bernapsu untuk makan, jadi aku masukkan ke dalam kulkas untuk sarapan besok saja. Aku kembali ke kamar untuk segera tidur, tapi mataku melihat sebuah notifikasi pada layar ponsel mas Farhan dari Erika. “Terima kasih ya, tadi enak sekali, aku menikmatinya. Salam buat istrimu ya,” pesan singkat dari Erika pada ponsel mas Farhan. “Apa maksudnya ini? Bukankah mas Farhan lembur hari ini? Apa lembur dengan Erika?” Terus terang hatiku menjadi bergemuruh setelah melihat notifikasi pesan dari Erika. Aku mencoba membuka pesan itu tapi ternyata ponselnya dikunci mas Farhan. “Loh kok dikunci? Sejak kapan? Mas Farhan kemaren-kemaren gak pernah kunci ponselnya,” aku bertanya-tanya. “Akan aku tanya besok pagi.” Aku memutuskan untuk tidur karena tidak mungkin juga aku bertanya pada mas Farhan yang sedang tertidur dengan pulasnya. Walau aku tidak bisa tidur karena memikirkan apa maksud dari pesan Erika, tapi tetap saja aku memejamkan mata dan ketika hendak mencapai jam subuh, akhirnya aku terlelap. *** “Sayang?” panggil mas Farhan di telingaku. “Apakah kamu akan tetap tidur?” Bisiknya kembali. Aku menggeliat, rasanya ragaku masih belum terkumpul. “Tumben mas Farhan kok pagi-pagi sudah bangun?” “Iya. Kamu yang bangunnya kesiangan, Sayang. Ini hampir jam 7 pagi. Apakah kamu gak nyiapin sarapan untukku?” “Astaghfirullah!” Aku langsung bergegas bangun. Gara-Gara semalam aku memikirkan pesan Erika, aku jadi susah untuk tidur dan berpikir aneh-aneh. Untung aku semalam tidak jadi makan makan. Jadi aku hangatkan rendang untuk dimakan mas Farhan. “Enak nih, Yang. Sayang cuma sedikit. Gak ada lagi apa buat dibawa bekal?” tanya mas Farhan yang dengan lahap menghabiskan sisa rendang. “Kemarin ibu bawa buat Ratih, jadi tinggal segitu yang disisakan sama ibu.” “Oh, ibu juga sudah coba? Ya sudah gak apa-apa. Lain kali kalau masak, agak banyakan, kita gak tahu kapan ibu datang. Tiba-tiba saja kan nongol.” “Bukannya kata mas sendiri, kalau aku masak untuk kita berdua? Makanya sekarang jatah makan kita jadi 50 ribu berdua? Sekarang kenapa juga aku harus masak lebih banyak?” Rasanya tiba-tiba saja aku jadi kesal dengan ucapan mas Farhan dan membalikkan ucapannya itu. “Ya sudah terserah.” Mas Farhan melemparkan sendok ke atas piring dengan muka yang tidak suka dengan pertanyaanku. Langsung saja air minumnya dihabiskan tak tersisa. “Tidak usah bekal. Aku siang makan diluar!” Tanpa senyuman, mas Farhan langsung meninggalkan aku dan masuk ke dalam mobil untuk segera bekerja. Tampaknya, mas Farhan sedang marah denganku, sampai aku lupa menanyakan pesan apa yang dimaksud oleh Erika. Baru saja aku hendak menutup pintu ruang tamu, mobil mas Farhan kembali masuk ke dalam halaman rumah. Aku kembali membuka pintu dan melihat apa yang terjadi dengan mas Farhan. “Apa ada yang ketinggalan?” Mas Farhan keluar dari mobil, dan menutup pintunya. “Ponselku ketinggalan, semalam aku charge.” Tanpa menoleh padaku, mas Farhan langsung bergegas ke dalam kamar mengambil ponsel miliknya. “Semalam, waktu mas Farhan tidur, Erika kirim pesan ….” Raut muka mas Farhan langsung mengerut, langsung mengeceknya. “Apa kamu buka-buka ponsel punyaku?” “Gak bisa, kan di kunci, lagian tumben-tumbennya mas pake password? Emangnya sudah gak percaya sama istri sendiri yah?” “Ngomong apaan sih, Dek? Kamu kok sekarang bener-bener cemburuan deh. Semalam, mas kan lembur karena ngurusin kerjasama dengan Erika itu. Itu pun atas perintah bos. Salutnya lagi, Erika datang ke kantor karena ingin melihat progres kerjasamanya. Jadi aku sengaja beliin cemilan. Ternyata dia suka. Masalah kunci password itu sudah lama dek. Kamu kan memang jarang pegang ponsel mas aja. Cuma dulu, waktu kita pacaran, aku sering ketinggalan ponsel dan menyuruh karyawan untuk mengambilkannya, eh ternyata kamu yang kirim pesan, dibaca dong sama karyawanku sampai akhirnya aku dijadikan gosip. Untung akhirnya kita nikah, dek.” Mas Farhan tersenyum setelah menjelaskan panjang lebar. Aku memang bukan orang yang kepo ingin tahu isi ponsel orang, apalagi suami, jadi selama ini masih baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan pesan yang suka dikirimkan ibunya ke ponsel mas Farhan? Aku selalu bisa membukanya. Bahkan sebelum aku baca, aku sudah tahu isinya kalau ibu minta uang. “Dah, mas pergi dulu!” Ujarnya sambil berlalu. Jamnya sudah mepet, mas Farhan takut terlambat sampai di kantor. Akhirnya aku kembali ke rumah dan membuat sarapan untukku sendiri. Sebuah notifikasi pesan ibu mertuaku tampak di layar ponselku. “Alea, ibu kedapatan arisan Minggu depan. Tolong buatkan ibu nasi dan rendang ya? Buatanmu enak. Tolong buatkan ibu 20 dus, termasuk nasi, lalab daun singkong, sambal cabe hijau, kerupuk udang dan buah,” ujarnya. Ibu mas Farhan menyuruhku membuatkan menu arisan. Apakah dia akan mengeluarkan uang untukku berbelanja? Jangan-jangan malah pakai uang punyaku. Sudah uang habis, tenaga pun tidak dibayar. “Nanti Alea akan hitung biayanya yah Bu?” tanyaku untuk memastikan agar dia sanggup membayar. “Budgetnya per dus sepuluh ribu ya, jangan lupa sama air kemasan dalam gelasnya.” “Apa? Sepuluh ribu?”“Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa
“Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai
Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.
Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.
“Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan
“Alea!!” Pintu rumah diketuk, membuatku cukup kaget karena ketukannya cukup keras.“Hm, ada apa sih, berisik banget!” geliat mas Farhan yang masih tertidur.“Ibumu datang!”Kulihat jam baru saja pukul enam pagi, tapi ibu Aminah, mertuaku, sudah ada di depan pintu rumah.“Alea! Buka pintunya!” teriaknya lagi.Gegas aku bangun, setengah berlari untuk membuka pintu rumah.“Lama banget sih? Ngapain saja? Baru bangun? Jam segini kok masih aja tidur? Lihat nih ibu baru pulang dari pasar, bawain lontong kari buat Farhan! Ambil mangkuknya!” perintah ibu mertuaku itu sambil menyodorkan kantong kresek berwarna hitam.Aku membawanya ke ruang makan dan membuka bungkusan kresek itu. Hanya ada satu. Ibu mertuaku hanya membeli satu dan itu khusus untuk mas Farhan. Kutuang lontong kari itu dan kutaruh diatas meja untuk sarapan mas Farhan sebelum ke kantor.Mas Farhan setelah tahu ibunya datang, dia langsung ke kamar mandi. “Alea, tolong siapin baju kerja dan bekalku ya,” ucap mas Farhan tersenyum sa
Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku.“Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan.“Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.”“Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang punya restoran. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita.“Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku.“Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.”“Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah, ayah restui, tapi jika suamimu
Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan
“Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan
Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.
Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.
“Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai
“Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa
“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal
Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a
Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann