Beranda / Rumah Tangga / BUKAN MENANTU KAMPUNGAN / Bab 4. Siapa Wanita itu?

Share

Bab 4. Siapa Wanita itu?

Penulis: Jielmom
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 13:42:05

Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”

Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.

“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.

“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.

“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”

“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.

Tak terasa, aku berada di restoran sudah dua jam lamanya sampai aku lupa untuk menelepon mas Farhan. Hari pun sudah sore, aku putuskan akan aku tanyakan langsung selepas mas Farhan kembali pulang. Lagi pula, ini sudah hampir pukul empat sore.

“Mbak pulang dulu yah. Kalau ada apa-apa hubungi mbak!” pamit pada Evan dan anak-anak lainnya.

“Siap, mbak! Hati-hati di jalan!”

Aku kembali pulang pakai ojek online menuju rumah. Sebentar lagi mas Farhan pulang dan aku pun harus mempersiapkan masakan untuk makan malam.

Segera aku masak makan malam, lalu segera mandi sambil menunggu mas Farhan.

“Assalamualaikum,” ucap mas Farhan dari arah pintu.

“Waalaikumsalam,” jawabku sambil bergegas menyambutnya.

“Uang arisan untuk ibu dan uang Ratih sudah diberikan?” tanya mas Farhan selepas memberikan tas kantornya kepadaku.

“Sudah. Karena pengeluaran ibu dan Ratih, 1,5 juta, jadi tabungan bulan ini hanya 500 ribu, yah mas?” tanyaku memastikan. Mas Farhan pun tahu setiap bulan, kita berupaya untuk menabung perbulan dua juta.

“Iya, mas tahu, tapi apa gak pake uang sisa belanja, buat tabungan?”

“Uang belanja kan, memang jatahnya sehari seratus ribu mas–.”

“Sebaiknya, dikurangi saja. Kita kan makan cuma berdua, lagi pula siang aku makan diluar. Hanya kamu sendiri, jadi mas rasa lima puluh ribu cukup. Sisanya dibuat tabungan.”

“Ngomong-ngomong makan diluar, apa mas hari ini makan diluar?” pancingku.

“Iya, hari ini mas makan di luar dengan supplier, namanya bu Erika. Mas tadi coba makan ayam goreng lesehan, ternyata enak. Nanti kapan-kapan, kita makan disana yah?”

Mendengar penjelasan mas Farhan, hatiku yang semula cemburu menjadi luluh karena mas Farhan jujur dengan apa yang terjadi pada hari ini.

“Boleh, kita makan disana, tapi gak pake uang belanja yah!”

“Semua uang gajiku, aku berikan padamu loh.”

“Setelah mas Farhan meminta untuk menghemat belanja harian, maka tidak usah berharap untuk pergi ke ayam goreng lesehan,” ucapku dengan kesal sambil berlalu ke kamar.

Aku tidak habis pikir dengan mas Farhan. Seharusnya dia memikirkan mana yang paling penting. Sebaiknya aku tidur saja daripada berdebat untuk sesuatu yang tidak penting.

“Dek? Marah yah?” tanya mas Farhan yang masuk ke dalam kamar, melihatku tidur dengan memunggunginya.

“Aku sudah mempercayakan uang bulananku padamu untuk kamu atur, Dek, tapi tolong juga kamu harus mengerti, aku juga tulang punggung untuk ibu dan adikku. Tunggu sampai adikku selesai kuliah dan bekerja ya? Maka bebanku untuk adikku lepas.”

“Aku tidak marah kok, Mas. Cuma Mas harus bisa memilah permintaan ibu dan adikmu, mana yang penting. Karena setiap keinginan ibu atau adikmu disampaikan, pasti kamu menyuruhku untuk memberikannya. Contoh tadi ibu meminta uang lima ratus ribu untuk arisan dengan alasan kebutuhan semesteran Ratih. Sedangkan kita sudah menyiapkan anggaran semesteran Ratih satu juta tiap bulan. Jadi menurutku, permintaan ibumu itu bukan menjadi prioritas. Lalu masalah Ratih, dia meminta dana untuk pergi penelitian keluar kota, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Jika dia bisa menabung untuk membeli barang kesukaannya dengan harga yang mahal, kenapa dia tidak bisa menabung untuk kuliahnya sendiri?”

“Apa maksudmu dengan membeli barang mahal?” tanya mas Farhan.

“Aku lihat ponsel Ratih merek ipon terbaru. Harganya diatas dua puluh juta. Masa cuma sejuta saja tidak bisa menabung?”

Mas Farhan mengerutkan keningnya, seakan-akan tidak percaya apa yang aku bicarakan. Lalu mengambil ponselnya dan menelepon Ratih secara langsung. Aku tampak kaget, karena mas Farhan langsung bereaksi seperti itu.

“Halo Ratih, kata mbak Alea, kamu pakai ponsel ipon keluaran baru ya?”

“Kata mba Alea? Mbak Alea salah lihat kali. Ini ipon lama kok, dikasih sama mantan aku. Lagian kenapa sih mbak Alea kepo banget lihat-lihat ponsel aku? Emang mbak Alea ngerti type ipon yang aku pakai? Jangan karena ipon aku pegang, disangkanya keluaran terbaru. Mungkin di kampungnya ipon type aku baru datang, jadi dianggap dia keluaran terbaru. Makanya Mas, punya duit beliin juga mbak Alea ponsel ipon. Atau mbak Alea gak bisa pake ipon?” Ponsel mas Farhan di loud speaker agar aku bisa mendengarnya.

“Tuh, dek! Jangan suka kepo, jadinya salah kan? Kalo Mas belum bisa kasih ponsel baru buat kamu, artinya masih ada yang lebih penting daripada ganti ponsel. Lagian, itu ipon juga dikasih sama mantan pacar Ratih, jadi jangan suudzon, jatuhnya fitnah.” Mas Farhan tampak tidak suka kalau aku membahas keluarganya, apalagi sangkut paut dengan masalah uang.

“Ya Mas, maaf.” Hanya permintaan maaf yang bisa aku lakukan. Walau mas Farhan membela adiknya dan menyalahkan aku, aku tahu ipon keluaran terbaru karena para tamu yang makan di restoran, rata-rata memakai ipon. Aku diam saja, kalau aku menyanggah, yang ada akan terjadi keributan. Diam adalah pilihan bijaksana pada saat ini.

“Nah, gitu dong. Kamu minta maaf sama Ratih ya, sudah suudzon sama dia.”

“Aku rasa tidak perlu mas.”

Aku merasa benar, rasanya tidak ikhlas kalau harus meminta maaf padanya. Apalagi mas Farhan tidak melihat langsung ponsel yang dipakai Ratih.

“Kok gitu? Kamu loh dek, yang salah sudah suudzon sama Ratih. Gak mau kan kalau kamu dianggap kakak ipar yang kampungan?”

“Loh, kenapa aku yang kampungan?” Entah kenapa mas Farhan malah menyudutkan aku.

“Ya karena kamu ‘kan gak pernah pegang ipon tapi serasa tahu ipon punya Ratih.”

“Ya, Mas lihat saja sendiri. Itu pun kalau Ratih mau kasih lihat.” Aku kembali membalikkan punggungku. Rasanya malas berdebat untuk sesuatu yang menurutku tidak penting.

Mas Farhan pun sepertinya malas berdebat denganku, dia keluar kamar membawa ponselnya dan duduk di sofa ruang keluarga sambil menyalakan televisi.

Sejam berlalu, aku terbangun karena haus, tapi mas Farhan belum kembali tidur. Aku meraih gelas disamping ranjang dan aku mengintip mas Farhan diluar, tapi kudengar, mas Farhan sedang video call dengan seseorang. “Siapa yang video call dengan mas Farhan malam-malam begini?”

Bab terkait

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 12. Kamar Yang Berbeda

    “Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05

Bab terbaru

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 13. Diskusi Dengan Evan

    Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 12. Kamar Yang Berbeda

    “Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

DMCA.com Protection Status