Home / Rumah Tangga / BUKAN MENANTU KAMPUNGAN / Bab 3. Dana Kebutuhan Ratih

Share

Bab 3. Dana Kebutuhan Ratih

Author: Jielmom
last update Last Updated: 2024-12-24 13:34:59

“Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.

Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang.

“Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk.

“Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.”

“Satu juta?” tanyaku heran.

Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur.

“Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.”

“Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya.

“Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku.

Dengan wajah ragu, Ratih mengeluarkan ponselnya. Ponsel dengan logo apel digigit keluaran teranyar membuatku sedikit syok. Untuk seorang mahasiswi yang mengandalkan keuangan dari kakaknya untuk biaya kuliah, bagaimana mungkin dia bisa memiliki ponsel semahal itu? Aku sendiri hanya pakai ponsel smartphone yang aku pakai beberapa tahun sebelum menikah dengan mas Farhan.

“Ini mbak, jawabannya mas Farhan,” ucap Ratih sambil memberikan ponselnya kepadaku.

“Nanti minta sama mbak Alea yah. Mas sudah kasih gaji mas ke mbak Alea. Yang terpenting, kamu kuliah yang bener, biar cepat lulus dan cepat kerja,” tulis mas Farhan.

“Tuh, mbak Alea. Mas Farhan sudah acc,” ujar Ratih dengan tersenyum puas.

“Baiklah, tunggu disini. Mbak ambil dulu uangnya.”

Aku masuk ke dalam kamar, membuka laci lemari yang biasa aku gunakan untuk menyimpan uang. Kali ini, amplop yang aku tulis dana cadangan, aku buka, aku hitung dan mengambil satu juta untuk kebutuhan Ratih.

“Ini.” Kuserahkan uang satu juta kepada Ratih. Sebenarnya, aku ada sedikit tidak ikhlas memberikan uang itu kepada keluarganya mas Farhan. Karena mudah sekali mereka meminta uang kepada mas Farhan, sedangkan aku yang mengelola keuangan, pusing untuk mengatur dananya.

Dengan tersenyum puas, Ratih menerima uang sejuta itu dan pamit pulang karena akan kuliah.

Aku kembali menghitung anggaran dana bulananku. Gaji dua puluh juta, aku rinci kembali, 5 juta untuk cicilan mobil, 3 juta untuk kebutuhan makan selama sebulan, 3 juta untuk pegangan mas Farhan, 2 juta untuk kebutuhanku pribadi, 2 juta untuk kebutuhan ibu mertua, 1 juta untuk kebutuhan kuliah Ratih, 1 juta untuk kebutuhan listrik, air, sampah, air galon, internet, dan 2 juta untuk kontrak rumah. Sisa sejuta digunakan untuk dana cadangan yang sudah aku dan mas Farhan sepakat di tabung untuk DP KPR. Pernikahanku yang menginjak tahun kedua, seharusnya sudah terkumpul 24 juta, namun kenyataannya, tidak sampai 10 juta. “Gimana bisa DP rumah kalau terlalu banyak keluar uang untuk hal-hal yang kadang tidak terlalu penting?” Kadang aku merenung memikirkan pengeluaran rumah tangga ini.

Untuk kebutuhanku sendiri sebesar 2 juta, aku keluarkan seminim mungkin, hanya untuk transportasi aku ke restoran yang setelah menikah aku limpahkan ke manager restoran. Aku hanya bekerja dari rumah. Menghitung cost bahan baku, menuliskan menu, lalu mengirimkan kembali ke manager restoran. Aku hanya pergi ke restoran hanya waktu-waktu tertentu, hanya untuk mengontrol restoran tetap berjalan, dan Alhamdulillah, sampai saat ini masih tetap eksis. Apalagi Evan baru saja mengirimkan jadwal booking yang hampir sebulan ini full.

Biasanya, para istri selalu memprioritaskan skincare agar tetap glowing dimata suami mereka, tapi aku cukup beruntung memiliki kulit yang tidak butuh banyak perawatan. Hanya perawatan dari yang biasa dijual minimarket-minimarket saja, wajahku tetap cerah. Hanya membubuhkan sedikit makeup agar penampilanku bisa terlihat lebih cantik, walau harus bergelut di dapur restoran.

“Mas, tadi ibu pinjam lima ratus ribu untuk bayar arisan sama satu juta, aku kasih Ratih karena mas sudah acc,” tulis pesanku yang aku kirimkan ke ponsel mas Farhan.

“Iya, Sayang. Untuk ibu, tolonglah jangan pake istilah pinjam, sudah berikan saja. Nanti kamu atur kembali pengeluarannya yah,” balas mas Farhan.

Aku menghela napas panjang. Kalau saja aku tidak mempunyai penghasilan diluar pemberian mas Farhan, mungkin aku seperti istri-istri diluar sana yang uring-uringan memikirkan nasib keuangan mereka.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, saatnya aku ke pasar untuk cek harga kebutuhan restoran, serta stock beberapa bahan yang diperlukan seperti bahan kue, beras, minyak, bumbu-bumbu, telur dan daging-dagingan. Sedangkan untuk sayur-sayuran, supplier yang datang langsung ke restoran sehari sebelum acara.

Aku ganti pakaian, dan bersiap untuk ke pasar besar dan memesan ojek online untuk mengantarkan aku kesana.

Dua jam aku berkutat di pasar, memesan kebutuhan untuk stock restoran yang bisa menghabiskan anggaran 20 juta.

“Evan, aku sudah belanja kebutuhan restoran, nanti mereka antar sejam lagi yah.”

“Siap, mbak Alea! Evan disini standby buat persiapan besok. Apa mbak Alea mau mampir kemari?” tanya Evan yang aku hubungi melalui telepon.

“Mungkin setelah makan siang yah. Mbak lapar, makan siang dulu baru mampir ke restoran.”

“Oke, mbak!” tutup Evan.

Setelah semua pesanan masuk semua ke dalam mobil box untuk dikirimkan ke restoran, aku pun mulai mencari tempat makan sebelum aku pergi ke restoran.

Rumah makan lesehan dengan menu ayam goreng adalah pilihanku saat ini. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pasar, cukup berjalan 200 meter dari pasar.

Semenjak menikah, aku tidak lagi memakai mobil. Karena aku berpikir, suami yang harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan istri bukan? Jadi mobil digunakan untuk operasional restoran saja, karena mereka lebih perlu. Apalagi aku hanya memantau pekerjaan mereka, jadi cukup dengan ojek online.

Aku memesan ayam goreng dengan tumis kangkung dan es kelapa muda yang segar diminum siang-siang seperti ini. Ditambah rumah makan dengan konsep lesehan yang terbuka, aku duduk di pinggir jendela, sehingga angin yang berhembus membuatku tidak terasa kepanasan.

Selesai makan, aku memesan ojek online untuk mengantarkan aku ke restoran. Kuambil helm dari si driver, dan baru saja ojek ini melaju, aku melihat mobil mas Farhan masuk ke rumah makan lesehan dan terlihat wajah seorang perempuan di samping mas Farhan.

Aku menengok sekali lagi untuk memastikan bahwa plat nomor mobil itu milik mas Farhan, dan benar saja itu milik mas Farhan. Motor yang aku tumpangi melaju lebih cepat hingga aku tidak mampu berpikir apa yang harus aku lakukan. “Siapa wanita yang berada di samping mas Farhan itu?”

Related chapters

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 4. Siapa Wanita itu?

    Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.Tak terasa, aku berada di restoran sudah

    Last Updated : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

    Last Updated : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

    Last Updated : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

    Last Updated : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

    Last Updated : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

    Last Updated : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

    Last Updated : 2025-01-04
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

    Last Updated : 2025-01-04

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 106. Putri Lagi

    Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 105. Pertemuan Terakhir

    Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 104. Kedatangan Amanda

    Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 103. Olahraga

    Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 102 Kehebohan di Malam Hari

    Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 101 Berita Penting

    Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 100. Sakit

    Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 99. Dilabrak Amanda

    "Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 98 Bertemu dengan Chef Hengki

    “Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status