Home / Rumah Tangga / BUKAN MENANTU KAMPUNGAN / Bab 2. Uang Bulanan Ibu Mertua

Share

Bab 2. Uang Bulanan Ibu Mertua

Author: Jielmom
last update Last Updated: 2024-12-24 13:24:57

Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku.

“Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan.

“Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.”

“Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang punya restoran. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita.

“Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku.

“Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.”

“Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah, ayah restui, tapi jika suamimu tidak lagi membahagiakanmu, pulanglah, ada kami disini.”

Aku sangat terharu dengan keluargaku. Mereka rela melepaskanku ke mas Farhan karena melihat mas Farhan baik terhadapku.

“Aku akan membahagiakan Alea,” jawab mas Farhan ketika hari dimana kami akan ijab kabul.

“Pegang kata-katamu, Farhan. Jangan sampai putri kami tidak bahagia,” ucap ayahku.

Kini, pernikahanku menginjak tahun kedua. Setahun kulewati penuh dengan drama. Aku tinggal di kontrakan bersama mas Farhan karena lebih murah daripada KPR. Aku benar-benar tidak memberitahukan sama sekali keadaan rumah tanggaku kepada ayah dan ibu karena aku tidak ingin mereka khawatir. Asal aku baik-baik saja, itu sudah cukup membuat mereka senang.

“Hei! Diajak ngomong kok melamun!” ujar ibu mertua mengagetkan aku.

“Eh, maaf Bu!”

“Itu, tolong gorengkan ayam. Ibu mau sarapan juga disini,” perintahnya.

Aku hanya mengangguk, dan menggorengkan dua potong ayam, untukku dan ibu mertuaku sarapan.

“Han, bisa ibu minta uang bulanan ibu?” tanya ibu kepada mas Farhan yang sedang bersiap kerja.

“Sudah aku titipkan pada Alea yah, Bu. Aku pamit kerja dulu. Alea, mas kerja dulu, yah!” ucap mas Farhan pamit padaku.

“Hati-hati, yah mas!” jawabku sambil mencium tangannya dengan takzim.

“Assalamualaikum,” pamit mas Farhan masuk ke dalam mobil.

Setelah mobil mas Farhan hilang dari pandangan, baru aku kembali ke meja makan dimana, ibu mertuaku sudah setengah jalan makan ayam yang aku goreng.

“Alea, sisanya ini tolong bungkuskan untuk Ratih!” perintahnya.

Aku tidak mau berdebat, aku bungkuskan ayam yang baru saja aku goreng itu untuk dibawakan ibu untuk adik mas Farhan, Ratih, yang sudah kuliah di semester lima.

“Bu, ini uang bulanan ibu.” Aku memberikan amplop yang sudah aku pisah-pisahkan ketika mas Farhan gajian. Kebutuhan pengeluaran rumah tangga seperti cicilan mobil, listrik, air, gas, sampah dan lain-lain, dalam satu amplop. Untuk tabungan, kebutuhan pribadiku, ibu mertua dan sedikit tabungan untuk kebutuhan Ratih ketika dia akan bayar uang semesteran.

Sebagai seorang manager, sebenarnya gaji mas Farhan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan penghasilanku membuka restoran Homy Private Dining. Tim yang aku kelola hanya 10 orang saja, waktu kerja kami kebanyakan weekend, walau kadang ada juga yang mengadakan pesta di weekday. Sekali booking, untuk private party, rata-rata 10 juta untuk 10 orang, sudah termasuk tempat, dekorasi, soundsystem dan pelayanan ekslusif untuk durasi 3 sampai 4 jam, dan rata-rata pendapatan restoranku, perbulan mencapai omset seratus juta. Namun aku salut dengan mas Farhan yang bekerja keras untuk keluarga kecil ini.

Ibu mertuaku membuka amplopnya dan menghitung uang yang ada di dalamnya. “Hanya dua juta, Alea?” tanyanya dengan rasa kecewa.

“Bukankah memang setiap bulan, uang bulanan ibu segitu?”

“Sebelumnya, ibu sudah memberitahu Farhan, kalau ibu minta tambahan uang bulanan ibu, karena ibu sudah terlanjur ikut arisan bu Marlan, dan itu lima ratus ribu. Kalau ibu ambil dari uang bulanan Farhan, nanti gak cukup buat kebutuhan lainnya. Apalagi Ratih sebentar lagi mau bayar uang semester, kan?”

“Mas Farhan gak titip omongan sama Alea, kalau ibu mau ambil arisan.”

“Kalau ibu pinjam kamu dulu gimana? Nanti kalau Farhan pulang, kamu ngomong kalau ibu minta tambahan lima ratus ribu karena ibu ikut arisan bu Marlan. Toh, kalau pas dapat, duitnya juga bakal dipake Ratih buat bayar semesterannya,” ucap ibu sambil tersenyum, berusaha untuk meyakinkan aku untuk memberikan uang kepadanya.

“Nanti kalau mas Farhan pulang, Alea akan beritahu mas Farhan kalau ibu mau pinjam uangku.”

“Ng, maksud ibu, kalau Farhan setuju, ibu tidak pinjam, Alea, tapi karena memang jatah ibu jadi naik.”

Siapa yang bisa menolak keinginan ibu? Dalam sebulan, ibu sudah minta uang diluar uang bulanan, yang kalau dihitung totalnya sudah empat juta. Jauh lebih besar daripada mas Farhan yang jatah bulanan aku yang hanya sebesar dua juta. Dan sekarang ibu mertuaku hendak minta tambahan lagi.

“Akan aku sampaikan ke mas Farhan, Bu.”

“Tolong ya, Alea. Bu Marlan mau nagih siang ini. Gak enak kalau baru cicilan sekali ini gak lancar.”

“Lagian sih Bu, kenapa ikutan arisan-arisan seperti itu, kalau kebutuhan ibu belum tercukupi.”

“Apa kamu gak mau kasih pinjam uang ke ibu, Alea?” kecamnya.

“Bukannya gak mau kasih pinjam Bu, tapi–.”

“Terima kasih, Sayang. Yuk cepat. Ibu mau segera pulang, Ratih juga mau kuliah,” ucapnya sambil bersiap akan kembali pulang.

Dengan terpaksa, aku mengambil kembali uang untuk diberikan kepada ibu mertua.

Setelah ibu mertua pulang, aku menghitung kembali anggaran belanja bulananku yang diberikan mas Farhan untuk aku kelola. Pada awal-awal pernikahan, uang tabungan kami bisa mencapai 5 juta yang bisa aku sisihkan, karena mas Farhan ingin menabung untuk membeli rumah sendiri. Namun lambat laun, ibu atau Ratih kerap kali datang ke rumah untuk meminta uang dan akhir-akhir ini semakin sering. Kuhitung tabungan yang bisa aku sisihkan hanya dua juta saja. “Mudah-mudahan cukup sampai akhir bulan.”

Baru saja aku tutup catatanku, sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselku. Kubuka isi pesan dari Evan, marketing restoran, sekaligus sepupuku. “Mbak, ini jadwal booking untuk bulan ini.”

Aku melihat jadwal sebulan ini yang hampir full orang booking tempat di restoranku. “Alhamdulillah.” Kubalas pesan dari Evan.

Segera aku bereskan dapur, mandi dan sarapan. Kini saatnya aku bekerja menyusun menu sesuai dengan budget dari klien, jumlah orang yang aku sinkronkan dengan modal yang harus dikeluarkan untuk setiap bookingan, sampai tiba-tiba, pintu rumah diketuk seseorang, dan aku harus menutup catatanku ini.

Aku segera membuka pintu dan tampak Ratih, sudah berdiri di depan pintu rumah. “Ratih?”

Related chapters

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 3. Dana Kebutuhan Ratih

    “Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang.“Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk.“Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.”“Satu juta?” tanyaku heran.Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur.“Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.”“Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya.“Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku.

    Last Updated : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 4. Siapa Wanita itu?

    Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.Tak terasa, aku berada di restoran sudah

    Last Updated : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

    Last Updated : 2024-12-24
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

    Last Updated : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

    Last Updated : 2025-01-02
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

    Last Updated : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

    Last Updated : 2025-01-03
  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

    Last Updated : 2025-01-04

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 13. Diskusi Dengan Evan

    Rasa curigaku kembali muncul hanya gara-gara posisi kamar mandi di foto dan sekarang berbeda. “Apakah yang dapat aku lakukan untuk membuktikan rasa curigaku ini?” Aku memindai ruangan ini. Tangan mas Farhan aku taruh diatas kasur, sedangkan aku perlahan turun dari kasur, lalu aku mengambil baju kotor yang tadi dipakai mas Farhan apakah ada parfum seorang wanita, lalu kuhirup. “Aha! Parfum siapa nih mas?” gumamku.Tapi sebuah parfum belum dapat dikatakan bukti. Mataku kembali memindai ponsel mas Farhan yang tergeletak di nakas samping kasur. Lagi-lagi ponselnya di password, padahal kemarin, aku dan mas Farhan sempat bertengkar.“Apa aku yang terlalu cemburu? Hingga aku terlalu curiga?” Lagi-lagi aku mempertanyakan hatiku ini. “Baiklah, untuk sementara ini, aku akan menganggap kamu lolos mas! Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akan tercium baunya juga!” Aku naik kembali ke atas kasur dan menutup mata untuk segera tidur.***Minggu siang, aku dan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 12. Kamar Yang Berbeda

    “Hahaha,” tawa mas Farhan. “Kamu lucu, Dek! Jelas-jelas kita video call. Kamu bisa lihat aku dengan siapa. Bahkan aku memvideokan semua sudut yang ada disini–.”“Lalu, suara siapa itu?” “Maaf, kemarin aku kepencet remot tv dan yang muncul suara sinetron.”“Benar?” tanyaku kepada mas Farhan yang masih kucurigai.“Justru mas telepon kamu, Sayang. Besok mas mau pulang, karena dari kantor, sudah dibooking sampai besok. Daripada mas sendirian disini. Mas mau jemput kamu, buat nginep di hotel ini. Mau kan? Kita honeymoon walau cuma sehari?”“Jemput?”“Ya, bukannya kamu juga udah selesai kerjanya?”“Sudah sih.”“Oke! Mas sekarang pulang yah, kamu siap-siap di rumah. Nanti mas jemput kamu.”“I, iya mas!” Jawabku.Kaget! Tiba-tiba saja pipiku merona merah karena diajak mas Farhan ke hotel di puncak. Belum pernah sekalipun mas Farhan mengajak aku pergi-pergi, karena waktu kerja yang berbeda. Mas Farhan

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 11. Kesempatan Emas

    Sampai larut malam, aku kembali tidak bisa tidur. Pikiranku tidak tenang karena suara wanita di akhir telepon mas Farhan. Inginnya, besok aku ke kantor mas Farhan untuk menanyakan kebenarannya apakah mas Farhan pergi tugas keluar kota? Sayangnya, kantor mas Farhan libur di hari Sabtu.Akhirnya aku cek di internet hotel-hotel yang gambarannya mirip dengan yang di foto oleh mas Farhan dan tara! Akhirnya ketemu. Hotel bintang 5, dengan rate kamar hampir satu juta, dengan fasilitas kolam renang, breakfast lengkap. Jarak dari tempatku hampir 2 jam lamanya. Jika aku pergi, tidak mungkin menggunakan ojol pasti cukup mahal. Sedangkan mobil, besok akan dipakai untuk operasional acara tunangan di restoran Homy Private Dining. “Besok pagi, sebelum ke restoran, aku akan telepon pihak hotel untuk menanyakan keberadaan mas Farhan.”Aku berupaya tenang supaya aku bisa tidur. Besok pagi aku harus fokus dan kerja. Jangan sampai masalah ini mengganggu pekerjaanku.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 10. Jalan Yang Salah

    Reflek aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi mas Farhan, untuk mengecek kebenarannya.“Halo Sayang, sudah sampai rumah?” tanya mas Farhan.“Mas Farhan ada dimana?”“Mas sedang ada di jalan menuju luar kota. Kenapa, Dek? Mas sedang nyetir nih.”“Mas pergi sama siapa?”Sesaat telepon diam sejenak. “Mas pergi sendiri, dek. Kenapa sih? Curiga sama mas, kalau mas macem-macem?”“Iya. Aku lihat mas ada di minimarket dan Erika disamping tempat duduk mas Farhan.”“Oh! Hahaha, itu yang bikin Kamu cemburu? Kalau soal Erika, dia ada disini, di samping mas. Dia nebeng sampai jalan Pangeran Anta karena rumahnya dekat sana. Mas karena ngelewatin jalan sana, mas kasih tumpangan. Nih orangnya, kamu ngomong sendiri.” Mas Farhan sepertinya memberikan ponselnya kepada Erika, lalu meloud speaker ponselnya.“Halo mbak Alea, aku Erika. Wah sayang ya kita gak sempat bertemu,” sapa Erika dengan ramahnya.

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 9. Keputusan Pindah Rumah

    “Apa? Hanya karena itu?”“Banyak hal, Dek. Itu salah satunya. Lainnya, karena di rumah ibu kita tidak perlu bayar kontrakan. Duitnya bisa kita tabung untuk membeli rumah. Dek, tunggu sampai 3 tahun ya? Mas janji, mas akan belikan rumah untuk kita tinggali. Ditambah 3 tahun cicilan mobil juga lunas. Jadi kita bisa ambil KPR. Doakan saja mas ya?” “Aku harus mempertimbangkannya, mas,” ucapku sambil memandang keluar jendela. Tinggal dengan mertua tidak akan sebebas di rumah sendiri, walau itu rumah kontrakan.Diam-diam, tangan mas Farhan meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sayang, ibuku adalah ibumu juga. Jadi anggap saja ibuku adalah ibumu yah.”Aku hanya terdiam. Kalau sudah diputuskan, aku bisa apa? Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Evan.“Dek? Dek? Kamu melamun? Kita sudah sampai. Lihat restoran sepi begini, apa yang bisa diharapkan?” ejek mas Farhan.Ingin aku membantah ucapan mas Farhan, tapi rasanya percuma. Sebai

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 8. Budget Sepuluh Ribu

    “Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 7. Daging Rendang

    “Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 6. Mas Farhan Kemana?

    Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 5. Usulan Promil

    Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann

DMCA.com Protection Status