"Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.
Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah. "Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara. Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku. "Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa. Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala. "Masih bisa kamu tanya begitu sama aku, hah? Kamu gak sadar semua ini terjadi gara-gara kamu? Kamu yang berkhianat. Kamu selingkuh dengan Faula entah sejak kapan. Kamu tidur dengan dia sampai mengandung anak kamu. Kamu penyebab pernikahan kita batal. Kamu yang brengsek!" umpatku akhirnya. Memendam sejak siang tadi, aku pun bisa meluapkannya sekarang. Rakana menggeleng lemah. Dia berusaha meraih tanganku dan aku tentu saja menepisnya kasar. "Chi, aku khilaf. Aku terjebak dengan keadaan. Kamu tahu kenapa? Karena kamu gak pernah mau melakukannya denganku, Chi. Jangankan tidur denganku, berciuman saja kamu tidak mau. Sedangkan aku, lelaki normal yang selalu berdebar saat kita bersama. Kamu gak bisa diajak bersenang-senang dan terlalu serius. Sampai aku sendiri bingung dan akhirnya mencari pelampiasan yang lain." PLAKKK! Lima jari tanganku mendarat mulus di pipinya. Bahkan berbunyi cukup nyaring. Pipi Rakana pun jelas terlihat memerah. Menandakan betapa keras aku menaparnya barusan. Setelah pengkhianatannya, sekarang dia melimpahkan kesalahan padaku? Benar-benar sudah gila. "Kalau di matamu aku ini terlalu serius dan tidak bisa diajak bersenang-senang, kenapa gak kamu putuskan aku sejak lama? Kenapa kamu tetap menjadi kekasihku untuk tujuh tahun lamanya? Kenapa, Raka?!" Aku berteriak. Menumpahkan sesak yang sejak tadi membelenggu dalam dada. "Kita bisa putus dan tidak usah sampai menyiapkan pernikahan kalau aku memang tidak sesuai di mata kamu. Kita bisa mengakhiri hubungan kita baik-baik sebelum hari ini terjadi, bukan mempermainkan dan menduakan aku seperti ini, lalu setelahnya kamu menyalahkan aku! Kamu yang bajingan, aku yang kamu sudutkan! Di mana otak kamu?" Aku mengumpatnya untuk pertama kali selama bertahun-tahun aku mengenali Rakana. Lelaki dengan hanya kaos singlet itu tampak menggeleng. "Tampar aku, pukul aku atau sekalian kamu bunuh aku. Kalau itu bisa membuatmu senang, Chi. Aku terima, karena aku sadar aku sudah khilaf. Aku salah, tapi kamu juga salah. Kamu bisa menolak untuk dinikahi Abangku. Seharusnya kamu tidak menikah hari ini. Karena setelah bayi yang dikandung Faula itu lahir, aku akan menceraikan dia. Aku akan kembali pada kamu, dan kita bisa bersama lagi. Seharusnya itu yang kamu lakukan, Chi. Aku hancur saat kamu justru menjadi istri dari Abangku sekarang," tukasnya tanpa tedeng aling-aling. Aku memejamkan mata. Menarik napas sepenuh dada dan mengembusnya perlahan. Mengurai segala sesak dan perasaan yang bercampur aduk. "Kalau kamu hancur, lalu aku bagaimana, Raka? Pernikahan kita batal dan kamu menjadi suami dari seseorang yang merupakan sahabat baikku. Kalau kamu mengaku hancur, lalu apa yang bisa aku gambarkan tentang keadaanku sendiri, Raka. Apa ...?" Suaraku melemah. "Aku khilaf, Chi. Demi Tuhan aku khilaf. Aku tidak pernah berniat membuat keadaan kita menjadi begini Aku tahu kamu tidak mencintai Bang Fahad. Begitu juga aku yang tidak mungkin mencintai Faula. Seandainya kamu tidak menyetujui kesepakatan untuk dinikahi Bang Fahad, aku akan pastikan, setelah bayi Faula lahir, kita akan bersama kembali, Chi. Dengan begitu, kita bisa bersama-sama lagi," ucapnya dengan wajah memelas. Aku menggeleng tegas. "Khilaf itu sekali, Raka. Kalau memang kamu khilaf, Faula gak akan bunting anak kamu. Udahlah, kisah kita sudah berakhir. Kita jalani hidup ini masing-masing." Rakana meraih tanganku dan menggenggamnya. "Chi, kita masih bisa bersama. Kita bisa berhubungan diam-diam di belakang Bang Fahad dan Faula. Kita masih memiliki kesempatan untuk bersama." Aku melongo dengan mata membulat mendengar ucapannya yang di luar nalar itu. "Kamu bener-bener gak punya otak! Minggir. Bisa gila aku lama-lama berhadapan dengan orang sableng kayak kamu!" Sudah tak tahan lagi, aku menghempas kasar hingga tanganku terlepas dari genggaman Rakana dan menggeser tubuhnya agar tidak menghalangi di depanku. Dia tidak melawan. Tubuhnya dengan mudah bisa ku singkirkan. Aku berjalan cepat menuju pintu hendak menyentuh anak kunci yang menggantung lalu secepatnya keluar dari sini. Grebbbh! Namun tiba-tiba Rakana memelukku dari belakang. Kedua lenganku tertahan oleh pelukannya. Ia menarik tubuhku mundur menjauhi pintu. Aku berontak mencoba untuk melepaskan diri, tapi pelukan Rakana terlalu kuat. Sampai akhirnya aku hanya bisa mematung, terlebih karena Rakana memelukku begitu erat. Aku memang sangat marah. Aku benci pada Rakana yang sudah berselingkuh. Aku marah karena pernikahan kami batal dan hubungan kami juga kandas, tapi dipeluknya seperti ini membuatku tak berkutik. Dipeluknya erat seperti ini membuat logika dan hatiku saling berperang. Pikiranku memang menentang keras, tapi hatiku? ."Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
"Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Raka ...." Aku menyeru namanya dengan suara terdengar lemah.Tangan Rakana masih mencekal lenganku begitu erat. Dia juga melayangkan tatapan tajam yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan memelas."Pasti kamu 'kan yang udah bicara sama Bang Fahad, supaya dia mengusir aku dan Faula dari sini?" tuduhnya tanpa tedeng aling-aling.Keningku sontak melipat, menatap lelaki itu dengan mata memicing. "Maksud kamu apa?!" Suaraku terdengar meninggi. Tidak terima dengan tuduhannya.Rakana mendecak. "Semalam, pasti kamu mendengar pembicaraan aku sama Faula 'kan? Entah kamu juga melihat atau enggak saat aku menenangkan Faula dengan memeluknya. Aku yakin, kamu pasti cemburu. Aku yakin sekali, kamu gak terima karena aku menenangkan dia seperti itu. Terus, kamu laporan sama Bang Fahad. Kamu bicara sama dia supaya dia mengusir aku pagi ini dari sini. Iya kan? Kenapa, Chi? Kenapa kamu tega? Papa dan Mamaku sudah mengusir aku dari rumah. Ter
Branggg!"Astaga ... malah pecah," gumamku saat tidak sengaja menjatuhkan piring. Aku bermaksud menaruhnya pada rak pengering di sebelah kiri, tapi entah kenapa malah licin dan akhirnya jatuh dari tanganku. Buru-buru aku mencuci tangan yang penuh buih sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Kemudian berjongkok untuk mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai dapur ini. "Stop!"Sebuah suara mengejutkan dan menahan gerakan tanganku yang sudah bersiap menyentuh pecahan-pecahan piring itu. Aku menoleh dan tampak Bang Fahad berjalan ke arahku."Tadi keiris pisau sekarang kamu pecahkan piring? Ya Tuhan ... kamu benar-benar tidak pernah ke dapur?" tanyanya yang langsung membuatku menggelengkan kepala.Terdengar Bang Fahad menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu mau membereskan pecahan piring ini dengan tangan kosong?" tanyanya lagi dan aku mengangguk kali ini.Bang Fahad mengembus napas kasar. "En
Mataku terpaku pada bendera kuning yang berkibar di depan rumah Chiara. Tampak orang-orang yang berbisik, langkah-langkah yang tergesa-gesa, dan aroma kemenyan yang samar-samar terbawa angin membuat dadaku terasa semakin sesak.Aku menelan ludah dengan susah payah. Tanganku yang menggenggam setir kini mulai berkeringat, dan napasku terasa berat."Siapa yang meninggal?" gumamku bergetar. Pikiran buruk tak mau pergi. Aku siap keluar dari mobil, tapi seketika kesadaran menghentikannya.Aku menggeleng sambil menahan diri. Kedatanganku hanya akan membuat keributan. Akhirnya kubawa mobilku mundur, hingga berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam terhalang hanya satu rumah dengan rumah Chiara.Aku sangat gelisah. Begitu penasaran dan ingin segera tahu siapa sebenarnya yang meninggal, tapi jika aku nekat masuk ke dalam rumah Chiara, maka kedatanganku hanya akan menimbulkan masalah. Sehingga mau tak mau, dengan sabar aku menunggu di
Langit malam membentang luas di atas kepala, gelap dan tanpa bintang. Aku berjalan lunglai menjauh dari area rumah Chiara tanpa berani menoleh ke belakang .Langkah kaki terasa begitu berat. Suara detak jantungku masih berdentum pelan, tapi rasanya kosong—tidak ada rasa, tidak ada harapan, hanya kehampaan yang menggantung di udara.Sampai kemudian aku berdiri di samping mobilku yang terparkir di sebrang rumah Chiara. Barulah ketika itu, aku berani untuk sekedar menengok ke belakang. Melihat Chiara yang mungkin masih berada di taman samping rumahnya, tapi sayangnya tempat itu sudah kosong. Hanya ada aku di sini sekarang, bersama hembusan angin yang lebih kencang dan dingin menusuk kulit.Kuhembus napas berat seraya masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraan ke arah motel kecil yang kutempati sejak datang ke kota ini. Jalanan sudah sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, tapi pikiranku terlalu penuh untuk memedulikan hal itu.Tangan kiriku mencengkeram set
Chiara melangkah melewatiku tanpa sepatah kata, berjalan menuju taman kecil di samping rumahnya. Aku menelan ludah, menenangkan detak jantung yang tak karuan lalu mengikuti langkahnya.Udara malam terasa lebih dingin, tapi dadaku justru terasa sesak. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku sudah mempersiapkan banyak hal untuk dikatakan, tetapi begitu berada di hadapannya, semuanya terasa sia-sia.Chiara berhenti di dekat bangku kayu, tangannya meremas ujung kerudung. "Bicaralah. Saya tidak punya banyak waktu, Tuan Fahad!"Ucapannya terasa menusuk jantung. Saat dia menyebut namaku dengan embel-embel Tuan, entah kenapa rasanya menyakitkan.Bibirku kelu, hingga hanya mampu mengamati wajahnya dalam diam, mencari sesuatu di matanya—kemarahan, kebencian, atau bahkan sedikit sisa perasaan yang dulu pernah ia berikan padaku. Tapi aku tak menemukan apa pun. Hanya kutemukan kehampaan.Chiara yang berdiri di sampingku sa
Aku berdiri di depan rumah mungil milik Chiara saat malam telah merayap. Seharian, aku berdiam di motel, mengumpulkan segenap keberanian dan nyali untuk bisa ada di sini seperti sekarang.Meski saat ini pun, aku berdiri di teras rumah ini dengan perasaan yang berkecamuk. Tangan kanan terkepal di sisi tubuh, sementara tangan kiri terasa gemetar.Napas pun terasa berat karena ketakutan yang kini menyergap. Takut jika kehadiranku, membuat Chiara kembali terguncang, tapi aku juga tidak bisa berdiam lebih lama.Lagi, aku mengumpulkan keberanian dalam diri, mengangkat tangan sampai akhirnya bisa mengetuk pintu.Tok. Tok. Tok.Ketukan pertama, tidak ada jawaban apapun.Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan kegelisahan dalam hati lantas mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras.Baru saja aku menarik napas dalam-dalam, pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar.Sosok lelaki berusia lima puluhan dengan tatapan tajam berdiri di ambang pintu.Bahkan belum sempat mulutku terbuka untuk mengucapkan s
Setelah mendengar penjelasan sang perawat, seluruh tubuhku terasa lemas. Tanganku mencengkeram lutut, sementara kepala terasa berputar.Bayiku ... anak yang seharusnya kulindungi dengan segenap jiwa dan raga, ternyata tidak pernah sempat melihat dunia.Aku masih terpaku dalam keterkejutan, hingga sang perawat melanjutkan ceritanya."Setelah kehilangan bayinya, kondisi mental Mba Chiara sangat mengkhawatirkan, Pak," lanjutnya dengan nada lirih. "Beliau sempat dirawat cukup lama di sini, didampingi psikologi karena mengalami depresi berat. Hari-hari pertama setelah operasi, Mba Chiara pasti terbangun di malam hari, menangis tanpa suara sambil memegangi perutnya. Seolah-olah masih ada bayi di sana."Aku menelan ludah dengan susah payah. Dadaku terasa semakin sesak."Beliau menolak makan, menolak bicara dengan siapa pun, termasuk dengan keluarganya sendiri. Beberapa kali perawat mendapati Mba Chiara duduk di jendela kamarnya dengan tatapan kosong, seakan kehilangan arah dalam hidup. Itu s
Papa masih terus terisak dan terdengar begitu pilu. Aku pun hanya terdiam, membiarkan Papa menangis hingga akhirnya mulai reda."Kasihan sekali Chiara, Had. Pasti dia sangat terpukul. Kamu yang seharusnya menjaga dia dan anak itu, tapi kamu malah abai," ucap Papa dengan lirih dan sesekali isakannya kembali terdengar.Aku menyentak napas pelan. "Iya, Pa. Aku tahu aku sangat salah, tapi semua sudah terjadi. Andai bisa mengulang waktu, aku pun ingin mengulangnya, Pa. Aku pastikan, tidak akan membiarkan anak itu sampai tiada.""Apa kamu tahu kenapa cucu papa itu sampai tiada?""Aku juga sangat ingin tahu, apa penyebab kematian anakku itu, Pa. Tapi untuk bertanya pada mereka, aku tidak memiliki kesempatan. Aku ... mau pulang saja, Pa. Aku malu untuk menemui mereka lagi," jawabku apa adanya. Berterus terang pada Papa, aku rasa itu lebih baik."Had, kalau kamu pulang sebelum tahu apa yang terjadi dan kamu juga tidak menyampaikan pesan terakhir Mama. Kita hanya akan hidup dalam bayang rasa be
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t