"Si—siapa takut?!"
Dia jual, aku borong lah! Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku. Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli. Sialan. Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga? Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding? Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku. Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang yang begitu asing seperti Bang Fahad. Rasanya itu adalah kesialan yang pernah aku dapatkan dalam hidup selama dua puluh tiga tahun umurku. Hal paling berharga dan sepenuhnya aku jaga untuk suamiku, tapi harus kupersembahkan demi membuktikan tuduhannya tidak benar sama sekali. TING TONG! Bang Fahad mengangkat wajah saat bel rumah ini terdengar. Aktivitas gila yang dia lakukan padaku tentu saja berhenti. Dia bangkit hingga tubuhnya tegak dan cekalannya di pergelangan tanganku terlepas. Membuatku bisa bernapas sedikit lega. "Ganti tilam kasurnya. Saya tidak suka tidur di tempat yang kotor. Dan juga ganti kopinya. Itu tidak layak diminum!" tukasnya sebelum keluar dari kamar. Setelah pintu kamar terdengar ditutup, aku pun bangkit dengan segera. Terduduk di ujung tempat tidur sambil menghela napas berat. "Dasar lelaki tua! Tahu begini, mendingan pernikahanku batal sekalian!" Aku menggerutu sambil menghentakkan kaki ke lantai. Aku kesal sekali. Belum satu hari menikah, tapi sudah makan hati. Ya Tuhan, tolong hambamu ini. Dengan lunglai aku pun bangkit. Menyiapkan seprei berwarna abu-abu untuk mengganti seprei putih yang tercecer sedikit cairan kopi tadi. Berdiri di dekat nakas, aku menatap gelas kopi yang masih penuh. "Harusnya tadi aku siram aja muka dia sama kopi ini!" ocehku sambil mengangkat gelas kopi di tangan. Menatapnya dengan perasaan kesal sebelum kemudian bergegas keluar dari kamar. Aku belum tahu siapa yang datang. Pintu kamar ini menghadap ke ruang keluarga, dan aku terus berjalan menuju dapur. Membuatkan kopi yang baru untuk mengganti kopi sebelumnya. Kali ini, aku mencicipinya terlebih dulu. Dan well, rasanya tidak pahit. Aku rasa, Bang Fahad memiliki masalah dengan lidahnya. Iya, lidahnya memang bermasalah. Selain tidak bisa membedakan pahit dan manis, lidahnya itu sangat licin hingga mudah menyudutkan orang. Kopi itu masih di dapur, aku akan melihat siapa yang datang dan mungkin menawarkannya minuman. Semoga saja tidak meminta kopi juga. Langkahku terhenti setelah kaki ini menginjak ruangan depan. "Ra—raka?" ucapku terbata. Rakana dan Faula berdiri di samping sofa panjang. Mereka basah kuyup dan Raka terlihat menggigil. Sedetik kemudian, tubuh Faula bahkan oleng ke arah Raka yang sigap menahannya. "Bang, tolonglah. Aku gak tahu harus ke mana lagi," ucap Raka memelas pada Bang Fahad. Apa maksudnya Rakana berkata begitu? Terdengar Bang Fahad menghela napasnya. Dia yang semula duduk sambil mengangkat satu kakinya itu kemudian terlihat bangkit. "Hanya malam ini! Gunakan kamar tamu!" kata Bang Fahad kemudian berbalik badan dengan cepat. Dia berjalan mendekat padaku dan tiba-tiba menarik pergelangan tanganku. Menyeretku hingga tertatih-tatih mengikutinya sampai masuk ke dalam kamar. BLAMMM! Pintu ditutup dengan keras disusul anak kunci yang diputar. "Tidur!" titahnya setelah mengunci pintu dan melepaskan cekalan tangannya. Dia berjalan cepat melewatiku. Melepas atasan piyamanya hingga bertelanjang dada, lalu secepatnya ia melompat ke atas tempat tidur hingga tengkurap. Selain tua dan gila, dia juga sepertinya senang membuat orang jantungan. Sebab belum reda keterkejutanku akan kedatangan Raka dan Faula ke rumah ini, sekarang dia meminta tidur dan kasur yang hanya satu di kamar ini sudah ditempatinya. Kita akan tidur seranjang maksudnya? Hiiyyyy ... Aku takut dia kurang ajar saat aku sedang tidur. Aku harus bagaimana? Masih dengan kebingungan yang melanda. Tampak Bang Fahad membalikkan tubuhnya hingga terlentang. Kepalanya disangga bantal dan dia menatap lurus padaku yang masih berdiri di dekat pintu. "Kamu gak denger? Saya bilang tidur!" tegasnya dengan raut wajah begitu dingin. "A—aku gak mau tidur satu ranjang," jawabku akhirnya. Alis Bang Fahad terangkat menatapku. "Kamu pikir karena satu ranjang, saya akan menyentuh kamu?" Terdengar ia lalu mendecih. "Badan kurus begitu memang saya akan bernafsu?" Dia geleng-geleng kepala. "Ck. Saya curiga, kamu selama pacaran gak pernah dikasih makan sama Raka. Cuma dijejali janji-janji palsu," sindirnya lagi-lagi menyudutkan. Kedua tanganku terkepal. Aku membawa kaki ini melangkah mendekati spring bed hingga berada lebih dekat dengannya. "Tinggi badanku 170 sentimeter. Berat badanku 63 kilo. Artinya aku memiliki tubuh ideal. Jangan seenaknya anda body shaming! Ada juga anda sudah tua tapi gak bisa jaga ucapan!" sungutku kesal. Bang Fahad tersenyum miring. "Tua-tua begini saya masih kuat. Lagipula saya gak body shaming. Memang kenyataannya kamu itu kurus. Kamu lihat dada kamu, terlalu rata, masih lebih besar genggaman tangan saya!" ucapnya sambil menunjukkan tangan kanan yang terkepal. Refleks aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sialnya bang Fahad justru tertawa, setelah itu dia mengulurkan tangan pada tembok samping headboard kasur dan tiba-tiba lampu kamar ini pun padam. Menjadi temaram dengan pencahayaan hanya dari lampu duduk di atas nakas. "Cepat tidur! Tidur cukup dan berkualitas sangat bagus untuk otak. Itu pun kalau otak kamu belum rusak!" sinisnya lagi yang kini sudah menarik selimut menutupi hingga pinggang, bahkan sudah berbalik dan memunggungi sisi kosong yang tidak lain adalah tempat untukku. Kedua tanganku mengepal. Bang Fahad sungguh menyebalkan. Lidahnya lebih tajam dari lidah mertua di sinetron. Aku menggeram tertahan seraya naik ke tempat tidur. Aku bergerak kasar dan tidak peduli andai dia terganggu. Aku berbaring turut membelakanginya dengan selimut yang kutarik menutupi tubuh. Walau pun hati jengkel, aku mencoba untuk tertidur. Memejamkan mata dan berusaha menyambut mimpi indahku. Tapi sayangnya tidak bisa. Mataku ingin terus berjaga. Tidak ada rasa kantuk yang biasanya menuntunku untuk terlelap. Mungkin, suasana hati yang buruk sangatlah berpengaruh. Akhirnya aku tetap terjaga. Berkelana pada masa lalu. Meski menyakitkan, tapi bukan hal mudah melupakannya. Entah sudah berapa jam terlewati dengan mata yang terus terjaga. Meski hatiku terluka dan nyeri, tapi kebersamaan dengan Rakana selama tujuh tahun lamanya seolah terus berputar dalam memori. Tidak mampu kulenyapkan begitu saja. Sebenarnya aku sudah mengenal Rakana sejak awal masuk sekolah menengah pertama. Saat itu kami berbeda kelas. Hanya sebatas mengenal karena sama-sama sebagai pengurus OSIS. Hingga tiba melanjutkan SMA, dan masuk kelas sebelas kami satu kelas di jurusan yang sama. Hal itulah yang membuatku lebih mengenalnya. Berteman lalu dekat. Hingga sama-sama timbul perasaan dan akhirnya kami resmi berpacaran. Sampai kuliah, lulus dan bekerja di tempat yang juga sama. Kami masih bersama. Nyaris tidak ada satu hari pun yang terlewat begitu saja tanpa berjumpa. Katakan padaku, bagaimana caranya aku memupus semua kenangan bersama dengan dia? Beritahu aku cara melupakannya yang selama bertahun-tahun selalu bersamaku? Jika bisa, ajarkan aku untuk merelakannya yang bukan lagi bagian hidupku sekarang. Tapi jika tidak, aku harus bagaimana? Sungguh, aku masih sangat berharap ini hanyalah mimpi buruk yang menimpaku. Namun tiba-tiba aku merasakan tenggorokan ini kering dan perlu meminum air. Menyadarkan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Semua ini nyata. Sangat nyata dan entah bagaimana aku menjalani hari-hariku ke depannya. Gagal menikah dengan Rakana, tapi malah dinikahi Abangnya yang sombong dan angkuh. Entahlah. Kenapa rasanya hidup jadi se-menyedihkan ini? Perlahan aku pun bangkit sampai akhirnya terduduk, tetapi aku tidak menemukan gelas berisi air yang biasa disediakan ART. Kuhembus napas kasar, mau tak mau aku turun dari tempat tidur. Kalau tidak segera minum kemungkinan tenggorokanku makin kering dan sakit. Aku berjalan pelan menuju pintu, membukanya lalu ke luar. Berjalan melewati beberapa ruangan yang juga temaram, hingga sampailah aku di dapur. Duduk di kursi mini bar yang jadi penghalang meja makan dengan kitchen set. Menuangkan air memenuhi gelas lalu meneguknya cepat hingga merasa lebih lega. Aku juga melihat gelas yang masih berisi kopi hitam buatanku tadi masih tak bergeser dari tempatnya. Aku berdiam sejenak di meja mini bar. Memijat-mijat dahi serta pelipis yang terasa pusing. Malam pengantin yang seharusnya indah justru berubah menjadi malam pahit yang tidak pernah aku bayangkan sedikit saja. Kuhembus napas kasar. Setelah dirasa cukup, aku beranjak dari kursi untuk segera kembali ke dalam kamar. Namun kudengar pintu kamar mandi di dekat dapur ini terbuka dan Rakana muncul di sebaliknya. Pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Sepersekian detik sampai aku sadar dan buru-buru melangkah untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi saat aku akan melewati Rakana, tiba-tiba sekali dia mencekal lenganku. Menarik paksa lalu mendorongku sampai masuk ke dalam kamar mandi. Aku tersentak terlebih saat Rakana mengunci pintunya dan berdiri menghalangi pintu tersebut, seakan sedang membuatku terkurung bersamanya di sini. ."Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany
"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
"Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Raka ...." Aku menyeru namanya dengan suara terdengar lemah.Tangan Rakana masih mencekal lenganku begitu erat. Dia juga melayangkan tatapan tajam yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan memelas."Pasti kamu 'kan yang udah bicara sama Bang Fahad, supaya dia mengusir aku dan Faula dari sini?" tuduhnya tanpa tedeng aling-aling.Keningku sontak melipat, menatap lelaki itu dengan mata memicing. "Maksud kamu apa?!" Suaraku terdengar meninggi. Tidak terima dengan tuduhannya.Rakana mendecak. "Semalam, pasti kamu mendengar pembicaraan aku sama Faula 'kan? Entah kamu juga melihat atau enggak saat aku menenangkan Faula dengan memeluknya. Aku yakin, kamu pasti cemburu. Aku yakin sekali, kamu gak terima karena aku menenangkan dia seperti itu. Terus, kamu laporan sama Bang Fahad. Kamu bicara sama dia supaya dia mengusir aku pagi ini dari sini. Iya kan? Kenapa, Chi? Kenapa kamu tega? Papa dan Mamaku sudah mengusir aku dari rumah. Ter
Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam