Share

Body Shaming

"Si—siapa takut?!"

Dia jual, aku borong lah!

Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku.

Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli.

Sialan.

Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga?

Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding?

Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku.

Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang.

Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang yang begitu asing seperti Bang Fahad. Rasanya itu adalah kesialan yang pernah aku dapatkan dalam hidup selama dua puluh tiga tahun umurku.

Hal paling berharga dan sepenuhnya aku jaga untuk suamiku, tapi harus kupersembahkan demi membuktikan tuduhannya tidak benar sama sekali.

TING TONG!

Bang Fahad mengangkat wajah saat bel rumah ini terdengar. Aktivitas gila yang dia lakukan padaku tentu saja berhenti. Dia bangkit hingga tubuhnya tegak dan cekalannya di pergelangan tanganku terlepas. Membuatku bisa bernapas sedikit lega.

"Ganti tilam kasurnya. Saya tidak suka tidur di tempat yang kotor. Dan juga ganti kopinya. Itu tidak layak diminum!" tukasnya sebelum keluar dari kamar.

Setelah pintu kamar terdengar ditutup, aku pun bangkit dengan segera. Terduduk di ujung tempat tidur sambil menghela napas berat.

"Dasar lelaki tua! Tahu begini, mendingan pernikahanku batal sekalian!" Aku menggerutu sambil menghentakkan kaki ke lantai.

Aku kesal sekali. Belum satu hari menikah, tapi sudah makan hati. Ya Tuhan, tolong hambamu ini.

Dengan lunglai aku pun bangkit. Menyiapkan seprei berwarna abu-abu untuk mengganti seprei putih yang tercecer sedikit cairan kopi tadi.

Berdiri di dekat nakas, aku menatap gelas kopi yang masih penuh.

"Harusnya tadi aku siram aja muka dia sama kopi ini!" ocehku sambil mengangkat gelas kopi di tangan. Menatapnya dengan perasaan kesal sebelum kemudian bergegas keluar dari kamar.

Aku belum tahu siapa yang datang. Pintu kamar ini menghadap ke ruang keluarga, dan aku terus berjalan menuju dapur. Membuatkan kopi yang baru untuk mengganti kopi sebelumnya. Kali ini, aku mencicipinya terlebih dulu. Dan well, rasanya tidak pahit. Aku rasa, Bang Fahad memiliki masalah dengan lidahnya.

Iya, lidahnya memang bermasalah. Selain tidak bisa membedakan pahit dan manis, lidahnya itu sangat licin hingga mudah menyudutkan orang.

Kopi itu masih di dapur, aku akan melihat siapa yang datang dan mungkin menawarkannya minuman. Semoga saja tidak meminta kopi juga.

Langkahku terhenti setelah kaki ini menginjak ruangan depan.

"Ra—raka?" ucapku terbata.

Rakana dan Faula berdiri di samping sofa panjang. Mereka basah kuyup dan Raka terlihat menggigil. Sedetik kemudian, tubuh Faula bahkan oleng ke arah Raka yang sigap menahannya.

"Bang, tolonglah. Aku gak tahu harus ke mana lagi," ucap Raka memelas pada Bang Fahad.

Apa maksudnya Rakana berkata begitu?

Terdengar Bang Fahad menghela napasnya. Dia yang semula duduk sambil mengangkat satu kakinya itu kemudian terlihat bangkit.

"Hanya malam ini! Gunakan kamar tamu!" kata Bang Fahad kemudian berbalik badan dengan cepat.

Dia berjalan mendekat padaku dan tiba-tiba menarik pergelangan tanganku. Menyeretku hingga tertatih-tatih mengikutinya sampai masuk ke dalam kamar.

BLAMMM!

Pintu ditutup dengan keras disusul anak kunci yang diputar.

"Tidur!" titahnya setelah mengunci pintu dan melepaskan cekalan tangannya.

Dia berjalan cepat melewatiku. Melepas atasan piyamanya hingga bertelanjang dada, lalu secepatnya ia melompat ke atas tempat tidur hingga tengkurap.

Selain tua dan gila, dia juga sepertinya senang membuat orang jantungan. Sebab belum reda keterkejutanku akan kedatangan Raka dan Faula ke rumah ini, sekarang dia meminta tidur dan kasur yang hanya satu di kamar ini sudah ditempatinya.

Kita akan tidur seranjang maksudnya?

Hiiyyyy ...

Aku takut dia kurang ajar saat aku sedang tidur.

Aku harus bagaimana?

Masih dengan kebingungan yang melanda. Tampak Bang Fahad membalikkan tubuhnya hingga terlentang. Kepalanya disangga bantal dan dia menatap lurus padaku yang masih berdiri di dekat pintu.

"Kamu gak denger? Saya bilang tidur!" tegasnya dengan raut wajah begitu dingin.

"A—aku gak mau tidur satu ranjang," jawabku akhirnya.

Alis Bang Fahad terangkat menatapku. "Kamu pikir karena satu ranjang, saya akan menyentuh kamu?" Terdengar ia lalu mendecih. "Badan kurus begitu memang saya akan bernafsu?" Dia geleng-geleng kepala.

"Ck. Saya curiga, kamu selama pacaran gak pernah dikasih makan sama Raka. Cuma dijejali janji-janji palsu," sindirnya lagi-lagi menyudutkan.

Kedua tanganku terkepal. Aku membawa kaki ini melangkah mendekati spring bed hingga berada lebih dekat dengannya.

"Tinggi badanku 170 sentimeter. Berat badanku 63 kilo. Artinya aku memiliki tubuh ideal. Jangan seenaknya anda body shaming! Ada juga anda sudah tua tapi gak bisa jaga ucapan!" sungutku kesal.

Bang Fahad tersenyum miring. "Tua-tua begini saya masih kuat. Lagipula saya gak body shaming. Memang kenyataannya kamu itu kurus. Kamu lihat dada kamu, terlalu rata, masih lebih besar genggaman tangan saya!" ucapnya sambil menunjukkan tangan kanan yang terkepal. Refleks aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Sialnya bang Fahad justru tertawa, setelah itu dia mengulurkan tangan pada tembok samping headboard kasur dan tiba-tiba lampu kamar ini pun padam. Menjadi temaram dengan pencahayaan hanya dari lampu duduk di atas nakas.

"Cepat tidur! Tidur cukup dan berkualitas sangat bagus untuk otak. Itu pun kalau otak kamu belum rusak!" sinisnya lagi yang kini sudah menarik selimut menutupi hingga pinggang, bahkan sudah berbalik dan memunggungi sisi kosong yang tidak lain adalah tempat untukku.

Kedua tanganku mengepal. Bang Fahad sungguh menyebalkan. Lidahnya lebih tajam dari lidah mertua di sinetron.

Aku menggeram tertahan seraya naik ke tempat tidur. Aku bergerak kasar dan tidak peduli andai dia terganggu. Aku berbaring turut membelakanginya dengan selimut yang kutarik menutupi tubuh.

Walau pun hati jengkel, aku mencoba untuk tertidur. Memejamkan mata dan berusaha menyambut mimpi indahku. Tapi sayangnya tidak bisa. Mataku ingin terus berjaga. Tidak ada rasa kantuk yang biasanya menuntunku untuk terlelap. Mungkin, suasana hati yang buruk sangatlah berpengaruh.

Akhirnya aku tetap terjaga. Berkelana pada masa lalu. Meski menyakitkan, tapi bukan hal mudah melupakannya. Entah sudah berapa jam terlewati dengan mata yang terus terjaga.

Meski hatiku terluka dan nyeri, tapi kebersamaan dengan Rakana selama tujuh tahun lamanya seolah terus berputar dalam memori. Tidak mampu kulenyapkan begitu saja.

Sebenarnya aku sudah mengenal Rakana sejak awal masuk sekolah menengah pertama. Saat itu kami berbeda kelas. Hanya sebatas mengenal karena sama-sama sebagai pengurus OSIS. Hingga tiba melanjutkan SMA, dan masuk kelas sebelas kami satu kelas di jurusan yang sama.

Hal itulah yang membuatku lebih mengenalnya. Berteman lalu dekat. Hingga sama-sama timbul perasaan dan akhirnya kami resmi berpacaran. Sampai kuliah, lulus dan bekerja di tempat yang juga sama. Kami masih bersama. Nyaris tidak ada satu hari pun yang terlewat begitu saja tanpa berjumpa.

Katakan padaku, bagaimana caranya aku memupus semua kenangan bersama dengan dia?

Beritahu aku cara melupakannya yang selama bertahun-tahun selalu bersamaku?

Jika bisa, ajarkan aku untuk merelakannya yang bukan lagi bagian hidupku sekarang. Tapi jika tidak, aku harus bagaimana?

Sungguh, aku masih sangat berharap ini hanyalah mimpi buruk yang menimpaku.

Namun tiba-tiba aku merasakan tenggorokan ini kering dan perlu meminum air. Menyadarkan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Semua ini nyata. Sangat nyata dan entah bagaimana aku menjalani hari-hariku ke depannya.

Gagal menikah dengan Rakana, tapi malah dinikahi Abangnya yang sombong dan angkuh.

Entahlah.

Kenapa rasanya hidup jadi se-menyedihkan ini?

Perlahan aku pun bangkit sampai akhirnya terduduk, tetapi aku tidak menemukan gelas berisi air yang biasa disediakan ART.

Kuhembus napas kasar, mau tak mau aku turun dari tempat tidur. Kalau tidak segera minum kemungkinan tenggorokanku makin kering dan sakit.

Aku berjalan pelan menuju pintu, membukanya lalu ke luar. Berjalan melewati beberapa ruangan yang juga temaram, hingga sampailah aku di dapur. Duduk di kursi mini bar yang jadi penghalang meja makan dengan kitchen set. Menuangkan air memenuhi gelas lalu meneguknya cepat hingga merasa lebih lega. Aku juga melihat gelas yang masih berisi kopi hitam buatanku tadi masih tak bergeser dari tempatnya.

Aku berdiam sejenak di meja mini bar. Memijat-mijat dahi serta pelipis yang terasa pusing. Malam pengantin yang seharusnya indah justru berubah menjadi malam pahit yang tidak pernah aku bayangkan sedikit saja.

Kuhembus napas kasar.

Setelah dirasa cukup, aku beranjak dari kursi untuk segera kembali ke dalam kamar.

Namun kudengar pintu kamar mandi di dekat dapur ini terbuka dan Rakana muncul di sebaliknya. Pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Sepersekian detik sampai aku sadar dan buru-buru melangkah untuk meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi saat aku akan melewati Rakana, tiba-tiba sekali dia mencekal lenganku. Menarik paksa lalu mendorongku sampai masuk ke dalam kamar mandi.

Aku tersentak terlebih saat Rakana mengunci pintunya dan berdiri menghalangi pintu tersebut, seakan sedang membuatku terkurung bersamanya di sini.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status