"Si—siapa takut?!"
Dia jual, aku borong lah! Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku. Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli. Sialan. Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga? Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding? Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku. Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang yang begitu asing seperti Bang Fahad. Rasanya itu adalah kesialan yang pernah aku dapatkan dalam hidup selama dua puluh tiga tahun umurku. Hal paling berharga dan sepenuhnya aku jaga untuk suamiku, tapi harus kupersembahkan demi membuktikan tuduhannya tidak benar sama sekali. TING TONG! Bang Fahad mengangkat wajah saat bel rumah ini terdengar. Aktivitas gila yang dia lakukan padaku tentu saja berhenti. Dia bangkit hingga tubuhnya tegak dan cekalannya di pergelangan tanganku terlepas. Membuatku bisa bernapas sedikit lega. "Ganti tilam kasurnya. Saya tidak suka tidur di tempat yang kotor. Dan juga ganti kopinya. Itu tidak layak diminum!" tukasnya sebelum keluar dari kamar. Setelah pintu kamar terdengar ditutup, aku pun bangkit dengan segera. Terduduk di ujung tempat tidur sambil menghela napas berat. "Dasar lelaki tua! Tahu begini, mendingan pernikahanku batal sekalian!" Aku menggerutu sambil menghentakkan kaki ke lantai. Aku kesal sekali. Belum satu hari menikah, tapi sudah makan hati. Ya Tuhan, tolong hambamu ini. Dengan lunglai aku pun bangkit. Menyiapkan seprei berwarna abu-abu untuk mengganti seprei putih yang tercecer sedikit cairan kopi tadi. Berdiri di dekat nakas, aku menatap gelas kopi yang masih penuh. "Harusnya tadi aku siram aja muka dia sama kopi ini!" ocehku sambil mengangkat gelas kopi di tangan. Menatapnya dengan perasaan kesal sebelum kemudian bergegas keluar dari kamar. Aku belum tahu siapa yang datang. Pintu kamar ini menghadap ke ruang keluarga, dan aku terus berjalan menuju dapur. Membuatkan kopi yang baru untuk mengganti kopi sebelumnya. Kali ini, aku mencicipinya terlebih dulu. Dan well, rasanya tidak pahit. Aku rasa, Bang Fahad memiliki masalah dengan lidahnya. Iya, lidahnya memang bermasalah. Selain tidak bisa membedakan pahit dan manis, lidahnya itu sangat licin hingga mudah menyudutkan orang. Kopi itu masih di dapur, aku akan melihat siapa yang datang dan mungkin menawarkannya minuman. Semoga saja tidak meminta kopi juga. Langkahku terhenti setelah kaki ini menginjak ruangan depan. "Ra—raka?" ucapku terbata. Rakana dan Faula berdiri di samping sofa panjang. Mereka basah kuyup dan Raka terlihat menggigil. Sedetik kemudian, tubuh Faula bahkan oleng ke arah Raka yang sigap menahannya. "Bang, tolonglah. Aku gak tahu harus ke mana lagi," ucap Raka memelas pada Bang Fahad. Apa maksudnya Rakana berkata begitu? Terdengar Bang Fahad menghela napasnya. Dia yang semula duduk sambil mengangkat satu kakinya itu kemudian terlihat bangkit. "Hanya malam ini! Gunakan kamar tamu!" kata Bang Fahad kemudian berbalik badan dengan cepat. Dia berjalan mendekat padaku dan tiba-tiba menarik pergelangan tanganku. Menyeretku hingga tertatih-tatih mengikutinya sampai masuk ke dalam kamar. BLAMMM! Pintu ditutup dengan keras disusul anak kunci yang diputar. "Tidur!" titahnya setelah mengunci pintu dan melepaskan cekalan tangannya. Dia berjalan cepat melewatiku. Melepas atasan piyamanya hingga bertelanjang dada, lalu secepatnya ia melompat ke atas tempat tidur hingga tengkurap. Selain tua dan gila, dia juga sepertinya senang membuat orang jantungan. Sebab belum reda keterkejutanku akan kedatangan Raka dan Faula ke rumah ini, sekarang dia meminta tidur dan kasur yang hanya satu di kamar ini sudah ditempatinya. Kita akan tidur seranjang maksudnya? Hiiyyyy ... Aku takut dia kurang ajar saat aku sedang tidur. Aku harus bagaimana? Masih dengan kebingungan yang melanda. Tampak Bang Fahad membalikkan tubuhnya hingga terlentang. Kepalanya disangga bantal dan dia menatap lurus padaku yang masih berdiri di dekat pintu. "Kamu gak denger? Saya bilang tidur!" tegasnya dengan raut wajah begitu dingin. "A—aku gak mau tidur satu ranjang," jawabku akhirnya. Alis Bang Fahad terangkat menatapku. "Kamu pikir karena satu ranjang, saya akan menyentuh kamu?" Terdengar ia lalu mendecih. "Badan kurus begitu memang saya akan bernafsu?" Dia geleng-geleng kepala. "Ck. Saya curiga, kamu selama pacaran gak pernah dikasih makan sama Raka. Cuma dijejali janji-janji palsu," sindirnya lagi-lagi menyudutkan. Kedua tanganku terkepal. Aku membawa kaki ini melangkah mendekati spring bed hingga berada lebih dekat dengannya. "Tinggi badanku 170 sentimeter. Berat badanku 63 kilo. Artinya aku memiliki tubuh ideal. Jangan seenaknya anda body shaming! Ada juga anda sudah tua tapi gak bisa jaga ucapan!" sungutku kesal. Bang Fahad tersenyum miring. "Tua-tua begini saya masih kuat. Lagipula saya gak body shaming. Memang kenyataannya kamu itu kurus. Kamu lihat dada kamu, terlalu rata, masih lebih besar genggaman tangan saya!" ucapnya sambil menunjukkan tangan kanan yang terkepal. Refleks aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sialnya bang Fahad justru tertawa, setelah itu dia mengulurkan tangan pada tembok samping headboard kasur dan tiba-tiba lampu kamar ini pun padam. Menjadi temaram dengan pencahayaan hanya dari lampu duduk di atas nakas. "Cepat tidur! Tidur cukup dan berkualitas sangat bagus untuk otak. Itu pun kalau otak kamu belum rusak!" sinisnya lagi yang kini sudah menarik selimut menutupi hingga pinggang, bahkan sudah berbalik dan memunggungi sisi kosong yang tidak lain adalah tempat untukku. Kedua tanganku mengepal. Bang Fahad sungguh menyebalkan. Lidahnya lebih tajam dari lidah mertua di sinetron. Aku menggeram tertahan seraya naik ke tempat tidur. Aku bergerak kasar dan tidak peduli andai dia terganggu. Aku berbaring turut membelakanginya dengan selimut yang kutarik menutupi tubuh. Walau pun hati jengkel, aku mencoba untuk tertidur. Memejamkan mata dan berusaha menyambut mimpi indahku. Tapi sayangnya tidak bisa. Mataku ingin terus berjaga. Tidak ada rasa kantuk yang biasanya menuntunku untuk terlelap. Mungkin, suasana hati yang buruk sangatlah berpengaruh. Akhirnya aku tetap terjaga. Berkelana pada masa lalu. Meski menyakitkan, tapi bukan hal mudah melupakannya. Entah sudah berapa jam terlewati dengan mata yang terus terjaga. Meski hatiku terluka dan nyeri, tapi kebersamaan dengan Rakana selama tujuh tahun lamanya seolah terus berputar dalam memori. Tidak mampu kulenyapkan begitu saja. Sebenarnya aku sudah mengenal Rakana sejak awal masuk sekolah menengah pertama. Saat itu kami berbeda kelas. Hanya sebatas mengenal karena sama-sama sebagai pengurus OSIS. Hingga tiba melanjutkan SMA, dan masuk kelas sebelas kami satu kelas di jurusan yang sama. Hal itulah yang membuatku lebih mengenalnya. Berteman lalu dekat. Hingga sama-sama timbul perasaan dan akhirnya kami resmi berpacaran. Sampai kuliah, lulus dan bekerja di tempat yang juga sama. Kami masih bersama. Nyaris tidak ada satu hari pun yang terlewat begitu saja tanpa berjumpa. Katakan padaku, bagaimana caranya aku memupus semua kenangan bersama dengan dia? Beritahu aku cara melupakannya yang selama bertahun-tahun selalu bersamaku? Jika bisa, ajarkan aku untuk merelakannya yang bukan lagi bagian hidupku sekarang. Tapi jika tidak, aku harus bagaimana? Sungguh, aku masih sangat berharap ini hanyalah mimpi buruk yang menimpaku. Namun tiba-tiba aku merasakan tenggorokan ini kering dan perlu meminum air. Menyadarkan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Semua ini nyata. Sangat nyata dan entah bagaimana aku menjalani hari-hariku ke depannya. Gagal menikah dengan Rakana, tapi malah dinikahi Abangnya yang sombong dan angkuh. Entahlah. Kenapa rasanya hidup jadi se-menyedihkan ini? Perlahan aku pun bangkit sampai akhirnya terduduk, tetapi aku tidak menemukan gelas berisi air yang biasa disediakan ART. Kuhembus napas kasar, mau tak mau aku turun dari tempat tidur. Kalau tidak segera minum kemungkinan tenggorokanku makin kering dan sakit. Aku berjalan pelan menuju pintu, membukanya lalu ke luar. Berjalan melewati beberapa ruangan yang juga temaram, hingga sampailah aku di dapur. Duduk di kursi mini bar yang jadi penghalang meja makan dengan kitchen set. Menuangkan air memenuhi gelas lalu meneguknya cepat hingga merasa lebih lega. Aku juga melihat gelas yang masih berisi kopi hitam buatanku tadi masih tak bergeser dari tempatnya. Aku berdiam sejenak di meja mini bar. Memijat-mijat dahi serta pelipis yang terasa pusing. Malam pengantin yang seharusnya indah justru berubah menjadi malam pahit yang tidak pernah aku bayangkan sedikit saja. Kuhembus napas kasar. Setelah dirasa cukup, aku beranjak dari kursi untuk segera kembali ke dalam kamar. Namun kudengar pintu kamar mandi di dekat dapur ini terbuka dan Rakana muncul di sebaliknya. Pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Sepersekian detik sampai aku sadar dan buru-buru melangkah untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi saat aku akan melewati Rakana, tiba-tiba sekali dia mencekal lenganku. Menarik paksa lalu mendorongku sampai masuk ke dalam kamar mandi. Aku tersentak terlebih saat Rakana mengunci pintunya dan berdiri menghalangi pintu tersebut, seakan sedang membuatku terkurung bersamanya di sini. ."Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany
"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
"Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Raka ...." Aku menyeru namanya dengan suara terdengar lemah.Tangan Rakana masih mencekal lenganku begitu erat. Dia juga melayangkan tatapan tajam yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan memelas."Pasti kamu 'kan yang udah bicara sama Bang Fahad, supaya dia mengusir aku dan Faula dari sini?" tuduhnya tanpa tedeng aling-aling.Keningku sontak melipat, menatap lelaki itu dengan mata memicing. "Maksud kamu apa?!" Suaraku terdengar meninggi. Tidak terima dengan tuduhannya.Rakana mendecak. "Semalam, pasti kamu mendengar pembicaraan aku sama Faula 'kan? Entah kamu juga melihat atau enggak saat aku menenangkan Faula dengan memeluknya. Aku yakin, kamu pasti cemburu. Aku yakin sekali, kamu gak terima karena aku menenangkan dia seperti itu. Terus, kamu laporan sama Bang Fahad. Kamu bicara sama dia supaya dia mengusir aku pagi ini dari sini. Iya kan? Kenapa, Chi? Kenapa kamu tega? Papa dan Mamaku sudah mengusir aku dari rumah. Ter
Aku menggigit bibir, menahan kepanikan yang menggelegak dalam dada. Tanganku terus menekan sisi perut Bang Fahad, berusaha mengurangi pendarahan."Pa, cepat! Kita harus segera sampai!"Mobil melaju kencang membelah jalanan sepi dini hari. Mama menangis tertahan di sampingku, menggenggam tangan Bang Fahad yang kini dingin."Fahad, bertahanlah. Tolong bertahan!" isak Mama, seolah ketakutan akan kehilangan seseorang lagi setelah Mas Althaf pergi untuk selamanya.Aku menatap wajah Bang Fahad yang semakin pucat. Perasaan aneh berkecamuk dalam dadaku. Harusnya aku tidak peduli. Harusnya aku membiarkan dia mati karena kehabisan darah.Tapi saat ini, melihatnya dalam keadaan seperti ini, jujur saja aku merasa sesak. Aku kasihan padanya. Tidak tega. Apa kebencianku hanya setengah hati? Apa aku tidak benar-benar membencinya?Mobil akhirnya berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Papa tampak buru-buru keluar untuk meminta bantuan. Dalam hitungan detik, beberapa petugas medis datang me
"Apa, Chi? Tinggal di luar negeri? Kenapa tiba-tiba kamu bicara begini?" tanya Mama dengan ekspresi terkejut."Iya, Chi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba sekali kamu ingin tinggal di luar negeri. Ada apa?" Papa menimpali dengan reaksi tak kalah terkejutnya.Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya sekaligus. Kedua tangan terangkat meraup wajah, meremas kepala kemudian barulah menatap Mama dan Papa lagi."Mama dan Papa sudah tahu, kalau Bang Fahad ada di kota ini juga. Dia ... masih terus menemuiku, Ma, Pa. Dia masih terus saja muncul di hadapanku. Dia bersikap seolah-olah ingin menebus kesalahannya di masa lalu terhadap kita. Dan tentu saja aku marah terus-terusan bertemu dia. Mama dan Papa tahu, bagaimana aku membenci dia setengah mati. Makanya, aku ingin tinggal di luar negeri. Di tempat yang jauh dan gak akan pernah bertemu lagi dengan dia," jelasku akhirnya."Kita lebih dulu tinggal di kota ini, Chi. Kalaupun harus ada yang pergi, itu bukan kamu atau kita. Tapi, ya dia.
Pagi ini udara terasa lebih segar dari biasanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja setelah semalam aku bisa sedikit melupakan kesedihan karena kematian Mas Althaf. Meski caranya tidak dibenarkan, tapi aku rasa itu tidak merugikan siapapun.Dengan pakaian olahraga dan earphone terpasang di telinga, aku siap keluar dari rumah untuk melakukan jogging pagi ini. Tapi belum sempat melewati pagar, Mama lebih dulu datang dan menahan kepergianku."Chi, sebentar," ucapnya dengan lembut.Aku melepas satu sisi earphone. "Ada apa, Ma?"Mama menatapku lama, seakan mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkan. "Kamu pulang larut tadi malam?"Aku menghembus napas kasar. "Iya, Ma. Maaf, aku keasyikan keliling mall terus nonton di bioskopnya, enggak sadar udah larut."Mama menghela napas. "Iya, Papa juga bilang kamu pulang kemalaman karena nonton bioskop, tapi mama rasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku melangkah cepat menuju mobil, telapak tanganku masih terasa panas setelah dua kali menampar wajah Bang Fahad. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari laki-laki itu, tak ingin mendengar suaranya, apalagi melihat wajahnya.Namun, baru saja meraih gagang pintu mobil, seseorang menarik pergelangan tanganku dari belakang. Seketika aku menoleh dan menemukan Bang Fahad yang melakukannya. Dia mencengkram pergelangan tanganku sambil menyudutkan pada badan mobil."Kamu berpikir saya merencanakan semua ini?" tanyanya dengan suara masih tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tidak terima.Aku mendengkus, menepis tangannya dengan kasar. "Pergi dari sini! Pergi dari hadapanku!"Bang Fahad menghela napas panjang. "Chi, kamu enggak tahu betapa khawatirnya saya ketika melihat kamu tadi. Kenapa kamu berpikir kalau saya mengenal orang-orang itu?"Aku tertawa sinis. "Khawatir? Jangan pura-pura peduli, Bang! Jangan berlaku seolah-olah Abang adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan aku malam ini. Aku tahu
Aku kembali meronta di dalam gendongan Bang Fahad, tapi dia tetap berjalan tegap hingga keluar dari area taman tanpa mengindahkan protesku. Napasku tersengal, dada terasa sesak karena emosi yang memuncak."Turunin aku, Bang! Aku bisa pulang sendiri!" seruku sambil mencari-cari pegangan berharap bisa bertumpu pada sesuatu dan menghentikan langkahnya.Bang Fahad hanya menghela napas, lalu sedikit mengeratkan lengannya agar aku tidak banyak bergerak. "Jangan banyak gerak, Chi. Nanti kaki kamu makin sakit.""Aku gak peduli! Aku lebih baik ngesot pulang daripada harus digendong Abang!" Aku menggertakkan gigi, tapi laki-laki itu tetap tak menggubrisku.Dia terus berjalan menyusuri trotoar jalanan kian menjauh dari taman. Sementara aku terus meronta meski tenagaku tak seberapa besar dan kalah telak dengan tenaga Bang Fahad."Turunin aku, Bang! Apa Abang udah gak bisa denger?!" teriakku kembali. Namun Bang Fahad tidak jug
Namun sepertinya Bang Fahad terus saja mengikuti, hingga ia berhasil menyamai langkahku lagi dan berlari tepat di lintasan di sebelahku. Akhirnya aku berhenti berlari lalu beralih menatapnya dengan pandangan penuh kebencian."Mau apalagi, sih? Gak ada tempat lain yang bisa Anda datangi selain taman ini?!" tegasku dengan memasang wajah muak yang semoga bisa ia pahami.Terdengar laki-laki itu berdehem seraya memutar tubuh hingga tak lagi berhadapan denganku. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh ke sini, termasuk saya.""Memang, tapi aku muak bertemu Abang lagi, Abang lagi. Ngapain sih, ngikutin aku terus? Mau apa? Kita sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Apalagi yang membuat Abang selalu muncul di hadapanku?" cecarku kemudian.Tampak laki-laki itu menggeleng dengan pandangan yang masih lurus ke depan, sebelum detik berikutnya berubah hingga menghadapku. "Saya mau memastikan kamu baik-baik saja, Chi."Aku mendecih kesal. "Abang buta? Abang gak lihat? Aku sekarang di hadapan Abang seh
"Aakhhh!" Aku memukul setir kemudi berulang, meluapkan kekesalan yang memenuhi hati. Entah bagaimana, Bang Fahad bisa datang dan mengacaukan niatku.Aku tahu apa yang akan kulakukan memang tidak dibenarkan, tapi sekali lagi aku tekankan, aku hanya sedang membutuhkan pelarian agar tidak tertekan atas kematian Mas Althaf. Mungkin saja, satu atau dua gelas minuman di klub malam tadi bisa menenangkan pikiranku. Tapi sialnya, Bang Fahad datang dan berlagak seperti orang suci."Memuakkan. Kenapa dia masih di kota ini? Dia juga tahu kematian Mas Althaf. Apa dia benar mengawasiku? Kalau iya, buat apa? Buat apalagi dia datang dalam kehidupanku? Aarghhh! Menyebalkan!" Aku merutuk sambil mengemudi, teringat pertemuan di klub malam tadi dengan Bang Fahad.Laki-laki yang kubenci setengah mati, sekarang justru hadir kembali dalam kehidupanku. Aku benar-benar muak.Setelah tiga tahun sebelumnya dia menghempasku seperti seonggok sampah, sekara
"Chi ... kamu mau minum? Sadar, Chiara. Itu gak baik. Minuman yang ada di sini itu beralkohol dan kamu pasti tahu kalau itu haram."Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan muak. Amarah seketika memenuhi dada melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul dan menghalangi apa yang hendak aku lakukan."Apa peduli kamu? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan rahang mengeras. Aku memang sudah memaafkan Bang Fahad atas kesalahannya, tapi bukan berarti aku bisa menerima kehadirannya kembali."Tentu saya peduli, Chi. Saya sangat peduli. Saya tahu kamu sedih atas kematian dokter Althaf, tapi tidak seperti ini caranya, Chi," ucapnya membuat telingaku rasanya panas.Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. "Pergi," pintaku dengan jari telunjuk mengarah ke pintu masuk.Bang Fahad tampak menggeleng. "Saya tahu kamu sedang bersedih, Chi. Saya tahu keadaan kamu sekarang tidak baik-baik saja, tapi tidak seperti ini kamu mencari pelarian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, ada saya." Dia
POV CHIARA #Waktu tujuh hari berjalan dengan begitu lambat. Di mana setiap malamnya aku harus menghadapi kenyataan dengan adanya acara tahlilan di rumahku. Rumah yang selama satu tahun ini aku tempati bersama Mas Althaf.Tempat yang setiap sudutnya menguarkan aroma tubuh dari laki-laki itu, membuat dadaku sesak dan rasanya aku ingin menyusulnya saja.Aku tidak sanggup lebih lama menempati rumah itu seorang diri, karena setiap jengkalnya membangkitkan kenangan bersama Mas Althaf.Laki-laki yang menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang telah membawa pelangi serta semangat dalam hidupku yang semula gelap dan hancur usai kematian bayi yang sedang aku kandung karena kecelakaan.Setelah aku memutuskan untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Fahad, setelah aku mengikhlaskan hubungan kami yang baru seumur jagung itu, aku masih baik-baik saja.Aku juga mampu menjaga kandunganku yang semula d