Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.
Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai. Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam. Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh. Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya. Apalagi di luar sedang diguyur hujan. Air turun dari langit seperti ditumpahkan sejak tadi hingga kini belum reda. Seharusnya, menjadi moment yang sangat tepat untuk sepasang pengantin baru bukan? Aku tidak bisa menghindari, saat bayangan tentang Rakana hadir begitu saja. Kami tinggal serumah dan memulai malam pengantin kami lebih awal. Akh, hatiku kembali berdenyut dan itu terasa nyeri. Luka ini kembali tercabik-cabik rasanya. Krieeet! Pintu kamar berderit. Kontan aku menoleh dan Bang Fahad muncul dari balik pintu. Dia masuk dengan baju piyama warna putih lengan pendek. Wajahnya terlihat begitu bercahaya. Kedua alisnya tebal dengan hidung yang bangir. Sejenak kami beradu tatap, sebelum cepat aku memutus dengan menundukkan kepala. "Sudah puas melamun?" tanyanya membuatku mendongak. Ternyata, dia sudah berdiri di hadapanku. "Si—siapa yang melamun?" sanggahku cepat. "Keluar. Saya tunggu di meja makan. Jangan sampai kamu sakit dan orang tuamu mengira saya sudah menelantarkan anak perempuannya!" tegasnya sebelum berlalu keluar dari kamar. Meninggalkanku yang kebingungan. Refleks tanganku mengarah ke belakang leher dan menggaruk tipis tengkuk. Pelan aku pun bangkit dan berjalan keluar. Menyusul Bang Fahad yang sudah mengisi kursi makan. Aku mendekat dan ragu-ragu menghempas bobotku. Bang Fahad tampak menyiapkan piring makan hingga tersaji di hadapannya. Sementara aku masih diam. Sampai ia menatapku cukup tajam, tanpa suara tapi tangannya bergerak. Membalik piring putih di hadapanku. Mencentongkan nasi lalu mengisinya lauk. "Makan! Kalau mau melamun, lakukan itu setelah makan. Biar bertenaga dan kuat melamun sampai pagi!" sindirnya yang kemudian melanjutkan menyuap. Aku cemberut mendengarnya. Aku pun memulai makan malam dengan perasaan entah. Selang beberapa menit, Bang Fahad sudah menyelesaikan makanannya. Tampak ia membersihkan sekitar mulut dengan tisu. "Ini makanan terakhir yang dimasak pembantu di sini. Selesai makan, kamu bereskan mejanya. Setelah itu, buatkan kopi hitam dan antar ke kamar!" titahnya membuatku refleks tersedak. Terbatuk sampai akhirnya aku meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokan. "Jadi di sini gak ada pembantu?" tanyaku kaget. Bang Fahad menggeleng. "Sekarang tidak ada. Tadi siang saya memberinya pesangon. Dan sekarang, rumah ini tidak punya lagi ART. Kamu yang bertanggungjawab mengurus rumah saya!" Aku menelan saliva. "E ...." "Selesaikan makanmu. Bicara kalau makanmu sudah selesai!" tukasnya cepat. Ia sudah bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menghela napas kasar. Tangan menggebrak meja dengan perasaan kesal. Mimpi apa aku menikah dengan lelaki sepertinya, Ya Tuhan? Aku mendesah lalu menghabiskan makan malamku. Setelah selesai, kubereskan meja makan bundar ini. Membawa piring-piring kotor ke bak wastafel dan menutup makanan yang tersisa. Seperti titahnya, aku diminta membuatkannya kopi hitam. Masalahnya, selama ini aku tidak pernah turun ke dapur. Di rumah Mama dan Papa, aku dilayani pembantu. Bahkan saat bersama Rakana, aku dan ia sudah sepakat akan menyewa pembantu di rumah kami. Karena dia tahu, aku tidak pernah mengurus rumah. Gila saja sekarang aku harus melayani orang asing seperti Bang Fahad. Gelas kosong sudah siap. Aku mencari-cari toples kopi dan gula putihnya. Dengan pengetahuan terbatas karena baru pertama kalinya masuk ke dapur ini, aku pun menemukannya. Menuangkan beberapa sendok kopi hitam serta gula putihnya, kemudian menyeduh dengan air hangat dari dispenser. Begitu diaduk, wangi kopinya tercium di hidungku. Warnanya juga hitam pekat. Cepat aku membawanya ke kamar utama. Bang Fahad sudah duduk di tepi kasur. Bersandar pada headboard-nya dengan buku di tangan. Entah buku apa yang sedang ia baca, tapi ia terlihat begitu serius membaca di sana. Aku meneruskan langkah lalu menaruh gelas yang kubawa di meja nakas. Bertepatan dengan Bang Fahad yang menutup bukunya kemudian melihatku. "Ini kopinya, Bang," kataku. "Apa? Bang? Barusan kamu panggil apa? Bang? Kamu panggil saya Bang?" tanyanya kemudian dan aku hanya mengangguk mengiyakan. "Kamu pikir saya Abang pedagang bakso?" Aku menggeleng. "Bu—bukan. Usia Abang kan jauh di atasku. Ja—di aku panggil Abang," jelasku padanya. Terdengar ia justru mendecih. "Panggil saya, Mas! Sejak kapan juga saya jadi Abangmu?" Aku hanya melongo dengan ucapannya. Geli sekali rasanya aku harus memanggil dia Mas. Aku tidak bersuara lagi. Masih berdiri mematung di dekat meja nakas tanpa tahu harus berbuat apa. Ah, rasanya kaku dan kikuk sekali hidup bersama orang asing begini. Byurrrr! "FIUHHHH!" Aku tersentak saat Bang Fahad menyemburkan kopi yang baru ia seruput. Bahkan cairan hitam itu mengotori sprei putih yang membungkus tempat tidur. "Saya minta dibuatkan kopi, kenapa yang datang jamu brotowali?" Bang Fahad bertanya sambil menatapku lekat. "Ya—ya, itu kopi, Ba—em, Mas. Itu kopi, bukan jamu!" Terdengar ia mendecih dan melihatku dengan tatapan seperti mengejek. "Kamu tidak bisa membuat kopi, ya?" Aku menggeleng. Jujur. "Di rumah tidak ada yang suka kopi. Jadi, aku tidak pernah membuatkan kopi untuk siapapun." "Sudah saya duga. Gadis manja seperti kamu, tidak akan bisa melayani suaminya dengan baik. Biar saya tebak, kamu cuma bisa menghabiskan waktu untuk berpacaran dan haha hihi saja 'kan?" Kupingku memanas mendengarnya berkata demikian. "Jangan asal bicara, ya?!" Bang Fahad justru terkekeh. Dia turun dari tempat tidur hingga berdiri berhadapan denganku. "Saya gak asal bicara. Itu fakta. Berapa lama kamu berpacaran dengan Raka, hmm? Tujuh tahun 'kan? Dapat apa kamu pacaran selama itu dengan dia? Satu rumah? Satu mobil atau motor? Apa? Tujuh tahun orang lain gunakan untuk menyelesaikan pendidikan hingga mendapat gelar S2. Ambil cicilan rumah atau cicilan mobil. Kalau motor, mungkin sudah dapat dua unit. Terus kamu, apa yang kamu dapatkan dari waktu tujuh tahun bersama Rakana itu?" cecarnya membuatku merasa tersudut. Dagu Bang Fahad terangkat dan menatapku tajam. "Selama tujuh tahun itu, bagian tubuh mana yang sudah kamu berikan cuma-cuma untuk Rakana?" Mataku membulat mendengarnya. Sungguh, dia sudah merendahkanku. "Tutup mulut Anda. Aku memang berpacaran selama itu dengan Rakana, tapi aku tidak semurahan itu! Tubuhku masih perawan dan tersegel!" Aku benar-benar murka pada lelaki yang sialannya adalah suamiku. Bang Fahad tertawa. Tawa meledek dengan wajah terlihat menyebalkan itu. "Siapa bisa menjamin? Tujuh tahun bukan waktu sebentar. Kamu juga sering sekali ke rumah kami. Papa di kantor, Mama di ruangan televisi atau pergi arisan, saya di ruang baca dan kamu dengan Raka di lantai atas. Tidak mungkin kalian tidak berbuat apa-apa!" Aku benar-benar geram. Harga diri rasanya terkoyak. Apa orang berpacaran selalu identik dengan hal yang tidak-tidak? "Aku dan Rakana tidak pernah berbuat apa-apa! Aku tidak pernah disentuh Rakana lebih dari sekedar berpegangan tangan! Aku bisa menjaga diri! Aku ini masih suci! Jangan asal bicara!" Aku berteriak sambil memukuli dada Bang Fahad dengan tangan terkepal. Tidak peduli apa yang kulakukan. Yang jelas aku merasa marah. Sangat marah karena Bang Fahad sudah memandangku begitu rendah dan seolah-olah aku ini sudah tidak perawan selama berpacaran dengan Rakana. Brukkk! Aku kalut saat memukuli dada Bang Fahad, tanpa kuduga dia mencekal pergelangan tanganku dan mendorongku terjatuh di tempat tidur bersamanya yang kini berada di atas tubuhku. Matanya mengunci menatapku. Tenaganya begitu kuat saat aku mencoba melepaskan diri. "Masih suci? Masih perawan? Kita buktikan malam ini, hmmm?" ."Si—siapa takut?!"Dia jual, aku borong lah!Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku.Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli.Sialan.Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga?Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding?Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku.Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang.Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang y
"Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany
"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
"Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d