Share

Buktikan Malam Ini

Author: Sity Mariah
last update Last Updated: 2024-09-26 11:16:41

Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.

Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai.

Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam.

Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh.

Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya.

Apalagi di luar sedang diguyur hujan. Air turun dari langit seperti ditumpahkan sejak tadi hingga kini belum reda.

Seharusnya, menjadi moment yang sangat tepat untuk sepasang pengantin baru bukan?

Aku tidak bisa menghindari, saat bayangan tentang Rakana hadir begitu saja. Kami tinggal serumah dan memulai malam pengantin kami lebih awal.

Akh, hatiku kembali berdenyut dan itu terasa nyeri. Luka ini kembali tercabik-cabik rasanya.

Krieeet!

Pintu kamar berderit. Kontan aku menoleh dan Bang Fahad muncul dari balik pintu.

Dia masuk dengan baju piyama warna putih lengan pendek. Wajahnya terlihat begitu bercahaya. Kedua alisnya tebal dengan hidung yang bangir. Sejenak kami beradu tatap, sebelum cepat aku memutus

dengan menundukkan kepala.

"Sudah puas melamun?" tanyanya membuatku mendongak. Ternyata, dia sudah berdiri di hadapanku.

"Si—siapa yang melamun?" sanggahku cepat.

"Keluar. Saya tunggu di meja makan. Jangan sampai kamu sakit dan orang tuamu mengira saya sudah menelantarkan anak perempuannya!" tegasnya sebelum berlalu keluar dari kamar.

Meninggalkanku yang kebingungan. Refleks tanganku mengarah ke belakang leher dan menggaruk tipis tengkuk.

Pelan aku pun bangkit dan berjalan keluar. Menyusul Bang Fahad yang sudah mengisi kursi makan. Aku mendekat dan ragu-ragu menghempas bobotku.

Bang Fahad tampak menyiapkan piring makan hingga tersaji di hadapannya. Sementara aku masih diam. Sampai ia menatapku cukup tajam, tanpa suara tapi tangannya bergerak. Membalik piring putih di hadapanku. Mencentongkan nasi lalu mengisinya lauk.

"Makan! Kalau mau melamun, lakukan itu setelah makan. Biar bertenaga dan kuat melamun sampai pagi!" sindirnya yang kemudian melanjutkan menyuap.

Aku cemberut mendengarnya. Aku pun memulai makan malam dengan perasaan entah. Selang beberapa menit, Bang Fahad sudah menyelesaikan makanannya. Tampak ia membersihkan sekitar mulut dengan tisu.

"Ini makanan terakhir yang dimasak pembantu di sini. Selesai makan, kamu bereskan mejanya. Setelah itu, buatkan kopi hitam dan antar ke kamar!" titahnya membuatku refleks tersedak.

Terbatuk sampai akhirnya aku meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokan.

"Jadi di sini gak ada pembantu?" tanyaku kaget.

Bang Fahad menggeleng. "Sekarang tidak ada. Tadi siang saya memberinya pesangon. Dan sekarang, rumah ini tidak punya lagi ART. Kamu yang bertanggungjawab mengurus rumah saya!"

Aku menelan saliva.

"E ...."

"Selesaikan makanmu. Bicara kalau makanmu sudah selesai!" tukasnya cepat. Ia sudah bangkit dan meninggalkan meja makan.

Aku menghela napas kasar. Tangan menggebrak meja dengan perasaan kesal.

Mimpi apa aku menikah dengan lelaki sepertinya, Ya Tuhan?

Aku mendesah lalu menghabiskan makan malamku. Setelah selesai, kubereskan meja makan bundar ini. Membawa piring-piring kotor ke bak wastafel dan menutup makanan yang tersisa.

Seperti titahnya, aku diminta membuatkannya kopi hitam. Masalahnya, selama ini aku tidak pernah turun ke dapur. Di rumah Mama dan Papa, aku dilayani pembantu. Bahkan saat bersama Rakana, aku dan ia sudah sepakat akan menyewa pembantu di rumah kami. Karena dia tahu, aku tidak pernah mengurus rumah. Gila saja sekarang aku harus melayani orang asing seperti Bang Fahad.

Gelas kosong sudah siap. Aku mencari-cari toples kopi dan gula putihnya. Dengan pengetahuan terbatas karena baru pertama kalinya masuk ke dapur ini, aku pun menemukannya.

Menuangkan beberapa sendok kopi hitam serta gula putihnya, kemudian menyeduh dengan air hangat dari dispenser. Begitu diaduk, wangi kopinya tercium di hidungku. Warnanya juga hitam pekat. Cepat aku membawanya ke kamar utama.

Bang Fahad sudah duduk di tepi kasur. Bersandar pada headboard-nya dengan buku di tangan. Entah buku apa yang sedang ia baca, tapi ia terlihat begitu serius membaca di sana.

Aku meneruskan langkah lalu menaruh gelas yang kubawa di meja nakas. Bertepatan dengan Bang Fahad yang menutup bukunya kemudian melihatku.

"Ini kopinya, Bang," kataku.

"Apa? Bang? Barusan kamu panggil apa? Bang? Kamu panggil saya Bang?" tanyanya kemudian dan aku hanya mengangguk mengiyakan. "Kamu pikir saya Abang pedagang bakso?"

Aku menggeleng. "Bu—bukan. Usia Abang kan jauh di atasku. Ja—di aku panggil Abang," jelasku padanya.

Terdengar ia justru mendecih. "Panggil saya, Mas! Sejak kapan juga saya jadi Abangmu?"

Aku hanya melongo dengan ucapannya. Geli sekali rasanya aku harus memanggil dia Mas. Aku tidak bersuara lagi. Masih berdiri mematung di dekat meja nakas tanpa tahu harus berbuat apa.

Ah, rasanya kaku dan kikuk sekali hidup bersama orang asing begini.

Byurrrr!

"FIUHHHH!"

Aku tersentak saat Bang Fahad menyemburkan kopi yang baru ia seruput. Bahkan cairan hitam itu mengotori sprei putih yang membungkus tempat tidur.

"Saya minta dibuatkan kopi, kenapa yang datang jamu brotowali?" Bang Fahad bertanya sambil menatapku lekat.

"Ya—ya, itu kopi, Ba—em, Mas. Itu kopi, bukan jamu!"

Terdengar ia mendecih dan melihatku dengan tatapan seperti mengejek. "Kamu tidak bisa membuat kopi, ya?"

Aku menggeleng. Jujur. "Di rumah tidak ada yang suka kopi. Jadi, aku tidak pernah membuatkan kopi untuk siapapun."

"Sudah saya duga. Gadis manja seperti kamu, tidak akan bisa melayani suaminya dengan baik. Biar saya tebak, kamu cuma bisa menghabiskan waktu untuk berpacaran dan haha hihi saja 'kan?"

Kupingku memanas mendengarnya berkata demikian. "Jangan asal bicara, ya?!"

Bang Fahad justru terkekeh. Dia turun dari tempat tidur hingga berdiri berhadapan denganku. "Saya gak asal bicara. Itu fakta. Berapa lama kamu berpacaran dengan Raka, hmm? Tujuh tahun 'kan? Dapat apa kamu pacaran selama itu dengan dia? Satu rumah? Satu mobil atau motor? Apa? Tujuh tahun orang lain gunakan untuk menyelesaikan pendidikan hingga mendapat gelar S2. Ambil cicilan rumah atau cicilan mobil. Kalau motor, mungkin sudah dapat dua unit. Terus kamu, apa yang kamu dapatkan dari waktu tujuh tahun bersama Rakana itu?" cecarnya membuatku merasa tersudut.

Dagu Bang Fahad terangkat dan menatapku tajam. "Selama tujuh tahun itu, bagian tubuh mana yang sudah kamu berikan cuma-cuma untuk Rakana?"

Mataku membulat mendengarnya. Sungguh, dia sudah merendahkanku.

"Tutup mulut Anda. Aku memang berpacaran selama itu dengan Rakana, tapi aku tidak semurahan itu! Tubuhku masih perawan dan tersegel!" Aku benar-benar murka pada lelaki yang sialannya adalah suamiku.

Bang Fahad tertawa. Tawa meledek dengan wajah terlihat menyebalkan itu. "Siapa bisa menjamin? Tujuh tahun bukan waktu sebentar. Kamu juga sering sekali ke rumah kami. Papa di kantor, Mama di ruangan televisi atau pergi arisan, saya di ruang baca dan kamu dengan Raka di lantai atas. Tidak mungkin kalian tidak berbuat apa-apa!"

Aku benar-benar geram. Harga diri rasanya terkoyak. Apa orang berpacaran selalu identik dengan hal yang tidak-tidak?

"Aku dan Rakana tidak pernah berbuat apa-apa! Aku tidak pernah disentuh Rakana lebih dari sekedar berpegangan tangan! Aku bisa menjaga diri! Aku ini masih suci! Jangan asal bicara!" Aku berteriak sambil memukuli dada Bang Fahad dengan tangan terkepal.

Tidak peduli apa yang kulakukan. Yang jelas aku merasa marah. Sangat marah karena Bang Fahad sudah memandangku begitu rendah dan seolah-olah aku ini sudah tidak perawan selama berpacaran dengan Rakana.

Brukkk!

Aku kalut saat memukuli dada Bang Fahad, tanpa kuduga dia mencekal pergelangan tanganku dan mendorongku terjatuh di tempat tidur bersamanya yang kini berada di atas tubuhku. Matanya mengunci menatapku. Tenaganya begitu kuat saat aku mencoba melepaskan diri.

"Masih suci? Masih perawan? Kita buktikan malam ini, hmmm?"

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Body Shaming

    "Si—siapa takut?!"Dia jual, aku borong lah!Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku.Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli.Sialan.Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga?Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding?Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku.Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang.Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang y

    Last Updated : 2024-09-26
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Tak Berkutik

    "Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany

    Last Updated : 2024-10-11
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Bukan Barang

    "Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda

    Last Updated : 2024-10-11
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Kita Bercerai Saja

    "Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah

    Last Updated : 2024-10-11
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Rasa Itu Masih Sama

    Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se

    Last Updated : 2024-10-11
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Berpindah Tanggungjawab

    Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak

    Last Updated : 2024-10-11
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Rasa Sakit yang Nyata

    (10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa

    Last Updated : 2024-10-15
  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Si Mulut Mercon

    Aku mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka sempurna. Keningku mengernyit, begitu menyadari hal yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Aku lantas mengedarkan pandangan dan ternyata aku memang berada di kamar, terbaring di atas kasur lalu secepatnya aku pun duduk.Kupejamkan kembali kedua netraku. Mengingat hal terakhir yang aku yakini, bahwa semalam aku tidak tidur di sini. Aku mengurung diri di dalam kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya di sana, sampai aku merasa lelah serta mengantuk dan membiarkan diriku tertidur di sana. Iya, aku ingat sekali. Kenapa sekarang aku ada di sini?Apa jangan-jangan, Bang Fahad yang sudah memindahkan?Kalau iya, kenapa bisa-bisanya aku tidak sadar? Bagaimana kalau dia sudah macam-macam saat aku tertidur?Oh, shit!Aku meraba-raba pakaian yang memang masih melekat sempurna di badan. Tidak ada yang aneh, tapi siapa juga yang tahu 'kan?Aku menggaruk kepal

    Last Updated : 2024-10-15

Latest chapter

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Mereka Itu ....

    Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Apapun Terasa Indah

    Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Siap Mencintai

    Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Menulis Cerita Baru

    Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Tidak Harus Sempurna

    Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Senja yang Indah

    Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Lari ke Pelukanmu

    Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Sembuh Bersama

    Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Aku Kalah

    "Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status