Share

Buktikan Malam Ini

Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.

Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai.

Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam.

Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh.

Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya.

Apalagi di luar sedang diguyur hujan. Air turun dari langit seperti ditumpahkan sejak tadi hingga kini belum reda.

Seharusnya, menjadi moment yang sangat tepat untuk sepasang pengantin baru bukan?

Aku tidak bisa menghindari, saat bayangan tentang Rakana hadir begitu saja. Kami tinggal serumah dan memulai malam pengantin kami lebih awal.

Akh, hatiku kembali berdenyut dan itu terasa nyeri. Luka ini kembali tercabik-cabik rasanya.

Krieeet!

Pintu kamar berderit. Kontan aku menoleh dan Bang Fahad muncul dari balik pintu.

Dia masuk dengan baju piyama warna putih lengan pendek. Wajahnya terlihat begitu bercahaya. Kedua alisnya tebal dengan hidung yang bangir. Sejenak kami beradu tatap, sebelum cepat aku memutus

dengan menundukkan kepala.

"Sudah puas melamun?" tanyanya membuatku mendongak. Ternyata, dia sudah berdiri di hadapanku.

"Si—siapa yang melamun?" sanggahku cepat.

"Keluar. Saya tunggu di meja makan. Jangan sampai kamu sakit dan orang tuamu mengira saya sudah menelantarkan anak perempuannya!" tegasnya sebelum berlalu keluar dari kamar.

Meninggalkanku yang kebingungan. Refleks tanganku mengarah ke belakang leher dan menggaruk tipis tengkuk.

Pelan aku pun bangkit dan berjalan keluar. Menyusul Bang Fahad yang sudah mengisi kursi makan. Aku mendekat dan ragu-ragu menghempas bobotku.

Bang Fahad tampak menyiapkan piring makan hingga tersaji di hadapannya. Sementara aku masih diam. Sampai ia menatapku cukup tajam, tanpa suara tapi tangannya bergerak. Membalik piring putih di hadapanku. Mencentongkan nasi lalu mengisinya lauk.

"Makan! Kalau mau melamun, lakukan itu setelah makan. Biar bertenaga dan kuat melamun sampai pagi!" sindirnya yang kemudian melanjutkan menyuap.

Aku cemberut mendengarnya. Aku pun memulai makan malam dengan perasaan entah. Selang beberapa menit, Bang Fahad sudah menyelesaikan makanannya. Tampak ia membersihkan sekitar mulut dengan tisu.

"Ini makanan terakhir yang dimasak pembantu di sini. Selesai makan, kamu bereskan mejanya. Setelah itu, buatkan kopi hitam dan antar ke kamar!" titahnya membuatku refleks tersedak.

Terbatuk sampai akhirnya aku meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokan.

"Jadi di sini gak ada pembantu?" tanyaku kaget.

Bang Fahad menggeleng. "Sekarang tidak ada. Tadi siang saya memberinya pesangon. Dan sekarang, rumah ini tidak punya lagi ART. Kamu yang bertanggungjawab mengurus rumah saya!"

Aku menelan saliva.

"E ...."

"Selesaikan makanmu. Bicara kalau makanmu sudah selesai!" tukasnya cepat. Ia sudah bangkit dan meninggalkan meja makan.

Aku menghela napas kasar. Tangan menggebrak meja dengan perasaan kesal.

Mimpi apa aku menikah dengan lelaki sepertinya, Ya Tuhan?

Aku mendesah lalu menghabiskan makan malamku. Setelah selesai, kubereskan meja makan bundar ini. Membawa piring-piring kotor ke bak wastafel dan menutup makanan yang tersisa.

Seperti titahnya, aku diminta membuatkannya kopi hitam. Masalahnya, selama ini aku tidak pernah turun ke dapur. Di rumah Mama dan Papa, aku dilayani pembantu. Bahkan saat bersama Rakana, aku dan ia sudah sepakat akan menyewa pembantu di rumah kami. Karena dia tahu, aku tidak pernah mengurus rumah. Gila saja sekarang aku harus melayani orang asing seperti Bang Fahad.

Gelas kosong sudah siap. Aku mencari-cari toples kopi dan gula putihnya. Dengan pengetahuan terbatas karena baru pertama kalinya masuk ke dapur ini, aku pun menemukannya.

Menuangkan beberapa sendok kopi hitam serta gula putihnya, kemudian menyeduh dengan air hangat dari dispenser. Begitu diaduk, wangi kopinya tercium di hidungku. Warnanya juga hitam pekat. Cepat aku membawanya ke kamar utama.

Bang Fahad sudah duduk di tepi kasur. Bersandar pada headboard-nya dengan buku di tangan. Entah buku apa yang sedang ia baca, tapi ia terlihat begitu serius membaca di sana.

Aku meneruskan langkah lalu menaruh gelas yang kubawa di meja nakas. Bertepatan dengan Bang Fahad yang menutup bukunya kemudian melihatku.

"Ini kopinya, Bang," kataku.

"Apa? Bang? Barusan kamu panggil apa? Bang? Kamu panggil saya Bang?" tanyanya kemudian dan aku hanya mengangguk mengiyakan. "Kamu pikir saya Abang pedagang bakso?"

Aku menggeleng. "Bu—bukan. Usia Abang kan jauh di atasku. Ja—di aku panggil Abang," jelasku padanya.

Terdengar ia justru mendecih. "Panggil saya, Mas! Sejak kapan juga saya jadi Abangmu?"

Aku hanya melongo dengan ucapannya. Geli sekali rasanya aku harus memanggil dia Mas. Aku tidak bersuara lagi. Masih berdiri mematung di dekat meja nakas tanpa tahu harus berbuat apa.

Ah, rasanya kaku dan kikuk sekali hidup bersama orang asing begini.

Byurrrr!

"FIUHHHH!"

Aku tersentak saat Bang Fahad menyemburkan kopi yang baru ia seruput. Bahkan cairan hitam itu mengotori sprei putih yang membungkus tempat tidur.

"Saya minta dibuatkan kopi, kenapa yang datang jamu brotowali?" Bang Fahad bertanya sambil menatapku lekat.

"Ya—ya, itu kopi, Ba—em, Mas. Itu kopi, bukan jamu!"

Terdengar ia mendecih dan melihatku dengan tatapan seperti mengejek. "Kamu tidak bisa membuat kopi, ya?"

Aku menggeleng. Jujur. "Di rumah tidak ada yang suka kopi. Jadi, aku tidak pernah membuatkan kopi untuk siapapun."

"Sudah saya duga. Gadis manja seperti kamu, tidak akan bisa melayani suaminya dengan baik. Biar saya tebak, kamu cuma bisa menghabiskan waktu untuk berpacaran dan haha hihi saja 'kan?"

Kupingku memanas mendengarnya berkata demikian. "Jangan asal bicara, ya?!"

Bang Fahad justru terkekeh. Dia turun dari tempat tidur hingga berdiri berhadapan denganku. "Saya gak asal bicara. Itu fakta. Berapa lama kamu berpacaran dengan Raka, hmm? Tujuh tahun 'kan? Dapat apa kamu pacaran selama itu dengan dia? Satu rumah? Satu mobil atau motor? Apa? Tujuh tahun orang lain gunakan untuk menyelesaikan pendidikan hingga mendapat gelar S2. Ambil cicilan rumah atau cicilan mobil. Kalau motor, mungkin sudah dapat dua unit. Terus kamu, apa yang kamu dapatkan dari waktu tujuh tahun bersama Rakana itu?" cecarnya membuatku merasa tersudut.

Dagu Bang Fahad terangkat dan menatapku tajam. "Selama tujuh tahun itu, bagian tubuh mana yang sudah kamu berikan cuma-cuma untuk Rakana?"

Mataku membulat mendengarnya. Sungguh, dia sudah merendahkanku.

"Tutup mulut Anda. Aku memang berpacaran selama itu dengan Rakana, tapi aku tidak semurahan itu! Tubuhku masih perawan dan tersegel!" Aku benar-benar murka pada lelaki yang sialannya adalah suamiku.

Bang Fahad tertawa. Tawa meledek dengan wajah terlihat menyebalkan itu. "Siapa bisa menjamin? Tujuh tahun bukan waktu sebentar. Kamu juga sering sekali ke rumah kami. Papa di kantor, Mama di ruangan televisi atau pergi arisan, saya di ruang baca dan kamu dengan Raka di lantai atas. Tidak mungkin kalian tidak berbuat apa-apa!"

Aku benar-benar geram. Harga diri rasanya terkoyak. Apa orang berpacaran selalu identik dengan hal yang tidak-tidak?

"Aku dan Rakana tidak pernah berbuat apa-apa! Aku tidak pernah disentuh Rakana lebih dari sekedar berpegangan tangan! Aku bisa menjaga diri! Aku ini masih suci! Jangan asal bicara!" Aku berteriak sambil memukuli dada Bang Fahad dengan tangan terkepal.

Tidak peduli apa yang kulakukan. Yang jelas aku merasa marah. Sangat marah karena Bang Fahad sudah memandangku begitu rendah dan seolah-olah aku ini sudah tidak perawan selama berpacaran dengan Rakana.

Brukkk!

Aku kalut saat memukuli dada Bang Fahad, tanpa kuduga dia mencekal pergelangan tanganku dan mendorongku terjatuh di tempat tidur bersamanya yang kini berada di atas tubuhku. Matanya mengunci menatapku. Tenaganya begitu kuat saat aku mencoba melepaskan diri.

"Masih suci? Masih perawan? Kita buktikan malam ini, hmmm?"

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status