Kamilia dijebak oleh keluarganya sendiri. Dia dibius, lalu diantarkan ke atas ranjang seorang pria yang dikenal oleh warga desa sebagai seorang pengangguran bernama Abraham Suseno. Tidak hanya itu, mereka juga difitnah telah melakukan kumpul kebo hingga dipaksa menikah. Rasa kecewa Kamilia atas perlakuan keluarganya tidak berakhir sampai disitu saja, bahkan kekasih hati yang dia pikir paling mengerti dirinya pun ternyata turut terlibat dalam menghancurkan masa depannya. Akan tetapi, siapa yang menyangka bahwa dibalik kemalangan yang diderita, pria yang Kamilia nikahi itu ternyata seorang konglomerat yang kebetulan sedang bersembunyi dari kejaran musuhnya di desa mereka. Lalu apa jadinya jika Kamilia dan sang suami paksa bekerja sama dalam membalas dendam atas tindakan yang telah dilakukan oleh keluarganya?
View More"Mil, Bapak harus sampaikan ini ke kamu.”
"Ada apa, Pak?" tanyaku ragu-ragu. Alisku berkerut dalam. Keseriusan dalam nada suara yang terlontar dari bibir bapak itu membuatku memiliki firasat buruk di dalam hati.Bapak tidak langsung menjawab. Dia terlebih dahulu menghela napas panjang sembari memasang wajah sendu."Begini, Mil,” ujar Bapak. “Bapak punya hutang 300 juta pada Abra. Dan keluarga kita tidak mampu untuk membayarnya,"Perasaanku makin tidak enak.“Jadi … Bapak tidak punya pilihan lain selain menikahkan kamu dengan Abra.”Tidak ada angin, tidak ada hujan, tetapi duniaku tiba-tiba bagaikan disambar petir setelah mendengar ucapan bapak yang satu ini."Abra?" Aku berseru dengan tidak percaya. "Abraham Suseno? Bapak jangan bercanda deh!""Bapakmu tidak sedang bercanda, Kamilia,” tukas ibu tiriku yang sedang duduk di samping Bapak."Kenapa aku?" tanyaku tidak terima.“Ck. Pake nanya,” balas ibu tiriku dengan nada ketusnya. “Jelas karena Abra maunya sama kamu!”Sudut mataku spontan berkedut. “Tapi aku sudah punya pacar!” kataku, tidak terima dengan keputusan sepihak ini. "Aku tidak mau. Kenapa Bapak nggak suruh Jemima aja yang menikah dengan pria bernama Abra itu?”"Loh, kenapa bawa-bawa aku?” protes Jemima. Adik tiriku yang lebih muda satu tahun itu bersungut-sungut. “Si Abra itu maunya sama kamu, bukan sama aku!"Aku mendengkus pelan. "Tidak mungkin. Kami sama sekali tidak saling mengenal, bagaimana bisa dia tiba-tiba ingin menikah denganku?" kataku tetap tidak percaya. "Lagi pula bagaimana ceritanya Bapak bisa sampai meminjam uang sebanyak itu sama dia, dan Bapak gunakan untuk apa uang sebanyak itu?" tanyaku tidak habis pikir.Dari apa yang aku ketahui, bapak tidak pernah terlihat bergaul dengan pria bernama Abra itu. Jadi bagaimana hutang sebanyak itu bisa disebutkan dengan begitu enteng?Pria bernama Abraham Suseno itu datang ke desa ini sekitar dua tahun yang lalu, dia mengontrak rumah milik kepala desa yang letaknya di paling ujung.Tidak ada yang spesial dari dia, menurutku. Namun, sebenarnya pria itu cukup populer lantaran spekulasi dan gosip dari warga desa ini sendiri lantaran selama dua tahun di desa, Abra tidak pernah terlihat bekerja ataupun mencari pekerjaan.Ada yang bilang kalau Abra adalah orang kaya yang punya banyak uang simpanan untuk menopang kehidupannya. Ada juga spekulasi mengenai si Abra ini kemungkinan adalah penjahat yang sedang buron, dan sedang bersembunyi di desa kami karena pria itu punya bekas luka besar berbentuk kelabang yang memanjang dari bagian bawah mata hingga ujung bibirnya. Belum lagi dia juga memiliki tatapan yang tajam, dan aura dingin yang menguar dari tubuhnya.Namun, ada juga orang-orang yang tidak mau termakan rumor tersebut, dan hanya menganggap pria itu sebagai pengangguran biasa. Aku adalah salah satu dari orang yang tidak mempercayai rumor-rumor yang berserakan tanpa dasar itu.Sebelum, aku mendengar nominal 300 juta yang disebutkan Bapak tadi."Mil, bapak mohon untuk kali ini saja, ya,” kata Bapak lagi. Terdengar memelas, tanpa menjawab pertanyaanku. “Tolong menikahlah dengan Abra. Kamu juga tidak mau kan kalau sampai keluarga kita di usir dari rumah ini, dan menjadi gelandangan?"Keningku mengernyit samar. "Jadi gelandangan?" sahutku. "Sebenarnya apa sih yang sudah Bapak lakukan? Meminjam uang sebanyak itu tuh buat apa?”"I ... Itu ... ""Jawab yang jujur, Pak!" tukasku dengan nada mendesak."Uangnya Bapak pakai untuk merenovasi rumah neneknya Jemima."Aku pun kembali dibuat terperangah. Bapak bilang untuk merenovasi rumah neneknya Jemima?Astaga!Aku memaki dengan keras di dalam hati. Aku tidak pernah sedikitpun mencicipi uang hasil utang itu, tapi aku terancam harus menanggung risikonya?"Aku menolak!" jawabku menggeram dari balik gigi yang terkatup rapat."Ayolah, Mil. Menikahlah dengan Abra." Kali ini giliran ibu tiriku yang berujar dengan memelas. Tutur katanya bahkan terdengar begitu lembut. Nada paling lembut yang pernah ia gunakan padaku.“Ini semua demi keluarga kita.”Meski begitu, aku tetap tidak mau peduli. Aku terus menggelengkan kepala dengan tegas dan mantap."Mil, kita bakal hidup di jalanan kalau kamu menolak." Bapak kembali berusaha."Tenang, Pak,” kataku. “Jika kita diusir dari rumah ini, kita bisa menumpang di rumah neneknya Jemima."Setelah melontarkan kalimat ini, aku segera beranjak dari karpet yang terbentang di ruang keluarga, kemudian melangkah menuju kamarku sendiri.Di dalam kamar aku berbaring malas di atas ranjang. Sebuah benda pipih berbentuk persegi panjang menempel di telingaku."Mas Damar, aku mau cerita!" ujarku dengan nada setengah merengek pada kekasihku yang ada di seberang telepon."Ada apa?" tanya Mas Damar.Aku lantas menceritakan hasil percakapanku dengan keluarga, tanpa ada yang disembunyikan."Mas, kamu nggak ada niatan buat lamar aku aja? Kita sudah pacaran selama 5 tahun loh," ucapku dengan hati-hati.Seketika terdengar helaan napas dari seberang telepon."Ini bukan masalah Mas mau lamar kamu atau nggak. Tapi ini masalah apakah kita siap atau nggak,” ucap kekasihku tersebut, “Kamu sendiri kan tahu kalau Mas baru aja diterima kerja. Bahkan setahun aja belum. Nanti kalau rumah tangga kita dijegal masalah ekonomi, gimana?"" ... "Aku langsung terdiam tidak menanggapi. Bukan karena aku marah ataupun kesal, tetapi karena aku pikir apa yang dikatakan Mas Damar juga ada benarnya. Dan aku sendiri pun sebenarnya belum terlalu ingin menikah."Terus aku harus gimana dong, Mas?" tanyaku meminta pendapat kekasihku itu."Hmm, bagaimana kalau kamu temui saja si Abra itu. Negosiasikan sama dia baiknya gimana sehingga kamu nggak harus menikah dengannya," ujar Mas Damar mencoba memberi saran. “Mungkin kamu bisa cicil hutang itu pelan-pelan.”Akan tetapi, aku spontan mendecakkan lidah dengan keras mendengar saran itu. "Mereka keenakan dong kalau aku yang harus mencicil utang sebanyak itu. Apalagi uang pinjaman itu digunakan untuk merenovasi rumah neneknya Jemima!" ujarku tidak terima."Terus kamu maunya gimana?" tanya Mas Damar.Aku diam lagi.“Dah ah, udah malem nih. Tidur sana,” ucap Mas Damar kemudian. “Masalah ini jangan terlalu dibawa pusing dulu. Besok diskusikan lagi sama orang tua kamu baiknya gimana!""Hm," Aku bergumam pelan sambil menahan perasaan sedikit tidak ikhlas karena harus mengakhiri percakapan ini.Seiring dengan berlalunya waktu, malam pun tenggelam semakin dalam.Akan tetapi, akibat dari permintaan bapak itu, malam ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Entah sudah berapa kali aku berguling-guling di atas ranjang untuk mencari posisi tidur yang nyaman. Benakku terus menerus mengkhawatirkan mengenai utang 300 juta tersebut.Ditambah lagi dengan suara langkah kaki yang berjalan bolak-balik di luar pintu kamar membuatku sangat risih."Ada apa lagi itu?" dumelku seraya membuka mata, dan segera beranjak dari tempat tidur.Aku baru saja akan membuka pintu di hadapanku dalam sekali sentak saat sebuah pemikiran akan suatu kemungkinan mengerikan melintas dalam kepalaku."Jangan bilang ada maling?" bisikku pada diri sendiri.Memikirkan adanya kemungkinan ini membuat jantungku tiba-tiba berdegup dengan cepat. Aku seketika dilanda ketakutan. Tangan yang semula sudah menggenggam gagang pintu pun perlahan aku longgarkan. Satu demi satu langkah mundur kemudian aku ambil dengan perlahan hingga kaki belakangku menyentuh pinggiran ranjang."Pura-pura tidur aja!" gumamku sembari kembali membaringkan diri di atas ranjang, lalu menutup mata rapat-rapat.Baru saja aku mengatur posisi tidurku, suara gagang pintu kamar terdengar hendak dibuka paksa. Jantung di balik dadaku pun berdegup dengan liar.Dengan punggung membelakangi pintu, aku hanya dapat mendengar suara desauan angin berupa bisik-bisikan di antara orang-orang entah siapa itu. Adanya seseorang yang diam-diam masuk ke dalam kamarku ini menjadikan aku waspada. Sampai di mana tangan orang itu menyentuh lenganku, aku dibuat terperanjat.'Ini tidak bisa dibiarkan!' Aku membatin seraya mempersiapkan hati untuk melawan.Saat tangan itu hendak bergerak menuju ke arah wajahku, saat itulah aku mulai melakukan perlawanan.Tangan yang terulur hendak mencapai wajahku itu segera aku tepis dengan keras. Aku lalu bangkit dari posisi berbaring, mengambil bantal guling di sampingku hendak dijadikan senjata.Namun, melihat siapa sosok orang yang telah mengendap-endap masuk ke dalam kamarku ini, membuat jantung yang semula berdetak dengan keras pun seketika langsung jatuh ke dalam debaran normal."Kalian ngapain sih masuk diam-diam ke kamarku?" seruku sembari menghela napas lega.Melalui cahaya yang masuk ke dalam kamar karena pendar lampu dari ruang makan, aku dapat melihat dengan jelas sosok bapak, ibu tiriku, dan Jemima. Kewaspadaan yang semula aku rasakan pun langsung mengendur.Akan tetapi, tatkala tubuhku mulai rileks, Jemima yang berdiri paling dekat denganku tiba-tiba melakukan serangan mendadak.Dia tiba-tiba membekap hidung dan mulutku dengan keras. Situasi ini jelas membuatku terkejut luar biasa. Otakku dibuat bingung menebak apa yang hendak mereka lakukan, sementara tubuhku memberontak dengan keras.Lambat laun, aku merasakan kesadaranku mulai hilang. Saat itulah aku menyadari bahwa kain yang digunakan untuk membekap wajahku telah ditaburkan obat bius.Kenapa?Apa tujuan mereka melakukan ini?Aku ingin meminta penjelasan pada Bapak yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Akan tetapi, Bapak hanya melengos ketika pandangan kami bertemu."Maafkan bapak, Mil. Bapak terpaksa melakukan ini,"Itu adalah ucapan lirih bapak yang bisa aku dengar sebelum kesadaran benar-benar direnggut dariku.* * *"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments