"Aku hanya ingin membantu ... aku tidak punya niat buruk." "Aku tetap tidak percaya padamu!" Saat Yasmin tak lagi punya alasan untuk hidup, dua bayi kembar yang kelaparan memberinya harapan. Sayangnya, Ayah mereka, Barra Alexander Armend, menganggap Yasmin sebagai ancaman, bukan penyelamat. Haruskah Yasmin pergi dan kembali kehilangan? Atau bertahan, meskipun kembali disakiti?
View More"Mas ... perutku sakit banget," rintih seorang wanita dengan napas tersengal.
Satu tangannya memeluk perut besar, sementara satu lainnya menggenggam ponsel usang yang berulang kali mencoba tersambung ke seberang sana.
"Kamu di mana, Mas? Tolong pulang ... aku butuh kamu." Suaranya bergetar, terdengar putus asa.
Nahas, berapa kali pun mencoba… hanya suara operator yang menjawab.
Rasa sakit dan mulas makin intens terasa. Wanita itu menunduk, dan membelalak melihat darah mengalir dari pangkal paha. Detak jantungnya berpacu cepat dan pikirannya dipenuhi ketakutan.
Jangan-jangan bayinya....
Sambil menahan nyeri yang terus mencekik, dia merambat di sepanjang dinding kamar yang dingin. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena sakit, tetapi juga udara malam yang menusuk kulit.
Ditemani suara rintik hujan yang mulai deras, dia melangkah terseok-seok menuju pintu di seberang. Harapannya bertumpu pada satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu.
Mengandalkan sisa tenaga, dia mengetuk pintu dengan ragu dan takut. “Bu….” katanya terdengar lirih.
Butuh beberapa kali ketukan, sampai suara langkah terdengar mendekat, lalu pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya memperlihatkan wajah tak ramah.
"Ganggu orang tidur aja kamu, Yasmin!" bentak sosok itu dengan ketus, matanya memelotot.
"Tolong, Bu … perutku sakit banget. A-aku mau melahirkan." Yasmin memohon belas kasih.
Wanita paruh baya itu mendengkus, "Ya… terus? Lahiran, ya, tinggal lahiran, sana ke bidan!"
Yasmin menggeleng lemah, air matanya luruh bersama rasa sakit mendengar ucapan wanita itu. Sedari awal, Sarah memang tidak menyetujui Yasmin berhubungan dengan anaknya. Semua ini didasari oleh kasta mereka yang berbeda.
Dia ingat bagaimana murkanya Sarah ketika tahu Yasmin mengandung di luar nikah. Termakan bujuk rayu Bram, Yasmin bahkan harus menghentikan kuliah kedokterannya.
Pendidikannya terhenti. Rumah tangganya di rumah mertua bagai neraka.
Wajahnya pun tambah pucat akibat nyeri yang kini mendera sekujur tubuh. "Tolong, Bu ... Bidan bilang ba—bayiku sungsang, harus caesar," tutur Yasmin bergetar sambil merintih.
"Enak aja! Caesar mahal, tau! Emang ada uang, kamu? Pasti pakai uang Si Bram, kan?!" hina wanita itu menggelegar, bagai belati yang menusuk tepat di jantung Yasmin. “Jangan manja! Wanita kampung aja segala caesar!”
Demi anak yang dikandungnya, Yasmin merendahkan diri. Susah payah, dengan perut yang sudah sangat besar, ditambah rasa sakit yang makin tak terkendali… Yasmin bersimpuh di kaki wanita itu.
“Bu … aku m—mohon … sekali ini s—saja.”
Dia mendongak, menatap getir sang mertua. Dua mata bulatnya banjir oleh genangan bening.
Nahas, usaha Yasmin tidak menggerakkan secuil pun naluri wanita itu, karena Ibu Mertua langsung menutup pintu dengan keras tepat di depan wajahnya.
Yasmin terkesiap dan rasa sakit bertambah berkali-kali lipat.
Haruskah dia menyerah? Tidak! Yasmin ingin bayinya lahir dengan selamat. Anak ini adalah hidupnya, nyawanya, semangatnya dan harapannya untuk menuju jalan bahagia bersama sang suami.
Susah payah dia berusaha berdiri dengan tangan yang menumpu pada dinding.
“Bunda mohon bertahan, Nak,” gumamnya sambil menunduk, memperhatikan gerakan perut dan berharap sang jabang bayi bisa menunggu di dalam sana.
Tanpa memikirkan biaya apa pun lagi, dia menyeret kakinya dengan napas tersengal. Saking tidak memiliki uang sepeserpun, dia berjalan kaki menyusuri trotoar perumahan di bawah derasnya hujan, serta gemuruh petir yang saling bersahutan di gelapnya langit.
Tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ini tengah malam, akhir pekan, di mana hampir seluruh pemilik rumah besar itu sedang berlibur.
Akibat derasnya air hujan, penglihatan Yasmin yang sudah memburam makin sulit melihat ke depan. Dia tersandung dan terjatuh dengan kedua lutut dan telapak tangan mendarat di atas kerasnya aspal berkerikil kecil.
“Akh….” Darah di pahanya yang semula mengalir tidak deras, kini banjir akibat bercampur dengan air hujan.
Belum lagi, lututnya yang tergores bebatuan aspal yang kasar. Rasa perih itu terkalahkan oleh kesakitan lain, juga kekhawatirannya pada sang anak.
Dengan sisa-sisa tenaga, juga bau anyir darah yang tidak berhenti keluar dari inti tubuhnya… Yasmin akhirnya tiba di rumah sakit yang berada di seberang komplek.
Tubuh Yasmin ambruk tepat di depan pintu IGD. Tangan kurusnya yang gemetar terangkat, mewakili mulutnya yang sudah susah mengeluarkan suara.
“Suster, tolong–” Beberapa detik kemudian kesadarannya hilang.
Detik berikutnya, Yasmin merasa tubuhnya melayang. Diikuti cahaya lampu terang yang menyilaukan mata, juga sayup-sayup suara kepanikan.
Dada Yasmin yang semula sesak, kini mulai terasa lebih baik karena oksigen yang dipasangkan di hidungnya. Dia mengerutkan kening ketika merasakan tangannya tengah ditusuk jarum.
Namun, Yasmin yang sudah tidak punya tenaga hanya bisa diam. Termasuk, saat dokter yang memeriksanya menyatakan dia mengalami solusio plasenta. Sebuah kondisi di mana plasenta, alias ari-ari janin sudah terlepas lebih dulu dari rahim sebelum kelahiran.
Sebuah kondisi yang sangat genting, yang dapat membahayakan ibu dan janin.
Ruangan operasi sibuk. Para dokter dan perawat berjibaku menyelamatkan Yasmin dan janinnya. Berkantong-kantong darah ditambah untuk mengganti darah yang hilang akibat perdarahan.
Meski telah dibius, rasa ngilu saat perutnya ditekan untuk melihat posisi kepala bayi. Belum lagi rasa mual karena dorongan tangan dokter yang berusaha meraih kepala bayi untuk diangkat ke luar.
Bayi sudah berhasil dikeluarkan dari perut, akan tetapi… bayi itu tidak menangis. Dokter anak berupaya melakukan penyelamatan, sementara dokter kandungan terus berupaya membuat stabil kondisi Yasmin yang naik-turun.
Dalam ketidakberdayaannya, Yasmin menoleh ke arah di mana sang anak yang tengah berjuang. “Anakku …,” lirihnya dengan tangan yang terulur berusaha menggapai bayi yang masih belum menangis itu. “Tolong selamatkan anakku, Dokter,” pintanya kemudian tidak sadarkan diri.
**
Tablet itu terlepas dari tangan Barra, jatuh menghantam lantai. Retakan tipis menyebar di layar, tetapi pria itu bahkan tidak meliriknya.Pandangan matanya kosong, membeku pada satu nama yang masih tertangkap di sudut memorinya.“Ariansyah, umur 26 tahun, catatan criminal hanya perkelahian kecil,” gumamnya.Data wajah di layar, semuanya tampak biasa saja ... sampai Barra menurunkan pandangan ke bagian anggota keluarga."Hubungan, adik kandung Heri Adikara."Seketika, ingatan itu membanjir benaknya tanpa ampun. Heri—rekan pengacaranya sendiri, yang dulu Barra hormati dan percaya.Hingga hari itu ... ketika Jeslyn, kekasih yang pernah dia cintai setengah mati, ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar apartemen. Tubuhnya memar dan hancur. Heri-lah pelakunya.Barra sendiri yang mengumpulkan bukti, mengungkap semua fakta, lalu menyeret Heri ke meja hijau. Dia bersumpah hari itu juga, tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh orang-orang yang dicintainya.Akan tetapi, kini Adik Heri, mencari
Saat Barra dipusingkan dengan kasus Yasmin yang dipercepat oleh pengadilan, kedua anak kembarnya yang rewel seakan ikut merasakan kegelisahannya. Di tengah kekalutan semua ini, pria itu kembali merasakan nyeri menusuk di punggungnya. Tentu saja, konsekuensi dari membolos terapi.Dengan berat hati, Barra menyerahkan si kembar kepada pengasuhnya. Lalu, dia melangkah ke ruang kerja, wajah tampan pria itu tampak lebih kusut daripada biasanya. Dia membuka berkas perkara yang baru saja dikirimkan Bahtiar melalui email. Sambil mengerang pelan menahan sakit, dia berniat segera memerintah timnya untuk melakukan keberatan.Akan tetapi, dering ponsel memotong pikirannya. Itu dari Bono. Harapan Barra seketika melonjak. Semoga pengacara magang itu menemukan sesuatu yang berarti."Bagaimana, Bono?" tanyanya cepat."Baju Cindy sudah ditemukan, Pak! Kami membelinya seharga satu juta—""Langsung ke intinya!" potong Barra dengan intonasi tajam."Karena bajunya dibungkus kain plastik, sudah ada kerusakan
Pukul satu dini hari, Barra baru menginjakkan kakinya di rumah. Dengan langkah berat, dia langsung menaruh ASIP ke dalam freezer, lalu mengarah ke kamar Boy dan Cleo. Pandangan pria itu segera terkunci pada ranjang yang biasanya ditempati Yasmin.Dia melangkah perlahan, lalu duduk di tepi ranjang, telapak tangannya membelai permukaan kasur yang kini terasa dingin. Aroma samar sabun Yasmin yang berpadu dengan wangi tubuh bayi masih tertinggal di udara, sungguh menyesakkan dada.Bayangan Yasmin tiba-tiba hadir begitu jelas di benaknya. Barra melihat wanita itu duduk di kursi yang menghadap ke jendela, menyusui si kembar sambil bersenandung pelan.Barra berdiri. Langkahnya menyusuri setiap sudut ruangan, tempat yang menjadi favorit Yasmin. Hingga dia terhenti di depan boks bayi. Boy dan Cleo tampak nyenyak, tetapi di sudut mata mereka ada sisa jejak air mata."Ternyata Papi gagal melindungi Bunda ... Boy, Cleo," lirihnya seraya menghela napas panjang. Suaranya sangat pelan, seolah takut
“Hah? A—apa, Tan? Bram bergerak? Terus?” tanya Cindy dengan wajah menegang. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, tangan yang menggenggam botol pun ikut bergetar hebat. Namun, dia buru-buru menarik tangannya, mendekatkan ke tubuh, lalu menekan kuat-kuat demi menyamarkan reaksin.Saat ini, dia ingin sekali berlari masuk ke ICU dan membekap pria itu agar tidak bernapas lagi. Namun, itu tidak mungkin, terlalu banyak petugas medis berjaga.Sial!Sarah mengangguk sambil menyuap makanannya. Wajah wanita paruh baya itu tampak sendu, padahal seharusnya senang, bukan?“Dokter bilang itu bukan gerakan tanda kesadaran, tapi respons refleks dari sistem saraf. Akibat rangsangan nyeri yang dilakukan sebagai tes, jadinya ... tubuh Bram bergerak tanpa sadar,” beber Sarah. Suaranya melemah dan isaknya pecah, membuatnya langsung menunduk dalam.Tanpa Sarah tahu, seringai jahat kini tersungging di wajah Cindy. Gemetaran yang tadi sempat merundung tubuhnya kini lenyap setelah mendengar penjelasan itu.“Oh, T
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments