“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam.
Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak merespons, tetapi tatapannya masih dingin dan menghakimi. Sorot mata pria itu seakan menembus hingga ke jantung Yasmin, membawa hawa dingin yang menusuk batinnya. Tekanan itu tentu saja memengaruhi suasana hati Yasmin, membuat bayi dalam dekapannya ikut gelisah dan merengek. “Hush, Sayang … tenanglah, Bunda di sini. Maaf, Sayang,” bisik Yasmin, mencoba menenangkan dua bayi yang tampaknya merasakan perubahan emosinya. Barra berdecak pelan. “Anak-anakku tahu kamu tidak tulus membantu mereka.” Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada tamparan. Yasmin menutup matanya sejenak, mencoba menahan air mata yang menggenang. “Terserah, Bapak mau menilai saya seperti apa. Yang jelas saya tidak seperti itu!” kata Yasmin dengan suara bergetar. Barra tidak membalas, hanya menjentikkan jarinya. Perawat segera mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil salah satu bayi. “Saya bantu gendong Boy, ya, Bu.” Yasmin mengangguk canggung, tanpa sadar tersenyum tipis saat mendengar panggilan itu. “Jadi panggilannya Boy?” lirihnya. “Ya, Boy dan Cleo. Kenapa, ada yang salah?” tanya Barra, suaranya dingin, dan menusuk. Yasmin menggeleng. Dia memilih menulikan telinga dari semua ucapan menyakitkan pria itu. Dia lantas menatap wajah mungil Cleo dalam gendongannya. Bayi kecil itu mulai tenang seiring Yasmin mengayun tubuhnya penuh kelembutan. Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh. Dada Yasmin menghangat, perasaan yang sulit dia definisikan muncul tanpa dia mengerti. Tatapan Yasmin menelusuri wajah Cleo, gerakan halus bayi itu menggeliat dalam pangkuannya terasa begitu familiar. Hatinya mencelos, ketika ingatan tentang malam penuh nyeri itu kembali menyeruak dalam dada. ‘Tuhan … andai saja anakku masih hidup, pasti dia ada di pangkuanku seperti Cleo saat ini,’ batinnya lirih. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa bisa dia cegah. Namun, Yasmin dengann cepat menyekanya. Dia harus melangkah maju, tidak boleh berdiam di tempat. Sekarang ada dua bayi ini. Sumber semangatnya. “Setelah menyusui mereka, temui aku di depan ruang NICU.” Suara berat pria itu kembali terdengar. Barra berbalik dan berjalan pergi. Meskipun begitu, Yasmin tahu pria itu masih mengawasinya dari balik kaca lebar di luar ruangan. Ekor matanya menangkap sosok tinggi itu berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku, sibuk berbicara di telepon. Setelah memastikan bayi-bayi itu tertidur pulas, Yasmin keluar menemui Barra dengan hati gelisah. “KTP-mu,” pinta Barra tanpa basa-basi, nada suaranya tetap dingin. Yasmin mengernyit. “Untuk apa, ya, Pak?” “Kamu jadi ibu susu untuk anak-anakku. Kamu harus menandatangani perjanjian.” Yasmin tercenung sejenak. Batinnya berkata, ‘Kenapa aku harus menandatangani sesuatu yang mengikat, padahal aku tulus ingin bantu? Tapi kalau aku menolak ... bagaimana dengan bayi-bayi ini?’ Dia pun akhirnya menyerahkan data diri. Tak lama kemudian, Barra menyodorkan ponselnya, memperlihatkan poin-poin perjanjian yang membuat Yasmin membelalak. Yasmin harus berada 24 jam bersama bayi kembar. Tidak boleh pergi tanpa izin dari Barra. Tidak boleh ada keterikatan emosional. Yasmin menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Aturan itu begitu mengikat, seperti jerat yang siap mencekiknya kapan saja. Namun, mata hitam Yasmin kembali tertuju pada bayi-bayi yang baru saja tertidur. Dengan berat hati, Yasmin akhirnya menekan tanda setuju. “Mulai sekarang, jalani tugasmu dengan benar!” tegas Barra tanpa sedikit pun kelembutan. “Bapak tidak perlu takut saya lalai,” sahut Yasmin. “Bagus, kamu sadar diri.” Kalimat itu begitu dingin dan pedih. Seperti belati yang menorehkan luka lama, mengingatkannya pada perlakuan serupa yang pernah dia terima dari Bram dan Sarah. Sejak hari itu, Yasmin tidak pernah sekalipun meninggalkan Boy dan Cleo. Dia selalu siaga di dekat mereka. Bahkan merelakan waktu tidurnya terkikis. Namun, dia tidak pernah mengeluh. Karena hanya ini yang bisa dia lakukan. Saat salah satu bayi menangis, Yasmin langsung bergerak. Setelah memastikan tangannya bersih, Yasmin menggendong Boy dengan hati-hati, sementara Cleo masih terlelap. “Hush, Nak. Bunda di sini,” bisiknya pelan, mulai menyusui Boy dengan penuh kasih. Seharusnya, momen ini hangat dan damai. Namun, Yasmin tahu dia selalu diawasi. Barra berdiri dengan tangan terlipat depan dada. Pria itu berdiri di seberang ruangan. Tatapannya menilai setiap gerak-gerik Yasmin dengan dingin, tanpa sedikit pun empati. Boy mulai tertidur nyenyak, membuat Yasmin tersenyum hangat. Hanya saja, senyum itu lenyap ketika suara berat itu kembali terdengar. “Jangan bertindak seolah-olah kamu ibu mereka.” Napas Yasmin tersentak. “Aku hanya—” “Hanya apa?” Barra menyela dingin. “Kamu di sini karena kontrak? Jangan sampai kamu berpikir lebih dari itu.” Kata-kata itu menusuk Yasmin lebih dalam. Barra melangkah lebih dekat dan berbisik tajam di telinganya, “Jangan berani-berani merasa memiliki mereka.”Halo Kakak-Kakak Selamat datang di buku baru aku. Ditunggu komentarnya ya Makasih ^^
Pagi itu, Yasmin terbangun lebih awal untuk memerah ASI. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, memperhatikan setiap tetes yang mengalir ke dalam botol kaca. Namun, di saat botol kaca hampir penuh, tangannya mulai gemetar dan pandangan wanita itu sedikit kabur, serta tubuhnya terasa limbung.“Hampir saja …,” lirihnya ketika botol itu hampir terlepas dari genggamannya.Setelah beberapa hari menjadi ibu susu Boy dan Cleo, tenaga Yasmin nyaris terkuras habis. Rasa lapar selalu menguasai perutnya dengan kejam. Dia berniat membawa ASI itu ke NICU sebelum arapan.Atas permintaan Barra, Yasmin masih ditempatkan di kamar rawat rumah sakit itu.Akan tetapi, saat melangkah gontai di lorong panjang, mata hitamnya menangkap sosok yang membuat jantungnya mencelos.Langkahnya terhenti. Nafasnya tercekat. Tangannya meremas tas berisi botol ASI, seolah itu bisa menjadi perisai dari luka lama yang kembali menganga.“Heh! Kamu Yasmin &
Yasmin membuka mata perlahan. Kepalanya berdenyut dan tubuhnya terasa begitu hampa. Pandangan wanita itu masih buram saat dia mencoba memindai sekeliling ruangan.Tangan kanan Yasmin terasa perih, tetapi saat matanya mulai fokus, dia melihat perban yang kini melilit luka di sana.“Akhirnya sadar juga.”Suara berat itu terdengar sinis di sampingnya. Yasmin sontak menoleh dan mendapati Barra berdiri di sisi ranjang.Mata pria itu tajam dan dingin seperti sebelumnya, tetapi Yasmin melihat ada sesuatu yang lain kali ini, kerah kemeja putih Barra bernoda darah.Jantung Yasmin berdegup lebih cepat.Darah? Apakah itu darahnya? Atau … darah siapa? Teris kenapa Barra tidak membersihkannya? Kenapa pria itu terlihat begitu tenang dengan noda merah di bajunya? Berbagai pertanyaan berputar di benak wanita itu, tetapi dia tidak berani mengucapkannya.“Maaf … dan makasih, ya, Pak. Sudah bantu saya,” ucap Yasmin lirih, suaranya benar-benar tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi atmosfer ruangan ini
Yasmin meringis merasakan cengkeraman itu tambah kuat, bahkan kuku-kuku tajam seseorang di hadapannya menekan kulitnya hingga nyeri. Jantung Yasmin berdegup kencang dan napasnya tercekat. Ketika mendapat tatapan begitu menusuk, seakan-akan menguliti dirinya dari atas ke bawah.“Maaf, Ibu siapa? Kenapa memegang tangan saya seperti ini?” Yasmin berusaha mengendalikan suaranya, meskipun bergetar karena ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan.Wanita itu mendecakkan lidah, seolah mendengar pertanyaan yang menggelikan. “Ada apa kamu menemui Boy dan Cleo? Apa kamu mau menculik mereka?”Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Apa … yang baru saja dia dengar? Tenggorokannya terasa kering, kosakatanya mendadak menghilang. Tidak Barra, tidak orang ini sama-sama menuduhnya.Wanita itu masih menatap Yasmin dengan sorot mencemooh, seolah Yasmin hanyalah seseorang yang tidak pantas berada di dekat bayi kembar itu. “Kamu tidak bisa mengelak? Karena yang aku bilang memang benar.” Wanita itu meny
“Apa kamu tidak waras, hem?”Suara berat itu merasuk tajam ke dalam telinga Yasmin, mengguncang kesadarannya. Tubuh wanita itu seketika kaku, dan udara terasa makin dingin menusuk kulit. Kata-kata itu terdengar familiar, tetapi … ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aroma parfum asing menguar, menusuk indera penciumannya.Yasmin mengerjap, mata bulatnya yang masih setengah sadar menatap sosok tinggi menjulang di hadapannya. Tidak! Ini salah!Seingatnya, Bram tidak setinggi ini. Bram juga jarang sekali memakai celana bahan hitam pekat seperti pria ini.Jantung Yasmin berdetak tambah kencang. Ada yang tidak beres. Dengan perasaan waswas, dia mendongak … dan langsung bertemu dengan tatapan dingin sepasang mata cokelat.“P—Pak Bara?” gumamnya dengan bibir gemetar.Seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras, membuat napas Yasmin tercekat. Ini bukan Bram! Ini … Bara, dan dia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.Untuk beberapa saat, Yasmin hanya bergeming, pikirannya mas
"Selamat, Boy dan Cleo sudah cukup kuat untuk pulang."Suara lembut Dokter Samantha seharusnya membawa kebahagiaan, tetapi bagi Yasmin, kata-kata itu justru terasa menyesakkan.Dia menatap bayi kembar yang terlelap damai dalam inkubator. Mereka terlihat sehat, lebih berisi setelah sebulan ini menyusu darinya setiap hari. Namun, satu hal kini menghantam kesadarannya.Mereka akan pulang. Maka itu berarti … dia harus ikut.Dada Yasmin berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Barra yang berdiri tepat di sampingnya, berharap pria itu memberinya pilihan terbaik. Namun, yang dia temukan hanyalah tatapan dingin dan perintah singkat.“Kamu ikut!”Ucapan itu menunjukkan bahwa Yasmin tidak memiliki ruang untuk menolak. Bahkan ketika Boy dan Cleo digendong oleh babysitter, Yasmin hanya bisa mengawasi dengan cermat, memastikan mereka nyaman.“Tugasmu hanya menyusui mereka, bukan merawat mereka!” tegas Barra lagi, lalu b
Cindy menunduk sambil menyeka air matanya, tetapi Yasmin bisa melihat ada senyum kemenangan tersungging di wajah wanita itu.Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa dia harus pergi? Pengakuan Cindy benar-benar memojokkannya.Saat Yasmin berjalan di belakang Barra, dan hendak masuk ke dalam ruangan, Cindy menatapnya intens dengan seringai halus, jemari panjang yang dihiasi kuku cantik melambai anggun.“Cepat, Yasmin!” perintah Barra, suaranya tajam.Yasmin buru-buru melangkah masuk, tetapi rasa dingin yang menjalar di tengkuknya tak kunjung hilang.Di dalam ruangan, Yasmin berdiri kaku di hadapan Barra. Jantungnya berdetak begitu kencang, mungkin saja pria itu bisa mendengarnya.Tatapan Barra kosong. Dingin. Tak terbaca.Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. "Nomor rekeningmu."Yasmin membelalak. Seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.“Maksud Bapak apa, ya?” tanyanya dengan hati-hati, bersiap dimarahi kapan saja.“Gaji untukmu,” ujar Barra datar, jemarinya saling
Suara ketukan sepatu di lantai marmer menggema, memecah keheningan yang menyesakkan. Yasmin tersentak, napasnya tertahan. Dia pikir itu Barra, tetapi … ternyata seorang pria lain yang berdiri di sana, muncul dari salah satu ruangan. Pria tampan itu bermata sipit dengan sikap tenang dan senyum ramah.Dengan nada sopan, dia berkata, "Yasmin, ayo saya antar ke kamar."Yasmin tetap diam, tubuhnya menegang. Dia tidak mengenal pria ini, tidak tahu apa maunya."Saya Bahtiar, asisten Pak Barra. Bapak minta saya antar kamu ke kamar," lanjut pria itu dengan suara datar.Yasmin masih bingung, tetapi tubuhnya bergerak mengikuti langkah Bahtiar seolah-olah sedang dikendalikan.Cindy, yang sejak tadi menyaksikan dengan mata melotot, tiba-tiba berteriak, "Hei! Dia itu udah diusir! Kenapa kalian masih meladeni?!"Tidak ada satu pun yang menjawab. Bahtiar tetap berjalan, mengabaikan Cindy seakan wanita itu tidak ada."Hei! Aku ngomong sama kalian!" Cindy makin histeris, "sialan si Yasmin, belum sehari
Sejenak Yasmin menahan napas dia masih terkejut pada kejadian barusan. Setelah kesadarannya kembali dia bergerak dengan cepat, meraih kaos usang dan celana panjangnya yang tergeletak di atas kasur. Tangan kurus itu gemetar saat menarik kain ke tubuh, dan telinganya tajam mengawasi langkah kaki yang menjauh. "Tuhan ... tolong lindungi aku di rumah ini," lirihnya sembari memejamkan mata sesaat. Dia menggigit bibirnya, menunduk, dan memeluk dirinya sendiri. Setelah yakin Barra benar-benar pergi, Yasmin menggendong dan mendekap erat Boy dan Cleo, lalu memindahkan ke dalam kereta bayi. Keduanya sudah tertidur pulas, napas kecil mereka teratur. Dia menempelkan pipinya ke dahi Boy, mencari sedikit kehangatan dari bayi tampan ini. Dengan langkah perlahan, Yasmin keluar dari kamarnya. Namun, baru saja menutup pintu, tubuhnya membeku. Ternyata Barra berdiri tegak tidak jauh dari sani. Mata cokelatnya menusuk tanpa ampun. Yasmin menunduk seketika. Dadanya berdenyut keras, seakan j
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m
Barra makin menunduk, mendekatkan jarak di antara mereka. Ibu jarinya membelai bibir penuh mengilap itu, seolah memastikan sesuatu. Cindy yang merasa menang, tersenyum lebar. Dia sungguh tidak sabar mengikat pria itu selamanya, demi membalaskan rasa sakit dan dendam yang membara di hati. “Yasmin …,” lirih Barra, tepat di depan bibir Cindy. Akan tetapi, saat hampir menempel, Barra tersentak. Ada sesuatu yang berbeda. Indera penciumannya diserang aroma asing, menusuk dan aneh. Bukan wangi alami sabun segar, khas Yasmin yang menenangkan. Seketika Barra mendorong kuat tubuh Cindy hingga terjatuh. Tatapannya membeku dingin, suaranya membelah udara di malam hari. “Aku tidak bodoh!” “Aw, sakit! Pria macam apa kamu, hah!” gerutu Cindy, meringis sambil memegangi bokongnya yang ngilu. “Berengsek! Aku nggak akan biarin kamu lolos!” Barra tak peduli. Dia membalikkan badan, meninggalkan kelab malam itu tanpa sepatah kata pun. Sementara Cindy merintih kesal, masih berusaha bangkit. “Argh! Ken
Ponsel Cindy bergetar di tangannya, menampilkan nama Airin di layar. Wanita itu mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan dan dendam yang membakar. Malam ini, dia tidak akan kalah. Dia harus mendapatkan Barra, bagaimanapun caranya! Dengan mata yang masih berkilat, Cindy menekan tombol sambungkan, sambil menatap Barra yang sudah masuk ke dalam mobil. Dia segera mengikuti, mengendarai mobilnya sendiri. "Mam, aku mau pakai rencana Mami," ujar Cindy dengan suara berat. "Oke, kamu di mana sekarang? Bilang sama Mami, biar Mami yang urus," balas Airin begitu antusias. "Lokasi pastinya aku kirim belakangan, Mam. Aku masih di jalan," tukas Cindy sebelum memutus sambungan telepon itu. Rubicon putih yang dikendarai Barra berbelok memasuki area parkir VIP kelab malam. Barra turun dengan langkah cepat, memasuki bangunan itu tanpa menoleh. Cindy mengikutinya dari belakang, dengan dada berdebar. Tangannya sempat berkeringat saat menggenggam ponsel. Dia segera mengirimkan lokasinya pada Airin,
Tablet itu terlepas dari tangan Barra, jatuh menghantam lantai. Retakan tipis menyebar di layar, tetapi pria itu bahkan tidak meliriknya.Pandangan matanya kosong, membeku pada satu nama yang masih tertangkap di sudut memorinya.“Ariansyah, umur 26 tahun, catatan criminal hanya perkelahian kecil,” gumamnya.Data wajah di layar, semuanya tampak biasa saja ... sampai Barra menurunkan pandangan ke bagian anggota keluarga."Hubungan, adik kandung Heri Adikara."Seketika, ingatan itu membanjir benaknya tanpa ampun. Heri—rekan pengacaranya sendiri, yang dulu Barra hormati dan percaya.Hingga hari itu ... ketika Jeslyn, kekasih yang pernah dia cintai setengah mati, ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar apartemen. Tubuhnya memar dan hancur. Heri-lah pelakunya.Barra sendiri yang mengumpulkan bukti, mengungkap semua fakta, lalu menyeret Heri ke meja hijau. Dia bersumpah hari itu juga, tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh orang-orang yang dicintainya.Akan tetapi, kini Adik Heri, mencari m
Saat Barra dipusingkan dengan kasus Yasmin yang dipercepat oleh pengadilan, kedua anak kembarnya yang rewel seakan ikut merasakan kegelisahannya. Di tengah kekalutan semua ini, pria itu kembali merasakan nyeri menusuk di punggungnya. Tentu saja, konsekuensi dari membolos terapi.Dengan berat hati, Barra menyerahkan si kembar kepada pengasuhnya. Lalu, dia melangkah ke ruang kerja, wajah tampan pria itu tampak lebih kusut daripada biasanya. Dia membuka berkas perkara yang baru saja dikirimkan Bahtiar melalui email. Sambil mengerang pelan menahan sakit, dia berniat segera memerintah timnya untuk melakukan keberatan.Akan tetapi, dering ponsel memotong pikirannya. Itu dari Bono. Harapan Barra seketika melonjak. Semoga pengacara magang itu menemukan sesuatu yang berarti."Bagaimana, Bono?" tanyanya cepat."Baju Cindy sudah ditemukan, Pak! Kami membelinya seharga satu juta—""Langsung ke intinya!" potong Barra dengan intonasi tajam."Karena bajunya dibungkus kain plastik, sudah ada kerusakan
Pukul satu dini hari, Barra baru menginjakkan kakinya di rumah. Dengan langkah berat, dia langsung menaruh ASIP ke dalam freezer, lalu mengarah ke kamar Boy dan Cleo. Pandangan pria itu segera terkunci pada ranjang yang biasanya ditempati Yasmin.Dia melangkah perlahan, lalu duduk di tepi ranjang, telapak tangannya membelai permukaan kasur yang kini terasa dingin. Aroma samar sabun Yasmin yang berpadu dengan wangi tubuh bayi masih tertinggal di udara, sungguh menyesakkan dada.Bayangan Yasmin tiba-tiba hadir begitu jelas di benaknya. Barra melihat wanita itu duduk di kursi yang menghadap ke jendela, menyusui si kembar sambil bersenandung pelan.Barra berdiri. Langkahnya menyusuri setiap sudut ruangan, tempat yang menjadi favorit Yasmin. Hingga dia terhenti di depan boks bayi. Boy dan Cleo tampak nyenyak, tetapi di sudut mata mereka ada sisa jejak air mata."Ternyata Papi gagal melindungi Bunda ... Boy, Cleo," lirihnya seraya menghela napas panjang. Suaranya sangat pelan, seolah takut
“Hah? A—apa, Tan? Bram bergerak? Terus?” tanya Cindy dengan wajah menegang. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, tangan yang menggenggam botol pun ikut bergetar hebat. Namun, dia buru-buru menarik tangannya, mendekatkan ke tubuh, lalu menekan kuat-kuat demi menyamarkan reaksin.Saat ini, dia ingin sekali berlari masuk ke ICU dan membekap pria itu agar tidak bernapas lagi. Namun, itu tidak mungkin, terlalu banyak petugas medis berjaga.Sial!Sarah mengangguk sambil menyuap makanannya. Wajah wanita paruh baya itu tampak sendu, padahal seharusnya senang, bukan?“Dokter bilang itu bukan gerakan tanda kesadaran, tapi respons refleks dari sistem saraf. Akibat rangsangan nyeri yang dilakukan sebagai tes, jadinya ... tubuh Bram bergerak tanpa sadar,” beber Sarah. Suaranya melemah dan isaknya pecah, membuatnya langsung menunduk dalam.Tanpa Sarah tahu, seringai jahat kini tersungging di wajah Cindy. Gemetaran yang tadi sempat merundung tubuhnya kini lenyap setelah mendengar penjelasan itu.“Oh, T
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S