Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar.
ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang.
Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini."
Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!"
Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar.
Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’
Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak.
"Kenapa diam? Siapa yang mengizinkan kamu ada di sini?" tanya pria itu dengan intonasi rendah, tetapi dingin dan penuh curiga.
Yasmin menelan ludah. Dia mencoba menenangkan diri, tetapi getaran di tubuhnya tidak sulit dikendalikan.
Bagaimana tidak? Pria itu adalah Barra Alexander Armend, pengacara ternama yang selalu tampil tenang dan karismatik di hadapan publik. Namun, sekarang, tidak ada keramahan itu. Hanya pria dengan tatapan keras yang melihat Yasmin seperti seorang penjahat.
"Sa—saya … hanya mau bantu….” cicit Yasmin, suaranya tenggelam di antara bunyi monitor dan detak jantungnya sendiri yang berdebar hebat.
Sayangnya, alih-alih mereda, tatapan Barra justru tambah menusuk. Pria itu menyilangkan tangan di dada diikuti rahang yang mengeras.
"Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?" Barra menyela dengan nada dingin. “Belakangan ini banyak kasus penculikan anak, modusnya beragam. Seperti kamu!” tuduh pria itu lagi.
Sesak sekali rasanya Yasmin mendengar itu semua. Dia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa dia tulus dan tidak ada niat tersembunyi.
"Saya tidak punya niat buruk," lirih Yasmin yang berusaha meyakinkan. “Saya baru saja kehilangan bayi, dan melihat mereka yang butuh ASI, saya hanya ingin membantu agar mereka bisa tumbuh sehat!”
Barra menyipitkan mata, menatap Yasmin dengan sorot ketidakpercayaan. Kendati sorot mata pria itu sedikit melemah, tetapi garis ketegangan masih kentara pada wajah rupawannya.
Suasana ruangan seketika senyap. Yasmin bisa merasakan ada bara kemarahan dalam dada pria itu, tetapi juga kepedihan mendalam yang tersirat.
"Aku tetap tidak percaya padamu,” ucap Barra yang kini mengalihkan pandangan dari Yasmin.
Yasmin menggigit bibirnya. Mata bulat wanita itu terasa panas, jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Padahal dia sudah berusaha menjelaskan. Namun, masih juga dianggap buruk.
Setelah mengatur napasnya, Yasmin menegakkan tubuh. Dia mengangkat dagu dengan sisa harga dirinya. "Kalau begitu, saya pergi, Pak," tegasnya berusaha tetap terdengar tegar.
Yasmin keluar menuju ruang NICU meski hatinya berat. Akan tetapi, sebelum Yasmin mencapai pintu, suara alarm berbunyi nyaring.
Salah satu bayi kembar Barra dalam inkubator mulai gelisah. Tangisan mereka bersahutan, tidak berhenti bahkan ketika sudah mendengar suara ayahnya.
Barra mulai panik. Pria itu berlari ke arah pintu NICU untuk meminta bantuan perawat.
Dokter Samantha dan beberapa perawat berlari mendekat.
Ternyata, ASI perah Yasmin yang ada di selang bayi-bayi itu telah habis.
Samantha mengedarkan pandangan, “Ke mana Yasmin? Mereka butuh ASI sekarang!”
Pandangan Barra dan Samantha bersiborok sesaat, sebelum akhirnya pria itu kembali berlari keluar NICU.
Yasmin masih berada di lorong itu. Langkahnya memelan ketika mendengar jerit tangis dua bayi susunya.
Namun, mengingat penolakan dan tuduhan Barra padanya, membuat Yasmin urung untuk kembali ke ruangan itu.
"Tunggu!" Barra berteriak. Sayangnya, Yasmin terus berjalan. Tidak kehabisan akal, Barra kembali mengejar Yasmin, dan meraih tangan wanita itu. “Berapa yang kamu butuhkan? Jika kamu mau menjadi ibu susu anak-anakku–”
Tangisan bayi itu terdengar semakin kencang, membuat hati Yasmin semakin pilu.
Wanita itu memejamkan matanya, masih berusaha menolak permintaan Barra. Akan tetapi, nalurinya sebagai ibu, juga sebagai wanita tidak mengizinkannya untuk bertindak tak acuh pada tangisan itu.
“Aku akan menyusui mereka, tapi bukan karena tawaran dari Bapak!”
Setelahnya, Yasmin berbalik. Langkahnya lebih cepat. Sungguh, jika dia tidak punya hati dan tidak teringat akan putrinya, sudah pasti Yasmin tidak sudi kembali menyusui anak-anak Barra.
Mengingat sudah tidak memungkinkan untuk memerah ASI-nya, Yasmin, disetujui oleh dokter dan perawat, mencoba menyusui dua bayi itu secara langsung dan bersamaan.
Air mata Yasmin jatuh, ketika merasakan dirinya masih dibutuhkan oleh dua malaikat kecil ini. “Hussh, tenang, Nak.” Dia menggoyang-goyangkan badannya dengan lembut ke kanan dan kiri. Dua bayi ini seolah protes karena telat diberi ASI. “Maafin Bunda, ya… Bunda janji nggak akan ninggalin kalian lagi.”
Di ujung pintu NICU, Barra terpaku. Dua bayinya kini berada di pelukan Yasmin, yang dadanya tengah terekspos karena menyusui anaknya langsung.
“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam. Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak meresp
Pagi itu, Yasmin terbangun lebih awal untuk memerah ASI. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, memperhatikan setiap tetes yang mengalir ke dalam botol kaca. Namun, di saat botol kaca hampir penuh, tangannya mulai gemetar dan pandangan wanita itu sedikit kabur, serta tubuhnya terasa limbung.“Hampir saja …,” lirihnya ketika botol itu hampir terlepas dari genggamannya.Setelah beberapa hari menjadi ibu susu Boy dan Cleo, tenaga Yasmin nyaris terkuras habis. Rasa lapar selalu menguasai perutnya dengan kejam. Dia berniat membawa ASI itu ke NICU sebelum arapan.Atas permintaan Barra, Yasmin masih ditempatkan di kamar rawat rumah sakit itu.Akan tetapi, saat melangkah gontai di lorong panjang, mata hitamnya menangkap sosok yang membuat jantungnya mencelos.Langkahnya terhenti. Nafasnya tercekat. Tangannya meremas tas berisi botol ASI, seolah itu bisa menjadi perisai dari luka lama yang kembali menganga.“Heh! Kamu Yasmin &
Yasmin membuka mata perlahan. Kepalanya berdenyut dan tubuhnya terasa begitu hampa. Pandangan wanita itu masih buram saat dia mencoba memindai sekeliling ruangan.Tangan kanan Yasmin terasa perih, tetapi saat matanya mulai fokus, dia melihat perban yang kini melilit luka di sana.“Akhirnya sadar juga.”Suara berat itu terdengar sinis di sampingnya. Yasmin sontak menoleh dan mendapati Barra berdiri di sisi ranjang.Mata pria itu tajam dan dingin seperti sebelumnya, tetapi Yasmin melihat ada sesuatu yang lain kali ini, kerah kemeja putih Barra bernoda darah.Jantung Yasmin berdegup lebih cepat.Darah? Apakah itu darahnya? Atau … darah siapa? Teris kenapa Barra tidak membersihkannya? Kenapa pria itu terlihat begitu tenang dengan noda merah di bajunya? Berbagai pertanyaan berputar di benak wanita itu, tetapi dia tidak berani mengucapkannya.“Maaf … dan makasih, ya, Pak. Sudah bantu saya,” ucap Yasmin lirih, suaranya benar-benar tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi atmosfer ruangan ini
Yasmin meringis merasakan cengkeraman itu tambah kuat, bahkan kuku-kuku tajam seseorang di hadapannya menekan kulitnya hingga nyeri. Jantung Yasmin berdegup kencang dan napasnya tercekat. Ketika mendapat tatapan begitu menusuk, seakan-akan menguliti dirinya dari atas ke bawah.“Maaf, Ibu siapa? Kenapa memegang tangan saya seperti ini?” Yasmin berusaha mengendalikan suaranya, meskipun bergetar karena ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan.Wanita itu mendecakkan lidah, seolah mendengar pertanyaan yang menggelikan. “Ada apa kamu menemui Boy dan Cleo? Apa kamu mau menculik mereka?”Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Apa … yang baru saja dia dengar? Tenggorokannya terasa kering, kosakatanya mendadak menghilang. Tidak Barra, tidak orang ini sama-sama menuduhnya.Wanita itu masih menatap Yasmin dengan sorot mencemooh, seolah Yasmin hanyalah seseorang yang tidak pantas berada di dekat bayi kembar itu. “Kamu tidak bisa mengelak? Karena yang aku bilang memang benar.” Wanita itu meny
“Apa kamu tidak waras, hem?”Suara berat itu merasuk tajam ke dalam telinga Yasmin, mengguncang kesadarannya. Tubuh wanita itu seketika kaku, dan udara terasa makin dingin menusuk kulit. Kata-kata itu terdengar familiar, tetapi … ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aroma parfum asing menguar, menusuk indera penciumannya.Yasmin mengerjap, mata bulatnya yang masih setengah sadar menatap sosok tinggi menjulang di hadapannya. Tidak! Ini salah!Seingatnya, Bram tidak setinggi ini. Bram juga jarang sekali memakai celana bahan hitam pekat seperti pria ini.Jantung Yasmin berdetak tambah kencang. Ada yang tidak beres. Dengan perasaan waswas, dia mendongak … dan langsung bertemu dengan tatapan dingin sepasang mata cokelat.“P—Pak Bara?” gumamnya dengan bibir gemetar.Seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras, membuat napas Yasmin tercekat. Ini bukan Bram! Ini … Bara, dan dia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.Untuk beberapa saat, Yasmin hanya bergeming, pikirannya mas
"Selamat, Boy dan Cleo sudah cukup kuat untuk pulang."Suara lembut Dokter Samantha seharusnya membawa kebahagiaan, tetapi bagi Yasmin, kata-kata itu justru terasa menyesakkan.Dia menatap bayi kembar yang terlelap damai dalam inkubator. Mereka terlihat sehat, lebih berisi setelah sebulan ini menyusu darinya setiap hari. Namun, satu hal kini menghantam kesadarannya.Mereka akan pulang. Maka itu berarti … dia harus ikut.Dada Yasmin berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Barra yang berdiri tepat di sampingnya, berharap pria itu memberinya pilihan terbaik. Namun, yang dia temukan hanyalah tatapan dingin dan perintah singkat.“Kamu ikut!”Ucapan itu menunjukkan bahwa Yasmin tidak memiliki ruang untuk menolak. Bahkan ketika Boy dan Cleo digendong oleh babysitter, Yasmin hanya bisa mengawasi dengan cermat, memastikan mereka nyaman.“Tugasmu hanya menyusui mereka, bukan merawat mereka!” tegas Barra lagi, lalu b
Cindy menunduk sambil menyeka air matanya, tetapi Yasmin bisa melihat ada senyum kemenangan tersungging di wajah wanita itu.Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa dia harus pergi? Pengakuan Cindy benar-benar memojokkannya.Saat Yasmin berjalan di belakang Barra, dan hendak masuk ke dalam ruangan, Cindy menatapnya intens dengan seringai halus, jemari panjang yang dihiasi kuku cantik melambai anggun.“Cepat, Yasmin!” perintah Barra, suaranya tajam.Yasmin buru-buru melangkah masuk, tetapi rasa dingin yang menjalar di tengkuknya tak kunjung hilang.Di dalam ruangan, Yasmin berdiri kaku di hadapan Barra. Jantungnya berdetak begitu kencang, mungkin saja pria itu bisa mendengarnya.Tatapan Barra kosong. Dingin. Tak terbaca.Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. "Nomor rekeningmu."Yasmin membelalak. Seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.“Maksud Bapak apa, ya?” tanyanya dengan hati-hati, bersiap dimarahi kapan saja.“Gaji untukmu,” ujar Barra datar, jemarinya saling
Suara ketukan sepatu di lantai marmer menggema, memecah keheningan yang menyesakkan. Yasmin tersentak, napasnya tertahan. Dia pikir itu Barra, tetapi … ternyata seorang pria lain yang berdiri di sana, muncul dari salah satu ruangan. Pria tampan itu bermata sipit dengan sikap tenang dan senyum ramah.Dengan nada sopan, dia berkata, "Yasmin, ayo saya antar ke kamar."Yasmin tetap diam, tubuhnya menegang. Dia tidak mengenal pria ini, tidak tahu apa maunya."Saya Bahtiar, asisten Pak Barra. Bapak minta saya antar kamu ke kamar," lanjut pria itu dengan suara datar.Yasmin masih bingung, tetapi tubuhnya bergerak mengikuti langkah Bahtiar seolah-olah sedang dikendalikan.Cindy, yang sejak tadi menyaksikan dengan mata melotot, tiba-tiba berteriak, "Hei! Dia itu udah diusir! Kenapa kalian masih meladeni?!"Tidak ada satu pun yang menjawab. Bahtiar tetap berjalan, mengabaikan Cindy seakan wanita itu tidak ada."Hei! Aku ngomong sama kalian!" Cindy makin histeris, "sialan si Yasmin, belum sehari
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m
Barra makin menunduk, mendekatkan jarak di antara mereka. Ibu jarinya membelai bibir penuh mengilap itu, seolah memastikan sesuatu. Cindy yang merasa menang, tersenyum lebar. Dia sungguh tidak sabar mengikat pria itu selamanya, demi membalaskan rasa sakit dan dendam yang membara di hati. “Yasmin …,” lirih Barra, tepat di depan bibir Cindy. Akan tetapi, saat hampir menempel, Barra tersentak. Ada sesuatu yang berbeda. Indera penciumannya diserang aroma asing, menusuk dan aneh. Bukan wangi alami sabun segar, khas Yasmin yang menenangkan. Seketika Barra mendorong kuat tubuh Cindy hingga terjatuh. Tatapannya membeku dingin, suaranya membelah udara di malam hari. “Aku tidak bodoh!” “Aw, sakit! Pria macam apa kamu, hah!” gerutu Cindy, meringis sambil memegangi bokongnya yang ngilu. “Berengsek! Aku nggak akan biarin kamu lolos!” Barra tak peduli. Dia membalikkan badan, meninggalkan kelab malam itu tanpa sepatah kata pun. Sementara Cindy merintih kesal, masih berusaha bangkit. “Argh! Ken
Ponsel Cindy bergetar di tangannya, menampilkan nama Airin di layar. Wanita itu mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan dan dendam yang membakar. Malam ini, dia tidak akan kalah. Dia harus mendapatkan Barra, bagaimanapun caranya! Dengan mata yang masih berkilat, Cindy menekan tombol sambungkan, sambil menatap Barra yang sudah masuk ke dalam mobil. Dia segera mengikuti, mengendarai mobilnya sendiri. "Mam, aku mau pakai rencana Mami," ujar Cindy dengan suara berat. "Oke, kamu di mana sekarang? Bilang sama Mami, biar Mami yang urus," balas Airin begitu antusias. "Lokasi pastinya aku kirim belakangan, Mam. Aku masih di jalan," tukas Cindy sebelum memutus sambungan telepon itu. Rubicon putih yang dikendarai Barra berbelok memasuki area parkir VIP kelab malam. Barra turun dengan langkah cepat, memasuki bangunan itu tanpa menoleh. Cindy mengikutinya dari belakang, dengan dada berdebar. Tangannya sempat berkeringat saat menggenggam ponsel. Dia segera mengirimkan lokasinya pada Airin,
Tablet itu terlepas dari tangan Barra, jatuh menghantam lantai. Retakan tipis menyebar di layar, tetapi pria itu bahkan tidak meliriknya.Pandangan matanya kosong, membeku pada satu nama yang masih tertangkap di sudut memorinya.“Ariansyah, umur 26 tahun, catatan criminal hanya perkelahian kecil,” gumamnya.Data wajah di layar, semuanya tampak biasa saja ... sampai Barra menurunkan pandangan ke bagian anggota keluarga."Hubungan, adik kandung Heri Adikara."Seketika, ingatan itu membanjir benaknya tanpa ampun. Heri—rekan pengacaranya sendiri, yang dulu Barra hormati dan percaya.Hingga hari itu ... ketika Jeslyn, kekasih yang pernah dia cintai setengah mati, ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar apartemen. Tubuhnya memar dan hancur. Heri-lah pelakunya.Barra sendiri yang mengumpulkan bukti, mengungkap semua fakta, lalu menyeret Heri ke meja hijau. Dia bersumpah hari itu juga, tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh orang-orang yang dicintainya.Akan tetapi, kini Adik Heri, mencari m
Saat Barra dipusingkan dengan kasus Yasmin yang dipercepat oleh pengadilan, kedua anak kembarnya yang rewel seakan ikut merasakan kegelisahannya. Di tengah kekalutan semua ini, pria itu kembali merasakan nyeri menusuk di punggungnya. Tentu saja, konsekuensi dari membolos terapi.Dengan berat hati, Barra menyerahkan si kembar kepada pengasuhnya. Lalu, dia melangkah ke ruang kerja, wajah tampan pria itu tampak lebih kusut daripada biasanya. Dia membuka berkas perkara yang baru saja dikirimkan Bahtiar melalui email. Sambil mengerang pelan menahan sakit, dia berniat segera memerintah timnya untuk melakukan keberatan.Akan tetapi, dering ponsel memotong pikirannya. Itu dari Bono. Harapan Barra seketika melonjak. Semoga pengacara magang itu menemukan sesuatu yang berarti."Bagaimana, Bono?" tanyanya cepat."Baju Cindy sudah ditemukan, Pak! Kami membelinya seharga satu juta—""Langsung ke intinya!" potong Barra dengan intonasi tajam."Karena bajunya dibungkus kain plastik, sudah ada kerusakan
Pukul satu dini hari, Barra baru menginjakkan kakinya di rumah. Dengan langkah berat, dia langsung menaruh ASIP ke dalam freezer, lalu mengarah ke kamar Boy dan Cleo. Pandangan pria itu segera terkunci pada ranjang yang biasanya ditempati Yasmin.Dia melangkah perlahan, lalu duduk di tepi ranjang, telapak tangannya membelai permukaan kasur yang kini terasa dingin. Aroma samar sabun Yasmin yang berpadu dengan wangi tubuh bayi masih tertinggal di udara, sungguh menyesakkan dada.Bayangan Yasmin tiba-tiba hadir begitu jelas di benaknya. Barra melihat wanita itu duduk di kursi yang menghadap ke jendela, menyusui si kembar sambil bersenandung pelan.Barra berdiri. Langkahnya menyusuri setiap sudut ruangan, tempat yang menjadi favorit Yasmin. Hingga dia terhenti di depan boks bayi. Boy dan Cleo tampak nyenyak, tetapi di sudut mata mereka ada sisa jejak air mata."Ternyata Papi gagal melindungi Bunda ... Boy, Cleo," lirihnya seraya menghela napas panjang. Suaranya sangat pelan, seolah takut
“Hah? A—apa, Tan? Bram bergerak? Terus?” tanya Cindy dengan wajah menegang. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, tangan yang menggenggam botol pun ikut bergetar hebat. Namun, dia buru-buru menarik tangannya, mendekatkan ke tubuh, lalu menekan kuat-kuat demi menyamarkan reaksin.Saat ini, dia ingin sekali berlari masuk ke ICU dan membekap pria itu agar tidak bernapas lagi. Namun, itu tidak mungkin, terlalu banyak petugas medis berjaga.Sial!Sarah mengangguk sambil menyuap makanannya. Wajah wanita paruh baya itu tampak sendu, padahal seharusnya senang, bukan?“Dokter bilang itu bukan gerakan tanda kesadaran, tapi respons refleks dari sistem saraf. Akibat rangsangan nyeri yang dilakukan sebagai tes, jadinya ... tubuh Bram bergerak tanpa sadar,” beber Sarah. Suaranya melemah dan isaknya pecah, membuatnya langsung menunduk dalam.Tanpa Sarah tahu, seringai jahat kini tersungging di wajah Cindy. Gemetaran yang tadi sempat merundung tubuhnya kini lenyap setelah mendengar penjelasan itu.“Oh, T
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S