WoW semoga siapa itu yang lihat gak salah paham deh ya T.T
Suara ketukan sepatu di lantai marmer menggema, memecah keheningan yang menyesakkan. Yasmin tersentak, napasnya tertahan. Dia pikir itu Barra, tetapi … ternyata seorang pria lain yang berdiri di sana, muncul dari salah satu ruangan. Pria tampan itu bermata sipit dengan sikap tenang dan senyum ramah.Dengan nada sopan, dia berkata, "Yasmin, ayo saya antar ke kamar."Yasmin tetap diam, tubuhnya menegang. Dia tidak mengenal pria ini, tidak tahu apa maunya."Saya Bahtiar, asisten Pak Barra. Bapak minta saya antar kamu ke kamar," lanjut pria itu dengan suara datar.Yasmin masih bingung, tetapi tubuhnya bergerak mengikuti langkah Bahtiar seolah-olah sedang dikendalikan.Cindy, yang sejak tadi menyaksikan dengan mata melotot, tiba-tiba berteriak, "Hei! Dia itu udah diusir! Kenapa kalian masih meladeni?!"Tidak ada satu pun yang menjawab. Bahtiar tetap berjalan, mengabaikan Cindy seakan wanita itu tidak ada."Hei! Aku ngomong sama kalian!" Cindy makin histeris, "sialan si Yasmin, belum sehari
Sejenak Yasmin menahan napas dia masih terkejut pada kejadian barusan. Setelah kesadarannya kembali dia bergerak dengan cepat, meraih kaos usang dan celana panjangnya yang tergeletak di atas kasur. Tangan kurus itu gemetar saat menarik kain ke tubuh, dan telinganya tajam mengawasi langkah kaki yang menjauh. "Tuhan ... tolong lindungi aku di rumah ini," lirihnya sembari memejamkan mata sesaat. Dia menggigit bibirnya, menunduk, dan memeluk dirinya sendiri. Setelah yakin Barra benar-benar pergi, Yasmin menggendong dan mendekap erat Boy dan Cleo, lalu memindahkan ke dalam kereta bayi. Keduanya sudah tertidur pulas, napas kecil mereka teratur. Dia menempelkan pipinya ke dahi Boy, mencari sedikit kehangatan dari bayi tampan ini. Dengan langkah perlahan, Yasmin keluar dari kamarnya. Namun, baru saja menutup pintu, tubuhnya membeku. Ternyata Barra berdiri tegak tidak jauh dari sani. Mata cokelatnya menusuk tanpa ampun. Yasmin menunduk seketika. Dadanya berdenyut keras, seakan j
Malam ini, Yasmin berdiri di samping tempat tidur bayi. Manik hitamnya menatap Boy dan Cleo yang sudah terlelap setelah menyusu. Dia merasakan dadanya sesak. Ada rasa perih yang terus menggerogoti hati. Yasmin merutuk diri. Berkas persidangan milik Barra sudah hancur, dan ini kesalahan besar.Sayup-sayup Yasmin bisa mendengar suara percakapan, karena pintu kamar bayi tidak tertutup rapat. Yasmin mengintip, terlihat Barra berdiri bersama Bahtiar. Meskipun suara mereka pelan, tetapi itu cukup tajam menusuk telinganya."Cari pengganti dia. Aku tidak mau wanita itu ada di sini!""Tapi Pak, apa tidak sebaiknya berikan Yasmin kesempatan lagi? Boy dan Cleo mulai nyaman dengannya," sahut Bahtiar dengan hati-hati."Tidak perlu." Ucapan itu lolos dengan mudah dari mulut Barra.Hati Yasmin mencelos. Tenggorokannya tercekat. Perlahan, dengan pandangan getir dia menoleh ke arah bayi kembar yang masih pulas.Setelah beberapa saat, dia membelai lembut kepala Boy dan Cleo. "Kalian harus tumbuh se
Pukul tiga pagi, Yasmin terbangun karena rengekan Cleo. Dalam redupnya lampu kamar, dia buru-buru meraih bayi itu sebelum tangisannya membangunkan Boy. Dengan cekatan, Yasmin menyusui Cleo, membiarkan bayi itu menyusu dengan tenang. Namun, pikirannya mulai melayang. ‘Kenapa tadi aku … ada di sofa ini? Padahal semalam aku tidur di ….’ Ucapan dalam hati itu tertahan karena Yasmin menunduk, menatap karpet. Yasmin mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Tidak mungkin Barra yang melakukannya. Pria itu bahkan tidak peduli padanya. “Pasti Mbak Babysitter yang pindahi aku, itu lebih masuk akal. Nggak mungkin juga Mbok Inah,” gumamnya mengingat asisten rumah tangga di sini sudah sepuh. Rengekan kecil Cleo menyadarkan Yasmin dari lamunannya. Dia membenarkan perlekatan bayi cantik itu dan mengayun tubuh mungilnya perlahan. “Maafin Bunda, Sayang. Harusnya Bunda nggak bengong,” ucapnya. Kemudian Yasmin bersenandung pelan, tangan kurusnya membelai kepala Cleo dengan hati-hati, takut melukai tula
“Pak… tolong, lepas …," pinta Yasmin lirih. Suaranya kalah terdengar dari hentakkan sepatu Barra. Tubuh Yasmin terasa limbung. Pandangan wanita itu berbayang, seakan ada dua Barra di depannya. Cengkeraman pria itu di pergelangan tangannya sangat kuat, membuatnya kesulitan berdiri tegak. "Sshh," ringis Yasmin merasakan perutnya kembali nyeri. Akan tetapi, Barra tidak menghiraukannya. Pria bertubuh tinggi menjulang itu terus menarik Yasmin menuju ruang keluarga, langkahnya cepat dan sangat tegas. Baru setelah sampai, pria itu melepaskannya dengan kasar. Yasmin hampir terhuyung jatuh, jika tidak segera bertumpu pada sofa. Ekor mata Barra melirik sekilas dan bibirnya bergumam, "Lemah." Dia juga mengeluarkan telepon genggamnya, tampak menekan sesuatu, lalu menempelkan perangkat itu ke telinga. “Ke rumahku sekarang!” Hanya itu yang Yasmin dengar, lalu kepalanya terasa makin berat. Saat Yasmin membuka mata, seseorang tengah menyentuh pergelangan tangannya. Dia mencoba berke
"Benar ‘kan Mam apa yang aku bilang? Perempuan ini cuma manfaatin keadaan doang. Dasar penggoda murahan!" Cindy menyindir, tatapannya pada Yasmin berkilat penuh kebencian. "Asal Mami tahu, dia bahkan tinggal di sini berlagak jadi nyonya rumah!"Seketika mata wanita paruh baya itu melotot. Napasnya terdengar menderu, dan rahangnya berkedut dengan tangan terkepal.Airin, Ibu Cindy sekaligus mertua dari Barra mendengkus.l, "Aku heran bagaimana perempuan sepertimu bisa bertahan di rumah ini. Jangan-jangan karena ulahmu, Berliana stres dan meninggal? Oh putriku yang malang ….""Itu tidak benar, Bu!" Yasmin buru-buru menyangkal, tetapi Airin tidak peduli, hanya berdecih sinis. Wanita paruh baya itu langsung meraih Boy dari gendongan Yasmin, menyerahkannya kepada Cindy."Sebagai Ibu kandung Berliana, aku tidak ridho kamu jadi ibu sambung cucu-cucuku," Airin menatap Yasmin dengan penghinaan dan kebencian. "Jangan kira karena Berliana sudah meninggal, kamu seenaknya merampas tempat anakku!"“I
Suara hentakan boots menggema di ruang tamu. Aura pria itu begitu kuat. Rasa dingin seketika menyeruak memenuhi ruangan. Tidak ada kata terucap, tetapi sorot matanya yang gelap sudah membuat udara menipis.Yasmin menegang. Tubuhnya masih kaku layaknya terdakwa yang menjalani persidangan. Dia tahu siapa yang datang, bahkan sebelum menoleh.‘Pak Barra,’ lirihnya dalam hati.Yasmin menahan napas saat pria itu berhenti di depannya. Mereka hanya berjarak beberapa langkah.Barra tidak langsung bicara. Mata cokelatnya menyapu wajah Yasmin yang memerah, lalu turun ke tangan gemetar wanita itu yang masih erat memeluk Cleo.Tanpa menunggu izin, Barra meraih Cleo dari dekapan ibu susunya.Yasmin mencoba mempertahankan, tetapi jemarinya melemah di bawah tekanan, dan dalam sekejap, pelukannya kosong.“Cleo—”"Yasmin. Cleo anakku,” sela Barra.Jantung Yasmin mencelos. Itu menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa. Dia menatap Barra dengan getir.“Tolong jangan pisahkan saya dari Cleo dan Boy, Pa
Barra menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, membuat buku jemarinya memutih, dan urat-urat di lehernya mengencang."Pintu rumah ini selalu terbuka, silakan Mami berkunjung kapan saja,” ucapnya, dengan suara tegas dan ekspresi wajah datar. “Tapi bukan untuk menetap," sambungnya.Airin menunduk dan tangan berhias cincin berlian itu meremas ujung bajunya. Mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, lalu sejurus kemudian, bulir air mata jatuh."Mami hanya ... masih terpukul karena kehilangan Berliana, Bar.” Airin geleng-geleng, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Cindy. “Satu-satunya yang bisa menenangkan hati Mami, ya, Cleo. Dia mirip dengan Berliana." Suaranya bergetar, penuh permohonan.Ada sesuatu dalam ucapan wanita itu yang menjadikan Barra meragu, dia menatap Ibu Mertuanya lebih intens. Lalu, dengan suara rendah dan berat, dia berkata, "Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jaga sikap Mami, terutama dengan Cindy.”Airin mengangguk cepat, seolah takut kesempa
Tim dokter segera memeriksa kondisi Barra. Bahtiar dan Dariel berdiri dengan wajah tegang dari balik kaca ICU. Napas mereka terdengar berat, seolah menahan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dariel menoleh pada Bahtiar dan memerintah. "Hubungi Tante Kezia! Sekarang!" Tanpa bertanya lebih lanjut, Bahtiar segera keluar dari ruang ICU. Membuat Airin dan Cindy langsung berdiri di ruang tunggu. Dua wanita itu saling berpandangan, menyadari ada yang tidak beres. Sementara itu, di sisi lain Kezia tengah menerima telepon dari asisten pribadi putranya. Suaranya tercekat saat mendengar nama ‘Barra; disebut. "Barra ... anakku," bisiknya, satu tangan menutup mulutnya, dan air mata mengalir tanpa izin. "Oke, Tante ke sana sekarang." Tidak disangka, Yasmin mendengar percakapan itu. Dia langsung menghampiri Kezia yang hendak keluar rumah. "Mi! Tunggu!" serunya sambil tertatih mengejar. Meskipun kakinya masih nyeri, dia memaksakan diri. "Yasmin boleh ikut, ya? Tolong, Mi ...," pintanya
Yasmin mengangguk pelan. Dida hendak menunjukkan cincin itu lewat media sosial Bram, tetapi akun pria itu mendadak hilang. Setelah dia cari melalui akun-akun gosip, ternyata Bram memutuskan untuk rehat dari dunia maya. Alis Yasmin mengerut dalam. Dia menggeleng tidak percaya. Sungguh sebuah kebetulan yang tak disangka. "Kamu yakin, Yasmin?" tanya Samantha sekali lagi. "Yakin, Dok ... Tapi Yasmin nggak punya fotonya," sahut ibu susu ini, menghela napas. "Oke, biar timnya Barra yang cari. Makasih infonya. Sekarang kamu rileks dan berdoa buat Barra, ya. Aku balik ke rumah sakit dulu," pamit Samantha, memeluk Yasmin dengan erat. Yasmin hanya bisa memandangi kepergian Samantha dengan kosong. Rumah ini benar-benar seperti penjara baginya. Dia bahkan tidak boleh keluar sekalipun hanya untuk menjenguk pria yang telah menyelamatkannya. Namun, dia tidak pernah putus mendoakan pria itu. Perlahan Yasmin melangkah ke kamar si kembar dan menemukan mereka asyik berceloteh sambil bermain. Rasa b
Ponsel Bahtiar berdering nyaring, memutus percakapan seriusnya dengan Samantha. Alis asisten Barra itu langsung mengerut dalam, dan napasnya berembus panjang seperti menahan sesuatu yang tidak menyenangkan.“Ada apa? Siapa yang telepon? Polisi?” tanya Samantha dengan nada tidak sabar. Jelas sekali dia ingin segera tahu siapa pelaku dari kasus pembunuhan berencana ini.Bahtiar mengangkat ponsel, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan nama Cindy.“Angkat,” titah Samantha begitu lugas dan tajam.Bahtiar mengangguk pelan, lalu menggeser ikon hijau dengan gerakan tenang juga waspada. Suaranya terdengar datar saat menjawab panggilan itu.“Ya, Mbak Cindy, ada apa?”“Bagaimana kabar Kak Barra? Dia sudah bangun ‘kan? Nanti siang aku ke rumah sakit bareng Mami, tapi … apa kami boleh mampir ke rumah?”Samantha memberi isyarat dengan gerakan kepala sambil mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan teks itu pada Bahtiar. Mereka saling memahami dalam diam, sorot mata keduanya bicara tanpa su
“Bram … keluar! Ada yang cari kamu.” Suara nyaring seorang wanita itu diiringi ketukan pada pintu makin intens, membuat Bram yang sempat mendengar suara sirine langsung terlonjak kaget. Detak jantungnya bagai memberontak.“Cepat, Bram!” teriak Sarah lagi.Dengan tangan gemetar, Bram membuka pintu dan melihat ibunya berdiri dengan wajah panik. Sarah tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.Melihat itu, tangan Bram mengepal, dan dia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.Sarah langsung meraih wajah putranya dengan tatapan penuh iba. Namun, Bram menepisnya dengan kasar, sorot matanya menajam.“Jangan seperti itu, Bu. Aku ini udah besar!” sergah pria itu.Seketika dari lantai dua, dia mendengar suara berat seorang pria dari arah bawah. Bram menoleh dengan cepat, dan tubuhnya menegang. Suara itu bagai menggetarkan dadanya yang sudah rapuh.“Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Ibu, Ibu pasti bisa bantu. Kamu berantem sama Tamara ‘kan?”“Sebaiknya Ibu usir tamu di bawah!” Pria
“Mami?” panggil Yasmin lagi. Suaranya gemetar, seperti anak kecil yang siap menerima hukuman.Hati wanita itu mencelos. Bukankah Barra terluka karena menyelamatkannya?“Yasmin … minta maaf, Mi,” lirihnya, tertunduk dalam-dalam.Kalau pun Kezia memaki, mengusir, atau membencinya, Yasmin akan terima. Dia sudah siap dan harus ikhlas.Tubuh Kezia bergetar. Dari pantulan bayangan di lantai rumah sakit, Yasmin bisa melihat tangan wanita paruh baya itu mengepal rapat. Isak tangisnya lirih dan memilukan di telinga.Boy dan Cleo kembali rewel dalam dekapannya, seakan ikut menyerap kesedihan sang ibu susu yang meluap.Tiba-tiba, tangan Kezia terangkat dan ….“Syukurlah kamu selamat, Yasmin. Mami ke sini mau antar kamu pulang,” bisik Kezia di tengah tangis.Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Yasmin ke dalam pelukan hangat. Kezia menumpahkan air matanya di pundak Yasmin.Yasmin me
“Halo, Bram … ini waktu yang tepat. Yasmin ada di luar rumah. Aku kirim lokasinya,” ucap Cindy pelan melalui sambungan telepon, pandangannya tajam menatap layar ponsel.Beberapa jam lalu wanita itu duduk di balik kemudi mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Barra. Hampir setiap hari, Cindy hanya mengintai Yasmin—menunggu waktu wanita itu lengah.Hari ini, seperti momentum yang sudah lama ditunggunya.“Oke. Aku pastikan sendiri dia mendapat hukumannya,” desis Bram dengan rahang mengeras, tangannya meremukkan kertas kontrak kerja sama yang dibatalkan.Tidak butuh waktu lama, Bram melajukan mobilnya menuju lokasi yang Cindy kirim. Bahkan, sejak di pemakaman, dia sudah membuntuti Yasmin dan Barra dalam diam. Tatapan pria itu menyala dengan amarah, seolah api dendam siap melahap segalanya.“Itik buruk rupa tidak akan pernah berubah jadi angsa,” geram Bram sambil menyeringai tajam saat tatapannya bertemu Yasmin di depan restoran. Sesaat kemudian, dia berbalik arah, menyusup ke gang k
"Dua wanita yang berarti dalam hidupku ... tapi mereka pergi." Suara Barra datar dan pelan. Pandangan pria itu kosong, terpaku pada dedaunan pohon yang bergoyang pelan diterpa angin. Suasana kuburan yang sudah hening makin terasa senyap. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Bahkan Boy dan Cleo, yang biasanya berceloteh, kini terdiam seolah ikut meresapi kesunyian itu. Yasmin memandangi wajah tampan pria itu. Di sana, tidak terlihat kesedihan atau amarah. Hanya ada kekosongan—dan sesuatu yang sulit untuk dia jelaskan. Yasmin tidak bertanya lagi, dia mengingat ucapan Kezia tentang Jeslyn–Barra akan marah jika mengungkitnya. Dia memilih diam, menghormati luka yang membelenggu pria itu. "Ayo," ajak Barra seraya mengulurkan tangan. Yasmin melangkah, belum sempat menyambut, pria itu lebih dulu menggenggam tangannya, menarik dengan lembut. Jelas, ini tidak seperti Barra yang dingin. Alih-alih langsung pulang ke rumah, justru Barra membawa Yasmin ke kantornya
Barra pulang dalam keadaan mabuk, beruntunglah dia sampai dengan selamat di rumah. Diantar oleh Dariel dan Stefan. Namun, pria itu mendapat kesialan di rumah. Kezia yang membukakan pintu untuknya, dan menggantikan putra sulungnya itu pakaiannya. "Mami ini sudah tua, Barra! Kamu bikin capek saja! Papi kamu sakit, kamu mabuk-mabukan lagi," keluh Kezia dengan suara tertahan, khawatir seisi rumah mendengarnya. "Yasmin di mana, Mi? Aku mau—" "Mau apa kamu, hah?" geram Kezia, "jangan keluar kamar! Yasmin bisa takut lihat kamu mabuk begini, Barra!" omel wanita paruh baya itu. Pada akhirnya Kezia menemani Barra di kamar hingga pagi, wanita itu memastikan putra sulungnya tidak melakukan perbuatan di luar nalar. Bahkan ketika pagi hari, Kezia memberikan Barra pereda pengar akibat alkohol semalam. "Jangan sampai Papi tahu kamu mabuk lagi!" ancam Kezia sebelum keluar kamar. Namun, Barra hanya mengacungkan ibu jari saja, lalu menelan obatnya. Setelah pening di kepala menghilang, Barra menggu
"Mas mau ke mana? Sebentar lagi makan malam," ucap Yasmin, melihat Barra yang tergesa-gesa menuruni anak tangga. Wanita itu sedang memegang mesin pompa ASI, sedikit terkejut dengan sikap pria itu.Barra menoleh sekilas dan menghela napas saat pandangannya tertuju pada alat pompa itu. Ingin rasanya mengabaikan Yasmin, tetapi mulutnya justru berkata, "Cari angin.""Tapi … Mas, Mami bilang—"Ucapan Yasmin menggantung di udara, sebab Barra sudah melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Dari lantai dua, Yasmin hanya bisa terdiam, lalu mengusap dadanya. Ada yang janggal. Belakang ini, pria itu lebih sering berangkat siang ke kantor, lalu tiba-tiba membelikannya barang mewah, sekarang keluar malam-malam begini.Ah, ya, mungkin Barra sedang menangani kasus besar. Mencari bukti atau saksi? Dia mengangguk kecil, mencoba menenangkan pikirannya, lalu masuk ke kamar bayi.Bersamaan dengan itu denting notifikasi dari ponsel di atas nakas membuat langkah Yasmin terhenti. Matanya membulat saat melihat pe