Umm ... Kasih izin jangan? Ini Mami Mami mau ngapain lagi sih?
Barra menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, membuat buku jemarinya memutih, dan urat-urat di lehernya mengencang."Pintu rumah ini selalu terbuka, silakan Mami berkunjung kapan saja,” ucapnya, dengan suara tegas dan ekspresi wajah datar. “Tapi bukan untuk menetap," sambungnya.Airin menunduk dan tangan berhias cincin berlian itu meremas ujung bajunya. Mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, lalu sejurus kemudian, bulir air mata jatuh."Mami hanya ... masih terpukul karena kehilangan Berliana, Bar.” Airin geleng-geleng, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Cindy. “Satu-satunya yang bisa menenangkan hati Mami, ya, Cleo. Dia mirip dengan Berliana." Suaranya bergetar, penuh permohonan.Ada sesuatu dalam ucapan wanita itu yang menjadikan Barra meragu, dia menatap Ibu Mertuanya lebih intens. Lalu, dengan suara rendah dan berat, dia berkata, "Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jaga sikap Mami, terutama dengan Cindy.”Airin mengangguk cepat, seolah takut kesempa
Yasmin menghirup napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Namun, sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, Cindy sudah lebih dulu membuka suara. "Aku hanya ingin lebih dekat dengan Boy dan Cleo," kata wanita itu dengan nada lembut, tetapi matanya berkilat dengan sesuatu yang berbeda. Tangan Yasmin terkepal di atas pahanya. Benarkah itu yang diinginkan Cindy? Atau cara lain merebut Boy dan Cleo darinya? Tepat saat itu, Barra mengerutkan alis. Pria itu melepas satu earphone yang menempel di telinganya, lalu mengetuk layar ponsel dan berkata, "Nanti kutelepon lagi." Yasmin menoleh ke arahnya, dengan mata melebar. Barra sedang menelepon? Jadi dia tidak mendengar percakapan mereka? Termasuk tidak tahu apa yang baru saja dikatakan Cindy? Seketika ada rasa kecewa yang tiba-tiba menyelinap ke dalam dadanya. Yasmin butuh konfirmasi. Dia ingin Barra mengerti bahwa kehadiran Cindy bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Namun, melihat ekspresi datar Barra, Yasmin tahu bahwa ha
Yasmin membelalak mendengar ucapan Sarah. Tangannya mengepal dan napasnya memburu di balik punggung Barra, bahkan air mata sudah menggenang di pipi. Hati wanita itu bergetar, bukan karena rindu, melainkan ketakutan. Bertemu mantan ibu mertua lagi seperti membuka luka lama yang belum sembuh.‘Tuhan … tolong aku,’ pintanya dalam hati.Tanpa sadar, Yasmin makin merapatkan tubuhnya ke Barra, hanya menyisakan jarak tipis di antara mereka. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, bahkan mendengar helaan napas beratnya yang terdengar menyeramkan di telinga."Kami permisi, Bu Sarah," ucap Barra dengan nada tegas.Sayangnya, Sarah tidak tinggal diam. "Dia mirip dengan—"Akan tetapi, sebelum Sarah menyelesaikan ucapannya, Barra menyela, "Silakan cari pengacara lain untuk kasus Bram."Setelah itu, Barra melangkah pergi, sambil menarik pergelangan tangan Yasmin begitu saja.Yasmin tersentak, tetapi tidak melawan. Dia berjalan di belakang pria itu dengan kepala tertunduk, berusaha menormalkan
"Aduh … kenapa anak ganteng Bunda nang—”Langkah Yasmin terhenti di ambang pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Boy yang berada dalam dekapan Cindy, sementara seorang babysitter berdiri di samping mereka.Air masih menetes dari ujung rambut Yasmin yang belum sempat dikeringkan, menunjukkan betapa terburu-burunya dia berlari ke kamar bayi setelah mendengar tangisan itu.“Pergi sana! Boy enggak butuh kamu!” sergah Cindy, tangannya melambai-lambai, laykanya mengusir pengemis yang mengganggu pemandangan.Semenjak percakapannya kemarin bersama Barra, dia menjadi lebih sering berada di sekitar bayi kembar.Yasmin tidak beranjak, tetapi bukan itu yang membuatnya terpaku. Mata Boy, bulat dan bening, kini tertuju padanya. Tatapan polosnya tampak mencari seseorang. Yasmin menelan ludah, hatinya mencelos melihat tangan mungil itu bergerak-gerak seolah ingin meraih dirinya.“Ish, malah diam lagi. Cepat pergi, Yasmin! Bantuin Mbok Inah masak sana!” Cindy mengibaskan tangan lebih keras, suaran
Yasmin membelalak ketika seseorang menarik rambutnya dengan kasar. Rasa nyeri menjalar ke kulit kepalanya, seakan-akan helaian rambut itu tercabut paksa dari akar.Dia tersentak, meronta, dan berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat.“Apa maksud Bu Airin?” tanyanya lirih, suaranya bergetar menahan sakit.Airin makin kuat menarik rambut Yasmin, dan tatapannya penuh kebencian. “Jangan pura-pura polos! Aku tahu niat busukmu!” bentaknya tajam.“Tolong lepaskan saya, Bu. Saya minta maaf kalau saya salah,” Yasmin merintih, sungguh dia tidak paham mengapa wanita itu menyerangnya.Belum sempat dia menarik napas lega, tangan Cindy mencengkeram lengannya dengan erat, rasanya sangat meremukkan. Cindy juga menatapnya bengis.“Dia enggak suka lihat aku dekat Boy dan Cleo. Dia mau rebut Kak Barra dari aku, Mam.”Yasmin menggeleng lemah. “Bu Cindy salah paham, saya tidak pernah—”Airin tidak peduli. Seketika sentakan kuat membuat kepala Yasmin makin nyeri. Lalu, mereka menyeretn
Yasmin menahan napas, langkahnya diperlambat sehalus mungkin saat bersembunyi di balik pilar. Dadanya naik turun dan jantungnya berdetak kencang. Beruntung tubuhnya kurus, sehingga Airin dan Cindy tidak menyadari keberadaannya.“Kurang ajar si Sarah! Dia benar-benar cari masalah sama kita,” geram Airin, jemarinya mencengkeram ponsel seolah ingin meremukkannya.Cindy melangkah gelisah, suara hak sepatunya beradu dengan lantai marmer. “Terus kita dapat uang dari mana lagi, Mam? Warisan Papi aja belum cair,” keluh wanita itu, nadanya setengah panik.Yasmin mengernyit. Warisan? Apa hubungan mereka dengan kematian Berliana? Dadanya terasa sesak. Bisa jadi mereka memang punya keterlibatan dalam kematian ibu si kembar.Tangan Yasmin refleks menutup mulutnya. Jika kecurigaannya benar, maka nyawanya dalam bahaya. Apalagi … Cleo dan Boy! Tidak! Dia tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada bayi kembar itu.Tangisan Cleo dan Boy yang makin kencang membuyarkan pikirannya. Dia bersiap melangkah, t
“Keluar!” perintah Barra, suaranya berat dan tak terbantahkan. Jemari pria itu saling mencengkeram, menahan rasa sakit yang jelas tergambar dari wajahnya yang garang. Kemeja putihnya terbuka setengah, kain itu ternoda merah—darah yang cukup banyak meresap di sana. Yasmin berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat tatapan dingin Barra menghunjamnya. Napas wanita itu memburu. Dia ingin menurut, ingin segera pergi, tetapi langkahnya masih tertahan di sana. Pandangan sepasang manik hitamnya melayang pada luka yang diderita pria itu, lalu akhirnya menunduk, ragu-ragu. “Dokter tidak bisa dihubungi, Pak. Mbak Yasmin pernah belajar mengobati luka, jadi—” “Mbok, apa harus kuulangi ucapanku?” sela Barra tajam. Tatapan elangnya begitu menyala, penuh ketidaksabaran. Dia hendak berdiri, tetapi nyeri di lengan membuatnya meringis dan kembali duduk, tangannya refleks mencengkeram area yang terluka. Saat itu juga, Yasmin maju satu langkah, lalu mengangkat pandangan dan menatap langsung ke m
“A—apa, Pak?” Suara Yasmin tercekat.Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jari-jarinya mencengkeram erat kotak obat di tangannya, siap melayangkan pukulan jika perlu. Namun, sebelum dia bertindak, Barra kembali berbicara dengan nada santai tetapi tegas.“Bajumu jelek! Buka dan ganti.”Jantung Yasmin seakan berhenti berdetak. Rasa terkejut bercampur dengan kemarahan yang sempat menggelegak di dada lenyap begitu saja. Napas wanita itu tersengal saat perlahan dia menunduk, menatap kaos dan rok plisket cokelat lusuh melekat di tubuhnya. Jemarinya mencengkeram ujung baju.Benar. Pakaiannya memang sudah usang. Bahkan saat masih menjadi istri Bram, dia tidak pernah diberi kehidupan layak. Kini, di hadapan Barra yang selalu tampak rapi dan berkelas, Yasmin tampak seperti pengemis.Dadanya terasa sesak. Hinaan itu menelusup jauh ke dalam hatinya, perih dan menyakitkan. Meskipun, tenggor
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau