Waduh siapa itu?????
"Benar ‘kan Mam apa yang aku bilang? Perempuan ini cuma manfaatin keadaan doang. Dasar penggoda murahan!" Cindy menyindir, tatapannya pada Yasmin berkilat penuh kebencian. "Asal Mami tahu, dia bahkan tinggal di sini berlagak jadi nyonya rumah!"Seketika mata wanita paruh baya itu melotot. Napasnya terdengar menderu, dan rahangnya berkedut dengan tangan terkepal.Airin, Ibu Cindy sekaligus mertua dari Barra mendengkus.l, "Aku heran bagaimana perempuan sepertimu bisa bertahan di rumah ini. Jangan-jangan karena ulahmu, Berliana stres dan meninggal? Oh putriku yang malang ….""Itu tidak benar, Bu!" Yasmin buru-buru menyangkal, tetapi Airin tidak peduli, hanya berdecih sinis. Wanita paruh baya itu langsung meraih Boy dari gendongan Yasmin, menyerahkannya kepada Cindy."Sebagai Ibu kandung Berliana, aku tidak ridho kamu jadi ibu sambung cucu-cucuku," Airin menatap Yasmin dengan penghinaan dan kebencian. "Jangan kira karena Berliana sudah meninggal, kamu seenaknya merampas tempat anakku!"“I
Suara hentakan boots menggema di ruang tamu. Aura pria itu begitu kuat. Rasa dingin seketika menyeruak memenuhi ruangan. Tidak ada kata terucap, tetapi sorot matanya yang gelap sudah membuat udara menipis.Yasmin menegang. Tubuhnya masih kaku layaknya terdakwa yang menjalani persidangan. Dia tahu siapa yang datang, bahkan sebelum menoleh.‘Pak Barra,’ lirihnya dalam hati.Yasmin menahan napas saat pria itu berhenti di depannya. Mereka hanya berjarak beberapa langkah.Barra tidak langsung bicara. Mata cokelatnya menyapu wajah Yasmin yang memerah, lalu turun ke tangan gemetar wanita itu yang masih erat memeluk Cleo.Tanpa menunggu izin, Barra meraih Cleo dari dekapan ibu susunya.Yasmin mencoba mempertahankan, tetapi jemarinya melemah di bawah tekanan, dan dalam sekejap, pelukannya kosong.“Cleo—”"Yasmin. Cleo anakku,” sela Barra.Jantung Yasmin mencelos. Itu menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa. Dia menatap Barra dengan getir.“Tolong jangan pisahkan saya dari Cleo dan Boy, Pa
Barra menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, membuat buku jemarinya memutih, dan urat-urat di lehernya mengencang."Pintu rumah ini selalu terbuka, silakan Mami berkunjung kapan saja,” ucapnya, dengan suara tegas dan ekspresi wajah datar. “Tapi bukan untuk menetap," sambungnya.Airin menunduk dan tangan berhias cincin berlian itu meremas ujung bajunya. Mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, lalu sejurus kemudian, bulir air mata jatuh."Mami hanya ... masih terpukul karena kehilangan Berliana, Bar.” Airin geleng-geleng, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Cindy. “Satu-satunya yang bisa menenangkan hati Mami, ya, Cleo. Dia mirip dengan Berliana." Suaranya bergetar, penuh permohonan.Ada sesuatu dalam ucapan wanita itu yang menjadikan Barra meragu, dia menatap Ibu Mertuanya lebih intens. Lalu, dengan suara rendah dan berat, dia berkata, "Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jaga sikap Mami, terutama dengan Cindy.”Airin mengangguk cepat, seolah takut kesempa
Yasmin menghirup napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Namun, sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, Cindy sudah lebih dulu membuka suara. "Aku hanya ingin lebih dekat dengan Boy dan Cleo," kata wanita itu dengan nada lembut, tetapi matanya berkilat dengan sesuatu yang berbeda. Tangan Yasmin terkepal di atas pahanya. Benarkah itu yang diinginkan Cindy? Atau cara lain merebut Boy dan Cleo darinya? Tepat saat itu, Barra mengerutkan alis. Pria itu melepas satu earphone yang menempel di telinganya, lalu mengetuk layar ponsel dan berkata, "Nanti kutelepon lagi." Yasmin menoleh ke arahnya, dengan mata melebar. Barra sedang menelepon? Jadi dia tidak mendengar percakapan mereka? Termasuk tidak tahu apa yang baru saja dikatakan Cindy? Seketika ada rasa kecewa yang tiba-tiba menyelinap ke dalam dadanya. Yasmin butuh konfirmasi. Dia ingin Barra mengerti bahwa kehadiran Cindy bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Namun, melihat ekspresi datar Barra, Yasmin tahu bahwa ha
Yasmin membelalak mendengar ucapan Sarah. Tangannya mengepal dan napasnya memburu di balik punggung Barra, bahkan air mata sudah menggenang di pipi. Hati wanita itu bergetar, bukan karena rindu, melainkan ketakutan. Bertemu mantan ibu mertua lagi seperti membuka luka lama yang belum sembuh.‘Tuhan … tolong aku,’ pintanya dalam hati.Tanpa sadar, Yasmin makin merapatkan tubuhnya ke Barra, hanya menyisakan jarak tipis di antara mereka. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, bahkan mendengar helaan napas beratnya yang terdengar menyeramkan di telinga."Kami permisi, Bu Sarah," ucap Barra dengan nada tegas.Sayangnya, Sarah tidak tinggal diam. "Dia mirip dengan—"Akan tetapi, sebelum Sarah menyelesaikan ucapannya, Barra menyela, "Silakan cari pengacara lain untuk kasus Bram."Setelah itu, Barra melangkah pergi, sambil menarik pergelangan tangan Yasmin begitu saja.Yasmin tersentak, tetapi tidak melawan. Dia berjalan di belakang pria itu dengan kepala tertunduk, berusaha menormalkan
"Aduh … kenapa anak ganteng Bunda nang—”Langkah Yasmin terhenti di ambang pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Boy yang berada dalam dekapan Cindy, sementara seorang babysitter berdiri di samping mereka.Air masih menetes dari ujung rambut Yasmin yang belum sempat dikeringkan, menunjukkan betapa terburu-burunya dia berlari ke kamar bayi setelah mendengar tangisan itu.“Pergi sana! Boy enggak butuh kamu!” sergah Cindy, tangannya melambai-lambai, laykanya mengusir pengemis yang mengganggu pemandangan.Semenjak percakapannya kemarin bersama Barra, dia menjadi lebih sering berada di sekitar bayi kembar.Yasmin tidak beranjak, tetapi bukan itu yang membuatnya terpaku. Mata Boy, bulat dan bening, kini tertuju padanya. Tatapan polosnya tampak mencari seseorang. Yasmin menelan ludah, hatinya mencelos melihat tangan mungil itu bergerak-gerak seolah ingin meraih dirinya.“Ish, malah diam lagi. Cepat pergi, Yasmin! Bantuin Mbok Inah masak sana!” Cindy mengibaskan tangan lebih keras, suaran
Yasmin membelalak ketika seseorang menarik rambutnya dengan kasar. Rasa nyeri menjalar ke kulit kepalanya, seakan-akan helaian rambut itu tercabut paksa dari akar.Dia tersentak, meronta, dan berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat.“Apa maksud Bu Airin?” tanyanya lirih, suaranya bergetar menahan sakit.Airin makin kuat menarik rambut Yasmin, dan tatapannya penuh kebencian. “Jangan pura-pura polos! Aku tahu niat busukmu!” bentaknya tajam.“Tolong lepaskan saya, Bu. Saya minta maaf kalau saya salah,” Yasmin merintih, sungguh dia tidak paham mengapa wanita itu menyerangnya.Belum sempat dia menarik napas lega, tangan Cindy mencengkeram lengannya dengan erat, rasanya sangat meremukkan. Cindy juga menatapnya bengis.“Dia enggak suka lihat aku dekat Boy dan Cleo. Dia mau rebut Kak Barra dari aku, Mam.”Yasmin menggeleng lemah. “Bu Cindy salah paham, saya tidak pernah—”Airin tidak peduli. Seketika sentakan kuat membuat kepala Yasmin makin nyeri. Lalu, mereka menyeretn
Yasmin menahan napas, langkahnya diperlambat sehalus mungkin saat bersembunyi di balik pilar. Dadanya naik turun dan jantungnya berdetak kencang. Beruntung tubuhnya kurus, sehingga Airin dan Cindy tidak menyadari keberadaannya.“Kurang ajar si Sarah! Dia benar-benar cari masalah sama kita,” geram Airin, jemarinya mencengkeram ponsel seolah ingin meremukkannya.Cindy melangkah gelisah, suara hak sepatunya beradu dengan lantai marmer. “Terus kita dapat uang dari mana lagi, Mam? Warisan Papi aja belum cair,” keluh wanita itu, nadanya setengah panik.Yasmin mengernyit. Warisan? Apa hubungan mereka dengan kematian Berliana? Dadanya terasa sesak. Bisa jadi mereka memang punya keterlibatan dalam kematian ibu si kembar.Tangan Yasmin refleks menutup mulutnya. Jika kecurigaannya benar, maka nyawanya dalam bahaya. Apalagi … Cleo dan Boy! Tidak! Dia tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada bayi kembar itu.Tangisan Cleo dan Boy yang makin kencang membuyarkan pikirannya. Dia bersiap melangkah, t
Tim dokter segera memeriksa kondisi Barra. Bahtiar dan Dariel berdiri dengan wajah tegang dari balik kaca ICU. Napas mereka terdengar berat, seolah menahan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dariel menoleh pada Bahtiar dan memerintah. "Hubungi Tante Kezia! Sekarang!" Tanpa bertanya lebih lanjut, Bahtiar segera keluar dari ruang ICU. Membuat Airin dan Cindy langsung berdiri di ruang tunggu. Dua wanita itu saling berpandangan, menyadari ada yang tidak beres. Sementara itu, di sisi lain Kezia tengah menerima telepon dari asisten pribadi putranya. Suaranya tercekat saat mendengar nama ‘Barra; disebut. "Barra ... anakku," bisiknya, satu tangan menutup mulutnya, dan air mata mengalir tanpa izin. "Oke, Tante ke sana sekarang." Tidak disangka, Yasmin mendengar percakapan itu. Dia langsung menghampiri Kezia yang hendak keluar rumah. "Mi! Tunggu!" serunya sambil tertatih mengejar. Meskipun kakinya masih nyeri, dia memaksakan diri. "Yasmin boleh ikut, ya? Tolong, Mi ...," pintanya
Yasmin mengangguk pelan. Dida hendak menunjukkan cincin itu lewat media sosial Bram, tetapi akun pria itu mendadak hilang. Setelah dia cari melalui akun-akun gosip, ternyata Bram memutuskan untuk rehat dari dunia maya. Alis Yasmin mengerut dalam. Dia menggeleng tidak percaya. Sungguh sebuah kebetulan yang tak disangka. "Kamu yakin, Yasmin?" tanya Samantha sekali lagi. "Yakin, Dok ... Tapi Yasmin nggak punya fotonya," sahut ibu susu ini, menghela napas. "Oke, biar timnya Barra yang cari. Makasih infonya. Sekarang kamu rileks dan berdoa buat Barra, ya. Aku balik ke rumah sakit dulu," pamit Samantha, memeluk Yasmin dengan erat. Yasmin hanya bisa memandangi kepergian Samantha dengan kosong. Rumah ini benar-benar seperti penjara baginya. Dia bahkan tidak boleh keluar sekalipun hanya untuk menjenguk pria yang telah menyelamatkannya. Namun, dia tidak pernah putus mendoakan pria itu. Perlahan Yasmin melangkah ke kamar si kembar dan menemukan mereka asyik berceloteh sambil bermain. Rasa b
Ponsel Bahtiar berdering nyaring, memutus percakapan seriusnya dengan Samantha. Alis asisten Barra itu langsung mengerut dalam, dan napasnya berembus panjang seperti menahan sesuatu yang tidak menyenangkan.“Ada apa? Siapa yang telepon? Polisi?” tanya Samantha dengan nada tidak sabar. Jelas sekali dia ingin segera tahu siapa pelaku dari kasus pembunuhan berencana ini.Bahtiar mengangkat ponsel, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan nama Cindy.“Angkat,” titah Samantha begitu lugas dan tajam.Bahtiar mengangguk pelan, lalu menggeser ikon hijau dengan gerakan tenang juga waspada. Suaranya terdengar datar saat menjawab panggilan itu.“Ya, Mbak Cindy, ada apa?”“Bagaimana kabar Kak Barra? Dia sudah bangun ‘kan? Nanti siang aku ke rumah sakit bareng Mami, tapi … apa kami boleh mampir ke rumah?”Samantha memberi isyarat dengan gerakan kepala sambil mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan teks itu pada Bahtiar. Mereka saling memahami dalam diam, sorot mata keduanya bicara tanpa su
“Bram … keluar! Ada yang cari kamu.” Suara nyaring seorang wanita itu diiringi ketukan pada pintu makin intens, membuat Bram yang sempat mendengar suara sirine langsung terlonjak kaget. Detak jantungnya bagai memberontak.“Cepat, Bram!” teriak Sarah lagi.Dengan tangan gemetar, Bram membuka pintu dan melihat ibunya berdiri dengan wajah panik. Sarah tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.Melihat itu, tangan Bram mengepal, dan dia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.Sarah langsung meraih wajah putranya dengan tatapan penuh iba. Namun, Bram menepisnya dengan kasar, sorot matanya menajam.“Jangan seperti itu, Bu. Aku ini udah besar!” sergah pria itu.Seketika dari lantai dua, dia mendengar suara berat seorang pria dari arah bawah. Bram menoleh dengan cepat, dan tubuhnya menegang. Suara itu bagai menggetarkan dadanya yang sudah rapuh.“Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Ibu, Ibu pasti bisa bantu. Kamu berantem sama Tamara ‘kan?”“Sebaiknya Ibu usir tamu di bawah!” Pria
“Mami?” panggil Yasmin lagi. Suaranya gemetar, seperti anak kecil yang siap menerima hukuman.Hati wanita itu mencelos. Bukankah Barra terluka karena menyelamatkannya?“Yasmin … minta maaf, Mi,” lirihnya, tertunduk dalam-dalam.Kalau pun Kezia memaki, mengusir, atau membencinya, Yasmin akan terima. Dia sudah siap dan harus ikhlas.Tubuh Kezia bergetar. Dari pantulan bayangan di lantai rumah sakit, Yasmin bisa melihat tangan wanita paruh baya itu mengepal rapat. Isak tangisnya lirih dan memilukan di telinga.Boy dan Cleo kembali rewel dalam dekapannya, seakan ikut menyerap kesedihan sang ibu susu yang meluap.Tiba-tiba, tangan Kezia terangkat dan ….“Syukurlah kamu selamat, Yasmin. Mami ke sini mau antar kamu pulang,” bisik Kezia di tengah tangis.Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Yasmin ke dalam pelukan hangat. Kezia menumpahkan air matanya di pundak Yasmin.Yasmin me
“Halo, Bram … ini waktu yang tepat. Yasmin ada di luar rumah. Aku kirim lokasinya,” ucap Cindy pelan melalui sambungan telepon, pandangannya tajam menatap layar ponsel.Beberapa jam lalu wanita itu duduk di balik kemudi mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Barra. Hampir setiap hari, Cindy hanya mengintai Yasmin—menunggu waktu wanita itu lengah.Hari ini, seperti momentum yang sudah lama ditunggunya.“Oke. Aku pastikan sendiri dia mendapat hukumannya,” desis Bram dengan rahang mengeras, tangannya meremukkan kertas kontrak kerja sama yang dibatalkan.Tidak butuh waktu lama, Bram melajukan mobilnya menuju lokasi yang Cindy kirim. Bahkan, sejak di pemakaman, dia sudah membuntuti Yasmin dan Barra dalam diam. Tatapan pria itu menyala dengan amarah, seolah api dendam siap melahap segalanya.“Itik buruk rupa tidak akan pernah berubah jadi angsa,” geram Bram sambil menyeringai tajam saat tatapannya bertemu Yasmin di depan restoran. Sesaat kemudian, dia berbalik arah, menyusup ke gang k
"Dua wanita yang berarti dalam hidupku ... tapi mereka pergi." Suara Barra datar dan pelan. Pandangan pria itu kosong, terpaku pada dedaunan pohon yang bergoyang pelan diterpa angin. Suasana kuburan yang sudah hening makin terasa senyap. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Bahkan Boy dan Cleo, yang biasanya berceloteh, kini terdiam seolah ikut meresapi kesunyian itu. Yasmin memandangi wajah tampan pria itu. Di sana, tidak terlihat kesedihan atau amarah. Hanya ada kekosongan—dan sesuatu yang sulit untuk dia jelaskan. Yasmin tidak bertanya lagi, dia mengingat ucapan Kezia tentang Jeslyn–Barra akan marah jika mengungkitnya. Dia memilih diam, menghormati luka yang membelenggu pria itu. "Ayo," ajak Barra seraya mengulurkan tangan. Yasmin melangkah, belum sempat menyambut, pria itu lebih dulu menggenggam tangannya, menarik dengan lembut. Jelas, ini tidak seperti Barra yang dingin. Alih-alih langsung pulang ke rumah, justru Barra membawa Yasmin ke kantornya
Barra pulang dalam keadaan mabuk, beruntunglah dia sampai dengan selamat di rumah. Diantar oleh Dariel dan Stefan. Namun, pria itu mendapat kesialan di rumah. Kezia yang membukakan pintu untuknya, dan menggantikan putra sulungnya itu pakaiannya. "Mami ini sudah tua, Barra! Kamu bikin capek saja! Papi kamu sakit, kamu mabuk-mabukan lagi," keluh Kezia dengan suara tertahan, khawatir seisi rumah mendengarnya. "Yasmin di mana, Mi? Aku mau—" "Mau apa kamu, hah?" geram Kezia, "jangan keluar kamar! Yasmin bisa takut lihat kamu mabuk begini, Barra!" omel wanita paruh baya itu. Pada akhirnya Kezia menemani Barra di kamar hingga pagi, wanita itu memastikan putra sulungnya tidak melakukan perbuatan di luar nalar. Bahkan ketika pagi hari, Kezia memberikan Barra pereda pengar akibat alkohol semalam. "Jangan sampai Papi tahu kamu mabuk lagi!" ancam Kezia sebelum keluar kamar. Namun, Barra hanya mengacungkan ibu jari saja, lalu menelan obatnya. Setelah pening di kepala menghilang, Barra menggu
"Mas mau ke mana? Sebentar lagi makan malam," ucap Yasmin, melihat Barra yang tergesa-gesa menuruni anak tangga. Wanita itu sedang memegang mesin pompa ASI, sedikit terkejut dengan sikap pria itu.Barra menoleh sekilas dan menghela napas saat pandangannya tertuju pada alat pompa itu. Ingin rasanya mengabaikan Yasmin, tetapi mulutnya justru berkata, "Cari angin.""Tapi … Mas, Mami bilang—"Ucapan Yasmin menggantung di udara, sebab Barra sudah melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Dari lantai dua, Yasmin hanya bisa terdiam, lalu mengusap dadanya. Ada yang janggal. Belakang ini, pria itu lebih sering berangkat siang ke kantor, lalu tiba-tiba membelikannya barang mewah, sekarang keluar malam-malam begini.Ah, ya, mungkin Barra sedang menangani kasus besar. Mencari bukti atau saksi? Dia mengangguk kecil, mencoba menenangkan pikirannya, lalu masuk ke kamar bayi.Bersamaan dengan itu denting notifikasi dari ponsel di atas nakas membuat langkah Yasmin terhenti. Matanya membulat saat melihat pe