Barra pulang dalam keadaan mabuk, beruntunglah dia sampai dengan selamat di rumah. Diantar oleh Dariel dan Stefan. Namun, pria itu mendapat kesialan di rumah. Kezia yang membukakan pintu untuknya, dan menggantikan putra sulungnya itu pakaiannya. "Mami ini sudah tua, Barra! Kamu bikin capek saja! Papi kamu sakit, kamu mabuk-mabukan lagi," keluh Kezia dengan suara tertahan, khawatir seisi rumah mendengarnya. "Yasmin di mana, Mi? Aku mau—" "Mau apa kamu, hah?" geram Kezia, "jangan keluar kamar! Yasmin bisa takut lihat kamu mabuk begini, Barra!" omel wanita paruh baya itu. Pada akhirnya Kezia menemani Barra di kamar hingga pagi, wanita itu memastikan putra sulungnya tidak melakukan perbuatan di luar nalar. Bahkan ketika pagi hari, Kezia memberikan Barra pereda pengar akibat alkohol semalam. "Jangan sampai Papi tahu kamu mabuk lagi!" ancam Kezia sebelum keluar kamar. Namun, Barra hanya mengacungkan ibu jari saja, lalu menelan obatnya. Setelah pening di kepala menghilang, Barra menggu
"Dua wanita yang berarti dalam hidupku ... tapi mereka pergi." Suara Barra datar dan pelan. Pandangan pria itu kosong, terpaku pada dedaunan pohon yang bergoyang pelan diterpa angin. Suasana kuburan yang sudah hening makin terasa senyap. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Bahkan Boy dan Cleo, yang biasanya berceloteh, kini terdiam seolah ikut meresapi kesunyian itu. Yasmin memandangi wajah tampan pria itu. Di sana, tidak terlihat kesedihan atau amarah. Hanya ada kekosongan—dan sesuatu yang sulit untuk dia jelaskan. Yasmin tidak bertanya lagi, dia mengingat ucapan Kezia tentang Jeslyn–Barra akan marah jika mengungkitnya. Dia memilih diam, menghormati luka yang membelenggu pria itu. "Ayo," ajak Barra seraya mengulurkan tangan. Yasmin melangkah, belum sempat menyambut, pria itu lebih dulu menggenggam tangannya, menarik dengan lembut. Jelas, ini tidak seperti Barra yang dingin. Alih-alih langsung pulang ke rumah, justru Barra membawa Yasmin ke kantornya
“Halo, Bram … ini waktu yang tepat. Yasmin ada di luar rumah. Aku kirim lokasinya,” ucap Cindy pelan melalui sambungan telepon, pandangannya tajam menatap layar ponsel.Beberapa jam lalu wanita itu duduk di balik kemudi mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Barra. Hampir setiap hari, Cindy hanya mengintai Yasmin—menunggu waktu wanita itu lengah.Hari ini, seperti momentum yang sudah lama ditunggunya.“Oke. Aku pastikan sendiri dia mendapat hukumannya,” desis Bram dengan rahang mengeras, tangannya meremukkan kertas kontrak kerja sama yang dibatalkan.Tidak butuh waktu lama, Bram melajukan mobilnya menuju lokasi yang Cindy kirim. Bahkan, sejak di pemakaman, dia sudah membuntuti Yasmin dan Barra dalam diam. Tatapan pria itu menyala dengan amarah, seolah api dendam siap melahap segalanya.“Itik buruk rupa tidak akan pernah berubah jadi angsa,” geram Bram sambil menyeringai tajam saat tatapannya bertemu Yasmin di depan restoran. Sesaat kemudian, dia berbalik arah, menyusup ke gang k
“Mami?” panggil Yasmin lagi. Suaranya gemetar, seperti anak kecil yang siap menerima hukuman.Hati wanita itu mencelos. Bukankah Barra terluka karena menyelamatkannya?“Yasmin … minta maaf, Mi,” lirihnya, tertunduk dalam-dalam.Kalau pun Kezia memaki, mengusir, atau membencinya, Yasmin akan terima. Dia sudah siap dan harus ikhlas.Tubuh Kezia bergetar. Dari pantulan bayangan di lantai rumah sakit, Yasmin bisa melihat tangan wanita paruh baya itu mengepal rapat. Isak tangisnya lirih dan memilukan di telinga.Boy dan Cleo kembali rewel dalam dekapannya, seakan ikut menyerap kesedihan sang ibu susu yang meluap.Tiba-tiba, tangan Kezia terangkat dan ….“Syukurlah kamu selamat, Yasmin. Mami ke sini mau antar kamu pulang,” bisik Kezia di tengah tangis.Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Yasmin ke dalam pelukan hangat. Kezia menumpahkan air matanya di pundak Yasmin.Yasmin me
“Bram … keluar! Ada yang cari kamu.” Suara nyaring seorang wanita itu diiringi ketukan pada pintu makin intens, membuat Bram yang sempat mendengar suara sirine langsung terlonjak kaget. Detak jantungnya bagai memberontak.“Cepat, Bram!” teriak Sarah lagi.Dengan tangan gemetar, Bram membuka pintu dan melihat ibunya berdiri dengan wajah panik. Sarah tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.Melihat itu, tangan Bram mengepal, dan dia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.Sarah langsung meraih wajah putranya dengan tatapan penuh iba. Namun, Bram menepisnya dengan kasar, sorot matanya menajam.“Jangan seperti itu, Bu. Aku ini udah besar!” sergah pria itu.Seketika dari lantai dua, dia mendengar suara berat seorang pria dari arah bawah. Bram menoleh dengan cepat, dan tubuhnya menegang. Suara itu bagai menggetarkan dadanya yang sudah rapuh.“Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Ibu, Ibu pasti bisa bantu. Kamu berantem sama Tamara ‘kan?”“Sebaiknya Ibu usir tamu di bawah!” Pria
Ponsel Bahtiar berdering nyaring, memutus percakapan seriusnya dengan Samantha. Alis asisten Barra itu langsung mengerut dalam, dan napasnya berembus panjang seperti menahan sesuatu yang tidak menyenangkan.“Ada apa? Siapa yang telepon? Polisi?” tanya Samantha dengan nada tidak sabar. Jelas sekali dia ingin segera tahu siapa pelaku dari kasus pembunuhan berencana ini.Bahtiar mengangkat ponsel, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan nama Cindy.“Angkat,” titah Samantha begitu lugas dan tajam.Bahtiar mengangguk pelan, lalu menggeser ikon hijau dengan gerakan tenang juga waspada. Suaranya terdengar datar saat menjawab panggilan itu.“Ya, Mbak Cindy, ada apa?”“Bagaimana kabar Kak Barra? Dia sudah bangun ‘kan? Nanti siang aku ke rumah sakit bareng Mami, tapi … apa kami boleh mampir ke rumah?”Samantha memberi isyarat dengan gerakan kepala sambil mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan teks itu pada Bahtiar. Mereka saling memahami dalam diam, sorot mata keduanya bicara tanpa su
Yasmin mengangguk pelan. Dida hendak menunjukkan cincin itu lewat media sosial Bram, tetapi akun pria itu mendadak hilang. Setelah dia cari melalui akun-akun gosip, ternyata Bram memutuskan untuk rehat dari dunia maya. Alis Yasmin mengerut dalam. Dia menggeleng tidak percaya. Sungguh sebuah kebetulan yang tak disangka. "Kamu yakin, Yasmin?" tanya Samantha sekali lagi. "Yakin, Dok ... Tapi Yasmin nggak punya fotonya," sahut ibu susu ini, menghela napas. "Oke, biar timnya Barra yang cari. Makasih infonya. Sekarang kamu rileks dan berdoa buat Barra, ya. Aku balik ke rumah sakit dulu," pamit Samantha, memeluk Yasmin dengan erat. Yasmin hanya bisa memandangi kepergian Samantha dengan kosong. Rumah ini benar-benar seperti penjara baginya. Dia bahkan tidak boleh keluar sekalipun hanya untuk menjenguk pria yang telah menyelamatkannya. Namun, dia tidak pernah putus mendoakan pria itu. Perlahan Yasmin melangkah ke kamar si kembar dan menemukan mereka asyik berceloteh sambil bermain. Rasa b
Tim dokter segera memeriksa kondisi Barra. Bahtiar dan Dariel berdiri dengan wajah tegang dari balik kaca ICU. Napas mereka terdengar berat, seolah menahan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dariel menoleh pada Bahtiar dan memerintah. "Hubungi Tante Kezia! Sekarang!" Tanpa bertanya lebih lanjut, Bahtiar segera keluar dari ruang ICU. Membuat Airin dan Cindy langsung berdiri di ruang tunggu. Dua wanita itu saling berpandangan, menyadari ada yang tidak beres. Sementara itu, di sisi lain Kezia tengah menerima telepon dari asisten pribadi putranya. Suaranya tercekat saat mendengar nama ‘Barra; disebut. "Barra ... anakku," bisiknya, satu tangan menutup mulutnya, dan air mata mengalir tanpa izin. "Oke, Tante ke sana sekarang." Tidak disangka, Yasmin mendengar percakapan itu. Dia langsung menghampiri Kezia yang hendak keluar rumah. "Mi! Tunggu!" serunya sambil tertatih mengejar. Meskipun kakinya masih nyeri, dia memaksakan diri. "Yasmin boleh ikut, ya? Tolong, Mi ...," pintanya
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau