Yasmin bersimpuh di hadapan Bram. Kenyataan ini terlalu kejam untuk diterima.
Semantara dia berusaha bernapas di antara isak tangis yang tidak terbendung, Bram justru begitu mudah melangkah, melenggang pergi kembali ke ruang tamu.
Sarah meraih rambut Yasmin, menariknya kuat hingga wanita itu mendongak. “Dengar, Yasmin, jangan pernah ganggu Bram lagi! Kamu itu cuma rumput liar yang menghambat bunga untuk tumbuh!"
"Bu—"
"Aku bukan Ibumu!" sentak Sarah, lalu menyeret Yasmin secara paksa keluar dari rumah.
Ketika Sarah hendak menutup pintu, Yasmin mencoba menahan, tetapi raganya terlalu lemah.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlahan, Yasmin dengan wajah memerah karena tidak berhenti menangis sedari tadi, menyeret kakinya menjauh dari rumah mantan suami. Langkahnya tertatih di trotoar yang semalam menjadi saksi perjuangan menyelamatkan bayinya.
Beberapa orang melintas, menatapnya sesaat lalu berlalu pergi. Semua mengabaikannya. Dunia benar-benar tidak peduli pada keberadaannya.
Tiba-tiba, tubuh Yasmin melemas dan jatuh di trotoar. Dia merasa dadanya begitu sesak, hingga memukul-mukulnya sambil terus menangis. Di saat itulah, Yasmin menyadari jika baju di bagian dadanya basah.
Rembesan ASI yang tidak diminum sang anak yang sudah tiada tercetak jelas di sana. "Nak, lihat… ini ASI Bunda banyak untuk kamu," lirihnya, semakin histeris bagai orang gila. "Untuk apa ASI ini, Nak, kalau kamu aja ninggalin Bunda?"
Entah berapa lama Yasmin meratapi kemalangan yang bertubi. Dadanya yang semula sesak oleh peristiwa pahit, perlahan terasa lebih ringan.
Tidak tahu tempat yang akan dituju, tidak punya tempat untuk bermalam… satu-satunya tempat yang ada di pikiran Yasmin adalah makam sang anak.
Namun, saat Yasmin mencoba menyeberang jalan, pandangannya yang buram membuat dia tidak waspada. Lampu hijau untuk penyebarang telah berubah merah. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil sedang melaju kencang.
Tadinya, Yasmin sudah pasrah jika tubuh ringkihnya dihajar mobil itu. Namun, saat dia membuka mata, ternyata mobil itu berhenti tepat di dekatnya. Bukan menyingkir, dia justru kembali meluruh di depan mobil itu.
“Kenapa Engkau tidak membiarkan aku mati, Tuhan….” protes Yasmin disertai derai air mata.
Orang-orang mulai melihat ke arahnya. Sekarang, Yasmin sudah benar-benar seperti orang gila yang mencoba mengakhiri hidupnya.
“Astaga! Kamu… baik-baik saja?” Seorang wanita turun dari mobil yang nyaris menabrak Yasmin, dan menghampirinya.
Yasmin spontan menggeleng. “Tabrak aja saya, Bu. Nggak ada gunanya lagi saya hidup di dunia ini….” Air mata Yasmin kembali berjatuhan.
"Apa yang kamu bicarakan?" Wanita itu berjongkok di hadapan Yasmin. Wajahnya sarat kemarahan, tetapi tangannya dengan lembut menggenggam tangan Yasmin yang dingin. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu."
Wanita itu juga memapah tubuh lemah Yasmin untuk memasuki mobilnya. Ketika itulah, dia menyadari ada noda darah di baju Yasmin, persis di atas luka operasinya.
“Siapa namamu?” tanya sang wanita. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir. “Kamu baru saja menjalani operasi? Perutmu berdarah, kamu harus diobati!”
Lagi, Yasmin menggeleng. “Biarin aja, Bu. Biarin luka ini membusuk karena infeksi, agar saya bisa menyusul anak saya. Anak saya… satu-satunya harapan saya hidup sudah nggak ada.”
Wanita itu berdecak mendengar ucapan Yasmin. “Aku turut berduka untuk kehilanganmu, tapi, aku tidak bisa membiarkanmu begini.” Dia kemudian berbicara pada sopirnya, “Ke rumah sakit, Pak!”
Yasmin menolak, akan tetapi mobil itu tetap melaju sebagaimana perintah wanita yang menolongnya.
Lalu, ketika mobil itu sampai di sebuah rumah sakit yang tidak lain adalah tempat dia melahirkan sang anak… Yasmin kembali bersuara, “Bu, saya… tidak punya uang.”
Wanita itu menoleh cepat ke arah Yasmin dengan pandangan iba. "Aku Dokter Samantha. Tenanglah, aku yang akan mengobati kamu!"
Samantha pun membawa Yasmin segera memasuki ruang periksanya. Selama Samantha mengobati dan bahkan menjahit ulang luka operasi Yasmin, wanita itu tidak bereaksi. Yasmin hanya memandang kosong pada dinding rumah sakit.
“Siapa namamu?” ulang Samantha, mencoba mendistraksi.
“Yasmin, Dokter,” sahut Yasmin dengan lemah.
Samantha mengangguk samar, lalu membuka seluruh APD-nya ketika usai mengobati Yasmin. “Aku tau kehilangan itu berat, Yasmin. Apalagi, kehilangan anak. Tapi, menyusulnya juga bukan solusi. Aku yakin, bayimu pasti sedih jika melihat ibunya seperti ini. Yang dia inginkan, ibunya tetap hidup, berjuang!"
Yasmin menoleh dan menatap Samantha dalam diam. Akal sehatnya membenarkan ucapan itu, tetapi dia tidak merespons apa pun.
“Kamu harus dirawat dulu beberapa hari, memastikan lukamu kering.” Samantha lalu membantu Yasmin untuk duduk di kursi roda, dan mendorong kursi itu ke ruang perawatan.
Saat melewati ruang NICU, tempat bayi-bayi yang butuh observasi lebih lanjut, Yasmin memanjangkan lehernya.
Dia masih membayangkan jika anaknya ada di sana… menunggu bundanya menjenguk dan memberinya ASI.
Samantha menunjuk salah satu inkubator yang berisi dua bayi. "Bayi kembar itu anak keponakanku," ujar Samantha, suaranya dipenuhi kepedihan. "Mereka lahir prematur di usia 28 minggu. Mereka butuh donor ASI untuk bertahan, karena memiliki alergi susu sapi.”
Seketika, Yasmin menoleh ke arah Samantha. “Umm … ibunya?” tanya Yasmin dengan hati-hati.
“Ibunya meninggal akibat komplikasi.” Ucapan Samantha membuat dada Yasmin tersayat-sayat.
Yasmin memandang pilu bayi-bayi itu. Nasibnya dan nasib bayi kembar itu sama. Mereka kehilangan cahaya hidup. Bedanya, Yasmin telah diberi akal untuk bisa bertahan… sementara dua bayi malang itu belum mengerti apa pun.
"Dokter …," panggil Yasmin dengan suara gemetar. "Apa aku … bisa bantu mereka? M-maksudku, bolehkah aku menyusui bayi-bayi itu?"
Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar. ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang. Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini." Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!" Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak."Kenapa diam
“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam. Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak meresp
Pagi itu, Yasmin terbangun lebih awal untuk memerah ASI. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, memperhatikan setiap tetes yang mengalir ke dalam botol kaca. Namun, di saat botol kaca hampir penuh, tangannya mulai gemetar dan pandangan wanita itu sedikit kabur, serta tubuhnya terasa limbung.“Hampir saja …,” lirihnya ketika botol itu hampir terlepas dari genggamannya.Setelah beberapa hari menjadi ibu susu Boy dan Cleo, tenaga Yasmin nyaris terkuras habis. Rasa lapar selalu menguasai perutnya dengan kejam. Dia berniat membawa ASI itu ke NICU sebelum arapan.Atas permintaan Barra, Yasmin masih ditempatkan di kamar rawat rumah sakit itu.Akan tetapi, saat melangkah gontai di lorong panjang, mata hitamnya menangkap sosok yang membuat jantungnya mencelos.Langkahnya terhenti. Nafasnya tercekat. Tangannya meremas tas berisi botol ASI, seolah itu bisa menjadi perisai dari luka lama yang kembali menganga.“Heh! Kamu Yasmin &
Yasmin membuka mata perlahan. Kepalanya berdenyut dan tubuhnya terasa begitu hampa. Pandangan wanita itu masih buram saat dia mencoba memindai sekeliling ruangan.Tangan kanan Yasmin terasa perih, tetapi saat matanya mulai fokus, dia melihat perban yang kini melilit luka di sana.“Akhirnya sadar juga.”Suara berat itu terdengar sinis di sampingnya. Yasmin sontak menoleh dan mendapati Barra berdiri di sisi ranjang.Mata pria itu tajam dan dingin seperti sebelumnya, tetapi Yasmin melihat ada sesuatu yang lain kali ini, kerah kemeja putih Barra bernoda darah.Jantung Yasmin berdegup lebih cepat.Darah? Apakah itu darahnya? Atau … darah siapa? Teris kenapa Barra tidak membersihkannya? Kenapa pria itu terlihat begitu tenang dengan noda merah di bajunya? Berbagai pertanyaan berputar di benak wanita itu, tetapi dia tidak berani mengucapkannya.“Maaf … dan makasih, ya, Pak. Sudah bantu saya,” ucap Yasmin lirih, suaranya benar-benar tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi atmosfer ruangan ini
Yasmin meringis merasakan cengkeraman itu tambah kuat, bahkan kuku-kuku tajam seseorang di hadapannya menekan kulitnya hingga nyeri. Jantung Yasmin berdegup kencang dan napasnya tercekat. Ketika mendapat tatapan begitu menusuk, seakan-akan menguliti dirinya dari atas ke bawah.“Maaf, Ibu siapa? Kenapa memegang tangan saya seperti ini?” Yasmin berusaha mengendalikan suaranya, meskipun bergetar karena ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan.Wanita itu mendecakkan lidah, seolah mendengar pertanyaan yang menggelikan. “Ada apa kamu menemui Boy dan Cleo? Apa kamu mau menculik mereka?”Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Apa … yang baru saja dia dengar? Tenggorokannya terasa kering, kosakatanya mendadak menghilang. Tidak Barra, tidak orang ini sama-sama menuduhnya.Wanita itu masih menatap Yasmin dengan sorot mencemooh, seolah Yasmin hanyalah seseorang yang tidak pantas berada di dekat bayi kembar itu. “Kamu tidak bisa mengelak? Karena yang aku bilang memang benar.” Wanita itu meny
“Apa kamu tidak waras, hem?”Suara berat itu merasuk tajam ke dalam telinga Yasmin, mengguncang kesadarannya. Tubuh wanita itu seketika kaku, dan udara terasa makin dingin menusuk kulit. Kata-kata itu terdengar familiar, tetapi … ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aroma parfum asing menguar, menusuk indera penciumannya.Yasmin mengerjap, mata bulatnya yang masih setengah sadar menatap sosok tinggi menjulang di hadapannya. Tidak! Ini salah!Seingatnya, Bram tidak setinggi ini. Bram juga jarang sekali memakai celana bahan hitam pekat seperti pria ini.Jantung Yasmin berdetak tambah kencang. Ada yang tidak beres. Dengan perasaan waswas, dia mendongak … dan langsung bertemu dengan tatapan dingin sepasang mata cokelat.“P—Pak Bara?” gumamnya dengan bibir gemetar.Seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras, membuat napas Yasmin tercekat. Ini bukan Bram! Ini … Bara, dan dia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.Untuk beberapa saat, Yasmin hanya bergeming, pikirannya mas
"Selamat, Boy dan Cleo sudah cukup kuat untuk pulang."Suara lembut Dokter Samantha seharusnya membawa kebahagiaan, tetapi bagi Yasmin, kata-kata itu justru terasa menyesakkan.Dia menatap bayi kembar yang terlelap damai dalam inkubator. Mereka terlihat sehat, lebih berisi setelah sebulan ini menyusu darinya setiap hari. Namun, satu hal kini menghantam kesadarannya.Mereka akan pulang. Maka itu berarti … dia harus ikut.Dada Yasmin berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Barra yang berdiri tepat di sampingnya, berharap pria itu memberinya pilihan terbaik. Namun, yang dia temukan hanyalah tatapan dingin dan perintah singkat.“Kamu ikut!”Ucapan itu menunjukkan bahwa Yasmin tidak memiliki ruang untuk menolak. Bahkan ketika Boy dan Cleo digendong oleh babysitter, Yasmin hanya bisa mengawasi dengan cermat, memastikan mereka nyaman.“Tugasmu hanya menyusui mereka, bukan merawat mereka!” tegas Barra lagi, lalu b
Cindy menunduk sambil menyeka air matanya, tetapi Yasmin bisa melihat ada senyum kemenangan tersungging di wajah wanita itu.Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa dia harus pergi? Pengakuan Cindy benar-benar memojokkannya.Saat Yasmin berjalan di belakang Barra, dan hendak masuk ke dalam ruangan, Cindy menatapnya intens dengan seringai halus, jemari panjang yang dihiasi kuku cantik melambai anggun.“Cepat, Yasmin!” perintah Barra, suaranya tajam.Yasmin buru-buru melangkah masuk, tetapi rasa dingin yang menjalar di tengkuknya tak kunjung hilang.Di dalam ruangan, Yasmin berdiri kaku di hadapan Barra. Jantungnya berdetak begitu kencang, mungkin saja pria itu bisa mendengarnya.Tatapan Barra kosong. Dingin. Tak terbaca.Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. "Nomor rekeningmu."Yasmin membelalak. Seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.“Maksud Bapak apa, ya?” tanyanya dengan hati-hati, bersiap dimarahi kapan saja.“Gaji untukmu,” ujar Barra datar, jemarinya saling
“Serius kontrak iklan parfum itu batal? Gila, kenapa harus bayar 500 juta?!” geram Bram, lalu melempar tumpukan dokumen yang dibawa oleh manajernya.“Serius, Bram. Pihak iklan merasa dirugikan karena sempat nolak Nicolas demi kamu. Sekarang mereka mau ambil Nicolas lagi,” ujar sang manajer. Wajahnya terlihat kesal, dan tetap berusaha tenang.Bram memukul keras meja hingga cangkir kopi bergetar.“Yasmin benar-benar pembawa sial!” teriak Bram. Dari balik pintu, Sarah yang mengintip sampai terlonjak dan langsung memegangi dadanya.Manajer itu kemudian menjelaskan bahwa citra Bram mulai tercoreng. Netizen ramai membicarakan sosok mantan istrinya yang katanya dulu sering disakiti. Banyak yang mulai membuka-buka masa lalu Bram.“Namamu trending di Eks dan Taktik. Kalau mereka sampai tahu siapa mantan istrimu sebenarnya, dan makin simpati ... habis sudah kariermu. Mending kamu atur narasi, bilang aja pernah nikah sama dia, tapi cerai karena dia selingkuh, atau apalah.”Bram terdiam beberapa
"Yasmin, tolong antar nasi gorengnya dulu ke depan. Biar Mbok yang bawa ayam gorengnya," ucap Mbok Inah sambil menata piring di nampan."Iya, Mbok," jawab Yasmin lembut, lalu mengambil mangkuk besar berisi nasi goreng dan bersiap membawanya ke ruang makan.Akan tetapi, langkahnya terhenti saat suara langkah sepatu hak tinggi menggema dari arah lorong. Cindy muncul, berjalan angkuh masuk ke dapur dengan gaun rumahan sutra yang terlalu pendek untuk pagi hari."Mbak Cindy, mau apa? Nanti Mbok buatkan, ya," ucap Mbok Inah buru-buru, berusaha mencegah Cindy menyentuh apapun di dapur.Yasmin menurunkan pandangan. Dia tak ingin terlibat. Namun, tetap saja, penampilan Cindy tidak bisa diabaikan. Kesan sensual itu terlalu mencolok, terlebih Yasmin tahu wanita itu tak pulang semalam dengan alasan merindukan Boy dan Cleo, lalu Airin sedang tidak ada di rumah, sehingga Kezia pun mengizinkan.Malam tadi, bahkam Yasmin sempat melihat Cindy menyeduh kopi dan naik
Yasmin menoleh dan terkesiap ketika menyadari Barra tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kini, dia berada tepat di antara dua pria, pengacara dan jaksa. Tubuhnya yang paling mungil di antara mereka membuatnya terasa seperti terhimpit oleh dua kutub kekuasaan.Tatapan mata hitam Yasmin menangkap gurat ketegangan di wajah Barra. Rahang pria itu mengeras, jelas menahan sesuatu."Umm … Pak Barra, benar Pak Bagas. Saat ini saya sudah dilindungi beliau," ucap Yasmin pelan dan tegas. Dia juga menambahkan senyum sopan dan anggukan kecil sebagai bentuk penghormatan."Ayo, pulang. Aku sudah janji menjaga kamu pada Mami," ucap Barra tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar tegas, bahkan menusuk di telinga Yasmin.Sebelum Yasmin sempat menanggapi, lengan Barra sudah merangkul pundaknya, lalu pria itu menatap tajam ke arah Bagas yang berdiri kikuk. Dengan gerakan cepat, Barra memutar tubuh mereka dan bersiap meninggalkan area pengadilan."Saya permisi, Pak Jaksa," pamit Yasmin sopan, walaupun langkahnya di
"Kamu yakin mau bawa Yasmin ke persidangan lagi? Kata Samantha, dia itu trauma sama mantannya," bisik Kezia, melirik ke arah dalam rumah dengan cemas. "Jangan lupa, orang yang ngancam dia di toilet itu aja belum ketahuan siapa."Hari ini adalah sidang lanjutan kasus penipuan yang melibatkan Bram, dan Yasmin kembali dipanggil oleh pengadilan untuk memberikan keterangan lebih lanjut."Mami, tenang saja," ucap Barra lembut, menyentuh bahu Kezia dengan tenang.Langkah pelan terdengar dari dalam rumah. Barra spontan menoleh dan matanya langsung tertambat pada sosok Yasmin yang muncul dengan penampilan rapi.Wanita itu mengenakan dress merah jambu yang membingkai tubuhnya dengan manis, kaki jenjangnya berbalut flat shoes berwarna senada, dan tangannya menenteng cooler bag dengan hati-hati."Mami, Yasmin berangkat dulu. Doain Yasmin, ya, Mi," ucapnya pelan sembari memeluk Kezia. Da memejamkan mata sejenak, seola-lah sedang menyerap ketenangan dari pelukan itu.Kezia membalas pelukan, lalu Ya
“Mami … apa Yasmin boleh tanya sesuatu?” tanya Yasmin yang pagi ini sedang menyiapkan sarapan. Kebetulan, baru Kezia duduk di ruang makan sambil menggendong Boy yang sudah bangun.Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu tersenyum hangat, lalu mengangguk sambil mengayun pelan tubuh mungil Boy di pangkuannya.Sebelum bertanya, Yasmin berdeham kecil. Di rumah ini, mungkin hanya Kezia yang tahu jawaban dari hal yang membuat pikirannya kalut semalaman.Dengan suara pelan, dia pun menceritakan apa yang dilihatnya tadi malam, dan bertanya, mengapa wajahnya begitu mirip dengan sosok perempuan di foto itu?Kezia tersenyum tipis. Lalu, dia menarik tangan Yasmin untuk mendekat.“Itu … Jeslyn yang Mami ceritakan kemarin. Wajah kalian memang agak mirip, ya. Katanya, di dunia ini, setiap orang punya kembaran,” ucap Kezia lembut.Yasmin menggeleng cepat. “Tapi, Yasmin nggak punya saudara kembar, Mi.”Kezia terkekeh ringan. “Iya,
Yasmin menegang ketika melihat orang yang turun dari mobil bukan Barra. Wajah itu tampak asing. Namun, samar-samar, Yasmin merasa pernah melihat pria itu. Anehnya, satpam justru menyapa dengan ramah. Belum sempat pikirannya menerka-nerka, Bahtiar muncul dari pintu belakang mobil. Yasmin spontan melirik ke jendela, mencari sosok yang dikenalnya. Apa ada Barra juga di dalam sana? Lalu muncul sepasang sepatu pantofel hitam. Sekilas biasa, tetapi Yasmin langsung tahu. Da mengenal langkah itu—cara menginjak tanahnya. Itu Barra. “Kenapa mobilnya beda?” tanya Yasmin saat Bahtiar menjejakkan kaki di teras. “Yang biasa mogok. Pinjam mobil desa, biar cepat sampai,” jawab Bahtiar santai sambil menyerahkan rantang logam putih. “Ini titipan dari dapur warga. Simpan di kulkas, ya.” Yasmin mengangguk, hanya saja matanya tertuju pada pria yang baru keluar dari mobil. Jasnya rapi, tetapi bagian lengan dan bawahnya tampak kusut. Wajah tampan itu tidak pucat, tetapi bagai kehilangan ketegas
Pagi ini, aroma nasi goreng dan roti panggang memenuhi udara. Yasmin dan Mbok Inah baru saja selesai memasak untuk sarapan. Yasmin, yang sudah mandi dan selesai menyusui si kembar, menata sarapan di meja dengan rapi. Lalu menyambut Kezia yang baru turun dari tangga dengan senyum hangat. “Yasmin pintar masak. Mami jadi kepikiran mau kasih modal buat kamu buka usaha sendiri,” celetuk Kezia sambil menarik kursi. Yasmin mengerjap kaget, lalu terkekeh kecil. “Mami bisa aja .…” Ucapan itu ringan, dan matanya tak sengaja melirik ke arah Barra yang baru saja duduk di meja sambil sibuk menggulir layar tablet. Earphone tertancap di telinga, suara berita terdengar samar dari sana. Barra tidak menyapa siapa pun. Yasmin diam-diam mengerucutkan bibir. Kezia sempat bilang kalau Barra berubah. Buktinya sekarang? Yasmin justru merasa, mungkin Kezia terlalu mengkhawatirkan anaknya sendiri. “Hari ini Mami mau jemput Papi ke bandara, kamu bisa ikut?” tanya Kezia pada Barra. “Sibuk, Mi,”
Setelah Barra selesai makan dan Yasmin menghabiskan sup iga di mangkuknya, wanita itu lebih dulu berpamitan dan masuk ke kamar. Namun, malam itu dia sulit tidur. Wajah misterius yang menyekapnya di toilet terus membayangi.Siapa orang itu? Apa tujuannya?Pagi-pagi sekali, ketika Yasmin terbangun karena haus dan hendak mengambil air minum, dia mendapati Kezia sudah rapi mengenakan setelan olahraga. Rambutnya dicepol santai dan wajahnya segar.“Mami mau ke mana? Ini masih pagi,” tanya Yasmin heran.Kezia tersenyum, lalu meregangkan lengan ke atas. “Mau jogging, dong. Usia segini badan nggak boleh diam saja. Kamu mau ikut?”Yasmin diam sejenak. Ingatannya kembali pada ancaman yang dia terima saat terakhir keluar rumah. Dia menggeleng pelan. Rasa trauma itu belum hilang. Mungkin dia tidak akan keluar rumah lagi dalam waktu dekat ... kecuali jika ditemani seseorang.Seseorang seperti ....Baru saja pikiran itu muncul, Kezia melirik ke arah lantai dua sambil tersenyum penuh arti. Seolah tahu
“Tol—”Mulut Yasmin kembali dibekap dengan kasar. Tubuhnya diseret masuk ke dalam toilet pria tanpa sempat melawan. Napas wanita itu tertahan, panik dan matanya membelalak mencoba mengenali sosok di hadapannya, tetapi pria itu memakai masker dan topi hitam yang menutupi seluruh wajah.Yasmin berusaha bergerak untuk melawan, tetapi percuma. Kedua tangannya dikunci kuat, tubuhnya dihimpit, tak mampu meninju, apalagi menendang.“Pergi dari rumah Barra Armend sekarang juga. Kalau tidak, hidupmu akan kuhancurkan!” bisik pria itu dengan suara berat dan tajam, membuat tubuh Yasmin merinding.Dia tidak mengenali suara itu. Hanya saja, aroma parfum yang menguar … seperti pernah dia hirup sebelumnya. Ada rasa tak asing yang menusuk hidung, membuatnya makin waspada.Yasmin menggeleng. Meskipun tubuhnya gemetaran hebat, dia berusaha mengingat kata-kata Barra :‘Jangan takut lagi.’Dia m