“Di mana anakku?”
Yasmin terbangun di ruangan yang jauh lebih kecil dan sempit. Ini bukan di ruang operasi!
Dia melihat ke sekeliling. Tempat ini cukup ramai.
Keingintahuan yang kuat tentang kondisi sang anak, membuat Yasmin tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya akibat bekas luka caesar. Dia bangkit dan berusaha turun dari ranjang seorang diri.
Tanpa suami atau keluarga yang mendampingi, Yasmin berjalan tertatih dan membungkuk, tanpa alas. Mata bulat itu mencari-cari ke sekitar, siapa yang bisa ditanya perihal kondisi bayinya?
Dia terus berjalan hingga berhenti tepat di depan ruangan bayi. Matanya yang mengembun, memindai salah satu bayi di sana.
“Sus, di mana anak saya?” Mata Yasmin berkaca-kaca menatap perawat. Dia belum tahu wajah sang anak.
Sedikit senyum kaku terukir di bibirnya. Dia menanti jawaban. Namun, pandangan beberapa tenaga medis terlihat iba padanya.
“Anak Ibu—” Mereka mejeda beberapa detik, membuat tubuh Yasmin berpikiran buruk. “Maaf, Bu Yasmin. Saat kami bawa bayinya ke NICU, bayi Ibu tidak tertolong lagi.”
Dada Yasmin seketika terasa diremas kuat. Telinganya berdengung dan dunia di sekelilingnya seakan menjauh.
Pandangan wanita itu menjadi kabur, tubuh kurusnya mulai kehilangan keseimbangan hingga lututnya menghantam lantai rumah sakit yang dingin.
“Bohong!!” Tangan Yasmin yang gemetar meraba perutnya yang kini kosong. Nyeri sayatan operasi masih terasa, tetapi tidak ada yang lebih sakit daripada kenyataan ini. “Anakku pasti masih hidup!” Yasmin meremas rambut panjang kusutnya dengan kedua tangan.
Bahkan dia menggeleng berulang kali, menolak kenyataan yang disodorkan kepadanya.
Mengandalkan kaki yang goyah, Yasmin bangkit dan menatap ruang NICU dengan mata membara, penuh harap. Dia bergegas ke arah pintu besi dan menarik gagangnya secara kasar.
“Buka! Dokter, Suster, tolong buka pintunya! Anakku ada di dalam ‘kan?” pinta wanita itu putus asa. Dia berusaha membuka pintu dan memukulnya beberapa kali, “Buka pintunya, Dok! Aku ingin melihat bayiku!!”
Beberapa perawat sigap menahan tubuhnya, mencoba menenangkan. Namun, Yasmin terlalu hancur untuk bisa mendengar kata-kata mereka.
“Nggak, Sus. Nggak mungkin… nggak boleh….” Raganya makin melemas, dia tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini. “Anakku… anakku….”
“Kalau Ibu mau melihat, kami akan mengantarkan Ibu ke ruang jenazah,” tutur seorang perawat dengan tatapan iba.
Yasmin menoleh dengan tatapan membola. “Ibu Mertuaku?” ujarnya dengan bibir bergetar.
Masih teringat jelas dalam benak Yasmin, bagaimana wanita itu memperlakukannya semalam.
Tidak rela mertuanya melihat jenazah sang anak, Yasmin, ditemani perawat bergerak menuju ruang jenazah.
Manik hitamnya tertuju pada tubuh mungil yang terbujur kaku di atas ranjang baja. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya berdiri angkuh, menatap Yasmin yang terpaku.
Perlahan Yasmin menyeret langkah. Dia gemetar bukan main saat berusaha mengangkat kain penutup itu.
Saat wajah mungil itu terlihat, mata Yasmin mulai banjir air mata. Nafas Yasmin seketika tercekat, dia merasa setiap detik begitu panjang.
“Nak, ini Bunda….” Bibir pucat Yasmin tergugu kala menyapa bayi yang sudah tidak bernyawa itu. “Bangun, Nak. Jangan tinggalin Bunda sendirian! Ayo bangun!!!” jeritnya dengan tangan mengguncang tubuh kecil itu, berharap usahanya kali ini membuahkan hasil.
Isakan Yasmin makin keras dan merengkuh tubuh kaku nan dingin itu ke dalam pelukannya. Berulang kali dia menciumi kepala bayi itu, membuat air matanya jatuh membasahi wajah mungil yang mulai menguning.
“Bangun, Nak. Kita bahkan belum bertemu. Kamu belum mendapatkan hakmu…” Ketika berkata demikian, payudara Yasmin terasa mengedut. “Bunda udah di sini. ASI Bunda juga udah keluar, Nak. Ayo bangun, kamu nggak haus?”
Yasmin sudah seperti orang gila sekarang. Dia terus menangis, berbicara pada bayinya yang tentu saja tidak bersuara.
“Berisik, Yasmin! Percuma kamu ngomong sampe berbusa, anakmu juga nggak bisa bangun lagi!” Sarah, ibu mertua Yasmin justru terlihat geram. Tidak ada setitik pun rasa iba di sana untuk menantunya… untuk cucu pertamanya.
Yasmin menatap Ibu Mertua nanar. Meskipun dia tahu sejak awal Sarah memang tidak menyukainya, terlebih perbedaan status sosial mereka, tapi, tidakkah wanita itu berbelas kasih padanya untuk sesaat?
“Anakku masih hidup, Bu. D-dia… hanya sedang tertidur,” lirihnya, sembari menggoyangkan jari-jari mungil itu, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Sakit jiwa, kamu! Sudahlah, Pak, ibunya ini gila, biar saya bawa jenazah bayi ini sendiri!” ujar Sarah tajam kepada petugas yang langsung membantunya merebut jenazah mungil itu dari tangan Yasmin. “Aku pastikan Bram akan menceraikanmu segera! Dasar menantu nggak berguna!”
Perempuan itu berusaha menarik kembali buah hatinya, tetapi raga wanita itu terlalu lemah untuk melawan. Di akhir, dia hanya bisa melihat bagaimana keranda mayat itu ditutup, dan dibawa.
“Ibu Yasmin mau ke mana?” tanya seorang perawat yang melihat Yasmin mengikuti keranda mayat itu dengan langkah tertatih.
“Saya harus datang ke pemakaman anak saya, Sus,” sahutnya, masih dengan lelehan air mata.
“Tapi, Ibu masih dalam proses pemulihan. Jahitan Ibu–”
“Tolong jangan halangi saya, Sus,” potong Yasmin dengan keras kepala. “Saya tidak peduli jahitan saya. Kalau perlu… saya akan menyusulnya!”
**
“Kenapa Tuhan mengambilmu begitu cepat, Nak?” Di bawah gerimis yang syahdu, Yasmin bersimpuh di atas gundukan tanah mungil, tempat peristirahatan terakhir buah hatinya. Dihalau oleh beberapa perawat tadi, membuat Yasmin telat menyaksikan prosesi anaknya dimakamkan. Dia juga kehilangan kesempatan untuk bisa melihat wajah sang anak untuk terakhir kali.Tidak peduli dirinya kebasahan, dia menangis pilu sembari meremas tanah merah yang juga basah oleh hujan. Tidak peduli hari mulai gelap, dan tubuhnya gemetar kedinginan, Yasmin tetap bertahan di sana. Bahkan, ketika dia melihat darah yang merembes pada daster lusuh yang dia kenakan… Yasmin tidak peduli. Biarlah dia sakit, kehilangan banyak darah, hingga akhirnya bisa menyusul sang putri.Akan tetapi tidak lama, petugas pemakaman datang dan mengusirnya. Mau tidak mau Yasmin meninggalkan makam mungil itu dan berjalan tak tentu arah.Dalam keputusasaan, langkahnya membawa Yasmin ke suatu tempat. Wanita itu masih penasaran akan suaminya.
Yasmin bersimpuh di hadapan Bram. Kenyataan ini terlalu kejam untuk diterima. Semantara dia berusaha bernapas di antara isak tangis yang tidak terbendung, Bram justru begitu mudah melangkah, melenggang pergi kembali ke ruang tamu.Sarah meraih rambut Yasmin, menariknya kuat hingga wanita itu mendongak. “Dengar, Yasmin, jangan pernah ganggu Bram lagi! Kamu itu cuma rumput liar yang menghambat bunga untuk tumbuh!" "Bu—""Aku bukan Ibumu!" sentak Sarah, lalu menyeret Yasmin secara paksa keluar dari rumah. Ketika Sarah hendak menutup pintu, Yasmin mencoba menahan, tetapi raganya terlalu lemah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlahan, Yasmin dengan wajah memerah karena tidak berhenti menangis sedari tadi, menyeret kakinya menjauh dari rumah mantan suami. Langkahnya tertatih di trotoar yang semalam menjadi saksi perjuangan menyelamatkan bayinya.Beberapa orang melintas, menatapnya sesaat lalu berlalu pergi. Semua mengabaikannya. Dunia benar-benar tidak peduli pada keberadaannya. T
Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar. ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang. Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini." Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!" Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak."Kenapa diam
“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam. Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak meresp
Pagi itu, Yasmin terbangun lebih awal untuk memerah ASI. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, memperhatikan setiap tetes yang mengalir ke dalam botol kaca. Namun, di saat botol kaca hampir penuh, tangannya mulai gemetar dan pandangan wanita itu sedikit kabur, serta tubuhnya terasa limbung.“Hampir saja …,” lirihnya ketika botol itu hampir terlepas dari genggamannya.Setelah beberapa hari menjadi ibu susu Boy dan Cleo, tenaga Yasmin nyaris terkuras habis. Rasa lapar selalu menguasai perutnya dengan kejam. Dia berniat membawa ASI itu ke NICU sebelum arapan.Atas permintaan Barra, Yasmin masih ditempatkan di kamar rawat rumah sakit itu.Akan tetapi, saat melangkah gontai di lorong panjang, mata hitamnya menangkap sosok yang membuat jantungnya mencelos.Langkahnya terhenti. Nafasnya tercekat. Tangannya meremas tas berisi botol ASI, seolah itu bisa menjadi perisai dari luka lama yang kembali menganga.“Heh! Kamu Yasmin &
Yasmin membuka mata perlahan. Kepalanya berdenyut dan tubuhnya terasa begitu hampa. Pandangan wanita itu masih buram saat dia mencoba memindai sekeliling ruangan.Tangan kanan Yasmin terasa perih, tetapi saat matanya mulai fokus, dia melihat perban yang kini melilit luka di sana.“Akhirnya sadar juga.”Suara berat itu terdengar sinis di sampingnya. Yasmin sontak menoleh dan mendapati Barra berdiri di sisi ranjang.Mata pria itu tajam dan dingin seperti sebelumnya, tetapi Yasmin melihat ada sesuatu yang lain kali ini, kerah kemeja putih Barra bernoda darah.Jantung Yasmin berdegup lebih cepat.Darah? Apakah itu darahnya? Atau … darah siapa? Teris kenapa Barra tidak membersihkannya? Kenapa pria itu terlihat begitu tenang dengan noda merah di bajunya? Berbagai pertanyaan berputar di benak wanita itu, tetapi dia tidak berani mengucapkannya.“Maaf … dan makasih, ya, Pak. Sudah bantu saya,” ucap Yasmin lirih, suaranya benar-benar tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi atmosfer ruangan ini
Yasmin meringis merasakan cengkeraman itu tambah kuat, bahkan kuku-kuku tajam seseorang di hadapannya menekan kulitnya hingga nyeri. Jantung Yasmin berdegup kencang dan napasnya tercekat. Ketika mendapat tatapan begitu menusuk, seakan-akan menguliti dirinya dari atas ke bawah.“Maaf, Ibu siapa? Kenapa memegang tangan saya seperti ini?” Yasmin berusaha mengendalikan suaranya, meskipun bergetar karena ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan.Wanita itu mendecakkan lidah, seolah mendengar pertanyaan yang menggelikan. “Ada apa kamu menemui Boy dan Cleo? Apa kamu mau menculik mereka?”Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Apa … yang baru saja dia dengar? Tenggorokannya terasa kering, kosakatanya mendadak menghilang. Tidak Barra, tidak orang ini sama-sama menuduhnya.Wanita itu masih menatap Yasmin dengan sorot mencemooh, seolah Yasmin hanyalah seseorang yang tidak pantas berada di dekat bayi kembar itu. “Kamu tidak bisa mengelak? Karena yang aku bilang memang benar.” Wanita itu meny
“Apa kamu tidak waras, hem?”Suara berat itu merasuk tajam ke dalam telinga Yasmin, mengguncang kesadarannya. Tubuh wanita itu seketika kaku, dan udara terasa makin dingin menusuk kulit. Kata-kata itu terdengar familiar, tetapi … ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aroma parfum asing menguar, menusuk indera penciumannya.Yasmin mengerjap, mata bulatnya yang masih setengah sadar menatap sosok tinggi menjulang di hadapannya. Tidak! Ini salah!Seingatnya, Bram tidak setinggi ini. Bram juga jarang sekali memakai celana bahan hitam pekat seperti pria ini.Jantung Yasmin berdetak tambah kencang. Ada yang tidak beres. Dengan perasaan waswas, dia mendongak … dan langsung bertemu dengan tatapan dingin sepasang mata cokelat.“P—Pak Bara?” gumamnya dengan bibir gemetar.Seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras, membuat napas Yasmin tercekat. Ini bukan Bram! Ini … Bara, dan dia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.Untuk beberapa saat, Yasmin hanya bergeming, pikirannya mas
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m
Barra makin menunduk, mendekatkan jarak di antara mereka. Ibu jarinya membelai bibir penuh mengilap itu, seolah memastikan sesuatu. Cindy yang merasa menang, tersenyum lebar. Dia sungguh tidak sabar mengikat pria itu selamanya, demi membalaskan rasa sakit dan dendam yang membara di hati. “Yasmin …,” lirih Barra, tepat di depan bibir Cindy. Akan tetapi, saat hampir menempel, Barra tersentak. Ada sesuatu yang berbeda. Indera penciumannya diserang aroma asing, menusuk dan aneh. Bukan wangi alami sabun segar, khas Yasmin yang menenangkan. Seketika Barra mendorong kuat tubuh Cindy hingga terjatuh. Tatapannya membeku dingin, suaranya membelah udara di malam hari. “Aku tidak bodoh!” “Aw, sakit! Pria macam apa kamu, hah!” gerutu Cindy, meringis sambil memegangi bokongnya yang ngilu. “Berengsek! Aku nggak akan biarin kamu lolos!” Barra tak peduli. Dia membalikkan badan, meninggalkan kelab malam itu tanpa sepatah kata pun. Sementara Cindy merintih kesal, masih berusaha bangkit. “Argh! Ken
Ponsel Cindy bergetar di tangannya, menampilkan nama Airin di layar. Wanita itu mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan dan dendam yang membakar. Malam ini, dia tidak akan kalah. Dia harus mendapatkan Barra, bagaimanapun caranya! Dengan mata yang masih berkilat, Cindy menekan tombol sambungkan, sambil menatap Barra yang sudah masuk ke dalam mobil. Dia segera mengikuti, mengendarai mobilnya sendiri. "Mam, aku mau pakai rencana Mami," ujar Cindy dengan suara berat. "Oke, kamu di mana sekarang? Bilang sama Mami, biar Mami yang urus," balas Airin begitu antusias. "Lokasi pastinya aku kirim belakangan, Mam. Aku masih di jalan," tukas Cindy sebelum memutus sambungan telepon itu. Rubicon putih yang dikendarai Barra berbelok memasuki area parkir VIP kelab malam. Barra turun dengan langkah cepat, memasuki bangunan itu tanpa menoleh. Cindy mengikutinya dari belakang, dengan dada berdebar. Tangannya sempat berkeringat saat menggenggam ponsel. Dia segera mengirimkan lokasinya pada Airin,
Tablet itu terlepas dari tangan Barra, jatuh menghantam lantai. Retakan tipis menyebar di layar, tetapi pria itu bahkan tidak meliriknya.Pandangan matanya kosong, membeku pada satu nama yang masih tertangkap di sudut memorinya.“Ariansyah, umur 26 tahun, catatan criminal hanya perkelahian kecil,” gumamnya.Data wajah di layar, semuanya tampak biasa saja ... sampai Barra menurunkan pandangan ke bagian anggota keluarga."Hubungan, adik kandung Heri Adikara."Seketika, ingatan itu membanjir benaknya tanpa ampun. Heri—rekan pengacaranya sendiri, yang dulu Barra hormati dan percaya.Hingga hari itu ... ketika Jeslyn, kekasih yang pernah dia cintai setengah mati, ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar apartemen. Tubuhnya memar dan hancur. Heri-lah pelakunya.Barra sendiri yang mengumpulkan bukti, mengungkap semua fakta, lalu menyeret Heri ke meja hijau. Dia bersumpah hari itu juga, tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh orang-orang yang dicintainya.Akan tetapi, kini Adik Heri, mencari m
Saat Barra dipusingkan dengan kasus Yasmin yang dipercepat oleh pengadilan, kedua anak kembarnya yang rewel seakan ikut merasakan kegelisahannya. Di tengah kekalutan semua ini, pria itu kembali merasakan nyeri menusuk di punggungnya. Tentu saja, konsekuensi dari membolos terapi.Dengan berat hati, Barra menyerahkan si kembar kepada pengasuhnya. Lalu, dia melangkah ke ruang kerja, wajah tampan pria itu tampak lebih kusut daripada biasanya. Dia membuka berkas perkara yang baru saja dikirimkan Bahtiar melalui email. Sambil mengerang pelan menahan sakit, dia berniat segera memerintah timnya untuk melakukan keberatan.Akan tetapi, dering ponsel memotong pikirannya. Itu dari Bono. Harapan Barra seketika melonjak. Semoga pengacara magang itu menemukan sesuatu yang berarti."Bagaimana, Bono?" tanyanya cepat."Baju Cindy sudah ditemukan, Pak! Kami membelinya seharga satu juta—""Langsung ke intinya!" potong Barra dengan intonasi tajam."Karena bajunya dibungkus kain plastik, sudah ada kerusakan
Pukul satu dini hari, Barra baru menginjakkan kakinya di rumah. Dengan langkah berat, dia langsung menaruh ASIP ke dalam freezer, lalu mengarah ke kamar Boy dan Cleo. Pandangan pria itu segera terkunci pada ranjang yang biasanya ditempati Yasmin.Dia melangkah perlahan, lalu duduk di tepi ranjang, telapak tangannya membelai permukaan kasur yang kini terasa dingin. Aroma samar sabun Yasmin yang berpadu dengan wangi tubuh bayi masih tertinggal di udara, sungguh menyesakkan dada.Bayangan Yasmin tiba-tiba hadir begitu jelas di benaknya. Barra melihat wanita itu duduk di kursi yang menghadap ke jendela, menyusui si kembar sambil bersenandung pelan.Barra berdiri. Langkahnya menyusuri setiap sudut ruangan, tempat yang menjadi favorit Yasmin. Hingga dia terhenti di depan boks bayi. Boy dan Cleo tampak nyenyak, tetapi di sudut mata mereka ada sisa jejak air mata."Ternyata Papi gagal melindungi Bunda ... Boy, Cleo," lirihnya seraya menghela napas panjang. Suaranya sangat pelan, seolah takut
“Hah? A—apa, Tan? Bram bergerak? Terus?” tanya Cindy dengan wajah menegang. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, tangan yang menggenggam botol pun ikut bergetar hebat. Namun, dia buru-buru menarik tangannya, mendekatkan ke tubuh, lalu menekan kuat-kuat demi menyamarkan reaksin.Saat ini, dia ingin sekali berlari masuk ke ICU dan membekap pria itu agar tidak bernapas lagi. Namun, itu tidak mungkin, terlalu banyak petugas medis berjaga.Sial!Sarah mengangguk sambil menyuap makanannya. Wajah wanita paruh baya itu tampak sendu, padahal seharusnya senang, bukan?“Dokter bilang itu bukan gerakan tanda kesadaran, tapi respons refleks dari sistem saraf. Akibat rangsangan nyeri yang dilakukan sebagai tes, jadinya ... tubuh Bram bergerak tanpa sadar,” beber Sarah. Suaranya melemah dan isaknya pecah, membuatnya langsung menunduk dalam.Tanpa Sarah tahu, seringai jahat kini tersungging di wajah Cindy. Gemetaran yang tadi sempat merundung tubuhnya kini lenyap setelah mendengar penjelasan itu.“Oh, T
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S